Senin, 31 Agustus 2020

SASTRA YANG HENDAK MENJAUH DARI TUHANNYA

Hudan Hidayat

Jawa Pos, 6 Mei 2007.

Nakal" dan" santun", "pornografi" atau "suara moral","gelombang syahwat" seperti kata Taufiq Ismail, ternyata bersandar pada-Nya jua."

PIDATO Kebudayaan Taufik Ismail di depan Akademi Jakarta pada 2006, bukan hanya menyerang sendi sastra dan seni, tapi telah memporandakkan hidup itu sendiri. Dengan pidato itu Taufik telah meringkus kompleksitas dunia pada satu ruang. Yakni, ruang agama formal. Kalau diumpamakan sungai, maka sungai kehidupan yang memantulkan warna-warni nasib manusia dan takdir dunia, akan mengering diisap cara kerja Taufik yang ingin memasung kreativitas, membelenggu kebebasan berpikir, serta menciutkan imajinasi. Akibatnya, kehidupan akan kehilangan terang dan gelapnya sendiri. 

Kehendaknya, alih-alih membawa suara moral dalam sastra, tapi justru akan membawa sastra menjauh dari Tuhan-nya. Bagaimana menyikapi penyair yang kondang di luar publik sastra Indonesia ini? Adalah dengan mengikuti cara berpikir Taufik sendiri. Yakni, suara moral agama. Dan apakah kata agama pada bidang yang diteriakkan Taufik Ismail? Sesungguhnya serangan Taufik Ismail masuk dalam kawasan tafsir. 

Pertanyaan yang muncul: siapakah yang berhak menafsir? Dan tafsir siapakah yang paling hebat? Mungkin tak seorang pun yang tahu. Mungkin hanya Tuhan yang tahu. Sebab, kebenaran seolah roh dalam badan. Makin kau genggam makin ia menyuruk ke dalam badan. Atau kebenaran mirip menggenggam air dalam tangan. Makin kau genggam makin merucut dari balik tangan. 

Saya ingin menafsirkan kehidupan dari aras penciptaan. Kalau Taufik Ismail menafsirkan Serat Chentini sebagai teks yang porno, menganjurkannya agar dilarang dibacakan di depan publik, saya tidak menganggap teks itu sebagai pornografi. Karena tidak ada "bau burung" dan "dengus nafsu" di situ. Hanya penggambaraan biasa, di mana seorang pembantu rumah tangga menunggu sepasang pengantin di kamarnya. Mengira-ngira apakah sudah terjadi “permainan burung”. Suasananya mirip dengan seseorang bertamu di rumah teman. Sang tamu menunggu di ruang tamu. Tuan rumah masih di dalam kamar. Apa yang terjadi di dalam kamar tuan rumah?

Bisa apa saja. Seseorang yang “nakal” akan membayangkan tuan rumah dengan istrinya sedang “bermain burung”. Tapi seseorang yang “santun” mungkin’ punya bayangan lain: tuan rumah sedang becermin. Maka muncul pertanyaan: siapakah yang “nakal” di sini? Siapakah yang berpikir dalam term pornografi?

Tuhan lebih “nakal” dari Taufik Ismail. Dalam sebuah ayat dari surat-Nya (QS 7 ayat 22), Tuhan Yang Maha Imajinatif menggambarkan Adam dan Hawa telanjang, setelah melanggar “aturan main”. Tidak ada kamar seperti di Serat Chentini. Pembaca bebas berimajinasi, perihal aurat yang ditutupi daun surga itu. Akankah kita mengatakan kitab suci sebagai teks yang porno? Tidak. Sebab, ketelanjangan Adam dan Hawa ditempatkan sang Kreator dalam bingkai sesuatu yang mengatasinya: sebagai sampiran untuk menerobos kenyataan yang lebih tinggi. Ketelanjangan, dalam upaya meraih makna lebih luas, dibuat Tuhan melalui peristiwa dan kata-Nya.

“Nakal” dan”‘santun”, “pornografi” atau “suara moral”,”gelombang syahwat” seperti kata Taufik Ismail, ternyata bersandar pada-Nya jua dalam scenario nasib manusia dan takdir dunia. Budaya “kekerasan” itu telah ditandaskan Tuhan sebagai nasib manusia dan takdir dunia. Turunlah kamu semuanya. Sebagian dari kamu akan berbunuhan satu sama lain… (QS 2 ayat 30). “Berbunuhan”, bagi saya adalah nasib manusia dan takdir dunia. “Berbunuhan” bisa dirujuk pada semua yang diteriakkan Taufik Ismail.

Kata-kata saling “membunuh” ini, dalam sastra, menemukan bentuknya pada pelbagai cerita yang seolah “menjauh” dari Tuhannya. Sastrawan akan membuat kisah, dengan “pornografi” sebagai sampiran, bukan inti cerita. Pornografi diletakkan sebagai pintu ke dalam makna yang lebih luas, di mana keluasaannya akan mengatasi scene pornografi. Cerita bergaya Nick Carter, kata Taufik Ismail, telah meruyak ke dalam sastra Indonesia? Tapi, saya belum pernah menemukannya. Lagi pula, apa yang salah? Bukankah “pembaca” dewasa akan menerobos “ketelanjangan” Adam dan Hawa di surga, dalam dua versinya.

Versi pertama, itulah metafora Tuhan yang menggambarkan telah terjadi persetubuhan. Versi kedua, itulah metafora Tuhan yang menceritakan ketelanjangan sebagai hal yang memalukan. Karena memalukan, nenek moyang kita menutupi tubuhnya dengan daun-daun surga. Ketelanjangan ditempatkan sebagai sesuatu yang salah. Tapi ia diperlukan sebagai penggambaran suara moral bahwa “ketelanjangan” ‘tidak boleh terjadi. Karena itu, penceritaan, sebagai motif penciptaan, menjadi sah adanya.

Tidaklah fair untuk mengatakan seorang pengarang yang menceritakan “ketelanjangan” sebagai” pencari tepuk tangan”, seperti dituduhkan Taufik Ismail. Sebab, pengarang menceritakan ketelanjangan sebagai fungsi pencerahan. Setidaknya pencerahan sejauh yang bisa ia capai.

Berhadapan dengan teks yang “telanjang”, kita harus mengejar maknanya. Apakah ia inheren demi makna yang lebih luas atau semata demi ketelanjangan itu sendiri? Kalau ia berada dalam makna yang lebih luas, maka “pornografi” adalah bagian dari budaya “kekerasan” sebagai takdir dunia yang telah diintrodusir’sang Pencipta. Kehadirannya menjadi sah.

Menjadi jelas, “permusuhan”dan”berbunuhan” yang dikabarkan Tuhan itu adalah penyimpangan laku, dengan segala variannya. Varian yang terpenting adalah seks dan kekerasan, kesakitan dan kegilaan, yang memuncak pada satu titik: mati. Karena itu, dunia adalah latar bagi pertarungan antara kebaikan dan kejahatan. Dijejalkan-Nya sifat-sifat baik dan buruk pada manusia. Dia menunggu dengan takdir di tangan-Nya.

Saya ingin masuk pada aspek lain dari “budaya kekerasan”, sebuah varian yang menjadi fenomena dari abad-abad yang berlangsung. Yang telah pula dijadikan bahan oleh Taufik Ismail. Yakni, kekerasan yang dilancarkan oleh seseorang atau negara terhadap orang lain. Kekerasan yang masuk dalam frame “berbunuhan”, seperti “pornografi” masuk dalam’kotak yang sama. Aspek negatif dari kekerasan bisa menjelma sebagai perilaku seks bebas atau narkotika, di mana seseorang tidak mencelakai orang lain secara langsung, tapi mencelakai diri sendiri. “Berbunuhan” terhadap diri sendiri.

Di sini pula kita melihat dengan jelas makna yang dikehendaki Tuhan: janganlah “berbunuhan”, meski permintaan ini pada akhirnya dapat kita tafsirkan sebagai “permainan” Tuhan yang lain. Permintaan yang tidak mungkin. Sebab. bukankah “berbunuhan”‘sudah menjadi takdir dunia? Di dalam takdir mustahil manusia bisa masuk ke dalam arus yang sama atau sebaliknya. Tetapi untuk sampai kepada jangan “berbunuhan”, sekali lagi, adalah melalui’ penceritaan. Persis seperti penceritaan Kabil dan Habil-dua saudara kandung yang saling membunuh itu.

Jadi, apa yang salah? Tidak ada. Manusia memainkan perannya dan semua manusia akan menuju Tuhannya. Permainan yang membuat dunia hidup. Seolah taman dunia, segenap kekayaan makna ada di dalamnya. Tetapi, permainan dengan nafsu hendak meringkus kompleksitas dunia, sama dengan kehendak menelan Tuhan ke dalam diri. Bukan Tuhan di dalam diri, tetapi kita berada di dalam diri Tuhan, yaitu dunia.

Tuan Taufik Ismail, sajakmu “tiga anak kecil yang datang ke Salemba dengan malu-malu”, bukankah termasuk juga’ke dalam nilai-nilai yang Tuan keluhkan itu? Di mana saya sebagai pembaca bisa menerobosnya: di balik puisi itu terbentang sebuah kisah “pornografi”: kekerasan negara terhadap warganya. Kebusukan manusia terhadap sesama. Sesuatu yang hendak Tuan salahkan pada orang lain.

Karena itu, tidakkah yang “tertusuk padaku, berdarah juga padamu”, Tuan Ismail.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah