Minggu, 27 Juni 2021

Gelombang Puisi-puisi Hasan Aspahani

Abdul Kadir Ibrahim
batampos.co.id
 
Membaca puisi-puisi Hasan Aspahani seperti kita tengah membaca lekuk-lekuk, turun-naik, cekung, beralun-alun lautan yang bergelombang hebat. Terbayang dan dirasakan gelombang dahsyat tengah menuju pantai-gigi pasir pantai atau gelombang kecil di tepi pantai dan semakin ke tengah lautan yang semakin membumbung. Gelombang puisi Hasan Aspahani membuat kita menjadi “mantra”.
 
Sebagaimana lazimnya, berlaku selama terkembangnya zaman- lautan ketika angin sepoi-sepoi, maka gelombangnya biasa-biasa saja. Bahkan ketika musim teduh, lautan selalu dikatakan oleh orang tua-tua Melayu seperti air dalam talam, tenang, berdelau, terhampar maha luas dan menakjubkan! Namun, ketika angin bertiup kencang dan semakin kencang, maka gelombang di lautan pun semakin tinggi= yang dalam bahasa di tanah kelahiran saya, Natuna, gelombang “besar”, laut mengamuk.
 
Ketika gelombang lautan mengamuk, maka tampaklah pucuknya menyambar-nyambar, memecah buih dan memutih, yang dalam bahasa di tanah kelahiran saya Natuna, disebut pula bekat. Sehigga dikenal istilah gelombang laut besar dan bekat bak ketupang- sebagai menggambarkan lautan yang tengah mengamuk akibat topan-badai yang luar biasa.
 
Pun ketika kita menyaksikan, mengikuti, menyimak dan menikmati puisi-puisi Hasan Aspahani, niscayalah sangat merasakan semakin meningginya gelombang yang saya maksudkan itu. Tambah lagi kalau kita sudah menyaksikan dia membaca puisi-puisinya. Dia membaca dari tekanan suara yang sedang-sedang saja pada awal pembacaan, kemudian semakin meninggi-semakin meninggi dan akhirnya terasa sangat menyentak membuat kita terhenyak dan seketika meraba perih hati-nurani atas apa-apa yang tiada patut sudah terlanjur kita buat atau alami. Maka jangan heran, ketika Hasan Aspahani sedang membaca puisi lalu seorang penyair besar sekelas Rida K. Liamsi pun sempat menitikkan airmata dan itu pula yang saya saksikan di “Batam Kota Tengkorak Hitam”.
 
Dalam perjalanannya sebagai penyair- yang menurut perkiraan saya, Hasan Aspahani jikapun menjadi penyair, tetapi saya sangat yakin dia tidak akan sebesar sekarang, seandainya ia menetap (berpenghidupan) di tanah kelahirannya atau berada di kota lain sekalipun. Dia muncul dan kemudian menjadi penyair yang dikenal di tanah Indonesia dan beberapa negara mana-mana dunia, tersebablah adanya oleh karena ia tinggal, menentap (berpencaharian) di Kota Batam khususnya dan Kepulauan Riau umumnya. Tanah Melayu Kepulauan Riau (sebelumnya termasuk Riau daratan yang kini Riau) telah menjadi roh, inti-teras bagi kepengarangannya. Tanah ini telah menempa, mencemeti, menyemangati, dan membekali dia dalam membernaskan akal-pikirannya sehingga fasih memakai dan memaknai kata-kata.
 
Dari tanah ini (Kepulauan Riau) ada, hidup, tumbuh dan berkembang tradisi bahasa-sastra Melayu berupa cerita rakyat, syair, pantun, sapah-serapah (maksunya bukan “sumpah-serapah” atau kata yang benar “sumpah-seranah”, melainkan sejenis mantra tetapi kalimatnya pendek, singkat dan padat. Misalnya, hai ikan! Air pasang bawa ke insang/ air surut bawa ke perut/ sintak ragut/ biar putus daripada rabut/ puah!), mantra, gurindam, dan sebagainya. Di samping bahasa-sastra lisan tersebut, di kawasan ini ada sastrawan besar antara lain Raja Ali Haji, Ibrahim Sattah, Sutardji Calzoum Bachri, Aisyah Sulaiman Riau, Hasan Junus, Rida K. Liamsi dan BM. Syamsuddin.
 
Generasi selepas itu sebagai generasi baru, antara lain ada “Budak Natuna” kata Taufik Ikram Jamil dalam makalahnya sewaktu Dialog Selatan II di Pekanbaru (1995) Husnizar Hood, Hasan Aspahani, Samson Rambah Pasir dan Ramon Damora. Tak kalah penting, kawasan ini menyimpan “kekuatan gaib” yang luar biasa bagi lahirnya pengarang dengan karya-karya besar. Agaknya, karena dibangun dan ditopang bentangan lautan yang luas dan oleh banyaknya pulau yang kata Duad Kadir dalam satu di antara lagunya, “Segantang Lada”.
 
Di samping itu pula, di tanah ini pernah tumbuh, berkembang dan jaya Kerajaan Melayu (Kerajaan Bintan, Johor-Riau-Pahang-Lingga yang kemudian bernama Riau saja) dalam kurun waktu berabad-abad. Kerajaan Melayu dengan kebudayaan dan perabadannya yang sangam itu, niscayalah telah menjadi “hal penting” muncul dan besarnya nama-nama pengarang dari kawasan ini. Hal lain, di kawasan ini ketika Indonesia merdeka sebelum otonomi daerah berlaku boleh dikatakan “entah di mana kemerdekaan” itu. Dan, ketika otonomi daerah berlaku, ternyata hati-nurani, akal-pikiran pengarang tetap terusik oleh pedih-pilu kebodohan, kemiskinan dan pengrusakan lingkungan, baik di darat maupun di laut yang entah sampai bila pula tak lagi “berdarah” di tengah kehidupan masyarakat.
 
Tanah ini, adalah tanah yang bertuah bagi pemuliaan kata-kata (bahasa) dan budi (maknanya adalah jasa tetapi tidak mengharapkan balas jasa dan berbuat baik dengan ikhlash). Sebagaimana petuah Raja Ali Haji dalam Gurindam Dua Belas-nya “jika hendak melihat orang berbangsa/ lihatlah kepada budi dan bahasa”. Raja Ali Haji telah dengan sungguh-sungguh memarwahkan bahasa. Untuk itu atas usulan Walikota Tanjungpinang, Dra. Hj. Suryatati A. Manan kepada Guberur Riau, lalu kepada pemerintah pusat Presiden Republik Indonesia pun mengangkatnya menjadi pahlawan nasional pada November 2004: “sebagai pemurni bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia”.
 
Pada Agustus 2008 lalu, Presiden Penyair Indonesia kepenyairannya bermula dari Tanjungpinang mendapat penghargaan dari Presiden Republik Indonesia. Lalu, masih segar dalam ingatan kita, pada 28 Oktober 2008, Walikota Tanjungpinang, Dra. Hj. Suryatati A. Manan yang belakangan juga dikenal sebagai penyair dengan “gayanya” sendiri kabarnya satu-satunya kepala daerah yang mendapat menghargaan dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional RI atas jasanya melakukan pembinaan bahasa dan sastra di daerah. Juga menjadi pemakalah dan baca puisi serta berpantun dalam Kongres IX Bahasa Indonesia.
 
Anugerah pahlawan nasional yang diterima Raja Ali Haji atas jasanya dalam bidang bahasa dan sastra pada masa lalu yang makna-nilainya tetap mengkini, Sutardji Calzoum Bachri yang menerima anugerah atas “luar biasa” puisi-puisinya bagi perpuisian Indonesia modern bahkan memberi andil terhadap puisi-puisi dunia, serta Hj. Suryatati A. Manan pada masa kini menerima penghargaan secara nasional juga atas jasa dalam hal yang hampir sama, tidak dapat kita katakan sebagai sebuah kebetulan. Ketiga penghargaan secara nasional terhadap tiga tokoh tersebut, menjadi “penanda” yang jelas sudah, bahwa daerah ini memang mempunyai “marwah” dan “martabat” dalam bidang bahasa dan sastra.
 
Di bila-bila masa mendatang, tidaklah sebagai hal mengada-ada apabila Hasan Aspahani atau yang lainnya juga masuk dalam leretan yang mendapatkan penghargaan bukan hadiah sebagai pemenang dalam suatu sayembara secara nasional itu. Namun pada sisi lain, adalah kita tercuguk seperti kadam, ketika ada orang muncul mengkhotbahkan dirinya atau temannya sebagai penyair tapi entah di mana ia adanya pernah menulis puisi apa berupa koran, majalah, apatah lagi berupa buku atau agaknya di papan batu dengan alat tulis anak batu seperti zaman saya sekolah semasa SD dulu di kampung jauh, Natuna tak taulah.
 
Lainnya, tatkala rambut di kepala sudah beruban baru cerita nak menerbitkan buku kumpulan puisi, pun ada. Mengaku pula sebagai “datuk” penyair pun ada, meskipun sepengetahuan ramai orang yang bersangkutan tak dikenal dan tak pernah pun menulis apa-apa dalam bentuk lembaran apalagi di koran atau majalah. Agaknya di jendela serambi dapur ianya menulis. Seteruk itukah dunia sastra, Hasan?! Begelige, Wai!
 
Lain halnya dengan Hasan Aspahani karya-karyanya tak sulit diperoleh, dapat ditengok di koran-koran atau majalah lokal maupun nasional. Beberapa buku kumpulan puisinya secara sendirian atau beramai-ramai (bersama) penyair lainnya, juga ada. Puisinya, juga sudah dibincangkan ramai orang, baik dari kalangan sastrawan, kritikus sastra maupun lainnya. Agakanya, adanya penyair berkat “lampu aladin” semacam itu “lantaklah”. Bolehjadi, itu bahagian dari demokrasi juga dan “cara baru” untuk bertahan hidup?!
 
Di tanah Melayu, hakikat kata-kata sesungguhnya pantang diucapkan serampangan dan apalagi tidak memberi manfaat, tiada faedah, mendatangkan dosa. Kata-kata bagi orang Melayu amatlah pada inti-terasnya untuk memuliakan Tuhan, manusia dan kehidupan. Kata-kata dihadirkan dari mulut, antara hidup dan maut, tidak sekedar untuk mengucapkan atau menyampaikan sesuatu, melainkan ada kebaikan dan penuh pertanggungjawaban, baik kepada dirinya sendiri, orang lain bahkan kepada Allah SWT. Tersebab itulah, Raja Ali Haji mengatakannya “lihat kepada budi dan bahasa”. Kata-kata haruslah baik, indah dan terpuji. Bagi orang Melayu terasa amatlah perih di hati bila ada orang tengah membaca katanya membaca puisi kata-kata yang dipakainya terang benderang menyebut apa-apa alat vital manusia atau semacam dengan itu. Misalnya, kata “selangkangan”, “perawan”, “vagina”, “pelacur”, “bersetubuh”, “mani”, dan sebagainya. Jika ia paham, sadar, tahu diri bahwa ianya orang Melayu atau hidup-tinggal-menentap (berpengidupan/bermata pencaharian) dan berkarya (mengarang) di tanah Melayu, kata-kata semacam itu malu ia pergunakan. Niscayalah ia akan berupaya sedapat-dapatnya memakai kata-kata kias, simbol, metafora atau lainnya sesuai hakikat bahasa bagi orang Melayu sebagaimana kita seneraikan di atas.
 
Puisi-puisi Hasan Aspahani sungguh bertabur, berlompatan, dan bertepek simbol, metafora (perlambangan). Kata-kata yang didipakai sebagai rangkaian kata-kata menjadi kalimat sepanjang puisinya benar-benar pilihan, bernas, bermartabat dan memuliakan manusia, alam-lingkungan dan Tuhan. Ini artinya, dia telah berhasil menjadi penyair (pengarang) bukan sekedar berjejak dan bertapak kaki di tanah Melayu Kepualauan Riau, melainkan “mengakar ke bumi dan menggapai ke langit” meminjam “istilah” judul buku Taufiq Ismail tanah (dunia) Melayu di masa lalu, kini dan mendatang.
 
Kita akan merasakan betapa Hasan Aspahani seolah-olah tidak memberi kesempatan kepada kita untuk rehat sebentarpun dan sebaliknya terus berlari, berpacu semakin kencang, semakin “menggila” agar mengikuti serangkaian kata-kata puisinya, baik setiap puisi maupun seluruh puisi dalam sebuah kumpulan buku puisinya. Makanya, di awal seneraian ini saya katakan, puisi Hasan Aspahani ibarat gelombang atau dengan kata lain puisi-puisinya benar-benar menjadi gelombang puisi. Merekam jitu masa lalu, mendedah bernas masa kini dan brilian ide bagi masa depan manusia dan kemanusiaan terhadap alam jua Tuhan. Penyair ini telah menjadikan kata-kata tidak seperti buih di pertemuan sungai dengan lautan, tetapi menjadikannya “mutiara” di tengah kata-kata “sakti” para pujangga.
 
Hasan Aspahani, menampilkan puisi saya tidak mengutif satu baris pun puisinya, karena sudah ada dalam buku kumpulan puisinya, antara lain Orgasmaya, (Sagang, 2008), yang kita masing-masing dapat membacanya yang kata-katanya bak merangkum pantun, petuah-petuah, syair, dongeng, gurindam, dan bahkan mantra. Tersebab itulah menjadikan puisinya kaya rasa, bernas nilai, sarat cita-cita, mulia pesan. Tersebab itulah, puisinya terasa tak puas-puas untuk dibaca, dinikmati dan niscayalah bila-bila masa tetap “mengkini” meminjam istilah Sutardji Calzoum Bachri (2004) aktual dan orisinal.
 
Hasan Aspahani, kalau diturutkan tulisan ini tak hendak usai. Kekayaan inetelektual dikau dalam meletakkan kata-kata pada singgasana meminjam istilah Kazzaini KS (2000) baik puisi maupun bentuk tulisan lainnya membuat orang lain hanya bisa temberang dan berkata-kata di balik jendela tua yang segera pengempapnya sampai tak berkutik. Entah berapa macam bunga untuk dapat melambangkan kata-kata yang kau “sabdakan” bagi dunia perpuisian Indonesia mutakhir dunia itu telah dicapai elok nian!
 
Tapi, sudahlah. Tahniah! Ehhm. Saya jadi teringat ketika kita baca puisi di Batam beberapa tahun lalu, penyair A. Aris Abeba sebelum baca puisi sempat “berkhotbah”. Katanya, jadilah penyair yang tidak terkena sindiran Tuhan, bahwa penyair yang hanya menulis syair atau puisi-puisi dengan kata-kata penuh kemuliaan tetapi tidak mengamalkan kemuliaan, atau kata-kata puisinya penuh kata-kata kotor, tidak senonoh, maka termasuklah dalam kelompoknya syaithan. Dalam kaitan ini, jangan pula awak sampai menjadi “penjual kata-kata”, nanti digelar “Nabi Palsu” dan penjaralah alamatnya. Nauzubillaahi min zaalik.
 
Oh, ya, kata sahabat kita di “seberang yang jauh” sayangnya sahabat itu tidak berkenan mengatakan nama daerah/kota sebenarnya daripada “seberang yang jauh” itu ternyata di kawasannya ada yang mengaku penyair, dan sudah berusia di atas 40 tahun bahkan hampir 60 tahun, tetapi kesukaannya mencaci-maki orang. Orang lain tak boleh “berpucuk” hebat, tersebab merasa ia sajalah “pemilik sahnya” hebat itu sepanjang masa. Kelakuannya sungguh susah mau disandingkan dengan Gurindam Dua Belas gubahan Raja Ali Haji. Perangainya seperti budak-budak degil yang tengah berebut pisang rebus.
 
Mendengar pernyataan pedihnya itu, saya hendak membantah keras, tetapi dia katakan, ada baiknya kita pinjam istilah Ebit G Ade: “tanyakan kepada rumput yang bergoyang” saja. Atau kita tanyakan kepada Dewa Mendu- Selambe sajalah! Tak kesah… Saya pun menelan ludah, mengurut dada, sabar! Sidang pembaca, cukuplah seadanya seneraian ini. Mohon maaf atas segala kesilafan dan kesalahan. Wassalam.
***

Tanjungpinang, Zulkaidah 1429/ November 2008 http://sastra-indonesia.com/2009/03/gelombang-puisi-hasan-aspahani/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah