Zehan Zareez
Bagaimana mungkin
Doa-doa mampu menembus lapis tujuh
Sementara suara
Tak sampai daun telinga
Mungkin Tuhan bingung
Dengan manusia-mausia
yang gemar menunjukkan otot leher
Padahal tanpa keringat
Leher tetap leher
Tak mungkin jadi anus
Pertiwi yang sesenja ini
ruangannya dipenuhi doa
di atas genting, di dalam masjid,
di ketiak para pendai
Seluruhnya; doa
Doa-doa yang tak sampai
Andaikata doa punya mata
Bingungnya pasti lebih dari Tuhan
-aku; hendak mendarat di pangkuan siapa
Tuhan dan doa tak saling bertemu
Padahal telah sama-sama rindu
...
Pantang tidur sebelum kopi habis. Menikmati aromanya
hingga ampas yang paling akhir, anggap saja sekian dari bagian cara bersyukur
telah ditakdirkannya kita semua sebagai ummat Nabi yang terakhir. Nabi maestro
yang setiap geraknya adalah ruh dari Kalam Tuhan.
Membaca Nabi Muhammad secara konseptual sama halnya
membaca Al-Quran secara aplikatif. Kita bahkan jarang menyadari peranan Al-Quran sendiri sebagai mukjizat yang masih tangguh hingga kini. Pemahaman khas
selalu merujuk pada berpahalanya ayat demi ayat ketika dibaca. Padahal, kita
tak pernah tahu wujud pahala seperti apa. Tak logis jika mukjizat nabi teragung
hanya dapat memberikan pengaruh yang samar, tak terlihat, bahkan tak mampu
dirasakan secara langsung oleh ummatnya. Ingat sejarah, Musa AS dengan
tongkatnya mampu membelah lautan, Ibrahim AS yang gagah tak mempan dibakar kobaran
api, dan mukjizat-mukjizat nabi lain yang versi ceritanya begitu terdengar
gahar bin sangar.
Kopiku baru, masih panas. Aromanya garang melebihi
matahari yang membuat rembulan malu semalaman. Kusruput sekali, lezatnya masuk
ke pori-pori, pelan-pelan menyentuh ujung jari, sampai akhirnya; parkir di
hati. Nikmat yang indah, cukup dengan kopi yang sederhana. Hitam pekatnya
seolah menjadi petunjuk bagi manusia-manusia pesimis dan mampu menjadi jalan
keluar bagi manusia-manusia ngantuk. Kuletakkan tubuh cangkirku tepat di
sebelah asbak meja ruang tamu. Kutatap tajam, kuanggap ia sahabatku. Aku
mencoba menjelaskan seluruh isi pikiranku padanya. Kupaksa ia mendengarkan
baik-baik. Tidak boleh menoleh, tidak boleh pamit kencing atau pura-pura tidur.
Al-Quran merupakan petunjuk. Pedoman arah bagi yang
bertaqwa, yang benar-benar beriman tentang segala ke-ghaiban, yang sadar
kebutuhan sholat dan tak melupa menyedekahkan apa pun yang telah menjadi bagian
dari jatah rizkinya. Entah, nanti akan lahir kesimpulan yang bagaimana, dari
arah mana, atau di mana tentang letak istimewanya yang nyata.
Pada taraf paling dasar, Al-Quran memang menjadi sarana
reward bagi pembacanya. Siapa pun yang bersedia melafalkan huruf, ayat,
suratnya --ikhlas atau tidak--, --paham atau belum--, baginya adalah pahala.
Ganjaran yang belum bisa dinikmati, sebelum nanti; jika sudah hidup lagi;
setelah mati. Manusia jarang menyadari keistimewaan Al-Quran dari peranan taraf
ini.
Sekalipun Al-Quran telah dikultuskan sebagai petunjuk
bagi ummat Nabi Muhammad SAW, Allah Jalla wa Ala tiada pernah mewajibkan
hamba-Nya untuk menghafal secara tekstual. Qiyasnya, gambaran masyarakat
Indonesia yang notabene seluruhnya hafal sila-sila dalam pancasila, tak sedikit
yang perilakunya keluar dari etika dan substansi pancasila itu sendiri.
Mempelajari ilmu tajwid merupakan bagian dari perkara wajib (dikutip dalam
pembahasan bid'ah mawjubah, Al Hujjah Al Qoth'iyyah Li As Syaikh Muhyiddin
Abdus shomad), yang bertujuan mengindahkan Al-Quran melalui etika cara baca
yang benar. Namun menghafal bil-ghoib pun bukanlah sebuah tuntutan yang
mencapai kedudukan kata wajib.
Para penghafal Al-Quran tekstual dan mereka yang
mengindahkan bacaan melalui kebenaran tajwid serta suara indahnya bisa
dikatakan telah berprestasi dalam hidupnya. Patut mendapat apresiasi tersendiri
dan memang layak mendapatkan kalung bunga mewah yang surgawi. Namun cukup
disayangkan, Al-Quran sungguh lah belum mampu berperan sebagai petunjuk
(hudan), jika mereka memilih untuk berhenti di tahap proses yang demikian.
Berhentilah mereka sebatas di fase-fase kejumudan, oplos ketenaran, nun justru
rawan sekali muncul ke-AKU-an yang sulit dihindarkan.
Cangkirku masih kupaksa diam. Tetap harus tunduk,
mendengarkan celotehku, demi menjaga mata ini agar tak tidur menghadapi
matahari. Kulanjutkan, sambil sesekali kukecup tepinya, simbolis bahwa kami
adalah sahabat yang seharusnya saling mengingatkan.
Manusia yang paham peranan Al-Quran sebagai taraf
petunjuk (hudan lil muttaqiin), akan memaksa hatinya mampu memahami makna ayat
per ayatnya dan meng-estafetkan pada gerak pengamalan substansi mutiara di
dalamnya. Mereka sudah tak menganggap point of the match seberapa banyak surah
yang dihafal. Percuma lihai dilisan sedangkan tak memiliki kontribusi apa pun
pada organ yang harusnya digerakkan atas apa yang telah dihafal. Inilah poin
yang tadi tersebut sebagai membaca Nabi Muhammad SAW. Menelaah sejarah laku dan
sikap, kemudian mencontoh semampunya, sesuai dengan kapasitas pribadi dan skala
lingkungan hidupnya, tanpa harus keras kepala dan bengis pada etika-etika
manusiawi yang kodratnya hidup berbangsa.
Usia bumi yang mulai rapuh ini harusnya kita bisa lebih
pandai membaca. Begitu mbeludhak para penghafal Al-Quran yang berprestasi,
lihai merdu di atas lisan yang fasih, namun tak cukup mampu menyeimbangkan
dengan laku ruhnya (yang hakikatnya); ber-Tuhan.
Rokok habis! Tapi masih ada satu hal lagi yang perlu
tersampaikan pada cangkirku terkait kegelisahan hal ini. Perihal taraf yang
paling luar biasa. Tanpa menyingkirkan kehebatan taraf pertama dan kedua, ialah
Al-Quran yang mampu diorientasikan pada cakupan kalamulloh. Dimana hakikinya
seluruh ayat merupakan ucapan-ucapan Allah yang hakiki. Al-Quran adalah
perwujudan dari ucapan Allah yang harus dirasukkan dalam setiap ruh hamba-Nya,
agar Allah senantiasa terasa mengajak bicara pada masing-masing jiwa untuk
bergerak dalam ruang-ruang yang telah ditunjukkan-Nya. Pejalan taraf ini mampu
ber-komunikasi secara vertikal antara dirinya dengan Allah. Mereka mampu intim
dengan cara berbicara yang Qur'aniy.
Dekat dimulai dari kenal, bukan? Dan untuk kenal butuh
komunikasi. Berkomunikasi secara vertikal dengan Allah melalui Al-Quran adalah
salah satu ciri dan cara menjadi yang dikenal. Betapa Allah rindu pada hamba-Nya
yang memberanikan diri memulai menjalin komunikasi. Sangat jauh korelasinya
dengan sekedar berkompetisi mendapatkan pahala. Mereka lebih asik memilih
membangun dimensi sendiri, dengan menjunjung tinggi nilai sunyi; hanya ada dia
dan Allah, atau ada Allah yang dirasakan dalam dia, melalui mutakallim dan
mukhotob yang saling berbicara.
17 Juni 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar