Goenawan Mohamad
Mungkin seseorang perlu
membuat sejarah “Entah”. Katakanlah dimulai dari Sokrates, pelopor pemikiran
Yunani Kuno, yang mengatakan: “Yang saya ketahui sepenuhnya adalah bahwa saya
tidak tahu apa-apa”.
Bagi saya itu bukan kerendahan-hati
pura-pura, melainkan sebuah apresiasi kepada Entah.
Kata ini berpusar, tak
jarang dalam bisik-bisik, tiap kali manusia merasa terasing dari dunia — ketika
datang Maut, Kelaparan, Perang, dan Sampar, “Empat penunggang Kuda Malapetaka”.
Epidemi Covid-19, yang
kini berjangkit dari tempat ke tempat, berbeda skala dari wabah-wabah di zaman
dahulu. Tapi ada yang sama: kembali Entah menyembul ke depan. Epidemi ini
ibarat sebuah cerita detektif yang ganjil. Korbannya sudah diketahui, dihitung,
dianaliasis, diprediksi, tapi bahkan para detektif piawai belum tahu bagaimana
profil dan fiil sang pembunuh: bagaimana ia berkembang, menjalar, bagaimana ia
bermutasi, atau di mana biasanya ia singgah....
Entah masih seperti
dulu.
Mari kita tengok catatan
Marchione di Coppi Stefani tentang wabah pes dahsyat yang menyerang Firenze di
tahun 1348. Ini adalah ungkapan Entah yang pedih:.
“Wabah itu demikian
ganas dan cepat hingga di rumah-rumah yang terkena, para pelayan yang melayani
si sakit meninggal oleh penyakit yang sama. Hampir semua yang terserang mati
dalam waktu kurang empat hari. Baik tabib maupun pengobatan tak berpengaruh.
Tampaknya tak ada cara menyembuhkan, entah karena penyakit ini sebelumnya tak
dikenal, entah karena para tabib belum pernah menelaahnya.....”
Di hari-hari yang
menakutkan itu, wabah membinasakan Eropa, dan ketika Entah berkecamuk,
orang-orang menghentikannya dengan kesimpulan mengerikan: Stop Entah. Sudah
ditemukan jawabnya: pembawa sampar adalah orang Yahudi!
Orang Yahudi, demikian
didesas-desuskan, menyebarkan racun dari jeroan katak yang dicampur dengan
minyak dan keju. Orang-orang Kristen meyakini “penjelasan” itu. Meskipun Paus
melarang kekerasan, pada 14 Februari 1349 di kota Strasbourg, 2000 orang Yahudi
ditelanjangi dan dibantai. Di Mainz, 3000 orang. Tapi Entah tetap kembali dan
tetap dicoba bungkam dengan pelbagai cara.
Sampai datang zaman
modern, ketika Entah mulai tampak terdesak. Ia yang menyebabkan rasa takut tak
menentu, mulai diganti. Rasa cemas mulai punya penjelasan. Dongeng
ditinggalkan, takhayul tersingkir. Demikianlah semangat “Aufklärung.”
Sejak “abad panjang
ke-18”, Eropa memulai semangat Pencerahan ini, yang juga disebut “Zaman
Penalaran”, “Age of Reason”.
Tak berarti hanya
bangsa-bangsa di sekitar Jerman, Prancis, Inggris yang memulai itu, dengan
melaksanakan “Sapere Aude!” (Beranilah untuk Mengetahui!) dan meletakkan nalar
di posisi penting dalam hidup mereka. Orang Yunani sebelum tarikh Masehi dan
para ilmuwan di dunia Islam di abad ke-8 sudah lebih dulu merintis jalan
melepaskan diri dari Entah —- juga tentang wabah. Al-Majusi (933-1000),
misalnya, menggambarkan wabah dalam “Kitab al-Malaiyy”. Ia melihat sebab wabah
dari “udara yang berpenyakit” (hawa wab’i) — bukan dari konspirasi Iblis atau
Yahudi.
Kemampuan analisis
tentang sebab dan akibat — yang merupakan kemampuan nalar --penting untuk
menghadapi Entah. Manusia bergerak maju dari ketidak-tahuan. Yang tak diketahui
berubah menjadi sekedar problem; asal kata “problem” dalam bahasa Yunani
berarti “sesuatu yang dilemparkan ke depan kita” —untuk dipecahkan dan
diterobos.
Tapi tak selamanya
berhasil, tak selamanya bertahan — dan tak selamanya membuat hidup lebih baik.
Ada seorang teman yang mengatakan, kita harus tahu apa yang kita tidak tahu;
teman ini alpa bahwa “yang kita tidak tahu” itu tak berhingga. Dan bukan hanya
itu, yang kita tak tahu juga selalu berubah. Itu sebabnya kita tak bisa hidup
dengan bersandar pada kemampuan kognitif semata. “Tahu” atau “lebih tahu” tidak
dengan sendirinya lebih bernilai (atau berguna) ketimbang “lebih arif” atau
“lebih berempati”.
“Mengetahui” adalah
membuat pigura atas realitas. Dengan itu, nalar, “reason”, menangkap realitas
untuk memecahkan problem. Problem bukan sekedar sebuah transformasi dari Entah,
melainkan mereduksi dan mempersempitnya. Sejajar dengan itu, dengan reduksi
itu, kapasitas nalar jadi seperti sinar laser: terang, kuat, efisien—tapi
sempit. Dan dengan kekuatan seperti sinar laser itulah ia menguasai yang-Lain,
hal ihwal yang bukan dirinya.
Di dunia modern, nalar —
yang oleh Max Weber disebut “zweckrationalität“ (akal instrumental) —mengubah
pelbagai hal jadi angka. .Kwantifikasi memang cara paling efektif memecahkan
problem dan mencapai tujuan. Dan dengan itu pula kemampuan dapat dihimpun
secara progresif, makin lama makin bertambah. Modal, teknologi, kekuatan
militer, kekuasaan politik.
Bukan kebetulan bila
sejak Pencerahan di Eropa, sejak rasionalitas jadi raja, dari Eropa pula
bergerak imperialisme yang menindas bangsa-bangsa lain. Meskipun demikian, ia
tak bisa meniadakan sepenuhnya kebandelan bangsa lain yang melawan dan membuat
sejarahnya sendiri. Dalam imperialisme dan penaklukan manusia lain, tak diakui,
bahwa setelah berkuasa, akal tak lagi sadar ada yang tak dapat dijangkaunya.
Ada Entah yang diabaikan.
Hegel yakin — mendekati
ketakaburan — bahwa yang rasional bertaut dengan yang “wirklich”, yang secara
aktul ada. Ia yakin semua realitas dapat dinyatakan dalan kategori-kategori
rasional. Pembentuk dan penegak kategori-kategori itu yang paling efektif
adalah kekuasaan manusia atas manusia lain; kita bertemu dengan Negara. Ketika
Hegel mengatakan bahwa Negara harus diperlakukan sebagai “struktur arsitektonis
yang perkasa”, sebagai “hieroglif nalar”, ia melupakan bahwa ada Entah yang tak
bisa diidentifikasi bahkan oleh Negara.
Dalam konstelasi
politik, Entah itu adalah yang mereka tak masuk hitungan. Selamanya ada yang di
luar pagar itu — pagar bangunan Negara, pagar bangunan ilmu pengetahuan. Mereka
bisa mengindikasikan ada selalu yang tersisa dari yang direngkuh akal.
Dengan kata lain,
sejarah Entah belum berakhir. Di wabah abad ke-14 kita mendengarnya dari
catatan Marchione di Coppi Stefani. Di abad ke-21 kita menyaksikannya dari
kenyataan bahwa belum juga ada solusi untuk mencegah penyakit baru, konflik
baru, ketidak-adilan baru.
Ilmu dan agama memang
mengklaim, “Akulah jawabannya”. Tapi mereka lupa apa pertanyaanya. Mereka lupa
Entah.
9 Mei 2020
https://www.facebook.com/gmgmofficial/posts/3463360770344697
Tidak ada komentar:
Posting Komentar