Kamis, 08 Juli 2021

ASRUL SANI: KONSEPTOR SURAT KEPERCAYAANG GELANGGANG

Maman S. Mahayana *
 
Ketika kita bicara soal Polemik Kebudayaan, serta-merta nama yang segera muncul dalam ingatan kita adalah Sutan Takdir Alisjahbana. Tokoh inilah yang menggelindingkan perdebatan kultural saat bangsa ini dilanda kegandrungan romantisisme. Harapan untuk mendirikan dan merumuskan kebudayaan Indonesia menjadi sebuah keniscayaan yang mengejawantah di dalam perjuangan politik pergerakan dan berbagai gagasan mengenai kebudayaan Indonesia. Nama Alisjahbana lalu menjadi semacam mitos dalam perjuangan kebudayaan.
 
Selepas merdeka, tepatnya pertengahan 1946, atas usaha Chairil Anwar bertemulah sejumlah seniman, antara lain, Asrul Sani, Baharuddin, Basuki Resobowo, Henk Ngantung, Rivai Apin, M. Akbar Djuhana, Mochtar Apin, dan M. Balfas. Mereka berkumpul untuk merealisasikan pendirian perkumpulan kebudayaan (kunstkring) Gelanggang Seniman Merdeka. Pada tanggal 19 November 1946, lahirlah preambul Gelanggang. Perkumpulan ini kemudian mengklaim diri sebagai Generasi Gelanggang.
 
Dalam preambul Anggaran Dasarnya itu, dinyatakan bahwa Generasi Gelanggang lahir dari pergolakan roh dan pikiran yang sedang mencipta manusia Indonesia yang hidup. Generasi yang harus mempertanggungjawabkan dengan sesungguhnya penjadian bangsa ini. Oleh karena itu, ia harus melepaskan diri dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat yang lapuk. Ia juga harus berani menentang pandangan, sifat dan anasir lama itu untuk menyalakan semangat dan bara kekuatan baru. Secara padat, semangat, elan, dan sikap Generasi Gelanggang ini lalu dirumuskan dalam sebuah surat terbuka yang diberi nama Surat Kepercayaan Gelanggang, bertarikh 18 Februari 1950, hampir setahun setelah Chairil Anwar meninggal.
 
Siapakah sesungguhnya konseptor di balik perumusan Surat Kepercayaan Gelanggang itu? Apa pula signifikansinya sehingga Surat Kepercayaan Gelanggang akhirnya dipublikasikan, justru setelah Chairil Anwar meninggal dan hampir empat tahun setelah berdiri Gelanggang Seniman Merdeka?
 
Sebelum pemuatan Surat Kepercayaan Gelanggang dalam Siasat, 22 Oktober 1950, Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani menerbitkan sebuah antologi bersama yang berjudul Tiga Menguak Takdir (1949). Seperti pisau bermata dua, buku ini secara idealis, menolak konsepsi kesusastraan baru Pujangga Baru dan sekaligus menentang gagasan Alisjahbana tentang kemutlakan menatap Barat. Yang hendak ditekankan angkatan ini adalah harga diri untuk tidak menerima secara membuta-tuli semua yang datang dari Barat. Tetapi, di lain pihak ketiga penyair ini pun sesungguhnya melanjutkan gagasan Alisjahbana itu. Periksa saja mukadimah Anggaran Dasar Generasi Gelanggang serta semangat yang melandasi Surat Kepercayaan Gelanggang. Secara jelas kita masih merasakan adanya jejak pemikiran Alisjahbana. Dengan demikian, Generasi Gelanggang bukan tanpa sadar hendak melanjutkan perjuangan Alisjahbana.
 
Dalam berbagai pembicaraan Angkatan 45, Surat Kepercayaan Gelanggang dianggap mewakili pendirian, semangat, dan sikap estetik mereka. Jadi, dalam hal ini, meskipun dalam soal penerimaan pengaruh Barat kita masih dapat menelusuri jejak Alisjahbana, demikian juga pandangan mengenai tradisi masa lalu yang dikatakan “tidak ingat kepada melaplap hasil kebudayaan sampai berkilat… tetapi memikirkan kebudayaan baru yang sehat,”angkatan ini tampak lebih reflektif dan berhasrat menggali kemampuan sendiri.
***
 
Sementara itu, publikasi Surat Kepercayaan Gelanggang yang dimuat dalam Siasat, 22 Oktober 1950, terlambat hampir sembilan bulan lamanya jika melihat tarikh yang tercantum di sana. Penyiaran itu sangat mungkin dimaksudkan sebagai reaksi atas publikasi Mukadimah Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dicetuskan 17 Agustus 1950. Indikasinya tampak dari beberapa faktor berikut.
 
Pertama, Baharudin, Basuki Resobowo dan Henk Ngantung yang semula termasuk pendiri Generasi Gelanggang, justru masuk Lekra. Menyusul kemudian Rivai Apin, tercatat menjadi anggota pada sekretariat pusat Lekra. Dengan sendirinya, mereka tidak dapat lagi mewakili Generasi Gelanggang. Baharudin, misalnya, dalam sebuah artikelnya yang dimuat Spektra, II, 9, 29 September 1950, mengatakan: “Kewajiban seni adalah mendidik dan dalam hiburan mempunyai satu tujuan yang tegas yaitu kegembiraan kerja dan semangat perjuangan rakyat.” Di bagian lain, dengan tegas ia juga menolak gagasan humanisme universal yang pada awalnya justru merupakan sikapnya dalam ikut melahirkan Gelanggang Seniman Merdeka.
 
Kedua, secara ideologis, Lekra berseberangan dengan Generasi Gelanggang. Pertentangan ini sesungguhnya terjadi karena memang Lekra dan Generasi Gelanggang berpijak pada pandangan yang berbeda mengenai kesusastraan dan kesenian pada umumnya. Lekra berangkat dari gagasan realisme sosialis yang menuntut keberpihakan seniman pada rakyat dan menempatkan politik sebagai panglima. Generasi Gelanggang menganjurkan humanisme universal, kemanusiaan sejagat, tanpa memandang status sosialnya. Sedangkan urusan politik dan kesenian (kesusastraan) adalah persoalan yang tidak perlu saling mencampuri. Kebudayaan tidak perlu terlibat dalam urusan politik. Pembelaan budayawan hanyalah pada nilai-nilai kemanusiaan universal.
 
Ketiga, kemajuan Lekra yang begitu luas memasuki sejumlah kota besar di Indonesia setelah beberapa bulan pendiriannya, jauh lebih bergema dan berpengaruh dibandingkan kiprah Generasi Gelanggang. Setidak-tidaknya, pengaruh itu diukur berdasarkan gencarnya publikasi sastrawan Lekra dan bertumbuhannya cabang-cabang Lekra berikut berbagai organisasi keseniannya. Beberapa bulan setelah pendirian Lekra, misalnya, di Surabaya, Yogyakarta, Medan, dan Bandung telah berdiri cabang-cabang Lekra yang disemarakkan pula dengan berbagai kegiatan keseniannya. Setelah itu, kemudian berlanjut dengan munculnya cabang-cabang Lekra di sejumlah kota di pulau Jawa dan luar Jawa. Prestasi ini diikuti pula oleh usaha penerbitan. Zaman Baru, Republik (Surabaya), Harian Rakjat, Sunday Courier (Jakarta) dan Rakjat (Medan) adalah media massa yang berada di bawah penerbitan Lekra yang ketika itu banyak dimanfaatkan pula sebagai corong Partai Komunis Indonesia (PKI).
 
Keempat, Lekra yang secara tegas menyatakan bahwa “rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan” seolah-olah sengaja hendak menanfikan keberadaan Generasi Gelanggang yang terkesan elitis. Pertentangan antara dua paham yang berbeda itu, yaitu antara golongan pendukung gagasan humanisme universal dan sastrawan Lekra yang menganut paham realisme sosialis, makin melebar dengan fitnah dan teror yang banyak bermunculan di berbagai media massa. Dalam perkembangannya, pendukung humanisme universal didukung oleh sastrawan dan seniman lainnya yang lalu mencetuskan pernyataan sikapnya yang tertuang dalam Manifes Kebudayaan. Puncaknya terjadi ketika Presiden Soekarno, 8 Mei 1964, melarang Manifes Kebudayaan. Para penada tangan pernyataan itu diberangus dan tak diberi ruang gerak apa pun.
***
 
Terlepas dari persoalan yang melatarbelakangi publikasi Surat Kepercayaan Gelanggang, pengaruhnya sendiri yang semula kurang begitu bergema, terus bergulir dan menjadi besar justru lantaran serangan pihak Lekra. Nama Asrul Sani sebagai penulis naskah itu, seolah tetap surut di bawah hingar-bingar polemik dan bayang-bayang nama besar Chairil Anwar. Meskipun demikian, dalam pandangan sastrawan tahun 1950-an, pengaruh Asrul Sani, sama besarnya dengan Chairil Anwar, Idrus, atau Pramoedya Ananta Toer. Asrul Sani dan Chairil Anwar, tetap menempati kedudukan yang khas di mata sastrawan masa itu. Ketika desakan Lekra begitu kuat, Asrul Sani bersama Usmar Ismail kemudian mendirikan Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang berinduk pada partai Nahdhatul Ulama (NU).
***
 
Pada tahun 1954, saat diundang Universitas Harvard untuk menghadiri seminar tentang kebudayaan, Asrul memanfaatkan kesempatan itu untuk memperdalam pengetahuannya tentang teater. Inilah awal ia terjerumus pada bidang teater. Sekembalinya dari Amerika tahun 1955, ia mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) bersama Usmar Ismail dan D. Djajakusuma. Dari sinilah ia meluaskan kiprahnya, memasuki teater dan film. Puluhan naskah drama dan film telah dihasilkannya.
 
Lalu bagaimana gagasan Asrul Sani tentang idealismenya membangun kebudayaan Indonesia yang dalam Surat Kepercayaan Gelanggang dinyatakan sebagai “… ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.”Dalam artikelnya, “Surat Kepercayaan” (Gelanggang, I, 1, Desember 1966), Asrul tetap konsisten pada sikapnya semula: “Kita tidak menolak ‘isme’ apapun dalam kesenian… kita adalah penentang keras pendirian ‘politik adalah panglima’”. Satu hal yang penting dan tidak boleh diabaikan dalam pembangunan kebudayaan Indonesia, dinyatakan Asrul dengan kalimat: “Agama sebagai kesatuan yang merupakan pengikat dan memberi bentuk batin kesatuan kebudayaan.”
 
Sejalan dengan perjalanan waktu, sosok Asrul Sani terus menggelinding. Membongkar dan meneroka kebobrokan elite penguasa korup, sambil terus mengingatkan: bahwa masalah pembangunan di tanah air kita ini bukan hanya masalah uang, alat dan keamanan, tetapi terutama kualitas manusia. Dan bangsa ini hancur lantaran negeri ini dikelola oleh sebuah rezim yang berkualitas meminggirkan kebudayaan; para pemimpin yang tidak mau menempatkan pembangunan kebudayaan sebagai semangat mengangkat harga diri bangsa! Sesungguhnya Asrul telah mengingat masalah itu lewat pernyataannya dalam Surat Kepercayaan Gelanggang. Inilah kontekstualitas gagasan Surat Kepercayaan Gelanggang bagi kita.
***
 
Kini, salah satu tokoh penting Angkatan 45 itu, telah meninggalkan kita. Malam hari, 11 Januari 2004, Asrul Sani menghembuskan nafas terakhirnya. Meski demikian, Asrul Sani telah menaburkan banyak karya dengan konsistensinya mengusung kebudayaan sebagai salah satu bagian penting dalam pembangunan kualitas manusia. Semangatnya –seperti juga semangat Chairil Anwar—niscaya akan tetap hidup dalam jiwa manusia Indonesia yang mengusung kebudayaan sebagai teras dalam upaya mengangkat martabat bangsa. “Selamat jalan Sang Konseptor Surat Kepercayaan Gelanggang!”
***
 
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000). http://sastra-indonesia.com/2008/10/asrul-sani-konseptor-surat-kepercayaang-gelanggang/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah