Imam Nawawi *
Minggu Pagi, No.06 Th 64/I Mei 2011
Sastra tidak cukup dipahami sebagai letupan emosi dan pikiran sastrawannya. Reduksi besar-besaran akan terjadi apabila sastra dipahami sebatas buah imajinasi kreatif. Jauh di atas segala persepsi selama ini, sastra adalah miniatur alam semesta. Kata-kata sastrawi sangat ringkas, padat, namun di balikknya terlampir rahasia dunia.
Sastra merupakan barang paling berharga yang pernah ada. Penciptaan karya sastra lahir dari tangan-tangan kaum intelektual yang super genius. Sebab hanya kaum cendikiawan yang mampu menyelipkan rahasia dunia di balik kalimat-kalimat singkat sastrawi mereka.
Untuk sastra sebagai kalimat padat imajinatif saya setuju dengan Sutardji Calzoum Bachri ketika mengatakan bahwa teks Sumpah Pemuda bukan sekadar dokumen sosial politik. Persyaratan sebagai karya puisi yang imajinatif, bahasa padat, kuat, dan menyaran makna, teks Sumpah Pemuda telah memenuhinya dengan sempurna (Republika, 9/9/2007).
Catatan berikutnya teks resolusi Sumpah Pemuda tersebut tidak lahir dari otak-otak bodoh. Teks resolusi ini diciptakan oleh tokoh-tokoh intelektual terkemuka pada Kongres Pemuda kedua di Jakarta, 28 Mei 1928. Sutan Takdir Alisjahbana, Muhammad Yamin, dkk., adalah orang-orang genius dan ilmuan kelas kakap yang memelopori penciptaan teks sastrawi Sumpah Pemuda (Asep Sambodja, Epilog: Kronik Sejarah Sastra Indonesia, 1928).
Teks Sumpah Pemuda sebagai karya sastra berhasil menampilkan impian, imajinasi, gejolak emosi dan pikiran penciptanya dalam wajah yang ringkas namun kuat. Yang seandainya gejolak emosi dan pikiran tersebut diurai maka dibutuhkanlah ribuan halaman kertas untuk menjelaskan perjalanan sebuah perjuangan panjang supaya bahasa-bahasa daerah, bahasa Melayu, bangsa Hindia Belanda, putra-putri Jawa, Sumantera, Sulawesi dan seterusnya, tergantikan oleh Bahasa Indonesia, Bangsa Indonesia, dan Tanah Air Indonesia.
Akan tetapi—sekali lagi—sastra itu sendiri lebih dari sekadar impian dan imajinasi. Sastra adalah barang ilmiah yang lahir dari kerja riset dan penelitian dengan tetap mempertahankan nilai-nilai sastrawinya sebagi kalimat singkat dan kuat. Mungkin kita akan tersentak mendengar Albert Einstein yang memopularkan sepenggal karya ‘puisinya’: E=MC2. Kalangan akademikus tidak akan asing lagi terhadap teori persamaan cetusan sang genius puitis Einstein ini.
E=MC2 adalah simbol-simbol tentang beberapa unsur urgen dunia; energi, massa, dan cahaya, yang mulanya parsial namun kemudian dikonstruksi sedemikian rupa menjadi satu paket kesatuan utuh, satu sama lain dikait-kaitkan oleh kekuatan imajinasi logis otak Einstein.
Roland Barthes (1972) dalam Mythologies menyediakan ruang khusus untuk mengulas karya sang genius Einstein. Aspek-aspek semiotis dan mistisisme dalam teori Einstein dipapar dengan detail. Katanya, kita telah menemukan semua tema gnostik; kesatuan jagat, kemungkinan ideal dalam suatu reduksi fundamental terhadap dunia, kekuatan yang bersifat membuka dalam kata, usaha keras sepanjang masa antara sebuah rahasia dan sebuah ungkapan, gagasan bahwa seluruh pengetahuan hanya dapat ditemukan sekaligus. E=MC2 adalah persamaan historis atau sebuah kunci yang kesederhanaannya tak terduga, polos, murni, dan membuka ruang misteri yang sempat terkunci selama berabad-abad.
Beberapa huruf konsonan, satu angka, tanpa satu pun huruf vokal dalam teori ciptaan Einstein ini ‘mungkin lebih mantra’ dari puisi-puisi mantra presiden penyair kita Sutardji. Mendengar teori Einstein dibacakan, tenaga sebagian kaum sastrawan kita akan melemah, kehilangan daya dan optimisme, untuk tampil menandingi karya sastrawi Einstein tersebut. Bahkan, ketika mengambil objek batu, air, udara untuk mencitakan karya sastra, perlu kiranya ‘berguru’ kepada karya-karya para filsuf Berkeley, Schelling yang secara sastrawi mereka telah membincangkan tentang batu hermetist, air ter (tar-water), dan oksigen.
Berbeda lagi ketika mengambil objek bulan, matahari, dan cahaya yang masih banyak digandrungi. Objek-objek ini telah menginspirasi kaum genius untuk melahirkan teori dan madzhab pemikirannya. Sekadar contoh, Isyraqiyah, Wahdat al-Wujud, dan Wahdat al-Syuhud adalah madzhab-madzhab pemikiran yang orisinil produksi filsuf Timur, dan kini telah mendunia serta diamini Barat.
Muhyiddin Ibnu Arabi dalam ‘Anqa’ Maghrib fi Khatm al-Auliya wa Syams al-Maghrib, Al-Tanazzulat al-Maushuliyat, Al-Isra ila Maqam al-Asra, dan Al-Tajalliyat, menampilkan dirinya sebagai sosok sastrawan ulung dengan objek-objek cahaya, matahari, dan bulan. Karya-karya Ibnu Arabi lebih dari sekadar imajinasi, ia telah mencapai garis batas ilmiah sebuah ilmu pengetahuan.
Akan tetapi, sebagai karya sastra teori E=MC2 yang sangat ilmiah tersebut tetap saja tidak tuntas dipahami. Sebab bahasa yang sastrawi selalu mengungkapkan sekaligus menutupi dirinya sendiri. Ini watak dasar dari sebuah karya sastra. Karena itulah, Albert Einstein pun, sang pencetus teori, tidak sepenuhnya berhasil memahami teorinya sendiri. Pada saat detik-detik menjelang kematiannya pihak rumah sakit meminta Einstein terus berpikir tentang relativitas. Einstein yang sedang berbaring; kepalanya dipenuhi kabel-kabel listrik: gelombang otaknya direkam (Roland, 1972).
Einstein membawa ketidakpahaman sampai ke liang lahat. Roland Barthes memberi penilaian, “kegagalan ada pada pihak Einstein. Einstein mati tanpa pernah memverifikasi persamaan yang di dalamnya rahasia dunia terlampir (E=MC2).” Sehingga pada akhirnya, masih menurut Roland, dunia tetap bertahan, hampir tidak terbuka, rahasia itu tertutup lagi, kode itu belum lengkap.
Dengan cara itulah, Einstein membiarkan E=MC2 layaknya sepenggal puisi yang tak selesai ditafsiri, dan menunggu karya sastrawi tandingannya. Pintu ‘ijtihad’ untuk berkarya belum tertutup.
***
*) Imam Nawawi, lahir di Sumenep 1989. Sempat belajar di beberapa pondok pesantren seperti PP. Assubki Mandala Sumenep, PP. Nasyatul Muta'allimin Gapura Timur Sumenep, PP. Annuqayah Guluk-guluk Sumenep, PP. Hasyim Asy'ari Bantul Yogyakarta, PK. Baitul Kilmah Bantul Yogyakarta, PP. Kaliopak Bantul Yogyakarta, dan PP. Al-Qodir Sleman Yogyakarta. Kini sedang menempuh pendidikan jenjang S2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar