Sabrank Suparno
A. Konsep Astronomi
Bagi umat muslim, sebelum memasuki Idul Fitri dihantarkan dulu detik-detik
sepuluh hari terahir ramadhan yang mengandung nuansa Lailatul Qodar di
dalamnya. Yakni menginjak malem ke 21 (malem 1), malem ke 23 (malem 3), malem
ke 25 (malem 5), malem ke 27 (malem 7), dan terahir malem ke 29(malem 9).
Perhitungan ini didasarkan pada bulan Komariyah/bulan jawa.
Dalam surat Al-Qodar ayat 1-5, Alloh menginstruksikan khusus bahwa pada
malam yang ditentukan itu, Alloh memberikan kompensasi besar-besaran atas
kemurahannya yang disimbolkan dengan ungkapan seribu bulan. Dalam kajian sastra
istilah ini disebut aksegreeting atau membesar-besarkan masalah. Ungkapan
seribu bulan dihadirkan sebagai alegori setara satu indikasi kebaikan.
Alloh memamg berhak ngudoroso atau meluapkan kelomanannya pada syarat yang
Ia tentukan. Kata tanazzal yang artinya turun serempak/ bersama sama dalam
jumlah besar/gemberuduk merupakan reaksi peyoratif dari kata dasar nazala;
turun. Satu kebaikan pada malam Lailatul Qodar dihargai Alloh berbanding seribu
bulan. Tentu hal ini memakai teori percepatan atau sejenis pemuaian yang
digambarkan turun berbondong-bondong dan tidak turun satu per satu.
Dalam satu ruang persegi empat misalnya, dapat dimasuki padatan atom yang
dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan seberapa besar bulatan atom benda yang
hendak dimasukkan ke ruang tersebut. Tetapi ruang itu akan dapat diisi lebih
berlipat jika dimasukkan padatan atom cahaya. Sebab cahaya bukanlah sejenis
partikel atom bozon yang padat, melainkan jenis atom firmon. Tanazzal/percepatan
/pemuaian malaikat yang susunan zatnya berupa cahaya, memungkinkan terjadinya
pelipatgandaan sampai batas tak terhingga.
Lailatul Qodar, juga dipahami sebagai malam ketentuan. Dimana tahap
penciptaan kehidupan melampaui proses metamorfosis terlebih dahulu. Takdir
pertama kehidupan diawali dari malam ke satu. Simbol tetkala Alloh dalam
kesendiriannya jauh sebelum Ia menciptakan alam semesta. Kesendirian Alloh
bersifat utuh, kontinu, dan memuai. Dan bukan diskursif. Dari kesendirian dan
kemudian memunculkan ‘ide’menciptakan alam semesta. Ide inilah yang disebut
takdir/kejadian pertama dalam kehidupan. Ide, yang dilahirkan Alloh berarti
bukan Alloh. Ide termasuk mahluk.
Malam kedua Lailatul Qodar, merupakan metamorfosis dari ‘ide’ yang
dicetuskan. Ide bukanlah bentuk. Sedangkan untuk menuangkan ide menjadi sebuah
bentuk diperlukan wadah atau tempat. Tempat yang akan dituangi ide alam semesta
adalah ‘ruang hampa’. Maka menyediakan ruang bagi jagat raya adalah tahap
penakdiran kedua setelah menciptakan ide, atau yang disebut malam ke tiga atau
malam 23 ramadhan. Malam ketiga terjadi dari proses penjumlahan1+2=3: 1=Alloh
dalam mencetuskan ide, 2=Alloh menyiapkan ruang.
Setelah ruang tersedia barulah ide diwujutkan, yaitu menyebarkan planet
perbintangan yang disebut Bima Sakti. Tahap penciptaan planet ini terjadi pada
malam ke 25 atau malam ke 5 hasil jumlah dari 2+3=5. 2=Alloh sendiri yang
mencetuskan ide+Alloh menciptakan ruang, 3=Alloh sedang menyebarkan planet
perbintangan. Tahap peciptaan bintang ini disebut takdir/ketentuan ke tiga.
Tahap berikutnya adalah takdir ke empat. Yaitu memilih bumi sebagai salah
satu planet yang akan dimulainya proses kehidupan. Sebab di bumi akan
ditempatkan hakikat ide Alloh yakni menciptakan manusia. Bumi adalah salah satu
planet yang tercipta pada tahap sebelumnya. Penciptaan bumi memang sudah
tercipta bersamaan terciptanya planet. Tetapi bumi tidak akan terpilih sebelum
menciptakan planet terlebih dulu.
Disini bumi secara hakikat lebih tua tercipta. Yaitu pada tahap ke tiga.
Sebab penciptaan planet berfungsi mengidentifikasi keberadaan bumi. Posisi bumi
dengan bintang adalah saudara tua yang lahir dalam keadaan bungkus/tunda.
Sehingga belum disebut kehidupan riel. Sedangkan bintang saudara muda yang
lahir normal. Maka disebut lebih tua bintang dari pada bumi, sebab bintang
lahir dan nyata. Walaupun kelahirannya sekedar untuk menghantarkan kelahiran
bumi.Takdir memilih bumi (takdir ke empat) ini terjadi pada malam 27 ramadhan
atau malam ke 7 hasil jumlah 3+4=7: 3=Alloh menciptakan ide, ruang, bintang, 4=proses
memilih bumi sebagai tempat bersemayam manusia.
Fase metamorfosis yang terahir yaitu takdir ke lima yang ditentukan pada
malam 29 ramadhan atau malam 9 hasil jumlah 4+5=9. 4=ide, ruang, bintang, bumi,
sedang 5= takdir ke lima yang sedang berlangsung. Tahap ini adalah tahap
kelayakan jagat ditempati manusia. Yakni terciptanya hawa/suhu/temperatur
ruangan. Hawa/suhu terjad akibat persilangan dua hal; panas matahari(planet
terdekat bumi) dengan keadaan bumi yang andai tak ada matahari/planet bumi akan
membeku/dingin. Persilangan planet matahari dan bumi ini menghasilkan dua hawa
yang sederajat sekaligus berpasangan. Yaitu panas-dingin, tinggi-rendah,
laki-perempuan, besar-kecil, ciut-lebar dll. Persilangan dua hal inilah yang
disebut lehidupan layak. Dan mustahil kehidupan terjadi hanya dengan satu suhu.
Malam 29 menghasilkan jumlah 2+9=11. Sebelas artinya ‘Las’=gabah=benih padi
yang masih tumbuh tunas jika ditanam ulang. Berbeda dengan beras yang sudah
tidak bisa ditanam lagi. Setelah siap ditanam inilah alam benar-benar akan
dilahirkan secara utuh. Siap dihidupkan. Siap lahir dalam keadaan suci.
Dua temperatur yang serasi berpasangan ini memang termasuk takdir Alloh.
Tetapi proses yang melahirkan temperatur/suhu justru karena gen dasar planet
matahari dan bumi.
B. Konsep Filsafat Pewayangan
Lima tahap penciptaan jagat raya dalam astronomi adalah alur pokok dalam
cerita pewayangan. Lima tahap itu digambarkan sosok ‘pandawa lima’ yang
keberadaannya berperan menata dan menyelamatkan kehidupan. Saudara tertua
pandawa dimulai Yudistiro, Bimo, Arjuno, Nakulo, Sadewo. Masing masing tokoh
pandawa berperilaku ciri ciri persis karakter tata surya.
Pandawa adalah anak dari Pandu Dewa Nata dan Kunti. Jauh sebelumnya kakek
pandawa pemilik sah tahta kerajaan Astina mempunyai keturunan dua anak
laki-laki yaitu Distoroto dan Pandu. Kakaknya( Distoroto) sebagai pewaris sah
berkadikdayaan tinggi, namun buta. Tahta ahirnya diberikan adiknya(Pandu)
berkadikdayaan tinggi juga namun tidak bisa berjalan. Dari kedua tokoh ini
kemudian tahta diberikan kepada Pandu yang dapat melihat meskipun tidak bisa
berjalan. Tidak mungkin memimpin tahta kerajaan dalam kondisi buta. Sebab
keberlangsungan pemerintahan adalah faktor permasalahan riel suatu masyarakat.
Peran ini manggambarkan saat Alloh hendak mencetuskan ide membangun jagat
raya. Antara ‘iya’ dan ‘tidak’ dibangunnya jagat raya. Tidak, digambarkan
sebagai kakak tua yang buta. Tidak melihat artinya tidak menampilkan warna,
situasi, kemaujutan apapun. Tetapi kerena Alloh menghendaki adanya kehidupan,
maka dicetuskanlah ide yang digambarkan dengan adik yang sakti, tidak buta,
namun lumpuh. Artinya kehidupan dunia akan tetap bergulir meskipun tidak
sempurna.
Yudistiro lahir sebagai simbol lahirnya ruang. Sifatnya luas, mewadai, putih
lanskap, kesabaran tingkat tinggi dll. Sedang anak yang lahir berikutnya Bima(
ganesa bima sakti). Bima bersifat konstan, kaku, besar, kekar, dengan jangkauan
luas. Dalam sekali jalan, jangkahan kaki Bima bisa jauh. Kebesaran Bima adalah
simbol hubungan antar planet yang letaknya berjauhan.
Arjuna adalah anak ke tiga simbol bumi. Planet yang diistimewakan dari
planet lainnya. Dalam cerita wayang Arjuna lahir dari bayang-bayang Bima.
Karena bumi sebetulnya planet Bima Sakti juga. Namun dalam kapasitas berbeda
dengan planet lainnya.
Dua saudara pandawa berikutnya adalah Nakula dan Sadewa. Dua anak
berperingai kembar tetapi berperilaku wanita. Simbol lemah-lembut. Nakula-
Sadewa berbeda dengan tiga kakaknya. Nakula-Sadewa saudara seayah yaitu Pandu
yang menikah dengan Dewi Madrim. Nakula- Sadewa adalah simbol hawa/suhu/
temperatur. Kembar artinya panas-dingin, tinggi-rendah, besar-kecil,
laki-wanita, dll. Karena hawa/suhu menyangkut rasa, maka kedua sifat ini
digambarkan sebagai sosok peringai lemah lembut.
Lengkaplah sosok pandawa. Lima tokoh yang digadang menjalankan kerajaan
Astina. Pandawa lima sama artinya dengan lima fase dalam Lailatul Qodar.
C. Konsep Hijrah Rosul
Malam-malam Lailatul Qodar adalah simbol perjalanan hijrah Nabi Muhammad.
Dalam sepuluh hari terahir, Lailatul Qodar berada diantara waktu luang
berselang. Yakni malam 1, esoknya malam kosong, kemudian malam 3, esoknya
kosong, kemudian malam 5, esoknya kosong, malem 7, kosong, malem 9, kosong atau
langsung menjelang lebaran. Saat malam 1,3,5,7,9 adalah saat Rosul keluar dari
goa persembunyian dan bertemu dengan para sahabat serta berdakwah seperti
biasanya. Namun ketika waktu kosong adalah ketika Rosul bersembunyi dalam goa
karena intimidasi kaum kafir. Keadaan demikian menimbulkan harapan bagi para
sahabat. Tentu sahabat menginginkan kapan Rosul segera terbebas dari intimidasi
kaum kafir dan bebas berdakwah seperti semula. Setelah malam 29(malam 9) itulah
Rosul benar-benar bebas keluar dan leluasa. Kedatangan Rosul ini amat didamba
para sahabat. Maka selayaknyalah para sahabat senang, gembira, mengadakan pesta
tasyakuran. Malah dilarang bersedih dan berpuasa.
D. Konsep Kehamilan
Proses kehidupan manusia yang bermakna mengetahui betul arti rasa hidup
diawali sejak seseorang beranjak dewasa( aqil balig). Masa ini bermula dari
mimpi sex dengan lawan jenis yang mengeluarkan spermatozoon bagi laki laki dan
ovarium(tanda mens) bagi wanita. Bio-psikologi mengalami perubahan sebagai efek
dari rangsangan simpati pada lawan jenis. Pada masa inilah seseorang mulai
mengawali takdir pertamanya yaitu mengeluarlan ‘ide/rencana’ untuk menikah.
Perubahan nyata pada takdir ke dua adalah benar-benar melangsungkan
pernikahan. Dalam pernikahan seseorang disebut mengalami kehidupan baru yang
memang berbeda kenyataan dengan waktu membujang.
Takdir ketiga adalah ketika terjadi pembuaian ovum dengan sperma dalam
tubuh wanita yang melahirkan embrio. Sejak adanya embrio, suami-istri mengalami
perkembangan hasil dari peleburan cinta keduanya. Dari dua orang yang berpadu
berkembang sel sel keduanya menjadi tiga: sumi+istri+anak.
Takdir ke empat adalah ketika embrio/daging yang menggumpal dalam rahim
wanita ditiupkan ruh tanda kehidupan sang jabang bayi. Penandaan masuknya ruh
ke jabang bayi ini oleh orang jawa ditandai dengan upacara adat tingkepan.
Barulah saat takdir ke lima. Yaitu saat menunggu jabang bayi keluar.
Kecemasan dan harapan menunggu jabang bayi keluar ini sama dengan saat menunggu
Rosul terbebas dari goa. Setelah 9 bulan 10 hari, barulah jabang bayi siap
dilahirkan dalam keadaan cuci, bersih, putih, belum ternoda. Pas hari kelahiran
jabang bayi, semua harus senang, Baik suami, istri, sanak, famili. Kelahiran
jabang bayi dirayakan dengan berpesta, dan malah haram hukumnya berpuasa.
Bayi yang siap lahir=las=gabah=benih yang bakal tumbuh jika ditanam dalam
kehidupan.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Kadir Ibrahim
Abi N. Bayan
Achiar M Permana
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Afrilia
Afrizal Malna
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mustofa
Alief Mahmudi
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amarzan Loebis
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Syarifuddin
Anash
Andri Awan
Anggrahini KD
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Annisa Steviani
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardy Suryantoko
Arie Giyarto
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Gumantia
Arif Hidayat
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asarpin
Asrul Sani
Baca Puisi
Bahrum Rangkuti
Balada
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni R. Budiman
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Candra Malik
Candrakirana
Caping
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Deddy Setiawan
Denny JA
Denny Mizhar
Deo Gratias
Dewi Musdalifah
Dhimas Ginanjar
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Diana AV Sasa
Dien Makmur
Dinar Rahayu
Diskusi
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Edisi Khusus
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Elsa Vilinsia Nasution
Erwin Setia
Ery Mefry
Esai
Evan Ys
F Aziz Manna
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Foto Andy Buchory
Francisca Christy Rosana
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fritz Senn
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Gendhotwukir
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gusti Eka
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hamzah Sahal
Hardy Hermawan
Hari Purwiati
Hario Pamungkas
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hendri R.H
Hendri Yetus Siswono
Herie Purwanto
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I. B. Putera Manuaba
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indira Permanasari
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Inung As
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwan Simatupang
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jember Gemar Membaca
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Joyo Juwoto
Jual Buku Paket Hemat
K. Usman
Kadek Suartaya
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khairul Mufid Jr
Khanif
Khoirul Abidin
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Astrea
Kitab Para Malaikat
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukman Santoso Az
M. Abror Rosyidin
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lutfi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahardini Nur Afifah
Mahendra Cipta
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mansur Muhammad
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Marulam Tumanggor
Mas Garendi
Mashuri
Masuki M. Astro
Matdon
Matroni Muserang
MG. Sungatno
Moh. Husen
Mohamad Sobary
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Multazam
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Murnierida Pram
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Neli Triana
NH Dini
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Novel John Halmahera
Nurel Javissyarqi
Nuryana Asmaudi
Omah Sastra Ahmad Tohari
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Riri Satria
Rodli TL
Ronggeng Dukuh Paruk
Ronny Agustinus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini KM
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Lamongan
Sastra-Indonesia.com
Sastri Sunarti
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Semesta
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeparno S. Adhy
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Titi Aoska
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Topik Mulyana
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Ulysses
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Negeri Jember
Untung Wahyudi
Veronika Ninik
Viddy A.D. Daery
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widie Nurmahmudy
Wildan Ibnu Walid
Windi Erica Sari
Wisran Hadi
Y Alprianti
Y. Thendra BP
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zumro As-Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar