Taufiq Wr. Hidayat *
Perbincangan dengan Kiai Sutara semalam---bagi saya, sangat menarik. Kiai Sutara mengurai perihal ayat suci. Uniknya, Kiai Sutara mengawali pembahasannya dengan mengisahkan seorang penyanyi legendaris yang bernama Edith Piaf. Seorang penyanyi perempuan Prancis yang termashur dengan lagu “La Vie En Rose” pada 1946. Beliau memainkan gitar akustiknya sembari menyenandungkan “La Vie En Rose”. Menurut Kiai Sutara, penyanyi yang berjuluk “La Vie En Rose” itu memiliki hidup yang pedih. Sejak kecil dibesarkan di rumah pelacuran, dengan keluarga yang tidak utuh. Ia menyuarakan kepedihan itu dengan suaranya yang menyayat. Kemudian Kiai Sutara menyanyikan dengan asik sebuah lagu dangdut lama Ida Laela yang berjudul “Hanya Untukmu”. Berulang-ulang kali/Telah kukatakan/Diriku ini hanyalah seorang biduan,” katanya.
“Kamu tahu? Lagu Ida Laela itu, seolah mengisahkan kepedihan seorang biduan bernama Edith Piaf, sang pelantun “La Vie En Rose” berpuluh tahun sebelum Ida Laela berdangdut dengan suaranya yang khas. Dan kisah tentang nasib manusia yang tak mujur dari waktu ke waktu,” ujar Kiai Sutara.
Beliaulah Kiai Sutara, kiai yang tak pernah mau berceramah, tak menyukai keramaian, dan tak gemar tampil di mana-mana. Beliau hanya mengajar membaca ayat suci pada anak-anak usia 5 sampai 10 tahun di suraunya yang kecil. Beliau pernah berkata, “saya tidak lebih hanya orang biasa,” ujarnya ketika seringkali banyak tokoh menghormatinya secara berlebihan. Dan memang demikianlah. Beliau istikomah. Menyukai kesendirian dan keterasingan.
“Apakah musik dan penyanyi itu terkait dengan tafsir ayat suci, Kiai?” tanya saya.
“Sebelum membahas ayat suci, kita perlu bernyanyi. Agar otakmu tidak kayak batu. Dan agar hatimu peka. Ada banyak penderitaan yang tak terduga di balik segala gemerlap hidup dan apa pun pencapaian manusia sepanjang zaman. Ada yang miskin hartanya, ada pula yang miskin jiwanya, ada yang terasing dan terhina, ada yang pedih di dalam segala yang serba tersedia. Ada yang begitu pandai menghibur duka nestapa banyak orang, tapi dirinya sendiri tak sanggup menyingkirkan kepedihan di dalam lubuk hati dan hidupnya, dan tak seorang pun dapat mengetahuinya. Pernahkah kamu memikirkan hal itu? Maka ingatlah, santriku yang tolol! Sejarah itu bukan hanya narasi-narasi besar, tapi ada narasi kecil yang tersembunyi dan tak sempat tercatat di balik narasi-narasi besar yang selalu membuatmu terheran-heran kayak orang sinting. Kedangkalan selalu menimbulkan pertentangan, sedang kedalaman dan kesunyian selalu memuarakan pada pertemuan dan persamaan di antara segala pertentangan dan perbedaan. Ketahuilah bahwa kesadaran kemanusiaan itu adalah kunci dan kewajiban paling utama di dalam memperdalam ilmu, yang disebut kearifan. Tanpa begitu, kamu cuma besar mulut, tapi dengan kepribadian yang rendah, dangkal, gampang tersinggung, gemar menghakimi orang lain menurut seleramu sendiri. Kalau sudah begitu, baiknya buang saja ilmumu ke kakus! ” ujar Kiai Sutara meletakkan gitarnya, menyalakan rokok. Asap tebal yang wangi memenuhi ruang tamunya yang sederhana.
“Baik, Kiai.” Saya menunduk penuh hormat. “Mohon maaf, Kiai. Apa kaitan ayat suci dengan lagu aneh yang Kiai mainkan barusan?” tanya saya.
“Goblok! Kalau pandanganmu terhadap ayat suci hanya muter-muter dengan tafsir pada bunyi tekstual saja, kamu tidak akan menemukan kemungkinan terjauh dan tak terduga dari ayat-ayat Allah. Jika alat bedah satu-satunya yang kau gunakan hanya tafsir teks dengan segala kerumitan tata bahasanya, maka yang akan kau temui logika-logika bahasa belaka. Seorang penafsir sejati, mestinya punya alat yang lengkap, tidak hanya ilmu bahasa. Kamu bongkar mesin motor, tapi alatmu cuma obeng, ila yaumil akhir mesin motor itu tidak akan terbongkar dengan baik.”
“Jadi bagaimana seharusnya, Kiai?”
“Ini bukan perkara harus atau tidak harus. Ini hanya soal pilihan. Terserah kamu, goblok! Tafsir tak hanya memerlukan ilmu bahasa yang mumpuni dan teks-teks sejarah belaka. Tapi untuk meraba kemungkinan terjauh dan tak terduga dari pesan Tuhan pada ayat suci, kamu mestinya juga tahu ilmu sinematografi, musik, ekonomi, bahkan kalau perlu resep masakan. Agar kamu benar-benar yakin, tak ada yang sia-sia segala ciptaan Tuhan. Menghayati dan melihat perihal bagaimana dunia ini bergerak atau berubah.”
“Ayat suci sebagai penggerak dunia ya, Kiai.”
“Tolol! Perubahan dunia itu kamu lihat dan rasakan, ternyata memang tak pernah dipengaruhi atau digerakkan oleh ayat-ayat Tuhan. Kecuali politik, yang segalanya diatasnamakan, segalanya diklaim seenak dengkulmu. Bahkan nenek moyangmu, yaitu mbahmu atau bapakmu diatasnamakan dalam politik, diklaim milik partai, kemudian dimitoskan dan diberhalakan. Perubahan dunia itu perubahan di dalam diri kemanusiaan. Di dalam subyek manusianya. Bukan pada bentuknya. Melainkan pada sifatnya. Di situ ayat Tuhan itu dapat kamu temukan bergerak pada fungsi yang bersifat esensi atau substansi, sebagai yang menjiwai.”
“Ampun, Kiai. Berarti ayat suci itu ketinggalan zaman dan tidak bersifat universal, Kiai?”
“Universal-universal mbahmu! Gak paham-paham juga dengkulmu. Apa itu universal? Jangan asal mencolot lidahmu, santri dengkul! Gak ada yang universal. Universal itu tahayul! Yang ada adalah yang amatir dan lokalistik, yang menegakkan diri di tengah kehidupan dunia. Yang kemudian kamu sebut universal itu. Gak ada agama lintas bangsa. Agama itu lokal. Identitas manusia. Ajaran kemanusiaan dari agamalah yang lintas bangsa, lintas golongan, bahkan lintas negara, lintas provinsi dan lintas kabupaten. Hahaha!”
“Apakah ayat suci ketinggalan zaman, Kiai, jika segala perubahan dunia ini tidak digerakkan atau tidak dipengaruhi oleh ayat suci?”
“Endasmu yang ketinggalan zaman! Dengkulmu yang ketinggalan periode! Santri dengkul macam kamu ini bisa apa? Bisamu merokok, ngopi, membual ke sana ke mari “jualan ayat”. Goblok! Ayat suci kok kamu jadikan alat nyari makan. Itulah santri dengkul alias manusia yang kalau dibilang kambing marah, tapi kelakuannya persis wedus! Hahaha!”
Kiai Sutara tertawa. Suara tawanya renyah. Beliau mereguk kopi pahitnya setelah mengepulkan asap rokok ke udara. Wangi tembakaunya seolah mengandung berkah.
“Ampun, Kai,” jawab saya menunduk dalam-dalam.
“Itu cara kamu menghindari kesalahan. Ompan-ampun kalau sudah merasa akan terkena sandal kepalamu!”
“Mohon ampun, Kiai. Ya saya ‘kan hanya ingin belajar, Kiai.” Saya garuk-garuk kepala. Cengengesan.
“Kapan kamu belajar? Gombal! Belajar bagi kamu hanya untuk gagah-gagahan, nyari pengikut sebanyak-banyaknya biar kenyang perutmu dan didewa-dewakan.”
Kiai Sutara menyandarkan bahunya yang tua ke kursi. Tatapan matanya tajam. Asap rokoknya tak pernah padam. Kopinya kental dan pahit.
“Mohon penjelasan, Kiai.”
“Menjelaskan ilmu kepada santri dengkul. Percuma!”
“Ampun, Kiai.”
“Dengar baik-baik, santri dengkul. Dalam diri manusia ada pertimbangan yang dirangkai dari pengertian mendalam. Dengan begitu, ia mungkin menghasilkan bentuk-bentuk penyesuaian dan sikap adil dalam menjalani kehidupan. Begitu pula dalam beragama.”
“Inggih, Kiai.” Saya mendengarkan dengan seksama, bahkan saya tak berani sekadar batuk ketika kiai saya bicara. Itu etika yang lazim yang dijunjung tinggi dalam tradisi pesantren. Sebagai santri, meskipun saya ini hanya “santri dengkul”, saya wajib menjunjung etika keilmuan tersebut.
“Dengar baik-baik, santri modal dengkul!
Dalam "Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid", Ibnu Rusyd mengurai, bahwa ketentuan teks suci itu punya keterbatasan. Tapi berhadap-hadapan dengan realitas baru yang tak berbatas pada sudut lain dalam ketegangan. Ibnu Rusyd menyebutnya "al-nushushal mutanahiyah wal-waqa'i ghairal mutanahiyah". Sudut-sudut yang tak terbatas itu (al-waqa'i ghairal mutanahiyah) adalah keniscayaan ruang-waktu yang terus-menerus mengalami perubahan dan pergantian. Ini bukan menganggap teks suci terbatas. Justru merupakan bukti ketakterbatasan teks suci itu sendiri, yakni dengan meniscayakan upaya penyerasian atau penafsiran ulang dengan landasan keilmuan yang begitu banyaknya itu terhadap konteks ruang-waktu di mana para penganut ayat suci bersangkutan hidup. Ini mengharuskan pentingnya mengarifi budaya lokal. Bentuk manifestatif ajaran Islam ialah melakukan perubahan bentuk secara beragam untuk menyesuaikan dirinya pada keadaan ruang-waktu; budaya, sejarah. Bukan perubahan Islam. Bukti kekekalan Islam ditunjukkan dengan kehidupan beragama kaum muslimin yang bersesuaian terhadap segala perubahan sejarah dan keadaan. Kekekalan itu pada sifatnya. Bukan bentuknya.”
“Sampai di sini, apakah kamu mengerti, santri ndableg?”
“Lumayan berpikir keras, Kiai.”
“Hahaha! Sejak kapan kamu berpikir?” Kiai Sutara tertawa terpingkal-pingkal. Asap rokoknya memenuhi ruangan.
“Islam dalam keimanan pemeluknya yang beranekaragam itu kekal. Kemurnian dan kekekalan Islam justru terletak pada bagaimana ia, dengan segala khazanahnya, sanggup menjawab persoalan hidup, melakukan penyesuaian diri pada ruang-waktu dengan damai dan selamat. Ini mirip hukum kekekalan energi dalam fisika, bahwa energi itu kekal lantaran ia menyesuaikan bentuk atau dapat berubah bentuk menurut kebutuhan. Tapi sejatinya ia tetaplah energi, tak ada yang dapat memusnahkannya. Ini dalam termodinamika-nya James Prescott Joule menjadi hukum awal yang dipegang teguh dalam fisika. Ia terkenal dengan dalilnya: “energi tak dapat diciptakan, tak dapat dimusnahkan". Islam sempurna pada sifatnya. Bukan bentuknya. Sebagai energi, al-Islam tak bisa diciptakan manusia, juga tak dapat dimusnahkan. Jadi kamu gak perlu bela-belain Islam. Percuma! Al-Islam itu bermanfaat sebagai energi keselamatan dan kedamaian dengan segala bentuk dan perubahannya secara mekanis atau organis sesuai kebutuhan.”
“Tapi bukankah akhirat harus menjadi tujuan utama daripada dunia, Kiai?”
“Kamu harus banyak memakai otakmu daripada dengkulmu, santri! Pandangan yang mendikotomi duniawi dan akhirat membuat orang berada pada dua sisi saling bertentangan. Satu sisi orang hidup mengolah dunia, tak peduli akhirat. Sisi lain, orang sibuk beribadah formal dengan mempersetankan ketimpangan dan penderitaan akibat tak aktif mengolah urusan dunia. Orang yang sibuk duniawi ingin agar di akhirat selamat. Naik hajilah dia atau menghafal kitab suci umpama, sebagian jadi ustadz dadakan, atau pindah agama. Ia merasa religius, tapi memandang rendah orang lain, dianggap belum dapat hidayah. Sebaliknya orang yang cuma sibuk beribadah, tertarik ngurus duniawi. Dia melihat dunia sudah rusak, moral hancur kemasukan budaya asing, tidak islami, dan tanda-tanda akhir zaman yang mengancam. Dengan semangat merasa suci, ia akan menyelamatkan dunia atau negara dari kehancuran. Mata melotot, tangan dikepalkan. Agama harus ditegakkan! Dunia harus diselamatkan dengan agama. Padahal sikap itu sebenarnya reaksi dari ketakmampuannya menghadapi urusan-urusan dunia yang memang tak pernah ia kenali dengan benar. Datanglah para sponsor pendukung guna meraih keuntungan uang dan politik. Sikap sok religius dan sok suci dipelihara. Terjadilah benturan. Orang beragama mengambil-alih posisi Tuhan, menghakimi dunia yang mengingkari kebenaran agamanya.”
Kiai Sutara menghembuskan asap rokoknya. Kerut wajahnya menandakan kekokohan hidupnya yang sederhana dan tak suka popularitas. Kiai ini andaikan bersedia selalu tampil, ia akan dirindukan. Tapi Kiai Sutara tidak, beliau bekerja sebagai pedagang di pasar setiap pagi, beternak kambing. Memenuhi kebutuhannya. Dan menikmati kesendirian dengan kemandirian, tekun dan bersahaja.
“Lantas bagaimana sikap religius itu seharusnya, Kiai?” tanya saya hati-hati.
“Dengar baik-baik. Lubangi telingamu biar tidak budeg. Sikap religius bukan simbol-simbol. Siapa pun yang menekuni profesi dalam hidup sebaik-baiknya dengan tulus hati, sudah melakukan perbuatan duniawi dan ukhrawi sekaligus. Sudah religius itu! Menjadi dokter yang baik adalah perbuatan religius, walaupun susah nyari dokter yang baik. Sama susahnya nyari santri yang baik, yang banyak ya santri kayak kamu, otaknya kadaluwarsa, gemar menipu dan berdusta, dan kalau berpikir pakai dengkul. Hahaha!”
“Kebaikan itu tak perlu diumumkan atau disponsori uang dan kekuasaan. Dokter gak perlu naik haji atau memakai busana Arab agar bergelar dokter religius atau dokter islami. Sikap kemanusiaan yang baik adalah sikap religius, itulah sikap keimanan. Tanggungjawab dan kesetiaan pada profesi dianjurkan dalam Qur'an dengan istilah "menepati janji" dan kebaktian kemanusiaan (taqwa). Kamu buka an-Nahl ayat 90. Dikotomi antara dunia dan akhirat seyogianya dipahami sebagai pengertian definitif. Dalam pandangan dan perilaku sehari-hari, duniawi-ukhrawi saling melengkapi, integral, utuh tidak berjalan sendiri-sendiri. Begitu Tauhid itu. Dunia mendorong kebaikan di akhirat, akhirat menyokong kemajuan dunia dengan perilaku kemanusiaan seindah gambaran perkampungan surgawi.”
Sampai di sini, Kiai Sutara kembali tertidur seperti biasanya. Beliau mudah sekali tertidur, karena beliau seorang pekerja keras yang tak pernah bermalasan. Hidupnya dipenuhi kerja, belajar, memainkan musik, menulis, mengapresiasi film dan sastra, dan tertawa bersama santri-santri kecilnya, menaikkan layangan dan membuat mainan anak. Beliau bukan sosok kiai yang gemar dipuja, bukan sosok yang hidup malas dan bergantung pada keadaan. Beliau benar-benar tampak sebagai orang kebanyakan. Tapi jangan sekali-kali kau coba menjajaki ilmu dan pengalamannya, bisa tenggelam. Tapi kalau tidur, dengkurnya begitu tenang, dengkur yang menandakan kelelahan setelah kerja. Bukan dengkur seorang pemalas. Tidurnya pulas. Menandakan betapa panjang hari-harinya mengolah hidup dengan kemandirian. Beliau mutiara yang tak bersedia berkumpul dengan mutiara-mutiara dalam etalase yang tiap saat dikagumi, dipuji, dan kerubungi orang. Tapi bagi saya, beliau mutiara yang tergeletak begitu indah dan menakjubkan di antara rerumputan, kesederhanaan keterasingan. Tanpa mencarinya dengan bersungguh-sungguh, kau tak akan pernah menemukan mutiara yang berharga itu. Saya selalu terkenang tawanya. Tawanya yang putih bersahaja. Lagu “La Vie En Rose” terdengar lembut mengiringi tidurnya.
Tembokrejo, 2020
Ket foto: "Bengawan Solo Mati," memasuki desa Tejoasri, Laren, Lamongan.
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.
http://sastra-indonesia.com/2020/06/ayat-suci-di-tengah-semua-ini/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Kadir Ibrahim
Abi N. Bayan
Achiar M Permana
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Afrilia
Afrizal Malna
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mustofa
Alief Mahmudi
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amarzan Loebis
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Syarifuddin
Anash
Andri Awan
Anggrahini KD
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Annisa Steviani
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardy Suryantoko
Arie Giyarto
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Gumantia
Arif Hidayat
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asarpin
Asrul Sani
Baca Puisi
Bahrum Rangkuti
Balada
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni R. Budiman
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Candra Malik
Candrakirana
Caping
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Deddy Setiawan
Denny JA
Denny Mizhar
Deo Gratias
Dewi Musdalifah
Dhimas Ginanjar
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Diana AV Sasa
Dien Makmur
Dinar Rahayu
Diskusi
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Edisi Khusus
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Elsa Vilinsia Nasution
Erwin Setia
Ery Mefry
Esai
Evan Ys
F Aziz Manna
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Foto Andy Buchory
Francisca Christy Rosana
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fritz Senn
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Gendhotwukir
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gusti Eka
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hamzah Sahal
Hardy Hermawan
Hari Purwiati
Hario Pamungkas
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hendri R.H
Hendri Yetus Siswono
Herie Purwanto
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I. B. Putera Manuaba
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indira Permanasari
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Inung As
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwan Simatupang
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jember Gemar Membaca
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Joyo Juwoto
Jual Buku Paket Hemat
K. Usman
Kadek Suartaya
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khairul Mufid Jr
Khanif
Khoirul Abidin
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Astrea
Kitab Para Malaikat
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukman Santoso Az
M. Abror Rosyidin
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lutfi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahardini Nur Afifah
Mahendra Cipta
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mansur Muhammad
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Marulam Tumanggor
Mas Garendi
Mashuri
Masuki M. Astro
Matdon
Matroni Muserang
MG. Sungatno
Moh. Husen
Mohamad Sobary
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Multazam
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Murnierida Pram
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Neli Triana
NH Dini
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Novel John Halmahera
Nurel Javissyarqi
Nuryana Asmaudi
Omah Sastra Ahmad Tohari
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Riri Satria
Rodli TL
Ronggeng Dukuh Paruk
Ronny Agustinus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini KM
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Lamongan
Sastra-Indonesia.com
Sastri Sunarti
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Semesta
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeparno S. Adhy
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Titi Aoska
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Topik Mulyana
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Ulysses
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Negeri Jember
Untung Wahyudi
Veronika Ninik
Viddy A.D. Daery
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widie Nurmahmudy
Wildan Ibnu Walid
Windi Erica Sari
Wisran Hadi
Y Alprianti
Y. Thendra BP
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zumro As-Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar