Menunggu berbuka puasa, alias ngabuburit, dengan mengudap buku itu istimewa. Apalagi waktu berbukanya masih 5--6 jam lagi. Apalagi lagi, bukunya renyah, dan berbau-bau nostalgila, eh nostalgia. Ngudapnya dijamin jadi nyampleng dan bisa sliut-sliut begitu. Tentu menimbulkan efek ganas: mendongkrak kreativitas atau tertidur pulas!
Yup, semalam saya 'ngutil' dua buku menarik dari Griya Buku Pelangi Sastra Malang tentang dunia kreatif dua sastrawan kelas berat dan kaliber dunia. Pertama, karya Llosa, novelis Peru yang pada 2010 menerima Nobel Sastra. Bukunya dikemas dalam konsep surat kepada novelis muda. Banyak jurus-jurus asyik dari Llosa termasuk soal iman dalam menempuh jalan sastra.
Kedua, karya Murakami, novelis kelahiran Jepang yang fenomenal. Tulisannya berupa esai-esai pendek terkait proses kreatifnya sebagai orang Asia, wabilkhusus Jepang, yang tumbuh dan berkembang pasca-kehancuran Perang Dunia II. Ia berbicara tentang harta karun terbesar seorang penulis: kenangan.
Soal kenangan itulah, sehingga saya menjejerkan dalam jepretan saya ini buku paket Akidah Akhlak, milik Damar Renaisan, anak saya yang duduk di kelas 3 MI. Yeah, dulu, saya sempat meminjam buku sejenis ini pada guru madrasah ibtidaiyah saya, yang ternyata saya lupa mengembalikannya. Judulnya sama dan seakan-akan abadi: Akidah Akhlak.
Alhasil, sebagai semacam buah dari keteledoran masa kecil, alias hikmah yang kadaluwarsa, puasa-puasa begini mengudap buku atau kitab beraroma Akidah Akhlak asyik juga dan berpahala kencana. Sayangnya, buku sejenis ini dapat menjelma semacam obat tidur dengan dosis super tinggi. Namun, bukankah dalam Ramadan, tidur pun memiliki nilai ibadah? Ehm!
MA
On Paran, 2021
http://sastra-indonesia.com/2021/05/mengudap-buku-asyik-sambil-ngabuburit/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar