Ahmad Tohari
Pikiran Rakyat, 24 Jan
2009
LEBIH setengah abad yang
lalu ada buku ajar untuk pelajaran bahasa Indonesia berjudul Gemar Membaca.
Sesuai dengan judulnya, isi buku itu tentu diajarkan untuk meletakkan dasar
sifat gemar membaca di kalangan anak-anak. Buku tersebut juga memberi tuntunan
dasar-dasar ketrampilan menulis karangan.
Sekarang buku Gemar
Membaca sudah tidak terbit lagi. Namun, bukan hal itu yang akan dibicarakan
melainkan hasilnya yang jejaknya hanya samar. Setelah lebih setengah abad
diajak membangun watak gemar membaca dan menulis masyarakat kita seakan belum
juga tergugah. Menurut data yang terbaca, beberapa tahun lalu penduduk
Indonesia yang suka membaca tidak sampai 10 persen. Angka ini akan lebih
mengecil lagi bila dimaksudkan untuk menyatakan jumlah penduduk Indonesia yang
biasa menulis.
Mengapa sampai terjadi
kondisi seburuk ini – anehnya – kita bisa dengan fasih menjawabnya. Kita juga
tahu dan menyadari akibat buruk kondisi ini, keterbelakangan di segala bidang
baik yang bersifat lahir maupun batin. Peningkatan kualitas sumber daya manusia
yang utamanya terjadi melalui kegiatan baca-tulis telah sekian lama terabaikan.
Inilah penyebab utama keterbelakangan kita di semua bidang kehidupan.
Mengapa kita jadi bangsa
yang malas membaca (apalagi menulis) jawabnya pun sudah kita hafal. Mulailah
dari faktor sejarah, sejak zaman kerajaan dan kemudian disambung dengan masa
penjajahan kegiatan baca tulis seperti hanya menjadi hak lapisan atas.
Mayoritas penduduk yang mereka sebut wong cilik (sebutan yang sebenarnya amat
menghina) hanya punya peluang sangat kecil untuk memasuki dunia keaksaraan.
Tatanan feodal ini demikian mapan sehingga untuk waktu yang lama masyarakat
wong cilik merasa tidak sepantasnya memasuki dunia baca tulis.
Mungkin situasi demikian
akan berumur lebih panjang apabila tidak terjadi perubahan kebijakan dengan
hadirnya politik balas budi di negeri Belanda. Sejak saat itu, meskipun dalam
jumlah yang sangat terbatas, anak-anak Indonesia bisa mengenyam pendidikan di
sekolah dan mulai mengenal baca tulis.
***
KITA juga sudah tahu
tradisi tutur yang sudah berlangsung berabad-abad kini masih membelenggu
masyarakat kita. Tradisi itu juga menjadi salah satu sebab mengapa kita belum
juga gemar membaca dan menulis. Dalam tradisi ini peran tulisan dianggap kurang
penting. Maka transfer pengetahuan, dongeng, atau ajaran dilakukan melalui
tuturan yang berlangsung turun-temurun. Tentu, dalam tradisi tutur ini
pengembangan wacana dan pengetahuan jadi sangat terbatas atau malah stagnan
karena aspek-aspek eksploratif minim adanya.
Sesungguhnya tradisi
tutur bukan hal yang buruk. Banyak nilai-nilai kearifan bisa diturunkan dan
dilestarikan melalui tradisi ini. Namun, harus diakui pula adanya ekses
tertekannya usaha pengembangan kebiasaan baca-tulis di masyarakat kita. Hal ini
tentu sangat merugikan dan akan menimbulkan berbagai kesulitan yang
berkepanjangan. Suatu contoh kecil, betapa sering kita mendengar orang sulit
menentukan hari jadi sebuah provinsi, kabupaten, atau kota karena tak ada
catatan resmi mengenai hal itu. Bahkan pernah terdengar ketidakjelasan
keberadaan teks prokramasi dan supersemar; ini pun membuktikan kita memang
bukan masyarakat yang menghargai baca-tulis dengan segala hal yang
menyertainya.
Sebenarnya kondisi yang
tidak menguntungkan ini sudah lama disadari pemerintah. Tindakan-tindakan nyata
untuk mendongkrak minat baca tulis pun sudah dilakukan dengan pelaksanaan
pendidikan di bidang tersebut dari dari tingkat SD sampai perguruan tinggi. Di
luar itu masih ada projek-projek inpres untuk pengadaan buku dan perpustakaan
serta program pemberantasan buta huruf yang berskala nasional. Tapi mengapa
perubahan yang diharapkan amat lambat datang? Jawabnya, karena semua itu
dilakukan dengan setengah hati, tanpa dedikasi, bernuansa projek yang sarat
korupsi.
Sementara itu, dampak
negatif “penyakit” kurang baca tulis kian hari kian menampakkan keburukannya.
Selain menjadi sebab kualitas SDM Indonesia rata-rata rendah, ada hal khusus
yang patut diperhatikan. Hal tersebut adalah kurang terserapnya nilai-nilai
keadaban yang lazimnya terkandung dalam berbagai jenis buku bacaan. Jadi
penyakit kurang baca tulis tidak hanya menyebabkan orang kurang cerdas secara
intelektual tapi juga secara spiritual, karena tidak ada internalisasi
nilai-nilai ke dalam diri rata-rata manusia Indonesia.
Nilai-nilai keadaban
itulah yang seharusnya membangun pribadi dan menjadi moral setiap warga
masyarakat, lebih lagi mereka yang menjadi pemimpin di semua bidang dan
tingkatan. Para pendiri negeri ini rata-rata memiliki moral pejuang yang saleh,
jujur dan penuh tanggung jawab. Dan semuanya – sedikit di antaranya Bung Karno,
Bung Hatta, K.H. Wahid Hasyim, Wilopo, Ki Hajar Dewantara – adalah orang-orang
yang kenyang membaca dan menulis. Dari kegemaran itulah mereka menjaring dan
mengumpulkan nilai-nilai keadaban untuk membangun kepribadian sehingga mereka
jadi pemimin negarawan dengan dedikasi tinggi.
***
KETIDAKSALEHAN yang telah
mewarnai banyak sisi kehidupan dan telah membuat kita sekian lama tertinggal
dan terpuruk tentu tidak akan dibiarkan bila kita masih ingin menjadi bagian
dunia beradab. Penyakit kurang baca tulis harus disembuhkan dengan tindakan
nyata dan ikhlas.
Rumah Puisi yang dibangun
oleh penyair Taufiq Ismail mestilah berangkat dari kesadaran itu. Di Nagari Aie
Angek, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat, di antara Gunung Merapi dan
Singgalang, di sanalah Rumah Puisi berdiri. Di dalamnya ada perpustakaan umum
dengan modal awal 6.000 judul buku. Akan difasilitasi kegiatan pelatihan bagi
guru bahasa dan sastra Indonesia, pelatihan menulis karangan, kegiatan
apresiasi sastra, interaksi antarsastrawan, dan sebagainya.
Untuk ukuran Indonesia
yang begitu besar dalam hal wilayah dan jumlah penduduk, Rumah Puisi amat kecil
dari segi fisik bangunan dan kegiatan. Namun, dari segi makna dan cita-cita dia
sungguh besar. Diharapkan Rumah Puisi menjadi antivirus yang akan menyebar ke
seluruh Indonesia untuk mengobati penyakit kurang baca tulis. Karena hanya
dengan hilangnya penyakit itu bangsa ini bisa bangkit dan mengejar
ketertinggalan.
Sesungguhnya, Taufiq
Ismail bukan pribadi yang teramat istimewa. Dia hanya seorang penyair dan
pemikir. Tapi dia peduli atas akibat penyakit kurang baca tulis yang melanda
bangsanya. Kemudian dia bertindak dengan sesuatu yang nyata. Oleh karena itu,
bila banyak lagi orang yang peduli, apalagi bila kepedulian itu berkembang
menjadi kesadaran umum, rumah-rumah puisi akan bermunculan di seluruh tanah
air. Penyakit kurang baca tulis dengan segala akibat buruknya akan terkikis
habis.
Atau bila penduduk
Indonesia yang mayoritas Islam ini mau bangun dari kealpaan, mereka tentu sadar
bahwa membaca adalah perintah Allah yang pertama kepada manusia. Bacalah dengan
menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Ini adalah ayat perintah membaca yang
amat gamblang. Ayat ini tersambung dengan: Allah mengajarkan (ilmu) kepada
manusia dengan pena. Pena siapa? Tentu bukan pena surgawi yang menjulur dari
langit. Itu adalah pena profan, pena para manusia yang mendapat anugerah ilmu
dari Allah SWT. Melalui pena para alim itulah Allah mengajari manusia. Maka
lengkap sudah, perintah membaca berada dalam satu paket wahyu dengan perintah
menulis. Ternyata, kebanyakan kita alpa mengamalkannya.
Di pintu utama Rumah
Puisi ayat ini terpampang jelas. Memang, bila direnungkan apakah ada perbedaan
derajat urgensi antara perintah membaca dan menulis dengan dirikanlah salat dan
bayarkan zakat di awal surat Al Baqarah? Rasanya tidak ada. Malah kenyataan
bahwa perintah membaca dan menulis datang lebih dulu daripada perintah salat,
amat patut menjadi bahan permenungan. Apalagi fakta sudah jelas terpampang;
negara yang mayoritas penduduknya Muslim ini sudah lama tertinggal di segala
bidang.
Kita tidak usah ragu
menjawab, utamanya karena kita alpa menjalankan perintah membaca dan menulis.
Padahal itu perintah pertama yang termuat dalam Alquran.
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Kadir Ibrahim
Abi N. Bayan
Achiar M Permana
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Afrilia
Afrizal Malna
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mustofa
Alief Mahmudi
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amarzan Loebis
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Syarifuddin
Anash
Andri Awan
Anggrahini KD
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Annisa Steviani
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardy Suryantoko
Arie Giyarto
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Gumantia
Arif Hidayat
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asarpin
Asrul Sani
Baca Puisi
Bahrum Rangkuti
Balada
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni R. Budiman
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Candra Malik
Candrakirana
Caping
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Deddy Setiawan
Denny JA
Denny Mizhar
Deo Gratias
Dewi Musdalifah
Dhimas Ginanjar
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Diana AV Sasa
Dien Makmur
Dinar Rahayu
Diskusi
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Edisi Khusus
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Elsa Vilinsia Nasution
Erwin Setia
Ery Mefry
Esai
Evan Ys
F Aziz Manna
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Foto Andy Buchory
Francisca Christy Rosana
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fritz Senn
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Gendhotwukir
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gusti Eka
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hamzah Sahal
Hardy Hermawan
Hari Purwiati
Hario Pamungkas
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hendri R.H
Hendri Yetus Siswono
Herie Purwanto
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I. B. Putera Manuaba
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indira Permanasari
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Inung As
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwan Simatupang
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jember Gemar Membaca
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Joyo Juwoto
Jual Buku Paket Hemat
K. Usman
Kadek Suartaya
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khairul Mufid Jr
Khanif
Khoirul Abidin
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Astrea
Kitab Para Malaikat
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukman Santoso Az
M. Abror Rosyidin
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lutfi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahardini Nur Afifah
Mahendra Cipta
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mansur Muhammad
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Marulam Tumanggor
Mas Garendi
Mashuri
Masuki M. Astro
Matdon
Matroni Muserang
MG. Sungatno
Moh. Husen
Mohamad Sobary
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Multazam
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Murnierida Pram
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Neli Triana
NH Dini
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Novel John Halmahera
Nurel Javissyarqi
Nuryana Asmaudi
Omah Sastra Ahmad Tohari
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Riri Satria
Rodli TL
Ronggeng Dukuh Paruk
Ronny Agustinus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini KM
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Lamongan
Sastra-Indonesia.com
Sastri Sunarti
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Semesta
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeparno S. Adhy
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Titi Aoska
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Topik Mulyana
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Ulysses
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Negeri Jember
Untung Wahyudi
Veronika Ninik
Viddy A.D. Daery
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widie Nurmahmudy
Wildan Ibnu Walid
Windi Erica Sari
Wisran Hadi
Y Alprianti
Y. Thendra BP
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zumro As-Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar