Jumat, 02 Oktober 2020

Puisi Kontemporer, Antara Amir dan Chairil

Tjahjono Widijanto *

Republika, 13 Apr 2008

Seperti halnya sejarah, sastra juga mengenal mitos. Mitos dalam sastra ibaratnya perambah jalan sekaligus memberikan ruang kosong bagi generasi selanjutnya. Sebaliknya, seorang kreator, apapun genre yang dimasukinya tidak dapat melepaskan dirinya sebebas-bebasnya dari jejak-jejak pendahulunya yang ikut menyediakan jalan untuk dilaluinya.

Perkembangan generasi puisi Indonesia modern bermula dari dua mitos besar: Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Perubahan tradisi perpuisian Indonesia yang beranjak dari dunia kosmologis budaya lama ke modernitas bermula dari Amir Hamzah. Bahasa puisi menjadi sasaran dan pusat perjuangan puisi-puisi Amir Hamzah.

Bahasa Melayu sebagai cikal bakal peradaban pusi Indonesia menurut Amir Hamzah harus mampu menghadapi perubahan dan perombakan menjadi bahasa yang memiliki kekuatan ucap menghadapi zaman. Perubahan dan perombakan itu diperlihatkannya dengan menggunakan bahasa Melayu dalam puisi-puisinya.

Amir Hamzah melakukan perubahan dan pemberontakan terhadap bahasa Melayu dengan teramat halus bahkan nyaris tidak kentara. Di satu pihak seolah-olah Amir Hamzah terikat dengan bahasa Melayu di pihak lain dengan sangat kreatif memasukkan berbagai kosa kata Jawa, Kawi bahkan Sanksekerta dalam sajaknya. Di tangannya bahasa Melayu beranjak dari dunianya menuju dunia ‘bahasa Indonesia’ yang melahirkan estetika puisi yang hebat tenaga pembayangnya.

Chairil Anwar menyebut puisi-puisi Amir Hamzah sebagai sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru walaupun ia destruktif terhadap bahasa lama. Melalui puisi-puisinya ia membawa bahasa Melayu keluar dari ‘pingitannya’ sebagai bahasa yang hanya hidup dalam bangsawan-bangsawan Melayu menuju alam ke-indonesiaan yang lebih terbuka, yang diharapkannya mampu mengemban ‘kebudayaan baru untuk persatuan Indonesia’.

Upaya Amir Hamzah untuk membawa bahasa Melayu ke bahasa Indonesia bagaimanapun juga tidak dapat melepaskan diri dari alam pikiran kosmologi budaya yang melingkupinya. Bagaimanapun kuatnya upaya Amir Hamzah memberontak terhadap bahasa Melayu, tetap tak berdaya membebaskan diri dari tradisi puisi kapujanggan atau tradisi puisi sastra kitab yang selalu menyikapi puisi sebagai representasi dari keindahan imanen-transenden yang terwujud dalam keindahan alam.

Akibatnya puisi-puisi Amir Hamzah cenderung tampil lembut mendayu-dayu dengan selalu menampilkan alam sebagai suatu keharmonisan yang indah dan menghayutkan yang sebenarnya secara realita mengingkari kenyataan alam kolonial.

Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Chairil Anwar pada dekade berikutnya. Chairil benar-benar memberontak dan memporak-porandakan bahasa Melayu. Puisi-puisi Chairil Anwar muncul sebagai alternatif perjuangan linguistik yang benar-benar baru dalam sastra.

Bahasa ucap Cairil muncul sebagai bahasa yang lebih berdarah yang tidak mendeskripsikan alam sebagai ‘gantungan sukma’ yang indah dan menghanyutkan tetapi justru menampilkan alam yang mencekam dan mengerikan. Alam bukan lagi representasi dari keindahan transedental tetapi representasi dari realitas zaman yang menyesakkan dada.

Kalau puisi-puisi Amir Hamzah melakukan perubahan bahasa Melayu dengan mencoba tetap berpijak di buminya, puisi-puisi Chairil benar-benar lahir dari upaya ‘meninggalkan sama sekali” dari bumi budayanya yang lama. Dengan tegas sekali diteriakannya: “Tiap seniman harus seorang perintis jalan. Penuh keberanian. Tidak segan memasuki hutan rimba penuh binatang puas, mengarungi lautan lebar tak bertepi, seniman adalah hidup yang melepas bebas.” (Pidato Chairil Anwar, 7 Juli 1943).

Semangat untuk melepas bebas dan mereguk segala sesuatu untuk menuju ke komologi budaya yang baru dengan tanpa ragu-ragu itu tercermin dengan gamblang dalam baris-baris puisi ”Kapada Kawan” sbb.

Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan

Tembus jelajah dunia ini dan balikkan

Peluk kecup perempuan, tinggalkan kalau merayu

Pilih kuda paling liar, pacu laju

Jangan tambatkan pada siang dan malam

Meskipun, diakui pula oleh Chairil bahwa perjalanan budaya ke yang ‘baru’ itu mengakibatkan juga seorang penyair untuk ‘dikutuk’ selalu mencari-mengembara tanpa sampai pada titik final, seperti terbaca pada sajak “Tak Sepadan” sbb.

Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk sumpahi Eros

Aku merangkak dinding buta

Tak satu juga pintu terbuka

60 tahun kemudian setelah era Amir Hamzah wajah perpuisian Indonesia di tangan generasi penyair yang lebih muda seperti Acep Zam-zam Noer, Zawawi Imron, Cecep Samsul Hari, dll, meskipun dengan pengucapan bahasa yang berbeda masih ada yang berangkat dari alam dan mampu membawa kepada pembacanya kepada “tamasya bahasa” seperti terlihat pada penggalan puisi “Cipasung” Acep Zam-zam Noor sbb.

Di lengkung alis mata sawah-sawah menguning

Seperti rambutku padi-padi makin merundukkan diri

Dengan ketam terus kupanen kesabaran hatimu

Cangkulku iman dan sajadahku lumpur yang kental

Puisi ini merupakan contoh bagaimana generasi terdahulu mampu menyediakan jalan bagi generasi berikut, dan sebaliknya bagaimana sebuah generasi baru dapat suntuk belajar dari generasi terdahulu meskipun berangkat dari ruh dan alam budaya yang berbeda.

Demikian juga semangat pengembara dan petualang Chairil yang berujung pada kerentanan pada kosmologi budaya lama juga masih menunjukkan gaungnya pada generasi sesudahnya. Seperti misalnya apa yang dialami penyair Goenawan Mohhamad yang harus ihlas menjadi malin kundang yang tidak pernah dapat kembali pada kosmologi budaya ibunya dan dikatakannya — penyair harus berani berdiri bebas tanpa masa lalu!

Kosmologi budaya lama merupakan kenyataan lampau yang dianggap tak lagi mampu ikut berkembang, kenyataan yang telah dihentikan cuma sepenggal kenangan, yang dalam puisinya “Kwatrin Sebuah Poci” dikatakan sebagai sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi.

Kegelisahan puisi Chairil yang berusaha menggapai dunia baru akibat ketidakpercayaan terhadap kosmologi budaya lamanya mencapai puncaknya pada puisi-puisi Afrizal empat puluh tahun kemudian. Puisi-puisi Afrizal tampil sebagai personifikasi langsung dari gejolak budaya yang berlangsung di Indonesia pada generasinya, yang oleh Afrizal dikatakan sebagai migrasi budaya yang meninggalkan dunia lama yang kemudian menghasilkan sosok-sosok pribadi dan perubahan yang secara kultural tidak pernah dapat kembali pada budaya ibunya, dikatakan dalam pisinya:

Perubahan adalah sebuah kendaraan besar, untuk siapapun yang tidak mau jadi batu. Dan mereka bermigrasi diantara usungan-usungan mikropun: Memindahkan jenazah ayah sepertimemindahkan kesedihan, dari wabah kematian di luar sana (“Panorama Kematian Ayah 1”).

Generasi-generasi dalam puisi Afrizal adalah generasi yang hidup tanpa merasa dinaungi kosmologi dan mitologi historis yang jelas dan mengikat, generasi yang harus berumah dari timbunan kosmologi dan mitologi yang sudah membusuk dan memperbaiki diri diantara hiruk-pikuk, kecemasan, kegalauan dan kebisingan.

*) Tjahjono Widijanto, Penyair dan guru sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah