Kamis, 29 Juli 2021

Kangmas dan Diajeng

Maria Magdalena Bhoernomo *
seputar-indonesia.com
 
ENTAH karena habis melahap lempuk durian seberat dua ons menjelang petang, atau karena sudah satu pekan meninggalkan istri, malam itu Kangmas memberanikan diri mengetuk pintu kamar tempat Diajeng menginap.
 
Kebetulan bersebelahan dengan kamarnya, dan Diajeng ternyata bersedia membukakan pintu dengan tersenyum manis, setelah lebih dulu menanyakan siapa yang mengetuk pintu. Lalu Kangmas pun memberanikan diri memeluk Diajeng, dan ternyata Diajeng pun membalas pelukan Kangmas dengan mesra. Dan Kangmas tahu, betapa detak jantungnya berpacu dengan detak jantung Diajeng, makin keras, makin keras, sampai kemudian keduanya tiba-tiba sudah terbaring letih di ranjang.
 
“Kau menyesali perbuatan yang telah kita lakukan, Diajeng?” tanya Kangmas ketika menatap wajah Diajeng yang nampak redup. Ada cairan bening yang menggenang di pelupuk mata Diajeng yang berbulu lentik.Lalu setetes cairan bening itu merembes dan mengalir ke pipinya yang lembut. Tapi, Diajeng tiba-tiba tersenyum manis ketika jari-jari tangan Kangmas menghapus air mata di pipinya.
 
“Tak ada yang perlu disesali, Kangmas. Kita mungkin telah ditakdirkan bertemu dan bercinta di sini,” ujar Diajeng lirih, sambil menundukkan wajah,tampak matanya menatap perutnya yang terbalut selimut. “Kita punya agama yang melarang sepasang manusia bercinta bukan dengan pasangan resminya,” ujar Kangmas mencoba mengusik hati Diajeng, karena Kangmas tahu Diajeng sudah menjadi istri yang mengkhianati suami dan Kangmas pun telah menjadi suami yang mengkhianati istri.
 
“Bukankah dalam ikrar pernikahan dulu kau melafalkan cinta dan kesetiaan kepada suami dan aku pun melafalkan ikrar cinta dan kesetiaan kepada istri?” lanjut Kangmas. “Ya. Kita telah menjadi sepasang pengkhianat, Kangmas. Kita bisa jadi akan dikutuk Tuhan.Tapi, siapa yang telah mempertemukan kita di sini kalau bukan Tuhan?” kata Diajeng, seperti ingin menghibur Kangmas.
 
“Jangan memojokkan Tuhan. Agama melarang kita bersikap tidak adil kepada Tuhan. Dan agama menganjurkan kita untuk segera bertobat setelah berbuat dosa,” sergah Kangmas dengan lidah kelu. Kangmas sekilas terbayang api neraka jahanam berkobar menjilati tubuhnya dan tubuh Diajeng pada saat bersatu dalam kobaran gairah yang menggebu.Dan itulah sebabnya Kangmas menolak Diajeng ketika Diajeng mengajak bercinta lagi untuk yang kedua kalinya.
 
Dalam hati Kangmas sempat menduga Diajeng adalah perempuan dengan gairah besar sehingga dalam semalam tidak cukup hanya menikmati satu kali percintaan. Dugaan itu berdasarkan kenyataan betapa tadi Diajeng cukup lama melenguh-lenguh tak seperti istrinya ketika sedang meraih puncak kenikmatan.
 
“Maafkanlah, aku sudah cukup tua untuk mengulanginya,” bisik Kangmas dengan menahan malu ketika Diajeng memeluknya dalam kemesraan yang hangat. Dan tiba-tiba Diajeng melepaskan pelukannya dengan wajah tersipu. Kangmas yakin, Diajeng pasti mengerti betapa laki-laki setengah baya seperti Kangmas sudah mengalami kemerosotan stamina.
***
 
LEMPUK durian, makanan ringan khas Bengkalis Riau itu, memang terbuat dari durian dan gula, sangat kaya kalori, dan bisa menaikkan tekanan darah dan memanaskan gairah. Sejak Kangmas mendarat di Bumi Lancang Kuning, dalam rangka mengamati kerusakan hutan akibat penjarahan untuk proyek reboisasi nasional yang dikerjakan dengan teman-teman anggota LSM di seluruh pelosok Indonesia,
 
Kangmas bertemu perempuan kelahiran Solo yang kemudian mengikuti suaminya di Balikpapan. Perempuan itu punya nama, tapi Kangmas lebih suka memanggilnya Diajeng karena perempuan itu pun suka memanggilnya Kangmas. Diajeng adalah ketua LSM lingkungan di Balikpapan, meskipun sehari-hari sibuk menjadi ibu rumah tangga. Suaminya pedagang alat-alat elektronik yang sering pergi ke Singapura untukmencaridagangan.
 
Sejak menikah, Diajeng sering mengaku kesepian di rumah bersama dua anaknya yang kini sudah duduk di bangku SD. Itulah sebabnya, Diajeng kemudian mencari alasan untuk menghindari kejenuhan dan kesepian di rumah dengan membentuk LSM lingkungan. Diajeng merasa gembira karena suaminya ternyata sangat mendukungnya. “Siapa yang tidak bangga menjadi suami seorang aktivis lingkungan yang memang sangat dibutuhkan di negeri yang sedang mengalami kerusakan lingkungan sangat parah ini?”
 
ucap suaminya, seperti ditirukan Diajeng dalam percakapan dengan Kangmas ketika sedang sama-sama memotret kondisi hutan yang nyaris gundul di pinggiran Bengkalis sebelum kemudian kembali ke hotel. Seperti yang telah direncanakan, Kangmas dan Diajeng berada di Bengkalis selama 10 hari, kemudian pulang ke rumah masing-masing. Kangmas akan pulang ke Kudus, dan Diajeng pulang ke Balikpapan.
 
Selanjutnya, keduanya mungkin tidak akan pernah bertemu kembali. Keduanya hanya bertugas mengamati dan memotret serta membuat catatan tentang kondisi hutan di Bengkalis untuk dikirimkan ke Jakarta sebelum kemudian dijadikan bahan pembuatan proposal reboisasi nasional. Sejak pulang ke daerah masing-masing setelah bercinta di hotel di Bengkalis,hampir setiap pekan Kangmas dan Diajeng saling berkirim-kiriman SMS. “Sejak pulang dari Bengkalis aku tidak menstruasi, Kangmas,” ujar Diajeng lewat SMS.
 
“Kau memang subur. Suamimu beruntung punya istri yang subur, ”balas Kangmas. “Ada masalah serius, Kangmas. Enam bulan sebelum pergi ke Bengkalis dan bertemu Kangmas, sampai sekarang aku tidak pernah bercinta lagi dengan suamiku. Ketahuilah, suamiku impoten setelah kecelakaan ringan di jalan raya,” balas Diajeng. Dada Kangmas langsung sesak. Jantungnya berdetak kencang. Dibayangkan Diajeng tiba-tiba dibantai oleh suaminya dalam keadaan perut bunting.
 
Lalu jenazahnya dirajang- rajang menjadi belasan potong bersama jenazah janin yang dikandungnya. Suaminya dendam melihat Diajeng hamil, padahal tidak pernah dibuahinya lagi. Biasanya, dendam laki-laki impoten memang sangat dahsyat. Banyak pelaku penganiayaan istri dari ringan sampai yang paling sadis adalah suami-suami impoten. “Sebaiknya gugurkan kandunganmu sebelum ketahuan suamimu,”balas Kangmas lagi. “Apa pun risikonya, janin buah cinta kita tak akan kugugurkan, Kangmas.
 
Kalau suamiku menceraikan aku karena aku hamil bukan dengan dia, aku akan pulang ke Solo, Kangmas,” balas Diajeng. Kangmas ingin membalas SMS Diajeng lagi, tapi pulsanya habis. Lalu diletakkan handphone di atas meja ruang keluarga sebelum Kangmas bergegas ke kamar mandi karena kebelet mau buang air kecil. SMS-SMS dari Diajeng tadi belum sempat dihapus. Ketika Kangmas keluar dari kamar kecil dan kembali ke ruang keluarga, handphone sudah dipegang oleh istrinya.
 
Tampak wajah istrinya sangat redup sambil membaca SMS SMS di dalam handphone. Kangmas mencoba berpura- pura santai, meski kecemasan menikam dadanya. Kangmas menduga, setelah istrinya membaca semua SMS dari Diajeng, akan langsung mengamuk dan mengutuknya sebagai suami pengkhianat. Benar dugaan Kangmas, istrinya langsung membanting handphone sambil menangis dan berlari ke kamar tidur. Kangmas mengejar istrinya ke kamar tidur.
 
Kangmas berusaha berbohong tentang SMS SMS yang baru saja dibaca istrinya. Dikatakan bahwa SMS-SMS itu hanya kata- kata kosong yang dikirimkan seseorang entah siapa untuk merusak rumah tangga.Tapi ternyata istrinya tidak mempercayainya lagi. Setelah capek menangis, istrinya bergegas mengemasi pakaiannya ke dalam koper. Kepada ibu mertua, istrinya menitipkan ketiga anakanaknya.
 
“Maaf, Bunda. Saya harus pulang ke Semarang. Titip anak-anak,” ujar istrinya dengan bercucuran air mata. Ibu mertua hanya terpana tak mengerti. “Dia marah karena membaca SMS,” lapor Kangmas kepada ibunya, setelah mobil istrinya meninggalkan halaman rumah. “SMS dari siapa? Kau sudah mengkhianatinya?” tanya ibunya dengan wajah redup. Kangmas tak mampu menjawab.
 
Tiga bulan kemudian, Diajeng tiba-tiba muncul dengan perut buncit dan wajah memar-memar. “Terpaksa aku datang, Kangmas. Entah akan ke mana aku jika tidak boleh tinggal di sini,” ujar Diajeng dengan mata berkaca-kaca. “Diajeng hamil karena perbuatan putraku ini?”tanya ibunya setelah menatap Kangmas hanya terbungkam di ruang tamu. “Ya, saya mencintainya, Bunda.”
 
Kangmas buru-buru mewakili Diajeng menjawab pertanyaan ibunya. Rasanya Kangmas harus bersikap tegas dan berani bertanggung jawab. Diajeng pasti sudah menderita akibat dianiaya suaminya yang dendam melihatnya hamil. Jika kini Diajeng datang kepada Kangmas di Kudus pasti karena tidak mau menyusahkan orang tuanya di Solo. “Bagaimana dengan anakanak? Kenapa tidak diajak?” tanya Kangmas.
 
“Suamiku mengusirku tanpa membolehkan aku membawa anak-anak,” jawab Diajeng. “Semoga anak- anakmu selamat. Kasihan mereka, kini harus kehilangan ibunya garagara perbuatanku,”ujar Kangmas penuh penyesalan. “Tak usah menyesal, Kangmas. Mungkin sudah takdir kita untuk menjalani hidup seperti ini.”
***
 
SETELAH Diajeng datang dan menyatakan ingin hidup bersama Kangmas, ibunya segera menyuruh Kangmas mencari rumah kontrakan di luar kampung untuk menghindari pergunjingan masyarakat.
 
Diajeng dan Kangmas kemudian tinggal di rumah kontrakan. Keduanya seperti sepasang pengantin yang sedang bahagia menanti kelahiran anak pertama buah cintanya. Sebagai penulis lepas dan makelaran mobil bekas, Kangmas mampu menghidupi Diajeng dengan cukup sejahtera. Kangmas beruntung karena ibunya seorang pensiunan guru negeri. Dengan uang pensiunnya, ibunya mampu membahagiakan cucucucunya.
 
Tengah malam itu, Diajeng sakit perut. Ada tanda-tanda bayi yang dikandungnya akan segera lahir. Maka segera Kangmas melarikan Diajeng ke klinik untuk mendapatkan pertolongan bidan. Entah karena dikutuk Tuhan atau karena sudah takdirnya, Diajeng kesulitan melahirkan. Napas dan tenaganya nyaris habis, tapi bayinya belum juga lahir. Darah sudah terlalu banyak keluar.
 
Kangmas mendesak bidan untuk mengambil sikap tegas. Jika memang tak mampu menolong Diajeng, harus segera mengirimkannya ke rumah sakit agar dilakukan operasi Caesar. Tapi bidan tetap bersikukuh bahwa sebentar lagi bayi akan segera lahir. Di tengah proses persalinan yang sangat berat, Diajeng sesekali mengerang dan merintih- rintih. “Kangmas… Kangmas… Kangmas…”
 
Dan setiap Kangmas mendengar rintihan itu dari mulut Diajeng yang makin gemetar, jiwa Kangmas seperti tersayatsayat. Kangmas pun menangis seperti anak kecil. Didekapnya Diajeng dan diciumi wajahnya dengan mesra. Bidan tampak semakin gugup. “Kangmas… Kangmas… Kangmas…,” rintih Diajeng semakin lirih.Tangis Kangmas semakin menjadi-jadi. Sekian detik kemudian, Diajeng memejamkan mata, bibirnya diam, napasnya telah habis.
 
Sejak Diajeng wafat bersama bayinya, penyesalan terusmenerus merajam jiwa Kangmas. Ibunya gagal menghiburnya dengan berbagai cara. Ibunya juga gagal menyembuhkannya dari luka jiwa. Selebihnya, setiap hari Kangmas hanya bisa berdiri termangu-mangu di ruang keluarga, di ruang tamu, di beranda, di halaman, dan sesekali Kangmas tersentak dengan mata jelalatan karena telinganya tiba-tiba mendengar Diajeng merintih-rintih. “Kangmas… Kangmas… Kangmas…”
 
Griya Pena Kudus, 2005 2011

*) Maria Magdalena Bhoernomo, lahir di Kudus, 23 Oktober 1962. Menulis ribuan prosa, puisi, dan esai yang dipublikasikan di berbagai media. http://sastra-indonesia.com/2012/01/kangmas-dan-diajeng/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah