Saut Situmorang
Sinisme historis dalam melihat kondisi “sastra Indonesia” kontemporer sudah
memenuhi kepala saya selama bertahun-tahun waktu saya membaca artikel berjudul
aforistis “Karya Bagus, Argumentasi Lemah” oleh Chavchay Syaifullah di Media
Indonesia, Minggu 8 Oktober 2006, tentang “kegagapan forum” orang-orang Teater
Utan Kayu di arena sastra “internasional” berbahasa Inggris seperti Ubud
Writers and Readers Festival. Waktu itu saya berada dalam kereta api pagi yang
membawa saya pulang ke Jogja setelah diundang Dewan Kesenian Jakarta baca-puisi
pada acara Tadarus Puisi di Taman Ismail Marzuki (TIM). Saya ngakak penuh
tekstasi setelah selesai membaca artikel “subversif” tersebut. Akhirnya ada
juga wartawan budaya yang benar-benar percaya dan menjalankan “kebebasan pers”
yang selama ini cuma jadi retorika omong kosong wartawan omong kosong di
Republik Animal Farm ini, sorak saya dalam hati. Saya jadi teringat pada apa
yang pernah dikatakan wartawan-cum-novelis kelas wahid dari Inggris, George
Orwell: “During times of universal deceit, telling the truth becomes a
revolutionary act”! Siapa bilang revolusi itu sudah tak ada lagi!!!
Begitu saya sampai di negeri gempa Jogja saya mendengar kabar burung bahwa
Media Indonesia mendapat serangan SMS dari kelompok “sastrawan” yang namanya
disebut-sebut dalam artikel-reportase Chavchay tersebut, yaitu komunitas Teater
Utan Kayu (TUK) dan salah satu SMS tersebut bahkan menyatakan dengan arogan dan
sangat patronising bahwa ruang budaya Media Indonesia dipimpin oleh 2 orang
super-bego dan bahwa kedua orang “super-bego” ini menyebarkan kebodohan di
koran nasional bertiras besar! Betapa arogannya! Betapa reaksionernya! So much
for freedom of the press.
Tapi saya setuju dengan pendapat Chavchay Syaifullah dalam artikelnya itu.
Justru apa yang dia tuliskan itulah merupakan kondisi memprihatinkan dari apa
yang dulu disebut sebagai “sastra Indonesia” itu, yang membuat saya jadi teridap
sinisme sejarah itu. Politik “sastra” yang dilakukan TUK terlalu kasat mata,
terlalu vulgar, untuk tidak mungkin terlihat oleh orang-orang di luarnya,
seperti saya misalnya. Dan saya sendiri pernah bersinggungan langsung dengan
salah satu dari aktivitas mereka ini sampai berefek skandal di kota Solo
beberapa waktu lalu.
Saya sengaja datang sendiri naik motor bebek Legenda saya dari Jogja untuk
melihat apa yang TUK klaim sebagai sebuah “Temu Sastra Internasional” yang akan
mereka adakan selama 2 malam di Taman Budaya Surakarta (TBS) Solo, setelah
selesai di Denpasar. Saya ingin membuktikan sendiri benar-tidaknya
“internasionalisme” event yang menurut saya cuma semacam program menebus dosa
sejarah kolonialisme Belanda yang ironisnya justru dilakukan oleh salah satu
negeri bekas jajahannya sendiri itu. Di Solo saya mendapat informasi bahwa
ternyata tidak ada satupun sastrawan Solo yang ikut sebagai peserta dalam
peristiwa sastra antar-bangsa yang justru diadakan di Taman Budaya kota itu
sendiri, kecuali sebagai pembawa acara! Padahal di 2 kota lain di mana acara
yang sama juga diarisankan, Denpasar dan Jakarta, para sastrawan lokalnya
terlibat aktif termasuk membacakan karya masing-masing. Saya dan beberapa kawan
seniman asal Solo lalu merespons arogansi TUK yang seolah-olah menganggap tak
ada sastrawan Solo yang pantas ikut acara mereka yang hebat itu dengan membuat
surat pernyataan dengan tanda tangan para seniman dan non-seniman dari berbagai
latar belakang profesi dan asal-kota dalam bahasa Indonesia dan Inggris, yang
kemudian kami bagi-bagikan pada malam kedua, termasuk kepada peserta dari luar
Indonesia. Respons dari TUK yang kami terima sudah gampang diduga, mirip dengan
respons yang diterima Chavchay Syaifullah. Kami dituduh macam-macam. Saya sendiri,
misalnya, dalam sebuah artikel-reportase yang ditulis dalam majalah berita
Tempo beberapa waktu setelah Skandal Solo itu berlalu dikatakan secara
eufemisme pasemonan sebagai cemburu atau iri hati karena tidak diundang!
Disuruh untuk mengelus dada sendiri! Padahal penulisnya (terkutuklah dia
itu!!!) tidak pernah mewawancarai saya, bahkan hadir pun tidak di Solo! Menurut
“kabar angin”, semua informasi yang dipakainya untuk menuliskan
pseudo-reportasenya itu didapatnya dari seseorang bernama “Goenawan Mohamad”!
Pada malam kedua acara “Temu Sastra Internasional” yang kami ganggu dengan
sengaja itu, saya dan kawan-kawan perancang surat pernyataan tersebut
sebenarnya menunggu diajak konfrontasi argumentasi oleh panitia. Kami menunggu
sambil ngebir di warung kopi tepat di depan pintu masuk gedung TBS itu karena
konon seseorang bernama Goenawan Mohamad sangat tersinggung dengan surat kami
itu dan mengklaim kami anti-diskusi. Sampai kami pindah tempat minum ke sebuah
café tengah kota, tak ada ajakan yang kami tunggu-tunggu itu datang. Malah,
kata seorang kawan yang sengaja ikut malam itu dengan panitia acara, mereka
minum-minum wine setelah acara usai di rumah salah seorang seniman tari lokal!
So much for a democratic literary discussion.
Apa yang diamati Chavchay sebagai “kegagapan forum” orang-orang TUK di
arena sastra “internasional” berbahasa Inggris seperti Ubud Writers and Readers
Festival itu cuma membuktikan kadar “internasionalisme” dan “kosmopolitanisme”
komunitas yang selalu berpretensi paling radikal selera artistiknya ini.
Ketidakmampuan mereka berbahasa Inggris juga dibuktikan oleh jeleknya
terjemahan Hasif Amini atas cerpen-cerpen Jorge Luis Borges yang ironisnya
malah dipuji-puji oleh kawannya seperti Nirwan Dewanto! Juga coba baca kembali
apa-apa yang pernah ditulis oleh Nirwan Dewanto dalam media yang ada relasinya
dengan TUK tentang sastra Indonesia kontemporer. Klaim-klaim yang dibuat Nirwan
Dewanto tentang puisi Indonesia saja, misalnya, sangat mengada-ada, tidak dapat
dipertanggungjawabkannya dalam konteks “kritik sastra” makanya bisa disebut
“fitnah” , dan sangat arogan sehingga kalau dibandingkan dengan apa yang
dituliskan Chavchay tentang realitas gagap forum internasional TUK justru
sangat pantas untuk disebut “super-bego”. Dan media cetak yang memuat
tulisan-tulisan super-bego dan fitnah itu sangat pantas juga untuk disebut
sebagai “menyebarkan kebodohan di (media) nasional bertiras besar”! Sementara
untuk memuji-muji karya sesama anggota TUK seperti yang dilakukannya atas Ayu
Utami, Nirwan Dewanto tidak merasa ada persoalan sama sekali untuk menyatakan
(dengan maksud melambungkan reputasi komunitasnya, tentu saja) bahwa Ayu Utami
tidak terlahir dari sejarah sastra Indonesia, misalnya, walau tetap saja dia
impoten untuk mengelaborasi apa yang dimaksudkannya dengan klaim pseudo-kritik
sastranya itu.
Narsisisme TUK ini akan lebih jelas lagi terlihat dari kutipan di bawah ini
yang saya ambil dari sebuah artikel berjudul “The Search for a Silver Lining in
Indonesia” di edisi bahasa Inggris majalah Jerman Der Spiegel 23 Desember 2005.
Dalam artikel yang juga menyebut-nyebut nama Ayu Utami itu, perhatikanlah
kata-kata yang saya italic di bawah:
The Utan Kayu cultural center in Jakarta provides a perfect example of
progress, Indonesian style. It was here that the foundation of modern Indonesia
was laid not too long ago. In the summer of 1994, when then dictator Suharto
ordered three news magazines shut down, journalists and writers bought a group
of run-down buildings at Utan Kayu 68 H and opened a publishing house — in
direct defiance of the dictator’s edict. A left-leaning political movement soon
developed and, in 1998, Utan Kayu became the starting point for the mass
demonstrations that led to Suharto’s ouster.
Benarkah TUK merupakan tempat di mana “fondasi dari Indonesia modern”
diletakkan? Benarkah TUK merupakan sebuah “gerakan politik kiri” dan yang
menjadi “awal-mula” dari gerakan reformasi yang menjatuhkan diktator Suharto?
Apa ini bukan sebuah klaim keterlaluan besar atas sejarah Indonesia kontemporer!
Kalau kita mengatakan bahwa ini terjadi karena kesuperbegoan wartawan Der
Spiegel yang buta akan sejarah jatuhnya Suharto, lantas dari mana dia
mendapatkan informasinya tersebut? Bukankah sebego-begonya seorang wartawan
dari sebuah media internasional sekaliber Der Spiegel, dia tetap akan
mendasarkan reportasenya itu pada wawancara dengan pihak yang terkait, nara
sumber (seseorang bernama “Ayu Utami” dalam kasus ini), dan tidak berdasarkan
khayalan semata-mata?
Persoalan “kebenaran jurnalistis” ini sangat relevan terutama dengan apa
yang terjadi atas satu lagi laporan Chavchay Syaifullah di koran Media
Indonesia. Laporan pandangan mata langsung Chavchay atas acara Utan Kayu
International Literary Biennale 2007 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, 23
Agustus 2007, berjudul “Geger Menangis, Pesta Bir Berlanjut” (Media Indonesia,
Minggu 26 Agustus 2007) ternyata benar-benar menimbulkan geger. Chavchay
dituduh membuat “berita yang mengandung fitnah berat” terhadap Utan Kayu
International Literary Biennale 2007 tersebut dan “sedikitnya empat kebohongan”
menurut orang-orang TUK (baca “Bantahan Panitia Penyelenggara Utan Kayu
International Literary Biennale 2007, Komunitas Utan Kayu, Jakarta” yang
berjudul “Empat Dusta” di Media Indonesia, Minggu 2/9/2007). Dalam bantahan
“Empat Dusta” tersebut, Sitok Srengenge sebagai “Direktur Utan Kayu
International Literary Biennale” bahkan menyatakan bahwa “Chavchay Saefullah
seolah-olah melakukan reportase acara pembukaan Utan Kayu International
Literary Biennale 2007” tersebut [italic saya]. Laporan pandangan mata Chavchay
itu dianggap “fitnah berat”, “berita bohong”, “seolah-olah. . .reportase” cuma
karena Chavchay tidak melakukan apa yang menurut orang TUK sebagai hukum utama
jurnalisme, yaitu asas “cover both sides”! Walau Chavchay bisa menunjukkan
bukti rekaman atas apa yang dinyatakan penyair Geger Prahara (bahwa dia “diusir
satpam” acara Utan Kayu International Literary Biennale 2007), misalnya, tapi
bukti rekaman tersebut tetap tidak dianggap valid sebagai bukti jurnalistik
oleh orang TUK! (Dalam sebuah SMS kepada saya Saut Situmorang, Geger juga
menyatakan: “Kbr baik! Apa kbr jg? Kasus dgn Satpam 100% fakta! Yg fiktif
adalah soal menangis. Salam Geger”.)
Disamping Kasus Geger ini, satu isu lain yang dianggap sebagai “fitnah” itu
adalah soal “pesta bir” yang dituliskan Chavchay, sementara perihal “kerjasama
yang biasa aja” (dalam bahasa Zen Hae, Ketua Komite Sastra, Dewan Kesenian
Jakarta (DKJ), di SMS-nya kepada saya) yang dilakukan DKJ dalam mendukung acara
yang bukan program resminya itu dengan sengaja diabaikan sama sekali. (Ada
sebuah ironi di sini. DKJ mengeluarkan uangnya sampai puluhan juta untuk
“kerjasama yang biasa aja” ini, tapi mengaku tidak punya uang waktu sastrawan
Jakarta bernama Sihar Simatupang datang minta bantuan tiket sekali-jalan ke
Medan yang mengundangnya sebagai pembicara dalam event sastra “internasional”
Puisi Dunia!)
Pembelaan Sitok Srengenge menarik soal “pesta bir” tersebut. Dia bilang
bahwa “Penyediaan bir adalah suatu kelaziman dalam jamuan internasional. Hal
itu juga bukan pertama kalinya terjadi di Taman Ismail Marzuki.” Saya adalah
seorang yang sangat mencintai bir, terutama bir pilsener yang dingin. Saya
yakin tak ada makhluk hidup di TUK yang mampu minum bir dingin sebanyak saya,
hehehe… Saya juga tahu bahwa image peminum bir memang tidak positif di negeri
ini, beda dengan di Barat di mana minum bir tidak ada bedanya dengan minum
kopi, sebuah properti sosialisasi. Inilah romantisme para pencinta bir di
negeri ini. Jadi kalau dalam sebuah peristiwa sastra besar, yang
“internasional” lagi, di negeri ini dan yang dihadiri banyak orang-orang negeri
ini, disediakan bir untuk diminum bebas, kan wajar kalau ada yang risih! Sastra
kan sudah dianggap budaya adiluhung di negeri ini, sementara bir merupakan
kebalikannya. Masak budayawan Indonesia tidak paham dengan realitas
masyarakatnya sendiri ini! Soal mabuk karena ngebir, itu kan juga relatif. Apa
memang banyak orang Jakarta yang benar-benar sanggup minum sebanyak penyair
Saut Situmorang dan tidak teler! “Mabuk” kan beragam definisinya. Minum empat
botol besar bir dingin bagi saya itu belum “mabuk”, tapi minum satu gelas bir
mungkin saja akan membuat orang Indonesia lain “mabuk”. Jadi ini kan soal
bahasa, masak penyair besar Indonesia tidak paham dengan bahasa nasionalnya
sendiri! Juga, kalau memang benar “Penyediaan bir adalah suatu kelaziman dalam
jamuan internasional”, kenapa waktu “jamuan internasional” yang diadakan TUK di
TBS Solo beberapa tahun lalu itu tidak disediakan bir? Saya dan kawan saya
terpaksa harus menyediakan sendiri bir kami di malam-malam Solo yang panas itu.
Apa karena Temu Sastra di Solo itu memang kurang atau malah tidak
“internasional”!
Kalau Chavchay dibilang membuat “fitnah” dan “dusta” dalam reportase
jurnalistiknya yang jujur dan berani itu sampai dia harus dipindahtugaskan
pimpinannya karena desakan otoriter seorang mogul media massa yang juga
merupakan orang pertama TUK – yang cuma mengingatkan saya pada tokoh utama film
Citizen Kane karya Orson Welles – sebagai resiko seorang wartawan kecil tapi
berani di negeri yang tak menghormati kebebasan berpendapat ini, bagaimana
dengan reportase wartawan Der Spiegel di atas? Apakah dia sudah melakukan asas
“cover both sides”, mencek-ulang kepada pihak lain, hasil wawancaranya dengan
seseorang bernama “Ayu Utami” tentang peranan TUK dalam gerakan pro-demokrasi
yang menjatuhkan Suharto itu? “Both sides” mana yang sudah di-cover-nya? Saya
yakin orang TUK pasti sudah membaca majalah Jerman yang berisi dongeng tentang
mereka itu (saya saja sudah!) dan karena tidak ada protes dari mereka atas isi
dongeng itu maka bisa diartikan bahwa, paling tidak, mereka sangat puas
dengannya! Juga bagaimana dengan pseudo-reportase majalah Tempo tentang Skandal
Solo seperti yang saya singgung di atas! (Skandal Chavchay itu sendiri, menurut
kabar terakhir, belum “dianggap selesai” oleh TUK. Alasannya: “Catatan Redaksi”
yang ditulis Edy A Effendi untuk menemani bantahan “Empat Dusta” Sitok
Srengenge telah membuat “persoalan jadi terbuka lagi”!)
Sebagai penutup, baiklah saya paparkan beberapa “dusta” saya ini sebagai
suplemen “dusta” Chavchay Syaifullah:
* novel Saman Ayu Utami memanipulasi komentar Pramoedya Ananta Toer dalam
blurb di sampul belakang novel tersebut dengan cara mengutip secara tidak benar
apa yang dinyatakan Pramoedya Ananta Toer.
* Ayu Utami menang Prince Claus Award dari Negeri Belanda sebelum
terjemahan Belanda novelnya itu selesai. Pertanyaan sederhananya: Bagaimana
para juri Prince Claus Award bisa mengetahui kehebatan Ayu Utami?
* tulisan-tulisan akhir tahun Nirwan Dewanto tentang sastra Indonesia di
majalah Tempo adalah fitnah dan penghinaan besar terhadap sastra(wan) Indonesia
kontemporer.
* posisi Hasif Amini sebagai redaktur Sajak-sajak Kompas Minggu cuma
menguntungkan kawan-kawannya belaka, terutama Goenawan Mohamad, Nirwan Dewanto,
dan Sitok Srengenge yang sajak-sajaknya selalu muncul satu halaman penuh
sementara para penyair lain dimuat beramai-ramai.
* gosip beredar tentang pernyataan Sitok Srengenge bahwa “Sastrawan
Indonesia” hanyalah “mereka yang diundang ke acara sastra TUK” saja.
* makanya menjadi “Sastrawan Indonesia”lah orang-orang semacam Laksmi
Pamuntjak dan Avi Basuki.
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 28 April 2021
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Kadir Ibrahim
Abi N. Bayan
Achiar M Permana
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Afrilia
Afrizal Malna
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mustofa
Alief Mahmudi
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amarzan Loebis
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Syarifuddin
Anash
Andri Awan
Anggrahini KD
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Annisa Steviani
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardy Suryantoko
Arie Giyarto
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Gumantia
Arif Hidayat
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asarpin
Asrul Sani
Baca Puisi
Bahrum Rangkuti
Balada
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni R. Budiman
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Candra Malik
Candrakirana
Caping
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Deddy Setiawan
Denny JA
Denny Mizhar
Deo Gratias
Dewi Musdalifah
Dhimas Ginanjar
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Diana AV Sasa
Dien Makmur
Dinar Rahayu
Diskusi
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Edisi Khusus
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Elsa Vilinsia Nasution
Erwin Setia
Ery Mefry
Esai
Evan Ys
F Aziz Manna
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Foto Andy Buchory
Francisca Christy Rosana
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fritz Senn
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Gendhotwukir
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gusti Eka
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hamzah Sahal
Hardy Hermawan
Hari Purwiati
Hario Pamungkas
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hendri R.H
Hendri Yetus Siswono
Herie Purwanto
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I. B. Putera Manuaba
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indira Permanasari
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Inung As
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwan Simatupang
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jember Gemar Membaca
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Joyo Juwoto
Jual Buku Paket Hemat
K. Usman
Kadek Suartaya
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khairul Mufid Jr
Khanif
Khoirul Abidin
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Astrea
Kitab Para Malaikat
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukman Santoso Az
M. Abror Rosyidin
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lutfi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahardini Nur Afifah
Mahendra Cipta
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mansur Muhammad
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Marulam Tumanggor
Mas Garendi
Mashuri
Masuki M. Astro
Matdon
Matroni Muserang
MG. Sungatno
Moh. Husen
Mohamad Sobary
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Multazam
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Murnierida Pram
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Neli Triana
NH Dini
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Novel John Halmahera
Nurel Javissyarqi
Nuryana Asmaudi
Omah Sastra Ahmad Tohari
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Riri Satria
Rodli TL
Ronggeng Dukuh Paruk
Ronny Agustinus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini KM
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Lamongan
Sastra-Indonesia.com
Sastri Sunarti
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Semesta
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeparno S. Adhy
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Titi Aoska
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Topik Mulyana
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Ulysses
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Negeri Jember
Untung Wahyudi
Veronika Ninik
Viddy A.D. Daery
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widie Nurmahmudy
Wildan Ibnu Walid
Windi Erica Sari
Wisran Hadi
Y Alprianti
Y. Thendra BP
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zumro As-Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar