sinarharapan.co.id
Pengalaman kita pada zaman ini tidak lagi utuh, hingga kita tidak dapat lagi mempercayai cerita-cerita besar ataupun sejarah. Bak ekosistem, kebudayaan Indonesia berdenyut hidup lewat satuan-satuan kecil yang merupakan kumpulan organisme yang terus mencoba mencari peluang untuk memperbarui diri. Peluang ini kian membesar saat determinisme yang berlaku pada mereka mengecil. Kita mencari totalitas tetapi tidak ada jalan tunggal menuju ke sana.
Melalui globalisasi kita tahu bahwa totalitas telah terpecah, tertabur, terserak dan decentred. Oleh karenanya tidak menjadi penting untuk membuat grand design tentang kebudayaan Indonesia. Kebudayaan melakukan banyak penyimpangan dari desain besar yang mengendalikannya. Sudah saatnya mengakhiri perdebatan-perdebatan tentang orientasi utama dan bentuk terakhir kebudayaan Indonesia, karena setiap orang secara potensial adalah pencipta kebudayaan. Dan siapa tahu kebudayaan tumbuh menjadi dan terus tumbuh tanpa kehadiran dan pikiran kita, karena kebudayaan memang lingkup sehari-hari, organik dan tidak terelakkan demi bertahan hidup dan memperbaiki mutunya.
Ada tiga prinsip yang setidaknya perlu dikenal dalam perjalanan kebudayaan kita. Pertama, kita tidak dapat menyatakan suatu krisis budaya melainkan hanya krisis wacana tertentu. Tak ada cara yang lebih baik untuk menjelaskan prinsip ini selain dengan mengemukakan kembali konsep paradigma dalam hubungan dengan masyarakat. Paradigma adalah keseluruhan susunan kepercayaan, teknik dan nilai yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota masyarakat tertentu.
Tidak ada sebuah masyarakat tanpa paradigma. Dalam keadaan normal paradigma adalah sistem acuan menyeluruh yang membimbing aktivitas masyarakat. Paradigma adalah bagian penting dari gejala. Pengamatan terhadap gejala selalu dituntun paradigma. Ketika semakin banyak gejala yang tidak dapat dijelaskan, timbullah ketidakpercayaan terhadap paradigma tersebut. Inilah krisis, ketidaknormalan, ketidakabsahan paradigma lama dan kerinduan akan paradigma baru.
Pencipta kebudayaan adalah masyarakat, kebudayaan adalah orkestra dari paradigma-paradigma. Marilah kita bertolak dari konsep ini untuk memahami pluralitas dan pluralisme, agar tidak memaksakan superioritas sebuah paradigma atas paradigma yang lain menuju peleburan batas-batas paradigma dalam proses penyeragaman monoculture. Paradigma dinyatakan oleh bahasa yang menegaskan batas suatu masyarakat dapat menciptakan titik kritis ketika paradigma itu dihadapkan pada lingkungan luarnya.
Kedua, kita menciptakan sebuah sistem yang tidak tertutup meskipun sistem itu hidup dengan bahasa sendiri, bahasa yang esoteris. Ia mengukur diri melalui apa yang diidentifikasikannya sebagai lingkungan, yakni wilayah yang relatif bebas dari cakupan paradigmanya, bahasanya. Ketidakteraturan itulah yang menyebabkan sistem gelisah, tidak betah untuk sebuah keseimbangan abadi. Ia slalu menuju keseimbangan, organisasi yang lebih tinggi. Mulailah reaksi berantai yang hasilnya adalah peluruhan sistem itu atau terbentuknya sistem baru yang lebih kompleks. Kita selalu berada pada tarik-tolak antara keteraturan dan ketidakteraturan, antara kesempatan dan determinisme. Secara statistik, inilah yang dikatakan sebagai ausnya tatanan kepastian yang diikuti munculnya chaos yang menyodorkan titik keseimbangannya sendiri yang mengandung energi lebih besar. Dalam situasi ini hubungan sebab-akibat makin kabur, lebih sederhana lagi kita berada pada keadaan eksperimentasi secara permanen. Lalu kita bertanya, dapatkah sistem yang organik dan vital itu didesain?
Ketiga, mengenal jalan sejarah yang ditempuh pelbagai sistem itu baik orang di dalam paradigma maupun orang di luarnya sama-sama menerima tantangan ini. Bagi orang dalam, kesadaran sejarah itu akan membuatnya lancar dalam menyikapi paradigmanya, sedang bagi orang luar pengetahuan tentang sejarah akan memberi pengertian bahwa kehadirannya paling tidak dapat merupakan gangguan atau dukungan yang berakibat pada peluruhan maupun penguatan sistem.
Kebudayaan adalah permainan seluruh sistem paradigma sehingga dalam ruang kebudayaan kita akan melihat tidak hanya satu sejarah tapi banyak sejarah, awan debu sejarah (Levi Strauss). Pandangan tentang gerak yang tidak linear tentang semakin banyak sejarah sebenarnya adalah pandangan yang meminimalkan determinisme dalam bentuk apa pun. Bukan kebebasan kreatif (individual) yang penting -seperti yang dipercaya oleh seni modern selama ini- tapi kebahagiaan sebuah komunitas dan kesadaran mereka tentang zaman yang tengah berubah. Demikianlah tradisi bukanlah sesuatu yang ada dari dan demi dirinya sendiri. Ia tak perlu pengawetan. Tradisi menjadi paradigma, berdialog dengan paradigma yang lain.
Betapa melelahkan penuturan ini, karena itu tidak ada salahnya apabila kita berfantasi sejenak, kelak, kita mampu mengadakan kongres kebudayaan di sini yang dihadiri oleh ekolog, biolis, ekonom, matematikawan dan lain sebagainya yang kesemuanya adalah budayawan model baru berbicara tentang perkembangan sastra Indonesia bersama seorang penyair dan kritikus sastra asal Jawa terkemuka yang pulang menghadiri pertemuan setelah lima tahun menjadi editor tamu jurnal sastra terbaik di dunia “world literature today”. Malamnya kita keluyuran ingin menonton film nasional tapi yang ada hanya film Amerika, Jepang dan Prancis karena sutradara Indonesia membuat film di luar negeri. Jika menonton teater tanpa bahasa -teater bunyi dan seni rupa- arahan sutradara Indonesia diilhami fragmen “seratus tahun kebisuan” karya Gabriel Garein Marques dengan pemain dari Kolumbia, Senegal dan Thailand. Dan kita semua harus menunggu seorang pemenang nobel fisika dari India akan bicara tentang gerakan antikekerasan di negerinya.
Kalau diteruskan, kata-kata akan memberontak terhadap pikiran kita yang impresionistik ini, dan mohon maaf jika saya terlalu sering memakai kata ganti kita seolah-olah kita telah disatukan oleh pengalaman dan pikiran yang sama.
***
*) Pekerja seni Sanggar Kosiran(Komunitas Seni Pinggiran), pengajar di STAI An-Nawawi Purworejo, Staf ahli INFID`s, Yogyakarta. http://sastra-indonesia.com/2009/12/fragmen-fantasi-kebudayaan-indonesia-baru/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar