Selasa, 06 Juli 2021

Spektrum

A. Rodhi Murtadho *
 
Spektrum terus memancar. Mengaromakan anyir yang tak henti-henti. Menindas segala galau dan cemas. Suara-suara sumbang tak mendamaikan. Amarah Karti menambah keruh pikiran. Murka semua orang di kala kembang desa yang banyak dipuja lelaki tiba-tiba seperti orang gila. Semua lelaki diajaknya senggama. Membiarkan mereka menikmati tubuhnya yang dulu benar-benar dijaga kesuciannya agar benar-benar menjadi kembang desa tulen.
 
Dia selalu meramu rayuan yang sudah terdengar memuakkan. Tapi lelaki tak memperdulikannya, yang penting ujung-ujungnya mereka bisa menikmati tubuh pualam. Mencicipi bibir merah delima. Harum rambut yang tergerai menyapa. Sampai mereka bisa memasukkan nafsunya untuk merasakan kenikmatan yang telah banyak dicicipi.
***
 
Damai alam menyejukkan hati. Menyegarkan kepenatan yang terbawa. Damai. Karmi terus menyandarkan kepala di pundaknya. Harapan yang selama ini terus berpendar dalam dirinya. Cumbu rayu sudah tak begitu asing mereka lakukan. Pemuas nafas yang sudah jarang merasakan hangat nafas sendiri. Membiarkan diri mereka menyelam dalam segara. Saling memberi kelembutan, kesejukan, kenikmatan, kehangatan sampai mencapai puncak, kepanasan.
 
Pakaian mereka terlepas dengan mulut sudah terengah-engah, menyatu. Membuka BH mereka. Tangan mereka saling mengklentit dengan nada dan cibiran yang merindu, merenda dalam kamar Karti. Jendela sengaja dibiarkan terbuka. Membiarkan angin masuk. Mendinginkan tubuh mereka yang sudah basah dengan keringat.
***
 
Ia mengenal Katmo sudah setahun yang lalu. Pertemuannya di sawah membuat Katmo selalu datang di rumahnya ketika malam minggu. Melancarakan kata-kata ke benaknya. Ia tak juga tergugah. Ia ingat kalau kalimat manis selalu ia dapatkan. Selalu ibunya dapatkan dari ayahnya.
 
Kekaguman pada ayahnya, pada awalnya, membuat ia mempercayai begitu saja ucapan. Apapun itu. Satu-satunya orang yang dianggap mengerti dan selalu memenuhi kebutuhannya dan ibu. Tak menaruh curiga. Kenyataan berbicara lain. Ayahnya selalu tak menepati sendiri kata-katanya. Mengingkari segala janji dan sumpah. Ia terbius dalam kekecewaan yang dilihat dalam pertengkaran ayah dan ibunya setiap hari.
 
Ia hanya duduk termangu di beranda. Menyaksikan perang yang tak berujung. Ayah dan ibunya. Ia tahu kalau ayahnya selalu berkelakuan tak mengenakkan bagi ibu dan dirinya. Ia tahu kalau ibu yang dikenalnya penuh kelembutan dan kasih sayang. Selalu bersabar. Menceritakan tentang kedamaian meski setiap hari ia melihat ibunya tak bisa berdamai. Menceritakan kancil yang cerdik meski tiap hari ia melihat ibunya hanya pasrah menerima tamparan dari ayahnya. Tak bisa menghentikan segala kemunafikan. Ia hanya tahu tubuh ibunya lebam karena ayahnya.
 
Ketakutan tak menyurutkannya untuk selalu berusaha berbuat baik kepada ayahnya. Menawarkan segala kasih yang tak bisa diberikan lagi ibunya yang telah meninggal. Mungkin meninggal karena kesal disiksa. Ia melucuti pakaiannya sendiri di depan ayahnya yang tengah mabuk. Ia ingin menjadi pengganti ibu yang lembut dan penuh kasih sayang. Ia memperlakukan ayahnya seperti ibu memperlakukannya. Dulu, ia pernah mengintip ibu dan ayahnya yang berada di kamar sedang terengah-engah penuh keringat. Saling tindih. Menawarkan segala kenikmatan tubuh untuk dikulum dalam bibir. Melumat segala tonjolan yang menjebak rasa nikmat. Ia tahu ibu tersenyum meski ayahnya memukul dan menggigitnya. Ia hanya heran.
 
Ayahnya sepeti dimasuki roh banteng. Menggosokkan kakinya siap meluncur. Hidungnya mulai mengendus aroma perawan anaknya. Hanya tahu kalau yang berada di hadapannya hanya seorang perempuan yang akan memberikan kenikmatan dari selangkangannya. Tak mengenal lagi darahnya juga mengalir di sana bersama istrinya.
 
Ia terus mengenduskan nafasnya yang tak juga teratur oleh tindihan ayahnya. Ia tahu ibu selalu tersenyum ketika ayahnya dengan erangan nafas babi berada di atasnya. Ia tersenyum.
***
 
Kembang desa sudah menjadi momok yang khas di desa Tanggul. Sosok yang melantunkan nama Karti. Mengalun dari berbagai percakapan. Banyak jejaka yang tak bisa melewatkan untuk tak membicarakannya. Membahas segala andai yang bisa dilakukan bersamanya. Sebagai pasangan atau kadang sebagai pembantu.
 
Semua orang ingin memiliki keindahannya. Karmi terus berusaha mendekati Karti dengan setangkup harap cemas. Mengetahui segala yang menimpanya. Ia tahu kalau dia punya masalah hampir sama dengannya. Lelaki. Tidak membencinya. Tapi kadang menjadi momok yang menakutkan. Ia banyak bercerita panjang lebar tentang dirinya. Kisah yang sama. Dia seperti mendengar bibirnya sendiri mengucapkan kata-kata. Dia merasakan kepedihan yang sama dengan ia.
 
“Kau tahu kalau aku tak pernah membenci lelaki, hanya saja jiwaku ini sudah terukir seolah sama dengan mereka. Ketika ayah merenda diriku dengan nada keras kemarahannya atau pukulan-pukulan di sekujur tubuh,” dia berucap.
“Kalau aku, harus menjadi pengganti ibu, suami ayah. Meninabobokkannya di antara selangkangan. Di atas tubuhku,” ia berucap.
“Aku sudah menjadi laki-laki.”
“Aku butuh lelaki sepertimu, bukan seperti ayahku.”
 
Tak ada pemandangan aneh yang menguras simpati. Mereka bersahabat. Bergantian saling mendatangi rumah. Mencibir setiap kelam di antara pengapnya udara kamar. Berbagi kasih. Bingung menerkam. Tak ada mangsa atau pemangsa. Hanya gesekan-gesekan lembut wangi tangan. Belaian halus mengalun dari rambut sampai kaki. Lidah-lidah mulai bergentayangan. Peluh mulai berleleran. Tak ada rasa canggung. Semua bentuk sama menyatu dalam kerinduan panjang.
 
Lenguhan selalu terdengar dari kamar ketika mereka bersama. Menadakan kebimbangan yang sama. Harus terpekur lama di atas ranjang untuk menunggu haru. Membentangkan pikiran tak menjelaskan apapun. Semua samar dalam semilir penat. Tak mengisyaratkan. Tak juga menandakan. Apalagi menghasilkan. Hanya kepuasan dan kebutuhan terpenuhi.
 
Desas-desus itu sudah terdengar sampai sudut-sudut desa. Bahkan sampai mancadesa. Dia pun mendengar. Tak memprotes atau mengumpat. Dia hanya pasrah pada yang ada. Merasa, mungkin tak ada kelayakan. Tahu dia dan ia sama.
 
“Katanya kau akan menikah dengan Katmo?” kata dia.
“Sebenarnya aku tak mau menikah dengan orang yang tak mengerti tentang diriku. Aku tahu tubuhku yang dibutuhkannya. Pemuas nafsu. Semua atas paksaan ayah. Maafkan aku.”
“Kau tidak salah. Tidak perlu minta maaf. Rasa kita yang salah, tak terarah dengan benar.”
“Tapi bagaimana pun aku masih tetap membutuhkan kelembutanmu bukan kekar otot darinya. Aku hanya akan terpuaskan denganmu. Aku yakin itu.”
“Kalau kita percaya, kita bisa melakukannya selagi kita mau. Toh tak ada yang curiga. Mereka hanya tahu kita adalah sahabat karib. Itu sudah jelas. Kita tak butuh pengakuan resmi masyarakat desa akan hubungan kita. Status hanya akan memperkeruh suasana. Lebih-lebih keadaan kita.”
 
Malam dingin walau tak berkabut serasa dingin menyelimuti. Hangat tubuh merapat memenuhi ihwal. Suara jangkrik terus menjadi penyemangat. Gurauan menjadi penghangat diantara nafas yang semakin cepat. Nyamuk tak berani mendekat lantaran takut lekat dengan keringat. Dia sengit melancarkan serangan mautnya. Mengulurkan lidah dan menggoyang-goyangkannya masuk ke dalam mulut ia. Beranjak ke tubuh. Menyapu bersih dan licin sampai masuk selangkangan. Ia hanya mengeluh tak karuan. Terdiam tubuh. Tetapi tangan ia selalu bergerak dalam tubuh dia.
***
 
Katmo telah menceraikannya. Perhatian yang ia berikan dirasakan Katmo sangat kurang. Kini ia hanya sendirian di rumah. Bersama ayahnya yang sudah tak berdaya. Kembang ranjang. Bicara pun sudah susah. Menggantung nyawa. Sudah tak berharap.
 
Ia semakin sulit menemui dia. Alasan kesibukan dari dia yang ia terima tak memuaskannya. Ia pernah tahu suatu malam kalau dia dibonceng seorang lelaki. Melekat tubuhnya. Tak jelas siapa lelaki itu karena kepulan pekat hitam malam menutup mukanya. Hanya suara dia yang bisa menunjukkan dengan jelas mukanya. Itu pun terlihat dari belakang.
 
Dia kaget dengan sangat saat pintu dibuka. Ia muncul tak permisi seperti biasanya. Dia bingung beranjak. Tubuh Katmo mendekapnya erat. Menindihnya. Dia hanya menyapa bingung. Dia tak bergerak sedikit pun. Mereka bertiga saling memandang. Mantan suami dilihat di atas tubuh dia. Tidak percaya ia rasakan.
 
Ia segera melarikan kakinya keluar kamar dan terbang keluar rumah. Ia sulit percaya kalau dia sudah berubah. Tapi mengapa dia memilih mantan suaminya. Ia meninggalkan Katmo demi dia. Mengapa dia tak mengerti juga. Ia menganggap dia adalah orang yang paling mengerti dirinya. Ia sampai di rumah dan kepedihan harus bertambah ketika ia tahu ayahnya sudah terbujur kaku di ranjang.
 
Lamongan, 9 Juli 2006

*) A. Rodhi Murtadho, lahir di desa Madulegi Cuping, Sukodadi, Lamongan, 15 Maret 1983. Bersama kawan-kawan di Surabaya, menggagas dan mendirikan komunitas sastra Sanggar Interlude, pernah menjadi ketuanya. Sempat bergabung di komunitas Teater Kalang (Kaki Langit) Surabaya. Karya-karyanya dimuat dalam media lokal pun nasional. Sebagian puisinya ada di antologi bersama Dalam Dekapan Kata (2004). Sebagian cerpennya pada himpunan Pameran Makam (2008).  http://sastra-indonesia.com/2008/12/spektrum/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah