Minggu, 27 Juni 2021

Pembelajaran Sastra Butuh Mak Erot

Anjrah Lelono Broto *
 
Apabila pelajar SMA di Amerika Serikat telah membaca 32 judul buku selama tiga tahun masa pendidikannya, di Jepang dan Swiss 15 buku, sedangkan pelajar SMA di Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam telah membaca 5-7 judul buku sastra, bagaimana dengan pelajar SMA di Indonesia? Survey sederhana yang dilakukan Taufiq Ismail menunjukkan bahwa pasca era Algemeene Middelbare School (AMS), pendidikan lanjutan tingkat atas di masa penjajahan Belanda, pelajar SMA di Indonesia telah membaca 0-2 judul buku sastra saja. Padahal, pada era AMS tersebut, selama menempuh pendidikan pelajar diwajibkan untuk membaca 15-25 judul buku sastra.
 
Ironis sekali, kondisi minim literasi sastra pelajar SMA di Indonesia ini terjadi di negeri yang kaya dengan literasi sastra dan pada saat kita menikmati udara kemerdekaan. Semakin ironis, ketika menteri pendidikan yang baru lengser kemarin, Anton Soedibyo, nampak tekun sekali mempromosikan pendidikan kejuruan (SMK). Padahal, kita semua memahami bahwa dalam pendidikan kejuruan, orientasi pembelajaran terletak pada pengetahuan dan kemampuan bidang eksakta yang jelas tidak memasukkan pembelajaran sastra dalam kegiatan belajar-mengajarnya. Sedangkan, menteri pendidikan dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II, Muhammad Nuh, juga berniat “meLANJUTKAN” program UNAS, bahkan bermaksud menggunakan hasilnya sebagai pijakan penerimaan mahasiswa baru. Sekali lagi, UNAS yang hanya bertumpu pada kemampuan menghitamkan lembar jawaban secara untung-untungan jelas tidak membutuhkan literasi sastra.
 
Selama ini, pengajaran sastra di lingkungan lembaga pendidikan cenderung menjadi pilihan ke sekian dari fokus arah dan strategi pengelolaan pembelajaran. Bila teater dan tari berdiri di lingkungan ekstrakurikuler, sangatlah wajar kalau mereka mendapat perlakuan ala Borjuis-Proletar. Tetapi, lukis dan sastra berada di lingkungan pembelajaran intrakurikuler, kenyataannya dua kutub kesenian dan kebudayaan ini juga menerima perlakuan yang sama. Tari di-okulasi-kan pada bidang studi Kertakes, sedangkan sastra terpaksa di-cangkok=kan pada bidang studi Bahasa Indonesia. Akibatnya, mereka cenderung dipandang sebagai “tempelan” atau “penggenap” yang eksistensinya terpinggirkan dan cenderung untuk ditiadakan oleh elemen-elemen lembaga pendidikan.
 
Beberapa tahun yang lalu, lingkungan pendidikan kita mengenal agenda Sastrawan Masuk Sekolah yang gencar digelar Depdiknas bekerja sama dengan Yayasan Indonesia dan Majalah Horison. Hari ini, agenda tersebut sudah tidak terdengar lagi gemanya. Agenda kegiatan yang mentransmigrasikan sastrawan-satrawan nasional semacam Taufik Ismail, Acep Zam Zam Noor, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabar, Radar Panca Dahana, ataupun Taufik Ikram Jamil ke dalam lingkungan lembaga pendidikan tersebut hari ini tenggelam dengan agenda-agenda pendidikan seperti SBI, RSBI, Kelas Akselerasi, Sertifikasi Guru, MBS, dan lain sebagainya. Mungkinkah karena founding-nya telah berakhir kontraknya? Bisa jadi, toh dalam pesta demokrasi 2009 kemarin juga sepi dari pengamat dan pengawas independen seperti KIPP ataupun JPPPR karena founding luar negerinya tersapu badai krisis global.
 
Mursal Esten pernah melansir pernyatan yang cenderung minor terhadap agenda Sastrawan Masuk Sekolah ini. Ada kekhawatiran dalam benak Esten, agenda tersebut hanya akan menciptakan ketertarikan pada “pesona” figur sang sastrawan dari pada penjelajahan komunikasi imajinatif terhadap teks-teks sastra. Menurut Esten, penjelajahan komunikasi imajinatif adalah roh mendasar kegiatan apresiasi teks sastra. Beberapa sastrawan di daerah juga menilai bahwa kehadiran sastrawan ke dalam lingkungan pendidikan hanya merupakan extravaganza. Karena, apresiasi teks sastra yang dilakukan hanya bersifat semu. Dengan kata lain, hal ini justru merupakan pendangkalan dan pengerdilan nilai-nilai sastra itu sendiri (Surabaya Post, 13/07/2005). Cucuk Suparno menyebut bahwa agenda penghadiran sastrawan ke sekolah justru hanya menjadi snobisme, yang mengagumi sastrawan “tertentu” secara berlebihan yang nir esensi dari apresiasi sastra (Malang Pos, 08/03/2006).
 
Bertolak pada pendapat di atas, maka besar kemungkinan agenda transmigrasi sastrawan ke dalam lingkungan lembaga pendidikan sama halnya dengan promosi album band-band baru yang bergenre teenlit. Padahal sama halnya dengan musik, sastra juga memiliki kekayaan khazanah genre yang apabila pola transformasinya kepada pembaca pemula (pelajar SMA) tidak dilakukan secara holistik akan menimbulkan penyimpangan pemahaman terhadap sastra itu sendiri. Mungkin saja, aspek pasar menjadi pertimbangan utama agenda ini namun bukankah ini pijakan kebijakan yang rapuh?
 
Jujur harus diakui, apresiasi sastra bukanlah suatu hal yang menarik dan serta-merta bisa dilakukan. Mengingat kondisi rendahnya budaya literasi masyarakat kita, dengan sendirnya tidak semua pelajar kita adalah “kutu buku” dan “doyan” baca teks-teks sastra. Beberapa fakta yang berkembang dan dikembangkan oleh pihak-pihak yang terkait dalam proses pendidikan di sekolah adalah; pertama, kegiatan apresiasi sastra cenderung dianggap tidak memiliki prospek yang cerah di masa depan. Berbeda dengan kegiatan belajar Matematika atau Bahasa Inggris yang dianggap implementatif dengan nilai-nilai praksis lingkungan. Akibatnya, pelajar yang memiliki keseriusan dan intensitas tinggi dalam kegiatan apresiasi sastra justru mendapatkan cibiran, bahkan hambatan dari lembaga pendidikan itu sendiri (Baca “Sastra Berduka Di Sekolah”).
 
Conny Semiawan, guru besar Emeritus Universitas Negeri Jakarta, mengatakan bahwa pendidikan di negeri ini masih sangat terpengaruh dan mengikuti arus global sehingga penyelenggaraannya mengalami kekurangan dalam hal orientasi sasaran dan kesadaran terhadap potensi yang dimiliki. Termasuk di dalamnya potensi apresiatif terhadap sastra.
 
Kedua adalah tidak semua guru memiliki minat dan bakat dalam apresiasi sastra yang proporsional sejalan dengan tuntutan profesi. Jangankan mengelola pembelajaran sastra secara memikat, mengkaji teks-teks sastra untuk dirinya sendiri pun mayoritas guru di lingkungan lembaga pendidikan masih terhempas dan terputus. Imbasnya, peserta didik pun menjadi bulan-bulanan aksi pembodohan massal karena guru hanya sekedar memberikan seonggok hafalan teori sastra. Bahkan, penulis menjumpai fakta bahwa kompetensi dasar apresiasi sastra tak jarang justru dilewati lantaran prosentase kemunculannya dalam materi UNAS relatif kecil. Guru memilih mengorbankannya dengan pertimbangan kekhawatiran jebloknya perolehan nilai UNAS.
 
Ketiga, robohnya perpustakaan kami. Buku-buku di perpustakaan sekolah, terlebih buku-buku teks sastra, telah lama tidak mengalami perhatian serius dari pengelola lembaga pendidikan. Pemerintah sendiri, dalam hal ini Depdiknas, memang terkesan enggan untuk membumikan sastra dalam lingkungan lembaga pendidikan. Meskipun jelas tidak akan diakui oleh kalangan birokrat di lingkaran kekuasaan pemerintah, mereka berasumsi bahwa sastra tidak memiliki kontribusi langsung terhadap akselerasi pembangunan. Hal ini membuat dunia penerbitan buku (yang jelas mempertimbangkan untung-rugi) lebih memilih memilih mencetak buku paket dan LKS ketimbang buku-buku teks sastra. Perpustakaan sekolah pun bertahun-tahun hanya dihuni buku-buku teks sastra warisan orde baru yang sudah “basi” dan ketinggalan zaman. Adalah sebuah kewajaran apabila wawasan sastra guru dan pelajar masih berkutat di era “Siti Nurbaya”, “Layar Terkembang”, ataupun “Burung-Burung Manyar”. Ketika ada peserta didik yang “doyan” baca teks sastra kemudian bertanya kepada guru tentang “Saman”, “Supernova”, “Ketika Cinta Bertasbih”, ataupun “Laskar Pelangi”, bisa jadi guru akan berkeringat dingin.
***
 
Peradaban yang terus menggeliat seiring globalisasi menuntut penempatan sastra materi sosialisasi yang urgen dalam lingkungan lembaga pendidikan. Mengapa? Karena karya sastra memiliki andil besar dalam pembentukan karakter dan kepribadian individu. Tengoklah pengaruh Buku “Laskar Pelangi” dalam merekonstruksi paradigma mengajar guru hingga ketika diangkat ke layar lebar membuat sosok Cut Mini (pemeran Bu Maimunah) identik dengan guru dan dunia pendidikan. Buktinya, Depdiknas getol menggaetnya sebagai model iklan Sekolah Gratis.
 
Modal apresiasi sastra yang memadai akan menciptakan output pendidikan yang lebih arif dan bijak. Dalam konteks ini, sastra menjadi sangat urgen. Tidak hanya semata sastra berperan dalam penanaman pondasi keluhuran budi pekerti, melainkan sastra juga memiliki andil dalam pembentukan karakter yang jujur sejak dini. Melalui pergulatan dan pertemuan intensif dengan teks-teks sastra, para siswa akan mendapatkan bekal pengetahuan yang mendalam tentang manusia, hidup, dan kehidupan, serta berbagai kompleksitas problematika dimensi hidup.
 
Teks sastra selayaknya media pembedah-pencerah menguraikan kompleksnya nilai-nilai estetika dan dimensi global kehidupan jelas bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan oleh siapa pun, dimana pun, serta kapan pun. Selain dibutuhkan totalitas pemahaman dan penghayatan yang serius, membedah kandungan teks sastra tidak bisa dilakukan secara serta-merta. Dalam pembimbingan apresiasi sastra di lingkungan lembaga pendidikan seyogyanya meninggalkan slogan dan retorika yang semata berbasis pencitraan. Apakah jika sastrawan kaliber nasional telah melakukan transmigrasi ke sebuah sekolah maka pelajar di sekolah tersebut mendadak piawai mengapresiasi teks sastra? Tentu saja, jawabannya tidak. Namun, bukan berarti haram untuk untuk dilakukan bukan?
 
Ketika kapasitas dan profesionalitas guru mulai ramai dipertanyakan oleh publik dan dianggap impoten dalam melakukan sosialisasi dan apresiasi teks sastra kepada peserta didik, apa salahnya menghadirkan sastrawan ke lingkungan lembaga pendidikan? Karena besar kemungkinan kehadiran sastrawan-sastrawan tersebut mampu menjadi “Mak Erot” yang mampu menyembuhkan frigiditas sastra di sekolah dan merevitalisasi hasrat elemen-elemen sekolah dalam proses pembelajaran sastra. Dus, agenda Sastrawan Masuk Sekolah perlu kiranya dipahami sebagai bagian dari usaha mengembalikan vitalitas apresiasi sastra pelajar.
 
Kondisi tak terpungkiri bahwa pelajar kita lebih mengenal Miyabi dari pada puisi-puisi Sutardji Chalzoum Bachri seyogyanya tidak berlangsung lebih lama lagi.
***
 
Pendapat Mursal Esten dan Cucuk Suparno di atas yang mengkhawatirkan adanya penyesatan apresiasi sastra siswa oleh munculnya keterpesonaan kepada figur sastrawan dan memarjinalkan teks sastranya, memang boleh-boleh saja. Mengingat, tahapan pembelajaran yang paling awal adalah lakuan imitatif yang bersifat personal. Tak salah apabila pelajar memandang sastrawan bak seorang selebritis yang menaburkan mimpi kepada penggemar. Namun, andaikata sang sastrawan mampu hadir sebagai guru dan mengembangkan pola pembelajaran partnership yang berkesinambungan maka kehadiran mereka akan menjadi “Mak Erot” yang mampu meningkatkan kembali vitalitas apresiasi sastra di lingkungan pendidikan yang telah bertahun-tahun mengidap impotensi.
 
Pada konteks inilah sastrawan dituntut perannya sebagai guru dan rekan diskusi yang aduhai. Sastrawan dituntut tidak hanya pandai menterjemahkan teks-teks sastra kepada guru dan peserta didik, mereka juga seyogyanya mampu melakukan transformasi nilai estetika dan gagasan yang terpancar dari teks-teks sastra sehingga membebaskan mitos sastra sebagai “dunia lain” yang “menakutkan” untuk dikunjungi. Pada episode inilah, sastra tidak semata dipahami sebagai produk budaya melainkan media pencerahan, layaknya kitab suci.
 
Merujuk pada asumsi hilangnya founding agenda Depdiknas, Yayasan Indonesia, dan Majalah Horison, tentu saja menghadirkan sastrawan-sastrawan ibu kota ke lembaga pendidikan di seluruh Indonesia adalah persoalan tersendiri. Persoalannya, dimanakah peran sastrawan lokal? Lantas, mengapa sekolah-sekolah yang ada di daerah tidak memiliki inisiatif sendiri untuk membangun sinergi dengan sastrawan di lingkungannya? Mungkinkah apresiasi sastra kita memang benar-benar impoten dan butuh sentuhan tangan cekatan Mak Erot?
***
 
*) Litbang LBTI, Anggota Teater Kopi Hitam Indonesia. http://sastra-indonesia.com/2010/10/pembelajaran-sastra-butuh-mak-erot/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah