Mohammad Sadam Husaen
bacatangerang.com, 9 Jan 2020
Dilahirkan di daerah pantai Pangandaran, Eka Kurniawan tumbuh sebagai
seorang remaja yang akrab dengan buku. Petualangan sebagai pembaca dimulai Eka
dengan membaca cerita-cerita silat karya Kho Ping Hoo, novel-novel horor
Abdullah Harahap dan novel-novel perjalanan karya Karl May. Sampai sekarang pun
Eka masih hidup sebagai pembaca berbagai novel dalam dan luar negeri, di
samping itu pria kelahiran 28 November 1975 tersebut juga rajin menuliskan
komentar-komentarnya mengenai novel yang dibaca di blog pribadinya. Menurut
Eka, menjadi seorang pembaca dapat membuatnya tiba-tiba terlempar ke berbagai
daerah yang menyeramkan seperti ke zaman Mataram atau zaman Majapahit.
Karir kepenulisannya sebenarnya sudah dimulai sejak Eka membaca Majalah Hai
yang sering memuat cerita pendek karya-karya Hilman, Gola Gong, Arini
Suryokusumo dan Zara Zettira, tetapi Eka belum beruntung karena tidak satu pun
karyanya yang dimuat oleh Majalah Hai. Sejumlah puisinya kemudian terbit di majalah
Sahabat, yang sering dibelikan oleh ayahnya. Dimulai dari masuknya Eka ke SMAN
1 Tasikmalaya, nalurinya sebagai pembaca dan keinginannya untuk menjadi penulis
semakin kuat. Seperti yang dituliskan oleh Linda:
“Eka pergi dari Pangandaran ketika melanjutkan belajar di SMAN 1
Tasikmalaya. Di sana, ia tinggal dengan bibinya. Di masa ini pula ia mulai
menyukai serial petualangan Old Shatterhand karya Karl May dan Balada Si Roy
Gola Gong. Ia terinspirasi untuk jadi penulis, karena novel-novel ini. Lebih dari
itu, ia ingin bertualang! Selama tiga bulan ia bolos sekolah, berkeliling Pulau
Jawa. “Hasilnya, aku di keluarin dari sekolah,” ujarnya”.
Eka sempat berpindah-pindah sekolah karena sifat nakalnya. Akhirnya dia
lulus dari SMA PGRI dan mempunyai keinginan untuk pergi meninggalkan rumah. Eka
pun bersiasat dengan alasan melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.
Eka kemudian lulus tes masuk Universitas Gadjah Mada di jurusan filsafat.
Walaupun sempat memutuskan untuk bolos kuliah selama satu tahun, Eka akhirnya
kembali meneruskan studi filsafatnya dan pada saat itulah bertemu dengan
buku-buku karya Knut Hamsun yang membuatnya terpukau.
“Tokoh-tokohnya itu selalu agak keluar dari pakem-pakem kemasyarakatan,
agak soliter. Kalau nggak pergi ke hutan, ya di kota, tapi hidup sendiri.
Berumur sekitar 20 sampai 30-an, di Hunger seorang calon penulis, di Growth of
the Soil meskipun lebih tua, tapi ketika tokoh ini datang ke hutan umurnya juga
masih segitu. Dan aku merasa spirit Hamsun adalah spirit kebebasan. Dia juga
punya selera humor yang agak gelap dan suka mengejek tokohnya sendiri. Kurasa
humor dalam karyaku itu pengaruh dari dia.”
Komentar tersebut diucapkan oleh Eka dalam tulisan Linda setelah membaca
beberapa novel karya Hamsun. Eka beranggapan bahwa Hamsun sebagai salah seorang
penulis yang mempengaruhi karya-karyanya. Pertemuan dengan karya-karya Hamsun
tersebut juga memantapkan keinginan Eka untuk menjadi seorang pengarang.
Setelah pertemuannya dengan karya-karya Hamsun, secara berturut-turut kemudian
Eka mengenal berbagai penulis lain seperti Gabriel Garcia Marquez, Toni
Morisson, Yasunari Kawabata, Cervantes dan banyak penulis lain. Bahkan dapat
dibilang, Eka lebih banyak membaca karya sastra luar negeri dibandingkan dengan
karya sastra Indonesia.
Kecenderungan membaca karya sastra luar negeri tersebut yang membuat Eka
dianggap sebagai penulis yang membawa nafas segar dalam dunia sastra Indonesia.
Oleh beberapa orang karya-karya Eka dianggap menyuguhkan warna baru dalam
kesusastraan Indonesia. Seperti yang ditulis oleh Bahrul Amsal dalam situs
pribadinya bahwa cerita-cerita yang disuguhkan oleh Eka adalah suatu teks yang
menolak sempurna, dalam arti suatu cerita yang dibangunnya tidak selamanya
ingin mengafirmasi suatu dunia yang bersih dari cacat. Melalui kesan tersebut
Bahrul Amsal merasa kecanduan membaca karya-karya Eka, sampai Bahrul Amsal
mengatakan bahwa Eka dikutuk untuk membangun takdir sastra Tanah Air.
Situs berita Detikx melansir sebuah tulisan yang menyebutkan bahwa novel
pertama Eka yang berjudul Cantik Itu Luka diterjemahkan oleh Annie Tucker
menjadi Beauty Is a Wound dan diterbitkan oleh penerbit New Directions, Amerika
Serikat. Dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa novel Cantik Itu Luka yang
sempat ditolak oleh empat penerbit dalam negeri karena dianggap kurang
mempunyai bobot sastra masuk dalam daftar 100 buku terkemuka versi The New York
Times pada tahun 2015 dan pada 22 Maret 2016, Eka mendapatkan penghargaan World
Readers Award gara-gara novelnya tersebut.
“Beauty Is a Wound dipuji sebagai novel yang gelap tapi menghibur. Novel
ini disebut sebagai novel yang mencengkeram pembacanya sejak dari kalimat
pertama pembukanya yang menggetarkan.
Beauty Is Wound telah diterjemahkan ke dalam 28 bahasa dan para kritikus
menyandingkan novel ini dengan karya-karya Gabriel Garcia Marquez dan Fyodor
Dostoevsky.”
Meraih peruntungan melalui Cantik Itu Luka Eka tidak ingin berhenti, ia
kembali menerbitkan novel keduanya yang berjudul Lelaki Harimau yang juga sudah
diterjemahkan ke berbagai bahasa. Karya-karya Eka lainnya sudah disebutkan
peneliti pada latar belakang. Dalam Lelaki Harimau, Eka kembali memberikan
sebuah warna baru dalam karya sastra. Eka mencoba memunculkan kembali
mitos-mitos serta legenda yang ada di dalam masyarakat dan membawanya sebagai
sebuah ornamen penting dalam karyanya tersebut. Menurut Eka, Lelaki Harimau
muncul karena latar belakangnya yang menyukai cerita-cerita horor, walaupun
novelnya tersebut tidak menjadi novel horor tetapi menjadi novel psikologi.
Melalui novel pertamanya Cantik Itu Luka, Eka dianggap membawa aliran
realisme magis dalam kesusastraan Indonesia. Seperti yang ditulis oleh Detikx
bahwa Eka disejajarkan dengan Marquez, salah satu sastrawan dengan karya
bergenre realisme magis. Eka meramu sejarah dan unsur-unsur magis dalam Cantik
Itu Luka sehingga membawa namanya menjadi seorang sastrawan yang dianggap
membawa aliran realisme magis di Indonesia. Majalah Horison juga memuji
kecakapan Eka dalam mengisahkan kejatuhan sebuah keluarga inses dengan titik pusat
pengisahan pada tokoh Dewi Ayu (lahir dari ayah Belanda dan ibu Nyai) dalam
gaya berkisah yang dengan enteng mencampuradukkan realisme dan surealisme,
mengawinkan kepercayaan-kepercayaan lokal dengan silogisme filsafat yang
membobol semua tabu, dan memberikan hormat yang sama pada realitas sejarah dan
mitos, merupakan pencapaian luar biasa mengingat novel ini merupakan novel
pertamanya.
Sastra Indonesia dari Sudut Pandang Dunia
Menurut Eka kesusastraan Indonesia seharusnya dikenal oleh masyarakat yang
lebih luas lagi, selain dikenal di mancanegara juga dikenal oleh masyarakat
desa yang kadang sama sekali tidak tersentuh oleh khasanah kesusastraan
Indonesia. Eka menurut berbagai referensi yang peneliti temukan tidak hanya
sering berbicara mengenai perkembangan karya dan komunitas susastra di
Indonesia. Eka selain membawa udara segar dalam kesusastraan Indonesia juga
membawa nama kesusastraan Indonesia semakin dikenal oleh masyarakat yang lebih
luas.
Beberapa penghargaan sudah didapatkan Eka melalui karya-karyanya. Antara
lain pada tahun 2016 novel Lelaki Harimau mendapatkan penghargaan utama untuk
kategori literatur fiksi di FT/OppenheimerFunds Emerging Voices Awards. Eka
menyingkirkan dua penulis Tiongkok, Yua Hua dan Yan Lianke yang terpilih
sebagai juara kedua. Pada tahun 2016 Eka pernah masuk dalam daftar panjang The
Man Booker International Prize 2016 yang akhirnya jatuh ke penulis asal Korea
Selatan, Han Kang, dengan novel The Vegetarian. Selain itu Eka bersama beberapa
penulis Indonesia lain seperti Afrizal Malna, Andrea Hirata, Ayu Utami, Laksmi
Pamuntjak, Leila S. Chudori, Oka Rusmini, Okky Mandasari dan Seno Gumira
Ajidarma diundang sebagai tamu kehormatan dari Indonesia di ajang pameran buku
terbesar Frankfurt Book Fair 2015.
Selain beberapa penghargaan tersebut, Eka sebagai salah satu penulis fiksi
dari Indonesia juga mendapatkan berbagai pujian dari media mancanegara atas
karya-karyanya yang dianggap memberikan dobrakkan bagi kesusastraan Indonesia.
Jon Fasman, seorang yang menulis di The New York Times mengatakan bahwa Eka
dapat disejajarkan dengan Pramoedya Ananta Toer dalam perkembangan kesusastraan
Indonesia. Menurut Fasman, Eka dan Pram mempunyai andil besar dalam
kesusastraan Indonesia karena karya-karya yang dihasilkan oleh kedua penulis
tersebut menyimpan hal yang memukau mengenai Indonesia. Selain itu Fasman juga
membandingkan karya kedua penulis tersebut dengan kebanyakan novel Amerika
kontemporer yang tidak memiliki dialog yang relatif sedikit seperti karya Eka.
Melalui berbagai ulasan mengenai Eka dan karya-karyanya, dapat dilihat
bahwa Eka adalah salah seorang penulis fiksi Indonesia yang dapat mewakili
kesusastraan Indonesia di mata dunia. Karena selain karyanya yang dianggap
memberikan nafas baru di kesusastraan Indonesia, Eka juga dianggap membawa
suara masyarakat Indonesia yang kurang terwakili dalam sastra dunia. Eka dalam
Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau membawa sejarah, legenda, humor dan asmara
khas Indonesia yang dapat dikenal luas oleh dunia luar. Selain itu menurut Annie
Tucker, Eka juga berhasil menggabungkan tema kebinatangan, inses, pemerkosaan,
pembunuhan, kegilaan, keganjilan melalui mayat hidup Dewi Ayu (dalam Cantik Itu
Luka) sebagai sebuah kritik pedas pada masa lalu Indonesia yang bermasalah.
Ideologi Kepengarangan Eka Kurniawan
Eka Kurniawan sebagai salah seorang penulis fiksi di Indonesia dalam
menciptakan sebuah karya sastra tentunya tidak dapat dilepaskan dari latar
belakang kehidupan maupun situasi yang terjadi dalam kehidupannya. Karena hal
tersebutlah yang menjadi sebuah gagasan dan pandangan seorang pengarang yang
secara sadar ataupun tidak sadar dimunculkan dalam karyanya, atau biasa disebut
sebagai ideologi kepengarangan. Eka Kurniawan, dilihat dari berbagai karya yang
telah dilahirkannya mempunyai tema yang lebih condong pada hal-hal berbau
dongeng, legenda dan mitos. Hal tersebut menjadi kentara dalam novel Lelaki
Harimau, bagaimana Eka Kurniawan menggabungkan permasalahan kehidupan sosial
dengan legenda manusia harimau.
Dalam novel Lelaki Harimau terlihat bahwa pengaruh mitos, dongeng serta
legenda tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan Eka Kurniawan. Tokoh Margio
dalam novel Lelaki Harimau digambarkan secara real sebagai seorang remaja yang
kehidupan keluarganya selalu didera berbagai permasalahan, selain itu kehidupan
sosial Margio juga tergambarkan nyata dan tidak dapat dilepaskan dengan
kenyataan yang ada. Kondisi keluarga yang berantakan karena perselingkuhan,
remaja yang suka mabuk-mabukan dan bermain perempuan suasana perkampungan yang
hampir seluruh warganya saling mengenal, sampai tragedi sakit hati karena
cinta. Semua hal tersebut tentu ada dalam kehidupan nyata masyarakat Indonesia.
Kenyataan tersebut dipadukan dengan legenda manusia harimau yang memang di
beberapa daerah dipercaya sebagai sebuah ilmu yang diberikan turun temurun
dalam satu keluarga.
Masyarakat Bengkulu adalah salah satu yang masih percaya bahwa ada harimau
jadi-jadian yang menjaga salah satu daerah di Bengkulu yaitu Desa Ladang
Palembang, Kabupaten Lebong, Bengkulu. Harimau jadi-jadian tersebut dianggap
sebagai jelmaan atau reinkarnasi dari para leluhur masyarakat Lebong yang
melindungi serta memberi peringatan jika ada warga yang melanggar adat atau
berbuat amoral.
Eka Kurniawan menegaskan ideologi kepengarangannya dalam novel Lelaki
Harimau dengan tidak memberikan nama pada latar tempat yang ada dalam
penceritaannya. Cerita tersebut berjalan dalam sebuah kotak yang dibuat
seakan-akan ada dan tanpa referensi tempat yang sesungguhnya. Sifat tersebut
menunjukkan bahwa postmodernisme sudah masuk dalam novel Lelaki Harimau.
Ideologi Eka Kurniawan menekankan pada kenyataan hidup manusia yang tidak dapat
dilepaskan dari berbagai unsur yang ada di luar alam pikir manusia atau dapat
disebut juga sebagai mitos.
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Kadir Ibrahim
Abi N. Bayan
Achiar M Permana
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Afrilia
Afrizal Malna
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mustofa
Alief Mahmudi
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amarzan Loebis
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Syarifuddin
Anash
Andri Awan
Anggrahini KD
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Annisa Steviani
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardy Suryantoko
Arie Giyarto
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Gumantia
Arif Hidayat
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asarpin
Asrul Sani
Baca Puisi
Bahrum Rangkuti
Balada
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni R. Budiman
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Candra Malik
Candrakirana
Caping
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Deddy Setiawan
Denny JA
Denny Mizhar
Deo Gratias
Dewi Musdalifah
Dhimas Ginanjar
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Diana AV Sasa
Dien Makmur
Dinar Rahayu
Diskusi
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Edisi Khusus
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Elsa Vilinsia Nasution
Erwin Setia
Ery Mefry
Esai
Evan Ys
F Aziz Manna
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Foto Andy Buchory
Francisca Christy Rosana
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fritz Senn
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Gendhotwukir
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gusti Eka
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hamzah Sahal
Hardy Hermawan
Hari Purwiati
Hario Pamungkas
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hendri R.H
Hendri Yetus Siswono
Herie Purwanto
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I. B. Putera Manuaba
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indira Permanasari
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Inung As
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwan Simatupang
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jember Gemar Membaca
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Joyo Juwoto
Jual Buku Paket Hemat
K. Usman
Kadek Suartaya
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khairul Mufid Jr
Khanif
Khoirul Abidin
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Astrea
Kitab Para Malaikat
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukman Santoso Az
M. Abror Rosyidin
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lutfi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahardini Nur Afifah
Mahendra Cipta
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mansur Muhammad
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Marulam Tumanggor
Mas Garendi
Mashuri
Masuki M. Astro
Matdon
Matroni Muserang
MG. Sungatno
Moh. Husen
Mohamad Sobary
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Multazam
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Murnierida Pram
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Neli Triana
NH Dini
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Novel John Halmahera
Nurel Javissyarqi
Nuryana Asmaudi
Omah Sastra Ahmad Tohari
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Riri Satria
Rodli TL
Ronggeng Dukuh Paruk
Ronny Agustinus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini KM
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Lamongan
Sastra-Indonesia.com
Sastri Sunarti
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Semesta
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeparno S. Adhy
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Titi Aoska
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Topik Mulyana
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Ulysses
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Negeri Jember
Untung Wahyudi
Veronika Ninik
Viddy A.D. Daery
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widie Nurmahmudy
Wildan Ibnu Walid
Windi Erica Sari
Wisran Hadi
Y Alprianti
Y. Thendra BP
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zumro As-Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar