Nirwan Ahmad Arsuka
Kompas, 5 Juni 2020
Tak terhindarkan: agama yang yakin sebagai pengetahuan
yang diturunkan langsung oleh Tuhan pantas mengangkat diri jadi pengetahuan
paling luhur, agung, lengkap dan sempurna. Kaum agamawan, dengan niat mulia,
kerap menilai pengetahuan rasional yang sekuler itu sebagai pengetahuan yang
rendah, kasar, tak lengkap, dan berbahaya. Mereka yang mengamalkannya harus
dikoreksi dan diselamatkan jiwanya. Keluhan Galileo Galilei di ruang tahanannya
dan rintihan Giordano Bruno di api unggunnya, tentu masih bisa kita dengar di
abad ini.
Sejak akhir abad ke-20 hingga hari ini, masih bisa kita
dijumpai literatur yang menyerukan islamisasi pengetahuan. Penulisnya antara
lain adalah Naquib Alattas, Ismail Raja Al-Faruqi atau Muhammad Mumtaz Ali.
Mereka ini masih menganggap sains itu jahiliyah bahkan kafir dan karena itu
harus diislamkan agar benar-benar jadi pengetahuan yang bermanfaat bagi seluruh
alam.
Cendekiawan Indonesia seperti Mochtar Lubis, Soedjatmoko
hingga bahkan YB Mangunwijaya juga, sampai batas tertentu, mengingatkan agar
pengetahuan ilmiah yang tumbuh di Barat itu harus dihadapi dengan hati-hati
karena akan membawa dampak pada kebudayaan. Di negeri lain, ada ideolog yang
bahkan menganggap pengetahuan ilmiah itu berwatak imperialis sebagaimana
peradaban Barat yang melahirkannya.
Pembacaan dekat
Ledakan pandemi Corona adalah rapid test yang sangat
bagus untuk menguji klaim superioritas berbagai jenis pengetahuan. Hasil test
itu segera menunjukkan bahwa agama yang meletakkan diri paling superior itu
ternyata adalah jenis pengetahuan yang paling banyak diam menghadapi Corona.
Barangkali sumbangan terbesarnya itu justeru adalah dengan tidak berbuat
apa-apa itu. Dengan bersikap patuh pada anjuran sains, agama telah sangat
membantu memutus rantai penularan wabah.
Sastra dan filsafat menunjukkan sikap yang lebih aktif
menghadapi wabah. Melukiskan dan memberi nama pada obyek adalah tindakan awal
dalam pengetahuan. Slavoc Zizek , misalnya, memberi rincian sumber wabah itu :
a sub-layer of life, the undead, stupidly repetitive, pre-sexual. Arundhati Roy
memberi deskripsi yang sedikit lebih dinamis pada virus itu: unseeable, undead,
unliving blobs dotted with suction pads waiting to fasten themselves on to our
lungs.
Sains memang yang paling awal dan paling gigih membaca Covid-19.
Ketika korban di Indonesia belum berontokan, sains sudah berhasil mengurutkan
genom virus tersebut, dan memberi nama yang bagus: Sars-COV-2. Nama yang
merupakan singkatan dari koronavirus sindrom pernapasan akut berat 2,
menjelaskan wujud dan tabiat virus ini sekaligus asal-usulnya yang adalah galur
baru dari keluarga virus bermahkota yang sudah dikenal sebelumnya. Nama ini
adalah indeks yang baik karena terang menunjukkan lokus virus ini dalam tatanan
hal ihwal.
Dari praktek membaca pandemi ini, dapat dikatakan bahwa
hanya sains yang mengamalkan close reading (pembacaan dekat), dan menelisik
bukan hanya genom individual. Sastra, seperti halnya sejarah dan filsafat,
hanya sanggup melakukan distant reading (pembacaan jauh) yakni mengaji dan
meminjam hasil bacaan sains , atau jadi pengamat dan pencatat dari satu jarak.
Sains bukan saja membaca dan menyumbang pemahaman baru
tentang SARS-CoV-2; sains juga “memanfaatkan” SARS-CoV-2 untuk mengoreksi dan
mengembangkan diri, agar bisa sungguh-sungguh membaca pandemi ini dengan jitu.
Pembacaan sains tidak mudah bukan saja karena teks bermahkota yang dihadapi itu
tak bisa dibingkai dan dibekukan. Virus itu bermutasi dalam penyebarannya di
antara manusia dan kala melintasi wilayah. Tapi juga karena perangkat baca yang
dimiliki masih harus terus dipercanggih.
Berbagai cabang ilmu bergulat membaca SARS-CoV-2, antara
lain virologi, pulmonologi, immunologi, epidemiologi, vaksinologi, genetika
molekuler, dan kecerdasan buatan. Cabang-cabang ilmu ini punya sejarah, pendekatan,
disiplin, dan metodologinya sendiri, yang mungkin membuahkan hasil bacaan yang
berbeda dan bisa memicu debat. Perdebatan paling seru dalam membaca dan
merespon pandemi ini terlihat di ranah epidemiologi yang memang langsung
berhubungan dengan kehidupan manusia sejagad.
Dua Mazhab
Ketika WHO mengumumkan bahwa Sars-COV-2 itu adalah
pandemi, korban sudah banyak jatuh dan wabah menyebar seperti api besar
melangkahi batas-batas negara. Bill Gates menyebutnya “Once-in-a-Century
Pandemic.” Flu Spanyol di awal abad 20 menelan korban sekitar 50 juta jiwa;
Sars-COV-2 diduga lebih ganas lagi dan akan menelan korban yang mungkin jauh
lebih besar. Pengumuman WHO memantik reaksi para epidemiolog dan mengobarkan
perselisihan yang oleh filosof kedokteran Jonathan Fuller dipetakan sebagai
debat antara mazhab “model” melawan mazhab “bukti.” Di Amerika, mazhab “model”
diwakili oleh epidemiolog kesehatan publik dari Harvard, Marc Lipsitch, dan
mazhab “bukti” diwakili oleh epidemiolog klinis John Ioannidis dari Stanford.
Hipokrates, Bapak Kedokteran Yunani Kuno, sudah
mengajarkan asas penanganan penyakit luar biasa. Extremis malis extrema
remedia. Berdasarkan sekian data yang diakui belum memadai, mazhab “model”
menyusun sejumlah model matematis yang kemudian diajukan sebagai dasar untuk
membuat keputusan penanggulangan wabah. Pendekatan dengan model matematis
memang suatu yang biasa dalam dunia pengetahuan. Berdasar dugaan bahwa
Sars-COV-2 itu adalah virus lebih ganas, maka saran penanggulangan wabahnya pun
berskala luar biasa.
Para epidemiolog di mazhab “bukti” tentu tak keberatan
dengan ajaran Hippokrates, tapi mereka mendebat sengit berbagai usulan yang
berdasarkan model-model matematis itu. Buat kubu ini, pendekatan model itu
bukan saja tak memadai, tapi bisa berbahaya, karena banyak kajian yang
menunjukkan bahwa pendekatan model ini mengandung berbagai bias. Pada 2005,
John Ioannidis menerbitkan paper berpengaruh yang tercatat paling banyak
diunduh dari pustaka akses-terbuka Public Library of Sciences. Judulnya, “Why
Most Published Research Findings Are False.”
Perdebatan dua mazhab epidemiolog itu bisa juga tampak
sebagai debat antara kaum pragmatis dan kaum idealis. Bagi kaum pragmatis, data
memang tak memadai, namun tindakan harus segera diambil untuk mencegah lebih
banyak korban. Kaum idealis setuju intervensi, tapi dasar tindakan itu harus
memenuhi syarat ilmiah yang ketat. Sains tanpa pembuktian yang kokoh, tentu
saja bukan sains lagi. Posisi kaum idealis ini jadi kian penting ketika
ditemukan bahwa wabah ternyata menghantam lebih keras kalangan miskin dan kelompok
marjinal tertentu, sehingga model yang tak peka kelompok rentan ini harus
dirombak.
Bias Niat Mulia
Jika diperiksa lebih jauh, perdebatan antara para
epidemiolog itu sebenarnya bukanlah benturan antara paradigma atau antar
mazhab. Perdebatan itu adalah dinamik penerapan prinsip metode ilmiah yang
ketat. Ia berakar pada kesadaran akan keterbatasan manusia, ketaksempurnaan
pengetahuan, dan bahaya dari niat mulia. Terlalu banyak bukti bahwa niat mulia
tanpa pengetahuan yang teruji adalah jalan mulus bagi bencana. Ditambah
kekuasaan yang besar tak terkendali, ramuan ini akan benar-benar ampuh
mengundang malapetaka, bahkan jika hanya satu saja informasi yang keliru.
Sars-COV-2 memang belum hilang, vaksinnya pun belum
ditemukan, Tapi berbagai disiplin dan cabang ilmu sudah terus mengoreksi diri
dan saling memperkaya. Model-model direvisi mengikuti temuan baru dan nilai
moral, membantu para pembuat kebijakan menawar berbagai kompleksitas dan dilema
antara nyawa manusia dan ekonomi bangsa. Kerjasama antar ilmuwan membuat hasil
bacaan yang semula berbeda dapat diuji bersama untuk kemudian diramu dengan
totalitas pembuktian. Metasains ditegakkan. Asal diberi waktu yang memadai,
sains optimis akan dapat menemukan obat yang diperlukan.
Bagi masyarakat awam, perdebatan para saintis bisa tampak
memusingkan. Mirip mereka yang tak paham bola, pergulatan dua kesebelasan di
lapangan juga mungkin terasa membingungkan, bahkan tolol. Dua abad sebelum
Giordano Bruno, Raja Edward II di Inggeris pernah mengeluarkan dekrit yang
melarang sepak bola, menganggapnya permainan kacau yang kampungan. Sains dan
sepakbola memang punya masa silam yang mirip yakni dipandang rendah oleh kaum
yang berkedudukan mulia.
Eduardo Galeano, dalam “Soccor in Shadow and Sun,” antara
lain menulis: Cemoohan dari banyak cendekiawan konservatif berakar dari
anggapan mereka bahwa pemujaan sepakbola adalah agama yang cocok buat kaum
awam. Dirasuki oleh sepak bola, rakyat jelata itu berpikir dengan dengkul kaki
mereka, yang merupakan satu-satunya cara mereka untuk bernalar... Sebaliknya,
banyak intelektual progresif merendahkan sepak bola karena mengebiri massa dan
memandulkan semangat revolusioner mereka.... dihipnotis oleh bola, kesadaran
pekerja menjadi mandeg dan mereka membiarkan diri dituntun seperti domba oleh
musuh-musuh kelas mereka.
Apapun yang dilontarkan oleh para pencemooh sepak bola,
para ideolog yang sangat mencintai kemanusiaan namun tak kuat bergaul dengan
rakyat jelata, semua itu tak mengubah para penghidmat bola seperti Galeano,
atau Paul Hoyningen-Huene. Buat mereka sepak bola adalah pentas bagi drama
kehidupan yang paling intens, arena bagi lahirnya berbagai macam keajaiban yang
tak terlupakan yang membuat hidup menjadi sangat berharga.
Pergulatan sains memang tak sesimpel pertandingan bola.
Emosi yang dibangkitkannya mungkin juga tak seintens sepak bola. Tapi sains
juga bisa seperti sepak bola, yakni menjadi seni yang, meminjam frasa Galeano,
mengubah keterbatasan menjadi virtue. Kerjasama para ilmuwan memang tak
menghasilkan orgasme yang meledakkan tribun berupa gol indah yang menggetarkan
gawang. Kerjasama mereka telah melontarkan manusia terbang ke bulan, merentang
usia manusia dua kali lebih panjang, dan mengangkat peradaban dunia ke tingkat
yang lebih baik.
Permainan bersama
Jika sains sanggup ambil manfaat dari corona, agama juga
bisa. Kalau agama tak berubah setelah pandemi, maka tuduhan yang pernah
diajukan Martin Heidegger untuk sains, yakni “tidak berfikir” mungkin cocok
dilimpahkan ke agama. Pelajaran yang bisa langsung disebar adalah bahwa agama
dapat memberikan sumbangan besar, justeru jika ia bungkam dan tak ngotot
menyumbang. Etika publik dan transaksi argumen yang demokratis jadi kian perlu
dijunjung. Khazanah religius memang kekayaan privat paling berharga buat para penganutnya,
yang mungkin ditawarkan, tanpa paksaan dan pengistimewaan, untuk memperkaya
khazanah publik.
Pilihan yang lebih asyik, yang juga berlaku untuk sastra
dan filsafat tentu saja adalah memasuki tatanan baru (new normal) dengan
menjadi penonton yang literate, yang paham aturan main sains dan mengikuti
perjuangan ilmu yang terbatas dan tak sempurna itu untuk memahami dan
menjinakkan wabah besar yang sama sekali tak punya rasa hormat pada kedaulatan
wilayah, keagungan ibadan dan segala jenis konstruksi sosial manusia.
Pemahaman akan aturan main sains akan kian membentangkan
jalan selebrasi keindahan spirit dan nalar kritis manusia dimana semua pihak,
bukan hanya ilmuwan, filsuf dan penyair, bisa ambil bagian. Itulah permainan
besar yang menautkan kesadaran sains, olahraga dan puisi, yakni kesadaran akan
keterbatasan yang harus diolah untuk melampaui keterbatasan. Permainan bersama
itu bolak balik menghamparkan fakta bahwa hidup dan pengetahuan, dibanding maut
dan ketidaktahuan, memang jauh lebih menakjubkan, lebih tak terbatas, dan
karena itu perlu terus dirayakan.
Selamanya.
***
Pengembangan bahan
diskusi daring “Sains dan Agama di Masa Pandemi,” Sabtu 16 Mei 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar