Rabu, 23 September 2020

Hosea

Maroeli Simbolon

sinarharapan.co.id

Saat itu aku baru bangun pagi. Lalu, segera aku membuka televisi, entah mengapa. Padahal, biasanya, aku akan bergegas ke luar rumah, dan berolahraga ringan dengan jalan kaki. Ah, benarkah yang kusaksikan ini? Seketika mataku terbelalak; berita televisi yang menayangkan tragedi Nias. Ya, Tuhan, Nias kembali diguncang gempa? Ada apakah ini? Pertanda apakah?

Dan, tanpa kuundang, perlahan resah gelisah menyergapku. Gempa ini kembali mengingatkanku terhadap adik angkatku, Hosea, yang terakhir kudengar berada di Nias. Di tengah tragedi pertama, akhir Desember, masih kudengar kabarnya, bahwa ia selamat dari bencana yang mengerikan itu. Ia memberi kabar lewat telepon, beberapa hari setelah kejadian itu. Maka, o, lega hati mendengar suaranya, mendengar canda tawanya. Ya, candanya itu yang sulit untuk kulupakan. Ia periang, banyak akal, dan banyak cerita lucu mengalir darinya. Selalu ada saja ceritanya yang membuat suasana ceria. Sepertinya tak ada kamus habis cerita darinya. Ia termasuk orang yang menyenangkan dan enak diajak bertukar pikiran.

Kini, di manakah ia? Adakah ia berada di antara pengungsi, orang-orang yang selamat dari amuk bencana kedua ini? Duh, masih hidupkah ia? Masihkah akan kudengar suaranya yang menyegarkan? Atau, o, jangan-jangan ia ikut menjadi korban. Ya, siapa tahu ia termasuk salah satu dari ratusan korban yang mengenaskan. Ah, mungkinkah ia menjadi korban?

Dengan waswas, lekat-lekat mataku mencari-cari sosoknya di setiap gambar bencana Nias yang ditayangkan berita televisi. Baik orang-orang yang selamat, maupun yang menjadi korban, kuperhatikan dengan saksama. Duh, ia tak ada. Sejumlah berita televisi kuperhatikan, berganti-ganti, berulang kali, hingga mataku perih, tetapi sosoknya belum juga kutemukan.

Dengan menyaksikan korban-korban yang luka-luka, terlebih mayat-mayat yang terbujur di beberapa tempat, hatiku pedih. Aku menjerit pilu. Airmataku menetes di pipi. Ya, pipiku yang dulu sering diledeki Hosea sebagai pipi bulat seperti kue bolu. Pipi yang sering menjadi alasanku untuk mengejarnya dan memukulinya. Setelah itu, aha, seperti biasanya, aku dan ia tertawa terpingkel-pingkel dan berangkulan. Bahkan, kemudian, aku dan ia pergi memancing di sungai.

“Nanti ikan-ikannya kita bakar,” ujarnya sembari mengingatkan, karena aku dikenal rakus makan ikan, “Tetapi, awas, bagi rata, ya.”

Aku tertawa dan mengangguk. Segala tingkah polanya masih segar dalam ingatanku. Maka, o, rasa khawatirku semakin meninggi. Tetapi, ah, aku masih tetap berharap ia dalam keadaan sehat. Semoga bencana itu tak merenggutnya.

Dengan mengendarai sepeda motor bututku, berbaur deru debu cemasku, segera kumeluncur ke penjualan koran. Kuperhatikan beberapa koran yang memuat foto-foto mengenai gempa yang mengenaskan itu. Aku berharap menemukan sosoknya di antara sekian banyak foto. Tetapi, lagi-lagi ia tak ada di antaranya.

Aku merasa tak tenang, sebelum mendapat kabar darinya. Kucoba menghubungi ke Nias, kepadanya, tetapi tak tersambung. Ah, barangkali jaringan telepon ikut dihancurkan gempa. Kini jarak menjadi kebencian di mataku. Mengapa harus ada jarak yang memisahkan? Sehingga aku tak dapat menemuinya, sewaktu-waktu. Kemudian, dengan letih, kuputuskan untuk menanyakan secara langsung ke posko-posko kemanusiaan yang ada di sini. Siapa tahu ada kabar dari Nias.

Atau, barangkali Amanguda telah mendapat kabar Hosea. Bagaimana bila kutanyakan saja kepada Amanguda?

***

Entah apa yang mendorong Amanguda pergi ke Nias, waktu itu. Alasan Amanguda, berkenaan dengan pekerjaan. Memperluas jaringan kerja. Juga kepergiannya cuma beberapa hari. Tetapi, menurutku, ada kuasa yang menggerakkan Amanguda pergi ke Nias, jauh meninggalkan kota tempat tinggalnya, meninggalkan Inanguda, istrinya dan dua anak perempuannya yang masih duduk di sekolah dasar.

“Aku cuma sebentar,” janji Amanguda, tegas.

Atas nama pekerjaan, Amanguda pergi, diiringi tatapan istri dan dua anaknya. Sementara aku, apa yang dapat kulakukan? Amanguda adalah adik kandung Ayahku. Jadi, tentu tak layak aku berkomentar, apalagi menghalangi kepergiannya. Bisa-bisa aku ditempeleng, karena dianggap kurang kerjaan. Sebab, ayahku pun cuma mangut-mangut, tak bertindak apa-apa terhadap Amanguda.

Hari-hari berlari, Amanguda belum juga kembali. Janji sebentar, menjadi waktu yang relatif. Sebab, istri dan dua anaknya mulai gelisah, menunggu dengan tak pasti. Dan aku sedih menyaksikan itu. Hingga beberapa bulan kemudian, Amanguda pulang dengan keceriaan. Wah, lega rasanya. Semua gembira menyambut. Tetapi, ah, siapakah itu yang di sampingnya? Seorang anak laki-laki, kira-kira berusia 8 tahun, dengan tubuh yang tegar dan tatapan penuh keingintahuan, menempel di samping Amanguda, terus memegang tangannya.

Semua saling pandang, tak mengerti, terlebih Inanguda. Dan sebelum pertanyaan dan kecurigaan semakin menusuk-nusuk kepala, Amanguda bertindak memberi jawaban. Dengan panjang lebar Amanguda bercerita tentang anak yang dibawanya. Bahwa di Nias, Amanguda bertemu dengan anak itu, dan terbit rasa suka. Amanguda langsung jatuh cinta begitu melihat anak itu, yang ternyata anak yatim piatu. Anak itu dirawat neneknya yang mulai sakit-sakitan. Lalu, dengan penuh harap, Amanguda meminta agar anak itu menjadi anak angkatnya. Ternyata, neneknya setuju, dan berterima kasih. Maka, dibawalah anak itu.

“Namanya, Hosea,” ucap Amanguda. “Ia anak yang baik.”

Semua masih diam. Lalu, Amanguda memaparkan alasannya mengangkat anak, karena sangat menginginkan anak laki-laki. Sebagai bangso Batak, anak lelaki adalah penerus marga, generasi yang terus membawa nama keluarga. Sementara istrinya belum juga dapat memberinya anak laki-laki.

“Aku yakin ia tak akan membuat malu keluarga kita,” Amanguda meyakinkan. “Mulai sekarang ia menjadi bagian dari keluarga besar kita.”

Semua terpana, karena telinga terpasang mendengarnya. Aku tak tahu pasti, apakah Inanguda dan dua anaknya dapat memahami dan menerima. Aku cuma melihat Inanguda mangut-mangut, dan dua anaknya diam seribu bahasa. Sementara Ayahku dan Ibuku mengusap-usap kepala anak itu. Apakah itu isyarat penerimaan?

Barangkali ya. Sebab, setelah itu, satu per satu kami menyalam dan merangkul Hosea. Sejak itu, Hosea menyatu dalam kehidupan kami sehari-hari. Dan ia telah menyandang marga kami, setelah diadakan pesta adat untuk meresmikannya. Pesta kecil, tetapi sesuai dengan kelengkapan adat.

Kulihat, betapa senangnya ia. Dengan cepat ia dapat berbaur dengan kami. Ia mudah bergaul. Apalagi ia tergolong anak yang kreatif, rajin, dan pekerja keras. Di rumah ia rajin membantu. Di sekolah ia rajin belajar. Sehingga banyak yang menyenanginya, termasuk aku. Hari-hari berlalu dalam jalinan persahabatan dan persaudaraan yang indah.

Sampai tamat SMU, aku dan ia masih bersama. Tetapi, setelah itu, aku melanjutkan pendidikan dengan kuliah di kota besar. Aku merantau, meninggalkannya. Sebab, ia tak ingin kuliah. Alasannya, ia tak ingin terlalu membebani Amanguda. Ia menyadari siapa dirinya. Ia malah mendorong agar dua kakaknya yang kuliah. Sementara ia lebih memilih bekerja di perkebunan, membantu Amanguda yang memiliki perusahaan yang bergerak di bidang perawatan perkebunan kelapa sawit.

Maka, sejak itu hubunganku dan ia terganggu oleh jarak yang teramat luas. Cuma sesekali kudengar kabarnya. Apalagi aku semakin disibukkan dengan kegiatan perkuliahan. Kabar yang kudengar, ia pekerja ulet dan ingin maju. Sehingga, hal itu pula yang mendorongnya merantau ke beberapa daerah, kerja serabutan.

“Apa saja kukerjakan. Yang penting halal. Dan hasilnya, enak untuk dicicip,” demikian tegasnya kala pernah kutanyakan kegiatannya. “Dijamin tidak menyebabkan penyakit.”

Aku semakin kagum. Diam-diam aku banyak belajar dari keteguhannya.

Bertahun-tahun, semakin jarang kudengar kabarnya. Hingga kemudian kudengar ia kembali ke Nias. Entah untuk apa, dan apa yang dikerjakannya, tak ada yang tahu. Barangkali tanah kelahirannya memanggilnya; dan darahnya bergolak rindu pulang. Barangkali ia ingin menata hidup bahagia di tanah kelahirannya, hingga akhir hayatnya. Ya, siapa yang tahu jalan hidup manusia? Dan, seperti sudah kukatakan, terakhir kali kuketahui, ia selamat dari bencana yang pertama. Begitulah. Cuma begitulah kabar terakhir Hosea yang kudengar.

Aku tengadah ke langit jingga. Awan tipis berarak pelahan. Sejumlah burung layang-layang terbang meliuk-luik.

“Kini, bagaimana nasibnya?” tanyaku kepada angin yang berdesau di telingaku. Semoga angin membisikkan kabar tentangnya.

Jakarta, 2005

Amanguda = adik ayah; panggilan keluarga Tapanuli.

Inanguda = istri dari adik ayah.

Bangso Batak = bangsa/suku Batak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah