Rabu, 27 Januari 2021

BELAJAR MENULIS DARI LAN FANG

Sutejo
Ponorogo Pos
 
Pada tanggal 8 Desember 2007 di Unesa Surabaya kampus Lidah adalah acara Seminar Nasional Sastra Pop untuk mengiringi pelepasan Prof Budi Darma yang purna sebagai guru besar. Pada saat itu hadir, sederetan penulis, penyair, cerpenis macam: Lan Fang, Yati Setiawan, Mashuri, Audex, Kurnia Fabiola, dan Budi Darma sendiri. Rencana, Saparto Broto juga hadir sebagai pembicara. Tapi saat itu tidak dapat hadir karena ada kepentingan keluarga di Jakarta.
 
Acara itu, di samping berbicara bagaimana Budi Darma, juga berbicara masing-masing proses kreatif para nara sumber. Satu yang dapat dipelajari dalam tulisan pendek ini adalah bagaimana proses kreatif Lan Fang sebagai seorang novelis dan cerpenis. Ketika peluncuran bukunya berjudul Kota Tanpa Kelamin (2007) di Toga Mas Surabaya, dia pun berbicara banyak tentang proses kreatifnya. Pada saat itu, saya bersama Uki (wartawan Antara) bertemu dengan penulis macam M. Shoim Anwar, HU Mardiluhung, Wawan Setiawan, Budi Darma, Syirikit Syah, dan beberapa penulis lainnya.
 
Dari dua pertemuan itu, apa yang dapat dipelajari dari proses kreatifnya? Beberapa hal berikut menarik untuk dipikirkan (a) bahwa proses kepenulisan itu mengikuti alir sungai (mengalir saja), (b) inspirasi dari karya orang lain, (c) pesan yang ingin dikomunikasikan sampai kepada pembaca, (d) tidak terganggu oleh kategori pop atau serius, dan (e) terus menerus belajar. Lima pesan spiritual yang menggerakkan kita manakala akan memasuki ruang dan peluang kepenulisan.
 
Pertemuan demikian jika kita mau belajar dan merefleksikannya sebagai sebuah “sekolah alam” tentunya terlalu pendek pertemuan itu jika tidak diabadikan dalam kolom pikiran. Untuk inilah, maka mari kita refleksikan sebagai bahan bincangan menariknya. Pertama, memang benar bahwa proses kepenulisan itu mengalir saja. Jika kita ingin menulis maka “pokoknya menulis”, mengalirkan berbagai pengalaman batin, refleksi kehidupan sosial, bagi tuang hasil bacaan. Sebuah perjalanan karya yang tidak perlu dipikirkan apakah itu nanti masuk karya kategori tertentu. Dengan demikian proses kreatif tidak terkebiri, sebaliknya menemukan jati dirinya yang “luar biasa” alami. Dengan demikian, menulis itu memang sebuah alir pikiran dan perasaan yang sangat dipengaruhi oleh alur dan alir sungai kebahasaan yang dimilikinya.
 
Permalahan yang sering terjadi di kalangan pemula adalah mereka bingung anak menulis apa dan jenis apa. Mengikuti saran Lan Fang ini, maka ada baiknya kita mengalir, dan jika kemengaliran itu mengantarkan kita di tepiannya atau berakhir di laut mana adalah persoalan hayatan setelah berwujud. Dengan demikian, kadang empirisitas ini kelihatannya naif tetapi sesungguhnya tidak. Pengalaman Andrea Hirata dapat dijadikan contoh. Pengalaman kekagumannya pada guru di SD menginspirasikan dia untuk menulis tulisan-tulisan pendek yang mengalir begitu saja dan dia tidak pernah membayangkan kemudian menjadi novel yang sekarang bestseller. Pertemuan tidak tertuda dengan teman lagi kemudian mengirimkannya ke Bentang adalah lorong rahasia Illahi (semacam karma positif dari gurunya).
 
Kedua, karena karya hakikatnya sebuah pesan sosial maka seseorang ketika berkarya hakikatnya berkomunikasi pesan dengan orang lain. Dalam konteks ini tentunya adalah pesan penulis (cerpenis) kepada pembacanya. Penting disadari pesan fiksional memang bukan seperti khotbah jumat, maka menemukan pesan karya membutuhkan apa yang di dalam proses pemaknaan karya sastra dikenal pentingnya bekal (a) kode bahasa seorang pembaca, (b) pemahaman akan kode budaya, dan (c) pemahaman akan kode kesastraan. Seorang pengarang maupun pembaca tentunya terikat oleh tiga kode ini yang dalam “proses komunikasi” karya (teks) terjadi interaksi positif dan imajinatif dalam pemaknaan. Sebuah pemaknaan yang khas, karena dalam teori resepsi sastra hal itu sangat tergantung pula pada pengalaman, pikiran, dan imajinasi pembaca. Tugas seorang pengarang, sebagaimana kata Lan Fang, yang penting pesan komunikasi karya dapat sampai pada pembaca.
 
Isyarat lain dari proses kreatif Lan Fang yang menarik adalah, ternyata icon atau patron guru juga mewarnai proses persalinan karyanya. Budi Darma dalam perjalanan karya-karyanya, tampaknya merupakan apa yang dalam analog cerita Kung Fu cerita Dragon Master, adalah sebuah pergulatan tidak langsung. “Menimba air” dan “mengangkat kayu” adalah bagian dari proses belajar tidak langsung, peselancaran mengarungi laut kepenulisan yang tanpa prasangka.
 
Di balik pengakuan ini, tentu menerbitkan akuan lain. Ternyata dalam proses berkarya –sebagaimana sering juga saya ungkapkan—tidak terlepas pergulatan guru murid. Budi Darma adalah guru, dan Lan Fang adalah sang murid yang baik. Dalam sebuah ruang kuliah S3, Budi Darma panjang bercerita tentang penulis ini dengan menceritakannya “bagian proses kreatif” dan kebiasaan kecilnya. Sebuah komunikasi positif antara guru murid yang “tidak sadar”. Artinya, pergulatan bawah sadar yang menggetarkan dalam aku kata bahasa. Baik guru dan terlebih muridnya. Dalam ilmu persilatan kata, jika ada murid yang alir jujur, sang guru adalah angguk dan sanjung yang mendorongnya. Di sinilah, maka pengalaman menarik yang penting dipantik jika akan menulis belajar dari Lan Fang ini adalah falsafah proses kreatif yang mendudukkan (termasuk mendudukkan sang guru).
 
Sifat keguruan (dalam pemodelan ini) tentunya bisa beragam wujud pengaruhnya: (a) kecenderungan karya dan sifatnya, (b) motivasi kekaryaan, (c) penajaman mental kepenulisan, (d) pembangunan networking kepenulisan, dan (e) getar gerak yang terus menghidupkan. Sebuah pembelajaran yang alami karena dalam konteks komunitas demikian hubungan antara guru murid adalah hubungan tanpa batas dan sekat. Sebuah keuntungan yang seringkali tidak kita temukan dalam ruang-ruang formal dinding sekolah (kuliah).
 
Terakhir, bagaimana dalam merengkuh kepenulisan tidak terjebak pada oreantasi tertentu (kapling-kapling kategorti tertentu) akan banyak membantu kebebasan seorang penulis. Sebagaimana halnya Lan Fang yang tidak terikat apakah ia karya populer atau serius, pokoknya dia berkarya. Mengalir. Hal ini ternyata justru memberikan motivasi besar dalam menulis. Sebab, sebagaimana diungkapkan pula dalam peluncuran kumpulan cerpennya Kota Tanpa Kelamin yang dimoderatori Arif Santosa (redaktur budaya Jawa Pos) dia tidak percaya akan kategori pop dan serius. Yang penting pesannya tersampaikan kepada pembaca.
 
Di balik itu semua, hal kelima yang menarik dipelajari dari Lan Fang adalah belajar terus menerus. Bagaimana belajar seorang penulis? Dengan membaca yang tidak pernah henti. Karena membaca adalah induk karya maka seorang penulis larangan terbesarnya adalah berhenti membaca. Belajar artinya memahami. Memahami artinya memaknai. Memaknai artinya menjalani proses dialogis. Proses dialogis akan alirkan kematangan. Sebuah kausalitas proses yang tak pernah berhenti yang ujungnya adalah hikmah belajar. Sebuah makna yang tidak selalu formal tetapi proses pemaknaan akan sisi-sisi kehidupan yang elegan (bersisi hati) hingga berpinak falsafi. Di manakah ruang henti belajar? Sebuah metaforik hadis mengingatkan kita bahwa sejulur umur adalah proses belajar itu sendiri yang bersifat wajib. Masalahnya, masyarakat kita belum menjadi ruhul hadis ini sebagai ideologi pemaknaan tetapi baru sebatas jargon khotbah di langgar dan masjid. Sebuah kemunafikan laten yang barangkali pada pantai tertentu akan berbalik jadi hukuman karena manusia tidak amanah dalam kata.
 
Akhirnya maukah kita berkarya? Jika kita sepakat dengan sindiran Hardjono WS yang pernah mengatakan di SMA Immersion, bahwa ciri manusia yang membedakan dengan makhluk lain adalah menulis; maka marilah kita menulis agar gelar kemanusiaan ini tidak tercabut secara alamiah. Bukankah pengalaman banyak negara maju berhasil karena faktor keberhasilan mereka dalam karya tulis dan intensitas pembacaan mereka? Jika kita sering menghujat realita sosial maka arifnya sudah waktunya kita untuk berbuat, bukan merintih-rintih sebagaimana yang dipesankan oleh Taufik Ismail.
 
Imaji konseptual tentang kehidupan sosial, misalnya, sebagaimana banyak diungkapkan Taufik Ismail dalam kumpulan puisinya berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (2005) menarik untuk direfleksikan dalam kata dan karya. Mudah-mudahan masyarakat kita berubah dan mau berubah keadaan negeri yang berumah pedih ini sehingga kerobohannya terhindar karena warganya adalah pilar dan tembok hidupnya yang kokoh. Marilah kita kokohkan bangsa ini dengan menulis di satu sisi dan membaca pada sisi lainnya.
***

http://sastra-indonesia.com/2008/10/belajar-menulis-dari-lan-fang/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah