Sebetulnya karena nama Jalaluddin Rakhmat, dan bukan alasan lain, yang membuat saya memilih mendaftar di FIKOM Unpad. Saat itu saya tidak tahu apapun lainnya tentang kampus yang kemudian menjadi bagian penting dari pertumbuhan saya. Apa boleh buat, saya mesti kecewa karena ternyata Kang Jalal –begitu ia akrab dipanggil—ternyata tak lagi mengajar di kampus, karena konon ada konflik dengan pihak dekanat. Bukunya, terutama Psikologi Komunikasi masih selalu menjadi bacaan wajib bagi mahasiswa Komunikasi. Dan saya terpesona dengan cara Kang Jalal menulis, yang bisa menuliskan teori-teori yang kompleks dengan cara seperti orang mendongeng, akrab, lucu dan mudah dipahami.
Saya beruntung karena Kang Jalal mengadakan kelas tasawuf setiap Ramadhan di SMA Muthahhari yang didirikannya. Dan saat-saat itulah salah satu pengalaman belajar yang paling menyenangkan buat saya. Ia bicara selancar ia menulis. Artikulatif, tak pernah kehabisan kata pun cerita. Ia membawa pendengar (atau pembacanya) kepada pengembaraan intelektual dan spiritual yang membuat kita hanya bisa mereka-reka betapa luas ilmunya.
Kang Jalal kaya akan cerita-cerita sufistik. Salah satu ceritanya yang paling saya ingat isinya sangat mirip cerpen Dodolitdodolitdodolibret yang menjadi cerpen terbaik pilihan Kompas 2010
https://cerpenkompas.wordpress.com/2010/09/26/dodolitdodolitdodolibret/ (yang membuat saya sempat kecewa kenapa Kompas memilih suatu cerpen saduran, meskipun menyadur bukanlah sesuatu yang diharamkan dan penulisnya, Seno Gumira telah mengakui itu sejak awal).
Dalam kisah itu, si Murid bodoh yang isi doanya rapalan tak karuan semacam dodolitdodolitdodolibret tapi memanjatkan doa dengan sepenuh hati, malah bisa berjalan di atas air mengungguli si Guru yang menguasai hapalan doa yang ‘benar’ dan membohonginya dengan doa palsu karena lelah dengan ketumpulan otak muridnya. Dalam versi Kang Jalal, rapalan itu dituturkan dalam bahasa Sunda yang tak pernah bisa saya tirukan, namun sukses membuat kami peserta kelas itu terbahak-bahak sampai berlinang air mata, karena lucu dan haru. Tergambar sosok si murid yang bloon tapi tulus itu, begitu juga kekagetan dan ketakrelaan si guru karena murid terbodohnya ternyata lebih canggih darinya.
Dari cerita-cerita itulah saya merasa belajar lebih banyak tentang agama dan tentang kemungkinan betapa tak terduganya Tuhan itu. Meskipun seorang intelektual yang cenderung mengandalkan rasionalitas, Kang Jalal pernah menyebut mengenai ‘beribadah seperti orang awam’ dengan nada memuliakan. Seperti sedang menyindir dirinya sendiri, ia berkata kira-kira begini, “Kita yang lebih rasional sering bilang, kenapa mesti datang jauh-jauh ke suatu tempat sekadar untuk berdoa? Bukankah berdoa bisa dari mana saja? Tapi kita mungkin kehilangan kekhitmatan dibanding para orang awam yang berdoa itu. “
Setidaknya dari kedua cerita di atas, kita mungkin bisa merasakan, meskipun Kang Jalal sangat getol menuntut ilmu baik dalam jalur akademik maupun non akademik, ia justru menempatkan ‘keluguan’ di tempat yang khusus. Barangkali itulah salah satu caranya mengingatkan dirinya dan hadirin agar selalu rendah hati.
Setelah kelas tasawuf itu, saya sempat bertatap muka lagi dengan Kang Jalal, ketika beliau berkunjung ke kantor Tempo, tempat saya bekerja saat itu. Selayaknya seorang penggemar berat, saya menghampiri beliau dan bilang bahwa saya muridnya, dan saya ingin memberikan novel pertama saya, yang saya tulis karena kekesalan saya pada pembubaran lokalisasi prostitusi Kramat Tunggak yang kemudian digantikan jadi Islamic Centre.
Kang Jalal menerimanya dengan senyum lebar dan bilang, “Ditulisin dong, buat Guruku, gitu..”
Meski itulah pertemuan fisik terakhir saya dengan beliau, cerita-ceritanya selalu hidup dalam hati saya, dan masih bisa bikin saya tertawa dan menangis hingga bertahun-tahun kemudian. Pengalaman saya di kelas tasawufnya itu, adalah salah satu benih yang jauh di kemudian hari melahirkan cerita-cerita dalam Bukan Perawan Maria (pertama terbit 2017 oleh Pabrikultur, April 2021 oleh Bentang Pustaka) dan Memburu Muhammad (Bentang, 2020). Karena saya ingin sekali bisa menghidupkan tradisi cerita-cerita sufi seperti itu dalam konteks kiwari. Dalam Hikayat Kota (5 cerita yang terjadi di kota Anda), ada 2 cerita mini yang saya sadur dari kisah yang dituturkan Kang Jalal baik dalam tulisan maupun ceramahnya.
Sebagai tokoh Syiah, posisinya kerap dianggap problematik. Saya tidak cukup paham kenapa di Indonesia kebencian terhadap Syiah semakin menjadi-jadi dan tak terkendali. Sampai berbagai sumpah serapah sempat mengalir ketika beliau wafat, seolah orang-orang itu meludahi makamnya yang masih basah.
Artikel di BBC Indonesia ini salah satu yang terbaik yang menjelaskan posisi Kang Jalal sebagai tokoh Syiah. Dalam artikel itu ia juga menuturkan sikap yang selalu ditunjukkannya melalui tulisan dan ceramahnya, bahwa ia lebih mendahulukan akhlak daripada fikih (hukum Islam). Dalam wawancara ini, Ia menjelaskan mengapa ia cenderung memilih tasawuf, dan bukan fikih, sebagai materi dakwahnya. Fikih, menurut Kang Jalal, tidak memberikan kehangatan dalam beragama, serta lebih sering menjadi sebab pertentangan di antara umat Islam https://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2013/08/130820_tokoh_jalaluddin_rakhmat Di tengah derasnya ceramah-ceramah ‘ustaz’ cenderung sensasional tapi dangkal di media sosial, rasanya saya hanya bisa berharap buku-buku Kang Jalal, artikel-artikelnya yang tersebar di media dan buku bunga rampai pemikiran, serta rekaman ceramahnya, bisa dipublikasikan ulang secara luas.
Sejauh ini hingga 2 minggu setelah beliau wafat, saya bersyukur ada percakapan-percakapan publik mengenai pemikirannya, juga kutipan-kutipan mutiara hikmahnya yang mulai beredar di media sosial, sebagai pelipur rasa kehilangan.
Meski konon kita takkan pernah kehilangan apa-apa.
***
*) Feby Indirani, penulis,jurnalis, meraih Anugerah Pembaca Indonesia 2010 kategori non fiksi untuk bukunya I can (not) Hear: Perjalanan anak tuna rungu menuju dunia mendengar. Penikmat pagi hari, perjalanan dan percakapan. Penggemar buku, film dan tidur lelap. Lebih banyak tentangnya bisa dilirik di http://febyindirani.com/ atau ocehan yang kadang penting di akun twitternya @FebyIndirani
Link terkait:
http://sastra-indonesia.com/2021/02/rahmat-jalaluddin-rakhmat/
http://sastra-indonesia.com/2012/02/antara-sukma-nurani-dan-sukma-dzulmani/
http://sastra-indonesia.com/2012/02/ali-bin-abi-thalib-pendiri-mahzhab-cinta/
http://sastra-indonesia.com/2021/03/jalaluddin-rakhmat-guru-komunikasi-dan-guru-sufi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar