Rabu, 30 Juni 2021

Bingkai-Bingkai Kajian Sastra dalam Konteks Pengembangan Pengajaran Sastra (II)

Suminto A. Sayuti
 
Sastra dan Nilai-nilai Kemanusiaan
 
Kegiatan terpenting dalam pelaksanaan pengajaran sastra di sekolah adalah usaha guru dalam mendorong para siswa agar mau, berani, dan mampu menyatakan diri dalam berbagai bentuk ekspresi sastra: siswa didorong untuk mengekspresikan diri seluas-luasnya. Sebagai salah satu bagian kebudayaan, sastra sudah ada dalam perjalanan peradaban manusia. Proses pendidikan, pengenalan, dan pemahaman terhadap sastra akan dapat memperkaya manusia sebagai pribadi dalam sebuah proses tegur sapa yang terus-menerus dengan dunia manusia dan kemanusiaan. Dalam kaitan ini, sastra berpotensi besar sebagai sumber nilai keba­jikan, baik yang berkenaan dengan kebajikan religius maupun sosial, yang pada gilirannya berfungsi menyeim­bangkan dimensi jasmaniah dan rohaniah dalam diri siswa. Kemampuan mengakrabkan diri dengan sastra pada gilirannya akan mengarahkan subjek-subjek yang terlibat di dalamnya memiliki kelembutan hati, ketajaman pikiran, dan kepekaan pera­saan.
 
Sas­tra tidak pernah memberi arah kebenaran dan nilai secara langsung sebagaimana agama memberikannya dalam bentuk-bentuk ekspresi ritualistik. Akan tetapi, sastra mengandung kebenaran sebagaimana hakikat kebenaran dalam agama. Karenanya, oleh sebagian orang sastra diyakini sebagai jalan ketiga dalam mencari kebenaran setelah agama dan filsafat. Kesadaran manusia dalam ber­agama adalah untuk mencari kebenaran mutlak, sedangkan kesadaran manusia dalam sastra adalah untuk mencari keindahan yang diarahkan pada kepe­kaan budi. Sebagai produk kehidupan, sastra mengandung nilai-nilai sosial, filosofis, religius, dan nilai atau norma lainnya. Sebagai bentuk seni yang bersumber dari kehidupan yang bertata nilai, pada gilirannya sastra juga dapat dimanfaatkan un­tuk membentuk sikap dan kepribadian siswa dalam proses pendidikan. Dengan demikian, tata nilai yang ada dalam sastra dapat diberdayakan untuk lebih memperkaya pertumbuhan sikap dan perilaku positif pada diri siswa, dalam rangka membentuk karakter diri sebagai manusia yang menyadari eksistensi kemanusiaannya. Dengan demikian, potensi naluriah dan nuraniah diharapkan mampu tumbuh dan berkembang secara wajar dan seimbang.
 
Pada hakikatnya kehidupan merupakan sebuah keseluruhan. Di dalamnya, manusia terlibat dalam proses eksistensial: ada dan mengada, berikut segenap kehendak dan kecenderungannya, berikut perjuangan-perjuangannya melawan ancaman “neraka” buat mencapai “sorga.” Karenanya, kompleks eksistensial keseharian pun acapkali menjadi keruh tak terpecahkan dan penuh warna, yang dalam keseluruhannya menjadi sumur inspirasi kreatif sastra yang tak habis ditimba: organisasi sosial, moralitas, serta tradisi dan pengetahuan. Hanya saja, karakter kehidupan keseharian keseluruhan seringkali hilang dengan mudah, tak terbedakan, dan putus-putus, tidak demikian halnya dengan sastra. Dalam kekonkretannya, sastra memberi kenikmatan spiritual, memanjakan pancaindera, dan yang jelas: mampu mencukupi dirinya sendiri. Betapapun tak sempurna dan abstraknya, sastra selalu menghasilkan efek situasional melalui kaidah transformasi dan regulasi dalam dirinya sendiri, di samping karena bersumberkan pada hidup insani berikut pengalaman dan dorongan religius, sosial, dan personalnya.
 
Dalam kehidupan keseharian, tindakan, penunaian tugas, dan praksis yang paling sederhana pun selalu bergantung pada konsep keteraturan dan keseimbangan nilai, yang berasal dari berbagai sistem abstrak, yakni sistem yang darinya realitas keseharian itu diorganisasikan dan diregulasikan secara sistematik, baik secara sosial maupun moral. Oleh karena itu, dari waktu ke waktu, pada berbagai sisinya, tindakan dan pengalaman keseharian tersebut menunjukkan adanya beragam jejak abstraksi, generalisasi, dan tipifikasi pemikiran, padahal seharusnya tetap bersifat konkret, heterogen, dan partikular. Terlepas dari intrusi prinsip-prinsip kehidupan tersebut, sastra mampu dan berhasil memelihara heterogenitas dan partikularitas karena menolak adanya regulasi dan sistematisasi. Sebagai salah satu manifestasi kesadaran, sejak semula sastra memang melawan segala bentuk abstraksi karena abstraksi hampir selalu membuat sensitivitas menjadi majal. Dalam sastra, kesan sejati dan pengalaman nyata selalu diupayakan untuk menjadi objek visi secara langsung. Oleh karena itu, pemikiran, idealitas, intelektualitas, dan generalitas yang bersifat mutlak ditentangnya. Penentangan ini tidak berarti sastra kehilangan kesadaran partisipatif dalam melandasi tindakan normatif. Sepanjang berkenaan dengan keseluruhan kehidupan yang konkret dan tak terserpih-serpih, kesadaran semacam itu tetap dijaga; apalagi jika sastra memposisikan diri sebagai “rumah besar” manifestasi dan medium empati bagi “keseluruhan warga-hidup,” serta merangkul berbagai pengalaman yang berasal dari tindakan-tindakan eksistensial.
 
Hakikat gejala sastrawi, dengan demikian, adalah keseluruhan pengalaman manusia yang bersumber dari keseluruhan kehidupan. Artinya, ia merupakan hasil dari proses dinamik dan dialektik-resiprokal yang melalui dan di dalamnya sang subjek kreator maupun reseptornya tidak terpisahkan dari dan berada dalam dunia kehidupan nyata: tempat keduanya tinggal bersama. Karya sastra yang baik meniscayakan tak terpisahkannya diri-subjek yang terlibat secara resiprokal. Dengan demikian, ia pun bisa diamati, ditafsir, dan dinilai bagi dirinya sendiri secara objektif pada satu sisi, sedangkan pada sisi lain, ia memperoleh signifikansi, nilai, dan relevansinya dalam keterkaitannya dengan keseluruhan kehidupan. Relasi dialektik-resiprokal tersebut menjadikan “jagat” yang dibangunnya itu mampu menyuguhkan nilai emosional sejati, yakni nilai-nilai yang mampu membentuk dan meningkatkan taraf hidup dan kehidupan: berbudaya dan berperadaban. Suatu ketika bisa saja sastra secara formalistik tertutup di dalam dirinya sendiri. Dalam konteks yang demikian, sesungguhnya ia mewakili sebuah keretakan yang tak terelakkan dalam proses kehidupan seseorang. Dinyatakan demikian karena landasan objektif sebuah pengalaman tercerabut dari konteks pencerapan dan nilai, dan dihapus dari fungsinya. Artinya, dalam pemenuhan diri dan isolasinya, karya sastra hanya akan berakhir sebagai “busa bahasa, yang ditiup melambung, cuma kempes di udara:” betapapun mempesona dan menariknya, ia menjadi tak berguna karena kehilangan makna kemanusiaan.
 
Sastra akan mampu merefleksikan realitas secara penuh dalam cara yang hidup dan menyentuh apabila ia bersandar pada kenyataan berikut ciri-cirinya yang melekat. Pengabaian akan hal itu akan membuat representasi sastra kehilangan daya gugah. Bobot “jagat” sastrawi hanya diperoleh melalui keterlibatan langsung dan mendalam dengan kenyataan, dan bukan sekedar sebatas pada ciri-ciri permukaan. Dengan cara demikian, sastra mampu menembus jantung permasalahan hingga pada akhirnya mencapai intensitasnya secara penuh-menyeluruh. Intensitas yang penuh-menyeluruh ini bukan merupakan hasil penjumlahan bagian atau elemen-elemen jagat internalnya, melainkan diwarisi dari tiap-tiap bagian atau elemennya yang ada dan dimungkinkan. Kekuatan sebuah karya sastra setara dengan totalitas dan kesatuannya: struktur keseluruhannya sarat oleh hidup dan kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, apapun perubahan ataupun peringkasan yang mungkin dibuat atasnya, karya sastra yang bersangkutan tetap mampu mempertahankan vitalitas total dan kesatuan internalnya, serta tetap lengkap dan mampu berdiri sendiri sesuai dengan pola khas atau partikularitas yang menjadi miliknya.
 
Dalam kehidupan keseharian, seluruh pemikiran, perasaan, dan kehendak kita diarahkan pada satu realitas yang sama, yang membedakan hanya variasinya saja: pada dasarnya kita selalu dihadapkan pada fakta, pertanyaan, dan kesulitan yang sama. Karena itu, perjuangan kita diarahkan pada pemecahan permasalahan eksistensial secara menyatu dan tak tercerai-berai. Situasi ini merupakan dan menjadi situasi yang tak terhindarkan dalam melihat relasi resiprokal antara sastra dan kehidupan. Apapun bentuk tindakan kita dalam hidup keseharian, kita selalu berupaya untuk memahami chaos dan disharmoni, ketidakjelasan dan kekacauan sebuah realitas, dengan lebih baik. Realitas kadang sarat dengan teka-teki, dan seringkali mengancam. Kita pun berupaya memperhitungkannya dengan hati-hati agar berhasil menghadapinya. Dalam dan melalui sastra, kita berupaya dan mencoba untuk menemukan sifat dasar dunia yang harus kita hadapi dan bagaimana kita bisa bertahan hidup di dalamnya. Sebagai pencapaian budaya, karya-karya sastra adalah “rumah besar” berbagai pengalaman yang diarahkan juga pada tujuan-tujuan praktis. Hanya ketika dilakukan upaya-upaya khusus dan dalam kondisi sosio-historis yang khusus pula, sastra berpeluang dipisahkan secara eksistensial dari tempat ia disemai, berakar, tumbuh, dan berkembang. Dalam kaitan ini, sastra dinilai dan ditangani sebagai sebuah aktivitas independen yang memiliki hukum dan nilai-nilainya sendiri. Akan tetapi, sastra tetap merupakan capaian budaya yang tidak terpisah sama sekali secara radikal dari pengalaman praktis.
 
Sebutan-sebutan terhadap terhadap genre sastra tertentu: sastra agamis, fiksi sains, puisi filosofis, sastra dedaktis, novel sejarah, sastra psikologis; menunjukkan dan sekaligus membuktikan bahwa sastra merupakan salah satu sumber (ilmu) pengetahuan. Bukan hanya karena ia melanjutkan “kajian ilmiah” dengan cara melengkapi penemuan-penemuannya, melainkan juga karena ia menunjukkan keterbatasan-keterbatasan kajian ilmiah, yang seringkali “kehabisan tenaga” dalam melakukan sistemisasi realitas, dengan cara memberikan paparan pengetahuan tertentu yang tidak bisa ditelusuri di luar sastra. Melalui sastralah kita memperluas cakrawala pemahaman, meskipun pemahaman itu sendiri bukanlah abstraksi ilmiah yang sesungguhnya. “Penemuan-penemuan” yang dihasilkan oleh sastra terkait dengan berbagai fenomena merupakan hal penting bagi ilmu karena intuisi sastrawi menawarkan pandangan-pandangan yang bisa dijadikan “gapura agung” bagi kajian ilmiah. Dalam kaitan inilah dapat dipahami mengapa pemahaman Ben Anderson terhadap Indonesia, untuk menyebut sekedar misal, utamanya dalam kaitannya dengan “kuasa dan wibawa” politik, banyak ditopang dengan membaca karya-karya sastra. Tentu saja, dalam kaitan ini bukan fakta-fakta politik belaka yang dimaksud oleh Anderson, melainkan telaah terhadap prosesnya dan juga tafsir terhadap perjuangan kelompok-kelompok tertentu, yang kadang luput dari perhatian sejarah perpolitikan dan ilmu pengetahuan sosial. Di sisi lain, sastrawan-sastrawan yang karyanya “dimanfaatkan” untuk kepentingan itu niscaya juga menyadari adanya kekuatan tertentu sebagai fakta-fakta dalam sejarah politik, yang niscaya juga dapat diformulasikan dan dijelaskan secara ilmiah. Persoalan G30S/PKI seperti dalam cerpen karya Umar Kayam dan novel Ahmad Tohari merupakan misal lainnya lagi. Ilustrasi ini menegaskan bahwa novel modern dan landasan sosio-historis memang bisa saja menemukan titik temu. Apalagi jika disadari bahwa sastra dan ilmu berangkat dari persoalan dan bahasa yang sama. Implikasinya, seliar apapun imajinasi seorang sastrawan tidak akan “melampaui batas,” sebaliknya, sekecil apapun imajinasi tersebut selalu mengandung nilai-nilai kebenaran.
 
Sastra sebagai sastra (dalam madzab “seni untuk seni”) merupakan titik awal yang menunjukkan bahwa ia menyimpangi kebenaran keilmuan karena memang tidak berangkat dari ilmu dan tidak pula akan berakhir sebagai ilmu. “Goa-garba” yang melahirkan sastra adalah ruang-ruang spekulatif kebutuhan hidup, dan ia mendapati dirinya berada sejajar dengan ilmu karena peran fungsionalnya sebagai penerjemah sekaligus pemandu keberadaan manusia. Dalam kaitan ini, sastra hendaknya dipandang sebagai “teks” (baca: karya sastra sebagai artefak) yang selalu berhasil mencapai tujuan-tujuannya, yang jelas berbeda dengan “sastra” sebagai doktrin atau pengetahuan doktriner.
 
Perbedaan dan sekaligus persamaan antara sastra dan ilmu terutama karena sastra mampu memposisikan diri di atas struktur intelektual ilmu melalui jalan mengimitasi kenyataan: mimesis. Sementara itu, struktur intelektual ilmu cenderung dengan sadar mengubah berbagai fenomena menjadi prinsip dan kaidah, serta memperlakukan objek secara berjarak dengan ukuran-ukuran nilai tertentu. Seperti halnya dengan ilmu yang secara eksak mengukuhkan realitas dengan berbagai kategori yang diciptakannya, sastra juga mentransformasi, menyesuaikan, dan mengidealisasikan realitas. Keduanya tetap terikat pada realitas objektif. Karena itu, sifat realistis sastra pun se-realistis ilmu. Hal ini tidak berarti bahwa di antara keduanya tidak terdapat ketegangan: jarak antara subjek kreatif dan fakta objektif tetap ada. Artinya, sastra tetap merupakan suatu kaidah yang elemen-elemen pembangunnya berakar dari dunia pengalaman nyata, dan bukan hanya dari dunia ide yang super-inderawi ataupun super-alami —betapapun struktur keseluruhannya telah “dikelola” sehingga menjadi fantastis, atau bahkan: absurd. Ketika “pintu-pintu” lain telah tertutup, sastra mampu mencapai kebenaran lewat “pintu belakang” secara cerdas.
 
Pandangan yang menyatakan bahwa refleksi ilmiah terhadap realitas merupakan representasi fakta yang lebih dapat dipercaya ketimbang refleksi lain yang bisa saja menyimpang dan berubah-ubah dari realitas objektifnya, tidak sepenuhnya benar. Konsepsi ilmiah tentang dunia tidaklah lebih mendekati kenyataan ketimbang konsepsi sastrawi. Dalam kaitannya dengan pengetahuan ilmiah, kita cenderung menaksir terlalu tinggi elemen inventif, dan sebaliknya, menaksir terlalu tinggi elemen mimesis dalam sastra. Terlepas dari segala bentuk imajinasi-fantastik dan sifat berlebih-lebihannya, sastra juga terikat pada realitas, meski dalam cara yang berbeda dengan ilmu. Struktur berbagai genre sastra selalu dibangun berdasarkan susunan realitas. Dalam berbagai upayanya untuk membebaskan subjek dari rutinitas keseharian dan memunculkan realisasi-dirinya sendiri dalam sebuah dunia utopianisme yang bebas-lepas, sastra pun memiliki kebutuhan untuk selalu berpijak pada fakta yang ada dan pengalaman langsung.
 
Bersambung…
http://sastra-indonesia.com/2014/06/bingkai-bingkai-kajian-sastra-dalam-konteks-pengembangan-pengajaran-sastra-ii/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah