Minggu, 27 Juni 2021

Berkalam dan Bermadah

Amarzan Loebis
majalah.tempointeraktif.com
 
MASA-masa remaja dan belia…di Riau adalah bayang-bayang di keremangan…. Demikian kalimat berlagu Tenas Effendy di depan Majelis Konvokesyen ke-35, Dewan Canselor Tun Abdul Razak di Bangi, Selangor Darul Ehsan, Malaysia, Sabtu 17 September lalu. Siang itu “Pak Tenas”-demikian ia biasa disebut-menerima Anugerah Kehormatan Doktor Persuratan dari Universiti Kebangsaan, Malaysia.
 
Tenas, kelahiran Pelalawan, November 1936, lalu berbicara tentang kebimbangan, “di antara bumi tradisi yang didakwa lapuk kerana rempuhan kolonialisma, di satu pihak, dengan langit masa hadapan yang belum usai dirumuskan, di pihak lainnya.” Tenas memang produk sebuah zaman yang “kikuk”.
 
“Revolusi Sosial” 1946, yang secara membabi-buta mengobrak-abrik sejumlah kesultanan Melayu di pesisir timur Sumatera, membuat bocah 10 tahun itu menyembunyikan nama aslinya, Tengku Nasyaruddin Effendy. “Kebangsawanan menjadi beban yang justru membahayakan pada masa itu,” katanya, di rumahnya yang sangat Melayu di kawasan Pasir Putih, Pekanbaru.
 
Tenas lalu lebih banyak merenung “ke dalam”, dan berkembang menjadi penulis produktif. Ia sudah menerbitkan lebih dari 112 karya, dan sekitar 200-an lagi naskah yang siap terbit. Semua tersusun rapi di perpustakaannya yang lapang dan terpelihara.
 
Di rumah ini juga tersimpan ratusan pita rekaman seni budaya Melayu dari berbagai puak, termasuk lebih dari 17.500 ungkapan tradisional Melayu dan 10.000 bait pantun. Selain di Riau, buku-bukunya diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia.
 
Berbeda dengan Tenas, Ketua Majelis Kerapatan Adat, Lembaga Adat Melayu Riau itu, yang kalem dan serba terukur, berbincang dengan Hasan Junus tak ubahnya bersampan di laut yang gemuruh dan ribut. Suaranya meletup-letup, diikuti gerak tangan ekspresif dan mimik dramatik. Dalam kalimat-kalimatnya bersimpang-siur berbagai istilah Belanda, Jerman, Inggris, Prancis, dan Latin merancas-rincis.
 
Hasan, kini 64 tahun, fasih menulis cerita pendek dengan gaya naratif memukau. Laki-laki kelahiran Pulau Penyengat ini dibisikkan masih punya hubungan darah dengan Raja Ali Haji. “Ah, apa pula gunanya itu dibicarakan?” katanya dengan sikap tak peduli. Dialah yang menulis Raja Ali Haji; Budayawan di Gerbang Abad XX.
 
Pada 1960 Hasan menuntut ilmu di Bandung, di Jurusan Sejarah dan Antropologi, Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran. Ia juga “gatal” mempelajari berbagai bahasa Eropa. Bersama kawan seangkatannya, Sutardji Calzoum Bachri, Hasan menjadi penasihat majalah sastra Menyimak, kemudian penasihat pada berkala sastra Berdaulat, keduanya di Pekanbaru.
 
Hasan menulis segala rupa, mulai fiksi sampai telaah ilmiah. Dari Dewan Kesenian Riau, ia memperoleh Anugerah Seni 2001 sebagai Seniman Pemangku Seni. Pada 1983-1986 ia menjadi tenaga pengajar luar biasa di FKIP Universitas Islam Riau, kemudian mengajar sastra bandingan dan bahasan naskah Melayu di Fakultas Sastra Universitas Lancang Kuning, Pekanbaru.
 
Sementara Hasan Junus pada masa mudanya merantau ke Bandung, U.U. Hamidy memilih kuliah di Fakultas Sastra dan Seni IKIP Malang, Jawa Timur. Kini, pria 62 tahun itu lebih banyak tinggal di rumah dan sering menolak diwawancarai. “Sekarang giliran yang muda-mudalah yang angkat bicara,” katanya. Tapi, diam-diam, ia masih bertekun menulis.
 
Pada 1998 ia menerima Hadiah Sagang sebagai penulis buku terbaik mengenai budaya Melayu. Pernah menjadi Dekan FKIP Universitas Islam Riau, U.U. Hamidy juga sempat berkhidmat di Fakulti Sastra dan Sains Sosial Universiti Malaya, Kuala Lumpur, hingga mendapat “ijazah tinggi” (MA).
 
U.U. Hamidy punya cara unik dalam menerbitkan sendiri karya-karyanya. Ia berkawan dengan seorang pemilik percetakan kecil yang selalu siap menerbitkan karyanya dengan ongkos “musyawarah”. Soalnya, menurut sang pemilik percetakan, “order” dari U.U. Hamidy selalu membawa rezeki, disusul order-order lainnya. Terakhir, dengan label Bilik Kreatif Press, Pekanbaru, U.U. Hamidy menerbitkan karyanya, Rahasia Penciptaan.
 
“Rahasia penciptaan” pula yang membuat Taufik Ikram Jamil berani keluar dari pekerjaan wartawan sebuah media nasional nan mapan, memilih berkutat di kesenian. Lahir di Telukbelitung, Bengkalis, 1963, Taufik tak ubahnya penyambung mata rantai kesastrawanan Riau setelah generasi Hasan Junus dan para almarhum: B.M. Syamsuddin, Ibrahim Sattah, Idrus Tintin, Ediruslan Pe Amanriza.
 
Menyelesaikan pendidikannya di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Riau, Taufik menulis puisi, novel, resensi seni, dan reportase jurnalistik. “Semuanya bermula dari kegelisahan mencari posisi kemelayuan di tengah peta kenusantaraan ini,” katanya, dengan gayanya yang santai dan akrab. Kini ia memimpin Akademi Kesenian Melayu Riau, bahkan ikut mengelola sebuah radio komersial dan studio musik.
 
Taufik pula yang merintis Yayasan Pusaka Riau, yang giat menerbitkan berbagai buku. Di yayasan ini ia didukung Syaukani Al-Karim, satu lapis di bawahnya, penyair kelahiran Bantantua, Bengkalis, 1968. Sejak di bangku kuliah Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Riau, Syaukani menulis sajak, cerita pendek, dan esai. Bergiat sebagai perwakilan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), tahun ini ia menerbitkan kumpulan sajaknya yang pertama, Hikayat Perjalanan Lumpur.
 
Riau tak hanya kaya penulis, tetapi juga ragam dalam unikum. Ada penulis yang dokter, rajin mendirikan rumah sakit dan perguruan tinggi, bahkan pernah menjadi “Presiden Riau Merdeka”, macam Tabrani Rab.
 
Ada pula polisi yang kemudian menjadi penyair, seperti almarhum Ibrahim Sattah. Atau wartawan-penulis yang kemudian berkembang menjadi pengusaha sukses, seperti Rida K. Liamsi. Atawa insinyur-penulis yang belakangan jadi manajer humas pabrik pulp dan kertas, macam Fakhrunnas M.A. Jabbar.
 
Di antara unikum itu mungkin bisa disebut Chaidir, dokter hewan yang “tersesat” menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Riau untuk dua kali masa jabatan. Chaidir, yang menyelesaikan pendidikannya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan meraih gelar magister manajemen di Universitas Padjadjaran, Bandung, lahir di Pemandang, Rokan Hulu, Riau, 1952.
 
Sejak mahasiswa, Chaidir aktif menulis. Terjun ke dunia politik tak membuat ayah empat anak ini meninggalkan dunia kalam. Pada 1999 ia bahkan mendirikan tabloid Mentari di Pekanbaru, dan menulis kolom tetap setiap pekan di media itu. Ia telah menerbitkan lima buku: Suara dari Gedung Lancang Kuning, Berhutang Pada Rakyat, Panggil Aku Osama, 1001 Saddam, dan Menertawakan Chaidir.
 
Posisi di lembaga legislatif tak menjauhkan Chaidir dari pergaulan dengan para penulis dan seniman Riau. Kadang-kadang, bahkan di forum resmi, para seniman lancar saja melempar sindir ke alamat sang Ketua-tanpa berbuntut sakit hati. Untuk bukunya yang akan segera terbit, Membaca Ombak, Goenawan Mohamad menyempatkan diri menulis kata pengantar.
 
Chaidir, menurut Goenawan, menjalani pilihan yang sulit sebagai “manusia kalam” dan “manusia podium”. Dan pilihan itu bukannya tanpa risiko. Namun, perangai tulisannya adalah perangai yang membesarkan hati. “Perangai yang membesarkan hati” ini pula, tampaknya, yang patut disampirkan kepada para penulis Riau dari berbagai generasi-nama mereka terlalu banyak untuk disebutkan-yang tiada putus-putusnya menulis, berkalam, berdedah, dan bermadah.

10 Oktober 2005. http://sastra-indonesia.com/2011/03/berkalam-dan-bermadah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah