Maroeli Simbolon
sinarharapan.co.id
Saat itu aku baru bangun pagi. Lalu, segera aku membuka televisi, entah mengapa. Padahal, biasanya, aku akan bergegas ke luar rumah, dan berolahraga ringan dengan jalan kaki. Ah, benarkah yang kusaksikan ini? Seketika mataku terbelalak; berita televisi yang menayangkan tragedi Nias. Ya, Tuhan, Nias kembali diguncang gempa? Ada apakah ini? Pertanda apakah?
Dan, tanpa kuundang, perlahan resah gelisah menyergapku. Gempa ini kembali mengingatkanku terhadap adik angkatku, Hosea, yang terakhir kudengar berada di Nias. Di tengah tragedi pertama, akhir Desember, masih kudengar kabarnya, bahwa ia selamat dari bencana yang mengerikan itu. Ia memberi kabar lewat telepon, beberapa hari setelah kejadian itu. Maka, o, lega hati mendengar suaranya, mendengar canda tawanya. Ya, candanya itu yang sulit untuk kulupakan. Ia periang, banyak akal, dan banyak cerita lucu mengalir darinya. Selalu ada saja ceritanya yang membuat suasana ceria. Sepertinya tak ada kamus habis cerita darinya. Ia termasuk orang yang menyenangkan dan enak diajak bertukar pikiran.
Kini, di manakah ia? Adakah ia berada di antara pengungsi, orang-orang yang selamat dari amuk bencana kedua ini? Duh, masih hidupkah ia? Masihkah akan kudengar suaranya yang menyegarkan? Atau, o, jangan-jangan ia ikut menjadi korban. Ya, siapa tahu ia termasuk salah satu dari ratusan korban yang mengenaskan. Ah, mungkinkah ia menjadi korban?
Dengan waswas, lekat-lekat mataku mencari-cari sosoknya di setiap gambar bencana Nias yang ditayangkan berita televisi. Baik orang-orang yang selamat, maupun yang menjadi korban, kuperhatikan dengan saksama. Duh, ia tak ada. Sejumlah berita televisi kuperhatikan, berganti-ganti, berulang kali, hingga mataku perih, tetapi sosoknya belum juga kutemukan.
Dengan menyaksikan korban-korban yang luka-luka, terlebih mayat-mayat yang terbujur di beberapa tempat, hatiku pedih. Aku menjerit pilu. Airmataku menetes di pipi. Ya, pipiku yang dulu sering diledeki Hosea sebagai pipi bulat seperti kue bolu. Pipi yang sering menjadi alasanku untuk mengejarnya dan memukulinya. Setelah itu, aha, seperti biasanya, aku dan ia tertawa terpingkel-pingkel dan berangkulan. Bahkan, kemudian, aku dan ia pergi memancing di sungai.
“Nanti ikan-ikannya kita bakar,” ujarnya sembari mengingatkan, karena aku dikenal rakus makan ikan, “Tetapi, awas, bagi rata, ya.”
Aku tertawa dan mengangguk. Segala tingkah polanya masih segar dalam ingatanku. Maka, o, rasa khawatirku semakin meninggi. Tetapi, ah, aku masih tetap berharap ia dalam keadaan sehat. Semoga bencana itu tak merenggutnya.
Dengan mengendarai sepeda motor bututku, berbaur deru debu cemasku, segera kumeluncur ke penjualan koran. Kuperhatikan beberapa koran yang memuat foto-foto mengenai gempa yang mengenaskan itu. Aku berharap menemukan sosoknya di antara sekian banyak foto. Tetapi, lagi-lagi ia tak ada di antaranya.
Aku merasa tak tenang, sebelum mendapat kabar darinya. Kucoba menghubungi ke Nias, kepadanya, tetapi tak tersambung. Ah, barangkali jaringan telepon ikut dihancurkan gempa. Kini jarak menjadi kebencian di mataku. Mengapa harus ada jarak yang memisahkan? Sehingga aku tak dapat menemuinya, sewaktu-waktu. Kemudian, dengan letih, kuputuskan untuk menanyakan secara langsung ke posko-posko kemanusiaan yang ada di sini. Siapa tahu ada kabar dari Nias.
Atau, barangkali Amanguda telah mendapat kabar Hosea.
Bagaimana bila kutanyakan saja kepada Amanguda?
***
Entah apa yang mendorong Amanguda pergi ke Nias, waktu itu. Alasan Amanguda, berkenaan dengan pekerjaan. Memperluas jaringan kerja. Juga kepergiannya cuma beberapa hari. Tetapi, menurutku, ada kuasa yang menggerakkan Amanguda pergi ke Nias, jauh meninggalkan kota tempat tinggalnya, meninggalkan Inanguda, istrinya dan dua anak perempuannya yang masih duduk di sekolah dasar.
“Aku cuma sebentar,” janji Amanguda, tegas.
Atas nama pekerjaan, Amanguda pergi, diiringi tatapan istri dan dua anaknya. Sementara aku, apa yang dapat kulakukan? Amanguda adalah adik kandung Ayahku. Jadi, tentu tak layak aku berkomentar, apalagi menghalangi kepergiannya. Bisa-bisa aku ditempeleng, karena dianggap kurang kerjaan. Sebab, ayahku pun cuma mangut-mangut, tak bertindak apa-apa terhadap Amanguda.
Hari-hari berlari, Amanguda belum juga kembali. Janji sebentar, menjadi waktu yang relatif. Sebab, istri dan dua anaknya mulai gelisah, menunggu dengan tak pasti. Dan aku sedih menyaksikan itu. Hingga beberapa bulan kemudian, Amanguda pulang dengan keceriaan. Wah, lega rasanya. Semua gembira menyambut. Tetapi, ah, siapakah itu yang di sampingnya? Seorang anak laki-laki, kira-kira berusia 8 tahun, dengan tubuh yang tegar dan tatapan penuh keingintahuan, menempel di samping Amanguda, terus memegang tangannya.
Semua saling pandang, tak mengerti, terlebih Inanguda. Dan sebelum pertanyaan dan kecurigaan semakin menusuk-nusuk kepala, Amanguda bertindak memberi jawaban. Dengan panjang lebar Amanguda bercerita tentang anak yang dibawanya. Bahwa di Nias, Amanguda bertemu dengan anak itu, dan terbit rasa suka. Amanguda langsung jatuh cinta begitu melihat anak itu, yang ternyata anak yatim piatu. Anak itu dirawat neneknya yang mulai sakit-sakitan. Lalu, dengan penuh harap, Amanguda meminta agar anak itu menjadi anak angkatnya. Ternyata, neneknya setuju, dan berterima kasih. Maka, dibawalah anak itu.
“Namanya, Hosea,” ucap Amanguda. “Ia anak yang baik.”
Semua masih diam. Lalu, Amanguda memaparkan alasannya mengangkat anak, karena sangat menginginkan anak laki-laki. Sebagai bangso Batak, anak lelaki adalah penerus marga, generasi yang terus membawa nama keluarga. Sementara istrinya belum juga dapat memberinya anak laki-laki.
“Aku yakin ia tak akan membuat malu keluarga kita,” Amanguda meyakinkan. “Mulai sekarang ia menjadi bagian dari keluarga besar kita.”
Semua terpana, karena telinga terpasang mendengarnya. Aku tak tahu pasti, apakah Inanguda dan dua anaknya dapat memahami dan menerima. Aku cuma melihat Inanguda mangut-mangut, dan dua anaknya diam seribu bahasa. Sementara Ayahku dan Ibuku mengusap-usap kepala anak itu. Apakah itu isyarat penerimaan?
Barangkali ya. Sebab, setelah itu, satu per satu kami menyalam dan merangkul Hosea. Sejak itu, Hosea menyatu dalam kehidupan kami sehari-hari. Dan ia telah menyandang marga kami, setelah diadakan pesta adat untuk meresmikannya. Pesta kecil, tetapi sesuai dengan kelengkapan adat.
Kulihat, betapa senangnya ia. Dengan cepat ia dapat berbaur dengan kami. Ia mudah bergaul. Apalagi ia tergolong anak yang kreatif, rajin, dan pekerja keras. Di rumah ia rajin membantu. Di sekolah ia rajin belajar. Sehingga banyak yang menyenanginya, termasuk aku. Hari-hari berlalu dalam jalinan persahabatan dan persaudaraan yang indah.
Sampai tamat SMU, aku dan ia masih bersama. Tetapi, setelah itu, aku melanjutkan pendidikan dengan kuliah di kota besar. Aku merantau, meninggalkannya. Sebab, ia tak ingin kuliah. Alasannya, ia tak ingin terlalu membebani Amanguda. Ia menyadari siapa dirinya. Ia malah mendorong agar dua kakaknya yang kuliah. Sementara ia lebih memilih bekerja di perkebunan, membantu Amanguda yang memiliki perusahaan yang bergerak di bidang perawatan perkebunan kelapa sawit.
Maka, sejak itu hubunganku dan ia terganggu oleh jarak yang teramat luas. Cuma sesekali kudengar kabarnya. Apalagi aku semakin disibukkan dengan kegiatan perkuliahan. Kabar yang kudengar, ia pekerja ulet dan ingin maju. Sehingga, hal itu pula yang mendorongnya merantau ke beberapa daerah, kerja serabutan.
“Apa saja kukerjakan. Yang penting halal. Dan hasilnya, enak untuk dicicip,” demikian tegasnya kala pernah kutanyakan kegiatannya. “Dijamin tidak menyebabkan penyakit.”
Aku semakin kagum. Diam-diam aku banyak belajar dari keteguhannya.
Bertahun-tahun, semakin jarang kudengar kabarnya. Hingga kemudian kudengar ia kembali ke Nias. Entah untuk apa, dan apa yang dikerjakannya, tak ada yang tahu. Barangkali tanah kelahirannya memanggilnya; dan darahnya bergolak rindu pulang. Barangkali ia ingin menata hidup bahagia di tanah kelahirannya, hingga akhir hayatnya. Ya, siapa yang tahu jalan hidup manusia? Dan, seperti sudah kukatakan, terakhir kali kuketahui, ia selamat dari bencana yang pertama. Begitulah. Cuma begitulah kabar terakhir Hosea yang kudengar.
Aku tengadah ke langit jingga. Awan tipis berarak pelahan. Sejumlah burung layang-layang terbang meliuk-luik.
“Kini, bagaimana nasibnya?” tanyaku kepada angin yang berdesau di telingaku. Semoga angin membisikkan kabar tentangnya.
Amanguda = adik ayah; panggilan keluarga Tapanuli.
Inanguda = istri dari adik ayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar