Kamis, 08 Juli 2021

Idul Fitri dalam Empat Teori

Sabrank Suparno
 
A. Konsep Astronomi
 
Bagi umat muslim, sebelum memasuki Idul Fitri dihantarkan dulu detik-detik sepuluh hari terahir ramadhan yang mengandung nuansa Lailatul Qodar di dalamnya. Yakni menginjak malem ke 21 (malem 1), malem ke 23 (malem 3), malem ke 25 (malem 5), malem ke 27 (malem 7), dan terahir malem ke 29(malem 9). Perhitungan ini didasarkan pada bulan Komariyah/bulan jawa.
 
Dalam surat Al-Qodar ayat 1-5, Alloh menginstruksikan khusus bahwa pada malam yang ditentukan itu, Alloh memberikan kompensasi besar-besaran atas kemurahannya yang disimbolkan dengan ungkapan seribu bulan. Dalam kajian sastra istilah ini disebut aksegreeting atau membesar-besarkan masalah. Ungkapan seribu bulan dihadirkan sebagai alegori setara satu indikasi kebaikan.
 
Alloh memamg berhak ngudoroso atau meluapkan kelomanannya pada syarat yang Ia tentukan. Kata tanazzal yang artinya turun serempak/ bersama sama dalam jumlah besar/gemberuduk merupakan reaksi peyoratif dari kata dasar nazala; turun. Satu kebaikan pada malam Lailatul Qodar dihargai Alloh berbanding seribu bulan. Tentu hal ini memakai teori percepatan atau sejenis pemuaian yang digambarkan turun berbondong-bondong dan tidak turun satu per satu.
 
Dalam satu ruang persegi empat misalnya, dapat dimasuki padatan atom yang dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan seberapa besar bulatan atom benda yang hendak dimasukkan ke ruang tersebut. Tetapi ruang itu akan dapat diisi lebih berlipat jika dimasukkan padatan atom cahaya. Sebab cahaya bukanlah sejenis partikel atom bozon yang padat, melainkan jenis atom firmon. Tanazzal/percepatan /pemuaian malaikat yang susunan zatnya berupa cahaya, memungkinkan terjadinya pelipatgandaan sampai batas tak terhingga.
 
Lailatul Qodar, juga dipahami sebagai malam ketentuan. Dimana tahap penciptaan kehidupan melampaui proses metamorfosis terlebih dahulu. Takdir pertama kehidupan diawali dari malam ke satu. Simbol tetkala Alloh dalam kesendiriannya jauh sebelum Ia menciptakan alam semesta. Kesendirian Alloh bersifat utuh, kontinu, dan memuai. Dan bukan diskursif. Dari kesendirian dan kemudian memunculkan ‘ide’menciptakan alam semesta. Ide inilah yang disebut takdir/kejadian pertama dalam kehidupan. Ide, yang dilahirkan Alloh berarti bukan Alloh. Ide termasuk mahluk.
 
Malam kedua Lailatul Qodar, merupakan metamorfosis dari ‘ide’ yang dicetuskan. Ide bukanlah bentuk. Sedangkan untuk menuangkan ide menjadi sebuah bentuk diperlukan wadah atau tempat. Tempat yang akan dituangi ide alam semesta adalah ‘ruang hampa’. Maka menyediakan ruang bagi jagat raya adalah tahap penakdiran kedua setelah menciptakan ide, atau yang disebut malam ke tiga atau malam 23 ramadhan. Malam ketiga terjadi dari proses penjumlahan1+2=3: 1=Alloh dalam mencetuskan ide, 2=Alloh menyiapkan ruang.
 
Setelah ruang tersedia barulah ide diwujutkan, yaitu menyebarkan planet perbintangan yang disebut Bima Sakti. Tahap penciptaan planet ini terjadi pada malam ke 25 atau malam ke 5 hasil jumlah dari 2+3=5. 2=Alloh sendiri yang mencetuskan ide+Alloh menciptakan ruang, 3=Alloh sedang menyebarkan planet perbintangan. Tahap peciptaan bintang ini disebut takdir/ketentuan ke tiga.
 
Tahap berikutnya adalah takdir ke empat. Yaitu memilih bumi sebagai salah satu planet yang akan dimulainya proses kehidupan. Sebab di bumi akan ditempatkan hakikat ide Alloh yakni menciptakan manusia. Bumi adalah salah satu planet yang tercipta pada tahap sebelumnya. Penciptaan bumi memang sudah tercipta bersamaan terciptanya planet. Tetapi bumi tidak akan terpilih sebelum menciptakan planet terlebih dulu.
 
Disini bumi secara hakikat lebih tua tercipta. Yaitu pada tahap ke tiga. Sebab penciptaan planet berfungsi mengidentifikasi keberadaan bumi. Posisi bumi dengan bintang adalah saudara tua yang lahir dalam keadaan bungkus/tunda. Sehingga belum disebut kehidupan riel. Sedangkan bintang saudara muda yang lahir normal. Maka disebut lebih tua bintang dari pada bumi, sebab bintang lahir dan nyata. Walaupun kelahirannya sekedar untuk menghantarkan kelahiran bumi.Takdir memilih bumi (takdir ke empat) ini terjadi pada malam 27 ramadhan atau malam ke 7 hasil jumlah 3+4=7: 3=Alloh menciptakan ide, ruang, bintang, 4=proses memilih bumi sebagai tempat bersemayam manusia.
 
Fase metamorfosis yang terahir yaitu takdir ke lima yang ditentukan pada malam 29 ramadhan atau malam 9 hasil jumlah 4+5=9. 4=ide, ruang, bintang, bumi, sedang 5= takdir ke lima yang sedang berlangsung. Tahap ini adalah tahap kelayakan jagat ditempati manusia. Yakni terciptanya hawa/suhu/temperatur ruangan. Hawa/suhu terjad akibat persilangan dua hal; panas matahari(planet terdekat bumi) dengan keadaan bumi yang andai tak ada matahari/planet bumi akan membeku/dingin. Persilangan planet matahari dan bumi ini menghasilkan dua hawa yang sederajat sekaligus berpasangan. Yaitu panas-dingin, tinggi-rendah, laki-perempuan, besar-kecil, ciut-lebar dll. Persilangan dua hal inilah yang disebut lehidupan layak. Dan mustahil kehidupan terjadi hanya dengan satu suhu.
 
Malam 29 menghasilkan jumlah 2+9=11. Sebelas artinya ‘Las’=gabah=benih padi yang masih tumbuh tunas jika ditanam ulang. Berbeda dengan beras yang sudah tidak bisa ditanam lagi. Setelah siap ditanam inilah alam benar-benar akan dilahirkan secara utuh. Siap dihidupkan. Siap lahir dalam keadaan suci.
 
Dua temperatur yang serasi berpasangan ini memang termasuk takdir Alloh. Tetapi proses yang melahirkan temperatur/suhu justru karena gen dasar planet matahari dan bumi.
 
B. Konsep Filsafat Pewayangan
 
Lima tahap penciptaan jagat raya dalam astronomi adalah alur pokok dalam cerita pewayangan. Lima tahap itu digambarkan sosok ‘pandawa lima’ yang keberadaannya berperan menata dan menyelamatkan kehidupan. Saudara tertua pandawa dimulai Yudistiro, Bimo, Arjuno, Nakulo, Sadewo. Masing masing tokoh pandawa berperilaku ciri ciri persis karakter tata surya.
 
Pandawa adalah anak dari Pandu Dewa Nata dan Kunti. Jauh sebelumnya kakek pandawa pemilik sah tahta kerajaan Astina mempunyai keturunan dua anak laki-laki yaitu Distoroto dan Pandu. Kakaknya( Distoroto) sebagai pewaris sah berkadikdayaan tinggi, namun buta. Tahta ahirnya diberikan adiknya(Pandu) berkadikdayaan tinggi juga namun tidak bisa berjalan. Dari kedua tokoh ini kemudian tahta diberikan kepada Pandu yang dapat melihat meskipun tidak bisa berjalan. Tidak mungkin memimpin tahta kerajaan dalam kondisi buta. Sebab keberlangsungan pemerintahan adalah faktor permasalahan riel suatu masyarakat.
 
Peran ini manggambarkan saat Alloh hendak mencetuskan ide membangun jagat raya. Antara ‘iya’ dan ‘tidak’ dibangunnya jagat raya. Tidak, digambarkan sebagai kakak tua yang buta. Tidak melihat artinya tidak menampilkan warna, situasi, kemaujutan apapun. Tetapi kerena Alloh menghendaki adanya kehidupan, maka dicetuskanlah ide yang digambarkan dengan adik yang sakti, tidak buta, namun lumpuh. Artinya kehidupan dunia akan tetap bergulir meskipun tidak sempurna.
 
Yudistiro lahir sebagai simbol lahirnya ruang. Sifatnya luas, mewadai, putih lanskap, kesabaran tingkat tinggi dll. Sedang anak yang lahir berikutnya Bima( ganesa bima sakti). Bima bersifat konstan, kaku, besar, kekar, dengan jangkauan luas. Dalam sekali jalan, jangkahan kaki Bima bisa jauh. Kebesaran Bima adalah simbol hubungan antar planet yang letaknya berjauhan.
 
Arjuna adalah anak ke tiga simbol bumi. Planet yang diistimewakan dari planet lainnya. Dalam cerita wayang Arjuna lahir dari bayang-bayang Bima. Karena bumi sebetulnya planet Bima Sakti juga. Namun dalam kapasitas berbeda dengan planet lainnya.
 
Dua saudara pandawa berikutnya adalah Nakula dan Sadewa. Dua anak berperingai kembar tetapi berperilaku wanita. Simbol lemah-lembut. Nakula- Sadewa berbeda dengan tiga kakaknya. Nakula-Sadewa saudara seayah yaitu Pandu yang menikah dengan Dewi Madrim. Nakula- Sadewa adalah simbol hawa/suhu/ temperatur. Kembar artinya panas-dingin, tinggi-rendah, besar-kecil, laki-wanita, dll. Karena hawa/suhu menyangkut rasa, maka kedua sifat ini digambarkan sebagai sosok peringai lemah lembut.
 
Lengkaplah sosok pandawa. Lima tokoh yang digadang menjalankan kerajaan Astina. Pandawa lima sama artinya dengan lima fase dalam Lailatul Qodar.
 
C. Konsep Hijrah Rosul
 
Malam-malam Lailatul Qodar adalah simbol perjalanan hijrah Nabi Muhammad. Dalam sepuluh hari terahir, Lailatul Qodar berada diantara waktu luang berselang. Yakni malam 1, esoknya malam kosong, kemudian malam 3, esoknya kosong, kemudian malam 5, esoknya kosong, malem 7, kosong, malem 9, kosong atau langsung menjelang lebaran. Saat malam 1,3,5,7,9 adalah saat Rosul keluar dari goa persembunyian dan bertemu dengan para sahabat serta berdakwah seperti biasanya. Namun ketika waktu kosong adalah ketika Rosul bersembunyi dalam goa karena intimidasi kaum kafir. Keadaan demikian menimbulkan harapan bagi para sahabat. Tentu sahabat menginginkan kapan Rosul segera terbebas dari intimidasi kaum kafir dan bebas berdakwah seperti semula. Setelah malam 29(malam 9) itulah Rosul benar-benar bebas keluar dan leluasa. Kedatangan Rosul ini amat didamba para sahabat. Maka selayaknyalah para sahabat senang, gembira, mengadakan pesta tasyakuran. Malah dilarang bersedih dan berpuasa.
 
D. Konsep Kehamilan
 
Proses kehidupan manusia yang bermakna mengetahui betul arti rasa hidup diawali sejak seseorang beranjak dewasa( aqil balig). Masa ini bermula dari mimpi sex dengan lawan jenis yang mengeluarkan spermatozoon bagi laki laki dan ovarium(tanda mens) bagi wanita. Bio-psikologi mengalami perubahan sebagai efek dari rangsangan simpati pada lawan jenis. Pada masa inilah seseorang mulai mengawali takdir pertamanya yaitu mengeluarlan ‘ide/rencana’ untuk menikah.
 
Perubahan nyata pada takdir ke dua adalah benar-benar melangsungkan pernikahan. Dalam pernikahan seseorang disebut mengalami kehidupan baru yang memang berbeda kenyataan dengan waktu membujang.
 
Takdir ketiga adalah ketika terjadi pembuaian ovum dengan sperma dalam tubuh wanita yang melahirkan embrio. Sejak adanya embrio, suami-istri mengalami perkembangan hasil dari peleburan cinta keduanya. Dari dua orang yang berpadu berkembang sel sel keduanya menjadi tiga: sumi+istri+anak.
 
Takdir ke empat adalah ketika embrio/daging yang menggumpal dalam rahim wanita ditiupkan ruh tanda kehidupan sang jabang bayi. Penandaan masuknya ruh ke jabang bayi ini oleh orang jawa ditandai dengan upacara adat tingkepan.
 
Barulah saat takdir ke lima. Yaitu saat menunggu jabang bayi keluar. Kecemasan dan harapan menunggu jabang bayi keluar ini sama dengan saat menunggu Rosul terbebas dari goa. Setelah 9 bulan 10 hari, barulah jabang bayi siap dilahirkan dalam keadaan cuci, bersih, putih, belum ternoda. Pas hari kelahiran jabang bayi, semua harus senang, Baik suami, istri, sanak, famili. Kelahiran jabang bayi dirayakan dengan berpesta, dan malah haram hukumnya berpuasa.
 
Bayi yang siap lahir=las=gabah=benih yang bakal tumbuh jika ditanam dalam kehidupan.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah