Jumat, 05 Juni 2020

ENTAH


Goenawan Mohamad

Mungkin seseorang perlu membuat sejarah “Entah”. Katakanlah dimulai dari Sokrates, pelopor pemikiran Yunani Kuno, yang mengatakan: “Yang saya ketahui sepenuhnya adalah bahwa saya tidak tahu apa-apa”.

Bagi saya itu bukan kerendahan-hati pura-pura, melainkan sebuah apresiasi kepada Entah.

Kata ini berpusar, tak jarang dalam bisik-bisik, tiap kali manusia merasa terasing dari dunia — ketika datang Maut, Kelaparan, Perang, dan Sampar, “Empat penunggang Kuda Malapetaka”.

Epidemi Covid-19, yang kini berjangkit dari tempat ke tempat, berbeda skala dari wabah-wabah di zaman dahulu. Tapi ada yang sama: kembali Entah menyembul ke depan. Epidemi ini ibarat sebuah cerita detektif yang ganjil. Korbannya sudah diketahui, dihitung, dianaliasis, diprediksi, tapi bahkan para detektif piawai belum tahu bagaimana profil dan fiil sang pembunuh: bagaimana ia berkembang, menjalar, bagaimana ia bermutasi, atau di mana biasanya ia singgah....
Entah masih seperti dulu.

Mari kita tengok catatan Marchione di Coppi Stefani tentang wabah pes dahsyat yang menyerang Firenze di tahun 1348. Ini adalah ungkapan Entah yang pedih:.

“Wabah itu demikian ganas dan cepat hingga di rumah-rumah yang terkena, para pelayan yang melayani si sakit meninggal oleh penyakit yang sama. Hampir semua yang terserang mati dalam waktu kurang empat hari. Baik tabib maupun pengobatan tak berpengaruh. Tampaknya tak ada cara menyembuhkan, entah karena penyakit ini sebelumnya tak dikenal, entah karena para tabib belum pernah menelaahnya.....”

Di hari-hari yang menakutkan itu, wabah membinasakan Eropa, dan ketika Entah berkecamuk, orang-orang menghentikannya dengan kesimpulan mengerikan: Stop Entah. Sudah ditemukan jawabnya: pembawa sampar adalah orang Yahudi!

Orang Yahudi, demikian didesas-desuskan, menyebarkan racun dari jeroan katak yang dicampur dengan minyak dan keju. Orang-orang Kristen meyakini “penjelasan” itu. Meskipun Paus melarang kekerasan, pada 14 Februari 1349 di kota Strasbourg, 2000 orang Yahudi ditelanjangi dan dibantai. Di Mainz, 3000 orang. Tapi Entah tetap kembali dan tetap dicoba bungkam dengan pelbagai cara.

Sampai datang zaman modern, ketika Entah mulai tampak terdesak. Ia yang menyebabkan rasa takut tak menentu, mulai diganti. Rasa cemas mulai punya penjelasan. Dongeng ditinggalkan, takhayul tersingkir. Demikianlah semangat “Aufklärung.”

Sejak “abad panjang ke-18”, Eropa memulai semangat Pencerahan ini, yang juga disebut “Zaman Penalaran”, “Age of Reason”.

Tak berarti hanya bangsa-bangsa di sekitar Jerman, Prancis, Inggris yang memulai itu, dengan melaksanakan “Sapere Aude!” (Beranilah untuk Mengetahui!) dan meletakkan nalar di posisi penting dalam hidup mereka. Orang Yunani sebelum tarikh Masehi dan para ilmuwan di dunia Islam di abad ke-8 sudah lebih dulu merintis jalan melepaskan diri dari Entah —- juga tentang wabah. Al-Majusi (933-1000), misalnya, menggambarkan wabah dalam “Kitab al-Malaiyy”. Ia melihat sebab wabah dari “udara yang berpenyakit” (hawa wab’i) — bukan dari konspirasi Iblis atau Yahudi.

Kemampuan analisis tentang sebab dan akibat — yang merupakan kemampuan nalar --penting untuk menghadapi Entah. Manusia bergerak maju dari ketidak-tahuan. Yang tak diketahui berubah menjadi sekedar problem; asal kata “problem” dalam bahasa Yunani berarti “sesuatu yang dilemparkan ke depan kita” —untuk dipecahkan dan diterobos.

Tapi tak selamanya berhasil, tak selamanya bertahan — dan tak selamanya membuat hidup lebih baik. Ada seorang teman yang mengatakan, kita harus tahu apa yang kita tidak tahu; teman ini alpa bahwa “yang kita tidak tahu” itu tak berhingga. Dan bukan hanya itu, yang kita tak tahu juga selalu berubah. Itu sebabnya kita tak bisa hidup dengan bersandar pada kemampuan kognitif semata. “Tahu” atau “lebih tahu” tidak dengan sendirinya lebih bernilai (atau berguna) ketimbang “lebih arif” atau “lebih berempati”.

“Mengetahui” adalah membuat pigura atas realitas. Dengan itu, nalar, “reason”, menangkap realitas untuk memecahkan problem. Problem bukan sekedar sebuah transformasi dari Entah, melainkan mereduksi dan mempersempitnya. Sejajar dengan itu, dengan reduksi itu, kapasitas nalar jadi seperti sinar laser: terang, kuat, efisien—tapi sempit. Dan dengan kekuatan seperti sinar laser itulah ia menguasai yang-Lain, hal ihwal yang bukan dirinya.

Di dunia modern, nalar — yang oleh Max Weber disebut “zweckrationalität“ (akal instrumental) —mengubah pelbagai hal jadi angka. .Kwantifikasi memang cara paling efektif memecahkan problem dan mencapai tujuan. Dan dengan itu pula kemampuan dapat dihimpun secara progresif, makin lama makin bertambah. Modal, teknologi, kekuatan militer, kekuasaan politik.

Bukan kebetulan bila sejak Pencerahan di Eropa, sejak rasionalitas jadi raja, dari Eropa pula bergerak imperialisme yang menindas bangsa-bangsa lain. Meskipun demikian, ia tak bisa meniadakan sepenuhnya kebandelan bangsa lain yang melawan dan membuat sejarahnya sendiri. Dalam imperialisme dan penaklukan manusia lain, tak diakui, bahwa setelah berkuasa, akal tak lagi sadar ada yang tak dapat dijangkaunya. Ada Entah yang diabaikan.

Hegel yakin — mendekati ketakaburan — bahwa yang rasional bertaut dengan yang “wirklich”, yang secara aktul ada. Ia yakin semua realitas dapat dinyatakan dalan kategori-kategori rasional. Pembentuk dan penegak kategori-kategori itu yang paling efektif adalah kekuasaan manusia atas manusia lain; kita bertemu dengan Negara. Ketika Hegel mengatakan bahwa Negara harus diperlakukan sebagai “struktur arsitektonis yang perkasa”, sebagai “hieroglif nalar”, ia melupakan bahwa ada Entah yang tak bisa diidentifikasi bahkan oleh Negara.

Dalam konstelasi politik, Entah itu adalah yang mereka tak masuk hitungan. Selamanya ada yang di luar pagar itu — pagar bangunan Negara, pagar bangunan ilmu pengetahuan. Mereka bisa mengindikasikan ada selalu yang tersisa dari yang direngkuh akal.

Dengan kata lain, sejarah Entah belum berakhir. Di wabah abad ke-14 kita mendengarnya dari catatan Marchione di Coppi Stefani. Di abad ke-21 kita menyaksikannya dari kenyataan bahwa belum juga ada solusi untuk mencegah penyakit baru, konflik baru, ketidak-adilan baru.

Ilmu dan agama memang mengklaim, “Akulah jawabannya”. Tapi mereka lupa apa pertanyaanya. Mereka lupa Entah.

9 Mei 2020
https://www.facebook.com/gmgmofficial/posts/3463360770344697

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah