jurnalnasional.com
HARI Film Nasional yang selalu diperingati 30 Maret setiap tahun, diperingati dengan berbagai cara. Ada yang menarik dicatat kali ini. Kineforum Dewan Kesenian Jakarta, memperingatinya dengan memutar film-film percintaan, di bawah tema, “Romansa Enam Dekade”. Sejak dekade 1950-an hingga 2000-an.
Tercatat, misalnya, film-film bertajuk Tiga Dara (1956), Pedjuang (1960), Badai Pasti Berlalu (1977), Arini, Masih Ada Kereta yang Lewat (1987), Ramadhan dan Ramona (1992), Ada Apa dengan Cinta (1992), Eiffel I?m in Love (2003), dan Love (2008). Semua film ini menawarkan tak hanya pesona romansa antar dekade. Melainkan juga mengekspresikan fenomena sosial yang menjadi setting atau latar belakang cerita-cerita film itu.
Tiga Dara yang masih merupakan film black and white menampilkan pesona kehidupan kalangan menengah atas yang masih kuat dipengaruhi budaya Belanda. Menghadirkan dialektika tradisionalisma dan modernisma secara diametral.
Film yang dibintangi Mieke Widjaya (Nana), Chitra Dewi (Nunung), dan Indriati Iskak (Neni), juga menghadirkan Rendra Karno, Bambang Irawan, dan Fifi Young. Film ini berkisah tentang romantika keluarga dengan tigas belia. Mereka menjadi piatu, sejak ibu kandung mereka wafat. Lantas ketiganya tinggal bersama nenek dan ayah yang sangat sibuk. Akan halnya sang nenek, mencarikan jodoh untuk si sulung.
Namun belakangan, sang calon suami justru menjadi rebutan dua kakak beradik, sehingga menimbulkan konflik sampai si bungsu mendamaikan. Pola konflik yang ditawarkan sutradara Usmar Ismail ini, menggambarkan upaya memadu-padankan tradisionalisme dan modernisme dalam bahasa ungkap yang masih sangat berhati-hati.
Akan halnya film Pedjuang, menghadirkan romantisme yang masih dipengaruhi kuat oleh semangat patriotisme, dalam kemasan nasionalisme yang telanjang. Film ini dirilis tahun 1960 dengan durasi 152 menit. Film hitam putih ini dibintangi Bambang Hermanto, Chitra Dewi, Rendra Karno, dan Wolly Sutinah dengan tata gambar garapan Max Tera, yang sangat sederhana.
Usmar Ismail jeli untuk memandang fenomena sosial yang ada pada masa itu dalam mendekati cerita sebagai ruh film ini. Dengan konsep bertutur secara visual dan naratif, diperkuat oleh selera jenaka, lewat sosok Sersan Mayor Imron, film ini menjadi referensi kita untuk memahami fenomena cinta pada masa itu. Persis, misalnya, ekspresi kejenakaan, kelincahan, dan keluguan yang ditampakkan melalui sosok Neni (yang diperankan Indriati Iskak) pada Tiga Dara.
Film Pedjuang sudah berbicara gambar, dan agaknya menjadi starting point dalam mengembangkan bahasa visual sebagai ruh film. Inilah kemudian yang kita saksikan dalam kepiawaian Teguh Karya ketika menggarap Badai Pasti Berlalu yang dibintangi Christine Hakim itu. Badai yang juga dipujikan karena ilustrasi musiknya itu menawarkan pilihan dramatika visual dan musikal, dengan tata gambar yang bergerak melesat maju. Terutama dengan tatawarna yang menarik.
Mempelantingkan Cinta
AKAN halnya Arini, Masih Ada Kereta yang Akan Lewat garapan Sophan Sophiaan ini, tak hanya menawarkan perkembangan teknik dan teknologi film yang lebih maju belaka. Film ini juga menafsirkan fenomena sosial yang menarik di jaman wanita karir mulai merambah kehidupan masyarakat. Film ini berkisah tentangan kesenjangan sosial, di mana sosok perempuan (Widyawati) lebih tinggi dibandingkan dengan sang pemuda (Rano Karno) yang berusia lebih muda sepuluh tahun. Film yang diadaptasi dari novel Mira W berjudul sama ini, menghadirkan romantisme dalam bahasa yang linear.
Romantika dalam bahasa komedi, dihadirkan Chairul Umam melalui Ramadhan (Djamal Mirdad) dan Ramona (Lidya Kandau), sepasang belia yang sedang mencari jati diri. Ramadhan jejaka anak bangsawan dan orang kaya dari Malaysia, yang bekerja sebagai pegawai biasa di Jakarta. Di sini dia jumpa Ramona. Sosok perempuan belia ini oleh sutradara dijadikan medium untuk mengekspresikan persepsi tentang berbagai masalah sosial. Misalnya ihwal perempuan hamil yang ditinggal pacarnya, perlakuan tidak adil dalam bekerja sehingga selalu berpindah-pindah. Setelah masing-masing mafhum siapa diri masing-masing, keduanya saling menolak karena merasa “dikelabui”, meski akhirnya saling memburu cinta masing-masing. Sebagai film hiburan yang happy ending, film percintaan jenaka ini, memang menghibur.
Akan halnya Eiffel I’m in Love yang dibintangi Samuel Rizal dan Shandi Aulia, menjadi film remaja yang renyah di tangan sutradara Nasri Cheppy, yang pernah sukses dengan Catatan si Boy, itu. Nasri memang fasih membaca fenomena cinta remaja. Sedangkan film LOVE yang menyontek film Hollywood, Love Actually. Film yang dibintangi Laudya Chintya Bella dan Luna Maya ini, termasuk film standar yang disutradari sutradara Malaysia, Khabir Bhatia. Sesuatu yang jauh dibandingkan dengan Ada Apa dengan Cinta yang disutradarai Rudi Soedjarwo, dan dibintangi Nicholas Saputra dan Dian Sastro yang lebih berwarna dan berisi.
Untuk memperingati Hari Film Nasional, pendekatan memutar film roman merupakan sesuatu yang menarik. Apalagi, ketika peringatan ini digelar di tengah kampanye partai politik. Momen yang seringkali, mempelantingkan cinta. Boleh juga disebut, sajian kali ini laksana menghadirkan cermin cinta dalam film.
***
http://sastra-indonesia.com/2009/03/cermin-cinta-dalam-film-nasional/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar