Kamis, 27 Mei 2021

HAH

AS Sumbawi
 
Hah. Aku tersentak. Bangun dari tidur. Buru-buru kuraba dada. Hah. Tanganku berlumuran darah. Ternyata bukan hanya mimpi. Benar. Aduh, bagaimana ini?! kataku sendiri. Pikiranku kelam mendung. Bingung.
 
Kulihat jendela terbuka dengan tirai yang tak tergerai. Sinar rembulan menerobos ke dalam kamar. Sementara udara terasa cukup dingin.
 
Seperti tersadar, aku bergegas menuju jendela dan melongokkan kepala ke luar. Mataku menangkap sesosok bayangan berkelebat. Aku berlari ke ruang depan. Seseorang telah berdiri di pinggir jalan depan halaman. Kemudian ia membalikkan tubuhnya, memandang ke dalam rumah sembari tersenyum.
 
Hah. Dia?! pikirku setelah tahu bahwa dia adalah perempuan yang baru saja hadir dalam mimpiku. Menyobek dadaku dan mengambil hatiku. Buru-buru aku membuka pintu.
 
“Hai, Awik. Menyambut kedatanganku?” kata Bondan ketika memasuki halaman dengan tas ransel di punggungnya. Baru datang dari rumah. Ia salah seorang teman satu rumah kontrakan denganku.
Aku melihat ke sana ke mari, mencari-cari wanita itu.
 
“Kenapa, Wik?” kata Bondan heran setelah berada tak jauh dariku.
“Ndan. Apa kau melihat seorang perempuan di sana?” kataku menunjuk ke jalan.
“Nggak. Nggak ada.”
Aku berlari ke jalan. Lantas melihat kanan kiri. Ke ujung jalan. Namun, perempuan itu tak kutemukan. Hilang lenyap. Datang dan pergi seperti hantu.
 
Aku kembali, dan kulihat Bondan sudah masuk ke dalam rumah.
“Memangnya ada apa, Wik?” kata Bondan ketika aku melewati pintu. Aku memperlihatkan telapak tangan kananku kepadanya.
“Darah!?” katanya.
“Gadis itu baru saja mengambil hatiku,” kataku sembari mencari tempat duduk di depannya.
“Gadis?! Gadis yang mana?”
“Gadis yang berdiri di pinggir jalan tadi,” kataku.
“Tapi, aku tak melihat seorang pun di luar sana?”
 
Aku mengangkat kaos dan memperlihatkan dadaku yang berlumuran darah. Tanpa segumpal hati.
“Bagaimana kejadiannya?” katanya. Aku kemudian bercerita tentang peristiwa yang baru saja terjadi.
***
 
Aku diam. Kulihat Bondan tampak mengiya-iyakan kepalanya setelah mendengar ceritaku. Kemudian ia menghisap sebatang rokok yang baru saja disulutnya. Sementara derak jarum jam dinding menunjukkan pukul 02.48. Hawa dingin menyelusup lewat pintu yang setengah terbuka.
 
Aku mengambil sebungkus rokok milik Bondan dari permukaan meja. Mengeluarkannya sebatang, dan menyulutnya. Kemudian asap keluar berhamburan dengan sekali semburan kuat.
 
“Ehm,” tenang saja, Met. Hal ini tidak akan sampai membunuhmu?? kata Bondan.
“Benarkah?”
“Ya,” katanya singkat.
Ia kembali menghisap rokoknya. Sementara aku merasa belum puas dengan apa yang dikatakannya.
 
“Coba kaupikir! Berapa banyak orang yang hatinya bukan hati lagi?! Menjadi Batu?! Berapa banyak orang yang sengaja membungkam hatinya? Membunuhnya? Tapi, mereka tidak mati. Dan tampaknya mereka begitu menikmati hidup ini. Entah, palsu atau tidak?!” Bondan diam sejenak. Sementara aku merasa bahwa apa yang dikatakan Bondan benar juga.
 
“Karena itulah, kau tidak akan sampai mati hanya gara-gara segumpal hatimu dicuri oleh seorang wanita. Gadis itu. Kecuali jika kau merasa tak kuat menanggungnya. Menyerah. Lalu bunuh diri,” lanjutnya.
 
Ia kembali terdiam. Menghisap rokoknya. Begitu juga aku. Tak lama kemudian ia mengangkat suara lagi.
“Cuma?..”
“Cuma apa, Ndan?” kataku.
“Kau akan merasakan ada sesuatu yang sedikit janggal dalam hidupmu.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Ehm, karena aku pernah mengalami kejadian seperti itu. Begitu juga dengan semua lelaki. Dan semua orang,” kata Bondan setelah menghisap rokoknya.
“Semua orang mengalaminya?”
“Ya. Semua orang mengalaminya. Bahkan ada yang sampai berkali-kali. Dan sekarang adalah giliranmu.”
“Giliranku?”
“Ya.”
“Lalu apa yang harus aku lakukan?” kataku.
“Menemuinya.”
“Gadis itu?”
“Ya. Bukankah dia yang telah mencuri hatimu?!”
“Tapi, untuk apa?”
“Kehidupanmu. Apakah kau mau hidup dalam bayang-bayang gadis itu? Penasaran?!” kata Bondan.
“Aku belum mengenalnya,” kataku pelan.
“Kalau begitu, pagi ini kau harus menemuinya. Berkenalan dengannya. Kemudian menanyakan kabar hatimu itu.” Bondan diam.
 
Tak lama kemudian, Bondan mulai mengangkat suara. Ia menceritakan suatu peristiwa yang pernah terjadi dalam hidupnya setahunan yang lalu. Saat itu kami belum satu kontrakan.
 
Suatu hari dalam remang malam, seorang wanita diam-diam menyelinap dalam kamarnya. Mengambil segumpal hatinya. Dan wanita itu adalah temannya sendiri. Kemudian ia mencoba menemuinya. Bertanya tentang segumpal hatinya. Namun, wanita itu tak mengaku bahwa dirinya yang mengambil. Ia tak percaya. Karena dirinya yakin bahwa wanita itulah yang benar-benar telah mencuri hatinya.
 
Dan suatu hari, ia melihat wanita itu melemparkan segumpal hati ke atas. Sementara tangannya siap menangkap kembali. Elisa,?. jangan dilempar-lemparkan!, katanya. Wanita itu terkejut. Kemudian berlari. Dan, hati itu. Hati itu jatuh ke tanah. Moncrot.
***
 
Bondan terdiam dengan air muka yang menampakkan kesedihan. Aku merasa bersalah. Kuperhatikan ia menghisap rokoknya kuat-kuat. Dan menyemburkan asapnya sembari tangannya mematikan bara rokok di asbak yang ada di permukaan meja.
 
“Kau tahu apa yang kemudian terjadi?!” katanya.
“Apa yang terjadi?” kataku balik bertanya.
“Tiba-tiba aku roboh tak sadarkan diri.” Ia diam sejenak. “Tak lama kemudian, aku tersadar. Namun, tubuhku terasa kaku. Aku merangkak, mencoba menggapai hatiku yang telah hancur. Mengumpulkannya dan menempatkannya kembali di dadaku. Kurasakan kondisiku agak membaik. Meski langkahku terseok-seok dengan rasa perih di dada.”
 
Bondan diam sejenak. Kemudian menyulut sebatang rokok.
“Sampai saat ini, masih kurasakan perih. Meskipun hanya sesekali saja,” katanya selepas menyemburkan asap rokok ke udara. Kemudian :
“Dan aku yakin ini pasti akan berakhir ketika ada seorang yang mencuri hatiku lagi.”
 
Kami cukup lama terdiam. Udara masih terasa dingin. Buru-buru aku beranjak menutup pintu. Sementara derak jarum jam dinding menunjukkan pukul 03. 36.
“Kapan Mamat dan Anto datang?” kata Bondan.
“Barangkali nanti sore,” kataku.
***
 
Tiba-tiba aku teringat ibu yang berpesan agar aku selalu berhati-hati. Dan pesan ini kuartikan “baik-baiklah menjaga hati”. Aku menyesal telah alpa. Kini, entah di mana wanita yang membawa pergi segumpal hatiku itu. Gadis itu.
 
“Sudah, Met. Jangan melamun terus,” kata Bondan yang berjalan dari kamar mandi mengambil air wudlu, kemudian masuk ke kamarnya. Beberapa menit yang lalu, ia berkata ingin menjama’ ta’khir shalat maghrib dan isya’. Aku pergi ke belakang, membersihkan noda darah di dadaku, kemudian masuk ke kamarku. Membalutnya.
Di atas punggung kasur aku rebah, menerawang jauh menembus langit-langit kamar. Gadis itu menari dalam khayalanku. Dari mana dia datang” pikirku.
 
Udara menyelusup lewat jendala kamar yang terbuka membuat hawa terasa dingin. Barangkali lewat jendela, kataku. Ah, tidak mungkin. Memang selama ini aku sering lupa tak menutup jendela ketika hendak tidur. Tapi, baru kali ini aku kemalingan. Tidak. Tidak mungkin gadis itu menyelinap dalam remang lewat jendela. Masuk kamarku dan mencuri hatiku.
 
Aku bangkit, dan beranjak menghampiri jendela. Menutupnya dan menggeraikan tirainya. Kemudian kembali rebah di punggung kasur. Menerawang jauh.
Hah, ini dia, pikirku. Kutemukan jejak-jejak gadis itu dalam bawah sadarku. Rupanya dia telah cukup lama tinggal di sana, dan malam ini dia keluar setelah menyobek dadaku. Mengambil hatiku. Memasuki kesadaranku.
***
 
Sudah tiga hari aku mencari gadis itu. Namun, belum juga aku bertemu dengannya. Kurasakan dadaku kosong tanpa segumpal hati, dengan debaran-debaran yang terasa nyeri. Dan ini selalu membuatku tak bisa konsentrasi. Tiap malam, bayangan gadis itu selalu mengganggu. Merusak malam-malamku. Waktu tidurku. Mimpiku. Dan siang itu aku masih mencari.
 
Aku menunggu gadis itu di halaman kampus tempat biasa aku sering melihat dirinya. Sementara alroji di lengan kiriku menunjukkan pukul 09.36. Cuaca terasa hangat bersama mentari dalam perjalanan memarak siang.
 
Hah. itu dia, kataku sendiri. Kulihat gadis itu berjalan dari arah ruang tata usaha. Pandangannya lurus ke depan. Kurasakan dadaku nyeri oleh debaran-debaran. Ia lewat di depanku, kemudian belok mencari tempat duduk tak jauh dariku. Aku masih ragu apakah benar dia adalah gadis itu?! Gadis yang telah menyobek dadaku. Mencuri segumpal hatiku.
 
Aku harus kenalan dengannya. Harus. Paling tidak aku bisa memastikannya, kataku sendiri. Sementara debaran-debaran di dadaku semakin kencang. Kuperhatikan ia tersenyum padaku. Seperti sebentuk senyum yang pernah kulihat pada malam itu. Kemudian ia tampak mencari sesuatu di dalam tas hitamnya. Ayo, cepat dekati dia. Sebaris kata terngiang-ngiang di kepalaku.
 
Aku menyulut rokok sebatang. Biar sedikit tenang, kataku.
“Hai, boleh kenalan?!” kataku setelah sampai di dekatnya. Ia tersenyum. Aku menyodorkan tangan kanan sembari menyebutkan nama.
“Maria,” katanya menyalamiku.
“Maria?!” kataku.
“Maria Shofia.”
Aku duduk di sebelah kanannya. Kemudian memulai sebuah percakapan.
***
 
Maria menuliskan alamat kostnya di sesobek kertas. Begitu juga denganku. Kemudian kami saling memberikan kertas tersebut. Kemudian ia berkata bahwa dirinya akan masuk kuliah lagi.
 
Hah. Aku tersentak ketika ia memasukkan pulpen dan sesobek kertas berisi alamatku ke dalam tasnya. Tanpa sengaja aku melihat segumpal hati ada di dalam tasnya. Benarkah, benarkah itu hatiku? kataku sendiri. Maria beranjak pergi. Kuperhatikan langkahnya yang begitu anggun.
 
“Maria!!!” sapaku tiba-tiba. Ia menolah padaku, tersenyum.
“Boleh aku main ke tempatmu nanti malam?” kataku. Ia tak menjawab. Namun, anggukan pelan kepalanya sudah cukup bagiku siang itu.
 
2004

http://sastra-indonesia.com/2008/11/hah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah