Sabtu, 31 Juli 2021

Bidadari dalam Cahaya Putih

Eko Tunas
Suara Merdeka, 1 April 2012
 
LARON-LARON beterbangan memburu cahaya, mengepak-kepakkan sayap pada lampu neon di depan rumah orang tua Sanu. Sanu suka karena Monica begitu senang menyaksikan gerombolan serangga bersayap di seputar cahaya putih. Bahkan di mata Sanu, perempuan bermata burung dara itu seperti bidadari berhujan-hujan laron. Tubuh tinggi padatnya seperti menari, saat menggeliat sambil mengebitkan laron kehilangan sayap.
 
Sambil menggelinjang perempuan kulit putih itu menyeru, bertanya bagaimana riwayat laron. Dan Sanu menyahut dengan berteriak pula, bahwa laron adalah binatang tanah yang bermetamorfosis. Tapi berbeda dengan kupu-kupu yang bersayap indah, laron mesti segera melepaskan sayap sederhananya untuk kembali ke tanah. Kembali ke habitat makhluk kecilnya, dan tugas lanjut merayapnya.
 
Selalu Sanu mengandaikan segala sesuatu atas diri mereka, dengan maksud merendahkan diri dan meninggikan teman dekatnya. Dia katakan Monica kupu-kupu, dan dirinya laron. Gadis itu tersenyum, menunjukkan suka hatinya pada sifat rendah hati seorang lelaki Indonesia. Senyumnya manis sekali. Semanis senyum bidadari, dalam impian pria Jawa yang menganggap seindah-indah kecantikan adalah makhluk dari surga.
 
Mereka telah sepekan tinggal, setelah beberapa hari di Jakarta. Setelah penerbangan Monica dari Rotterdam dan Sanu menjemputnya di Bandara Soekarno-Hatta. Wira-wiri di pusat-pusat metropolis Jakarta Monica tak habis mengeluh. “Panas,” katanya, “seperti di neraka!”
 
Sanu tertawa. “Ini Asia, bukan Eropa. Apalagi ini Jakarta….”
 
Monica pun menyindir. “Sepanas situasi politiknya?”
 
Saat itu Sanu terdiam. Monica tersenyum mafhum, seperti mulai memahami sifat teman chatting-nya. Semacam kepekaan seperti gelas antik, yang musti dijaga ketinggian nilainya: tidak boleh tersentuh sembarangan dan membuatnya retak, apalagi sampai terjatuh dan pecah. Meski pun berbicara soal politik, Sanu memiliki kepekaan tersendiri yang mudah tersinggung. Tak lain karena dalam satu e-mail-nya dia pernah menulis, tentang situasi politik di negeri ini bahkan di desanya yang mengorbankan kakaknya.
 
Bibir Monica seakan mengucap nama kakak Sanu, “Burna….”
 
Memafhumi hal itu, bagai meralat pernyataannya Monica sontak berkata, “Untuk apa aku terbang jauh, kalau yang aku jumpai sebuah kota sebagaimana kota-kota dunia?”
 
Sanu kontan mengusulkan mengajak Monica ke desa orang tuanya, sekitar lima jam bermobil dari Jakarta. Dan gadis yang fotonya dalam internet bergaya Britney Spears itu senang bukan main, bertemu bapak dan ibu Sanu. Terutama, hari-hari Monica menghabiskan waktunya di pawon, tempat memasak yang bukan sekadar dapur apalagi dalam bayangan gadis Eropa. Sebuah ruang luas dan tempat memasak dengan bahan kayu bakar. Asap membuat airmatanya berleleran, saat ia mencoba belajar meniup tungku menggunakan sepotong bambu.
***
 
LANTAI tanah dan genting menghitam di ruang berdinding papan kayu itu, membuat Monica suka duduk di bale bambu melihat keluar jendela yang terbuka. Dari luar sana angin pegunungan meniup, angin kumbang yang di malam hari seperti karpet tergelar. Angin kumbang yang membuat ketela pohon di pegunungan itu besar-besar dan dikirim ke Jawa Barat untuk dibuat peyem. Meniup ke timur laut, mengembangkan putih-putik bawang, dan menjernih-segarkan air tambak-tambak ikan.
 
Tercetus begitu saja gumam “Britney”, “Desa ini terlalu indah untuk dilupakan, seperti surga yang tak boleh setitik pun ternoda….”
 
Sanu tercenung.
 
Saat itu sosok laki-laki nongol sedada di jendela, seorang laki-laki yang memang bertelanjang dada bidang. Sesaat muka berambut kusut masai itu terdiam dengan pandangan kosong, membuat Monica meneleng-neleng. Seperti bertanya-tanya atau menduga-duga ia, melihat muka laki-laki itu seperti tersenyum tapi tampak menyeringai. Sesaat kemudian setelah laki-laki tinggi besar itu berkesiap pergi, pandangan “Spears” seakan mengajukan pertanyaan pada Sanu.
 
Bibir panah cupido memerah itu seperti mengucap tanya, “Burna?”
 
Dan Sanu seolah menganggukkan nama kakaknya.
 
Spontan Monica berujar, “Saya bisa menerapi.”
 
“Ahh…,” decah Sanu terpotong oleh sorot mata biru begitu meyakin.
 
Semacam ada cemas ragu, begitu saja lindap dalam hatinya. Meski akal sehatnya meyakini, betapapun teman jauh yang sekarang dekat itu adalah mahasiswa psikiater yang lulus cum laude dari perguruan tinggi tepercaya di Negeri Kincir Angin.
 
Tarian dalam cahaya neon di mata Sanu mengesani geliat baru, setelah seminggu ini Monica menerapi Burna. Gelinjang yang ditangkap mata Sanu sebagai semangat, bagai ulat setelah sekian lama melata kemudian bertapa sebagai kepompong, dan bermetamorfosis sebagai kupu-kupu. Betapa gadis kulit putih itu bagai seekor kupu-kupu, menikmati keindahan sayap-sayapnya.
 
Dan Sanu semakin merasa diri kunang-kunang, yang mesti mencari cahaya untuk melepaskan sayap-sayapnya. Meski kakaknya gila, tetap saja ia tetap menganggap Burna sebagai saingannya. Bukan hanya fisik yang membuat Sanu sering merasa kecil di hadapan kakaknya. Walau ia tak bisa menyalahkan darah turunnya, kakek moyang kolonialnya, sejak desanya dijadikan tempat peristirahatan bagi tentara penjajah. Dari darah itu Burna menuruni fisik tinggi besar membule bapak kepradah, meski wajahnya tetap menuruni kejelataan wajah ibu.
 
Sebaliknya Sanu menuruni tubuh imut ibu Jawa, dengan raut berwajah bule. Dan ia melihat, meski gila begitu serasi Burna berdampingan dengan Monica setiap pertemuan terapi di dapur itu. Betapa kakaknya tampak sehat-sehat saja setiap berbicara dengan dokter jiwa spesialnya. Meski sering terdengar ngawur, tapi kata-kata Burna masih mencerminkan pikirannya sebagai tokoh politik. Seperti yang diam-diam pernah didengarnya, dari balik jendela dapur yang selalu dibiarkan terbuka.
 
Sanu menahan emosi saat Burna ngerjain Monica yang bertanya, “Apa ini?” sambil menunjukkan cabe rawit. Burna menjawab, cabe rawit dimakan bersama tahu asin akan menambah nikmat. Melihat cabe rawit berwarna merah yang mirip buah ceri Monica lantas berkata, dimakan bersama tahu asin saja nikmat apalagi dimakan melulu cabe rawit. Mendengar itu Burna justru mengangguk, dengan muka seperti menyimpan dendam. Dan Burna memang bersorak saat Monica menggigit cabe rawit merah.
 
Tentu saja Monica kepedasan luas biasa. Meski ia menutup-nutupi dengan berkata, bahwa di negerinya tidak ada pedas cabe rawit, yang ada pedas merica. Burna lalu menyahut, di zaman penjajahan cabe rawit sengaja disebarkan Belanda untuk meracuni para gerilya di hutan-hutan. “Nyatanya racun itu oleh bangsa ini dimakan bersama gorengan atau dibuat sambal!” cetus Burna sambil nyekakak.
 
Ya, Burna justru menertawakan melihat Monica bermerah muka dan tak habis mengeluarkan air mata. “Kamu makan racun yang dulu disebarkan bangsamu!” serunya dengan muka puas.
 
“Memang pedas,” decah Monica.
 
Dan ngawur Burna lagi, “Itulah posmo!” untuk mengatakan postmodern. “Meski, aku tahu, postmodern adalah bentukan masyarakat global yang tidak mampu menentukan arah hidupnya. Sebab ideologi-ideologi besar dunia telah bunuh diri. Liberalisme, kapitalisme, komunisme, telah mampus. Dan kini yang ada ideologi tunggal Amerika.”
 
Dalam pikiran Monica mungkin rumit mengaitkan pedas cabe rawit dengan postmodernism. Atau ia tidak ingin membawa Burna ke ranah politik yang telah memurukkan hidupnya. Toh Burna sendiri yang mencetuskan pertanyaan, “Mungkin kau akan bertanya, bagaimana pengaruhnya di negeri ini?” tegasnya, “perang keyakinan, klaim kebenaran atas nama ajaran. Isu saling memprovokasi. Itu semua yang melunturkan negeri yang mencintai kebersamaan dan bangsa yang setia pada keberagaman. Bhineka Tunggal Ika sedang terancam!”
 
Mukanya tampak mengeras. Tubuhnya yang besar gemetar.
 
Mengintip itu Sanu bersiaga untuk menjaga kemungkinan lebih buruk yang menimpa Monica, tapi gadis bermata merpati itu tampak tenang-tenang saja.
***
 
SETENANG itu saat ia menyampaikan hasil terapi kepadanya, bahwa ia memang harus bersikap kalah di hadapan Burna. Kalau perlu tampak teraniaya. Dan musti diam mengalah, saat pasien istimewanya itu menghujatkan pikiran-pikiran politiknya. Untuk itu Sanu menimbang-nimbang kata “teraniaya”, selalu dengan perasaan cemas ragu yang entah kenapa selalu hadir setiap ia memikirkan gadis Belanda itu.
 
Perasaan yang ternyata berbeda saat ia membandingkan dengan kecemasan terhadap kasus kakaknya. Terutama karena dikabarkan, pihak KPK mulai mencium bahwa kegilaan Burna adalah trik politik untuk menutup-nutupi kasus yang sebenarnya. Dan yang dicemaskan Sanu ialah, cara apalagi yang akan dilakukan Burna. Setelah kekalahan pilkada yang membuatnya gila, dan kasus illegal logging yang sedang diselidiki Komite Pemberantasan Korupsi.
 
Meski harus diakui, baru sepekan menjalani terapi di dapur, Burna selalu datang dari rumah keluarganya dalam penampilan rapi. Terlebih kakak kandungnya itu tidak pernah lagi mengamuk di rumah keluarganya, membanting perabot dan apa pun yang ada di hadapannya. Bahkan mau membakar mobil dan rumah mewahnya segala. Monica benar, ia pun musti mengalah di hadapan kakaknya. Terutama istri Burna dan anak-anak mereka sudah pasrah bongkokan kepadanya dan Monica. Dan Sanu cukup senang karena keluarga kakaknya sudah tampak kembali menampakkan sayap-sayap kebahagiaan.
 
Sebagaimana pula yang ditunjukkan sayap kupu-kupu Monica, dalam tarian bagai bidadari berhujan-hujan laron. Melihat keindahan geliat tubuh bule di antara cahaya putih itu, Sanu sertamerta ingin mengabadikan. Segera ia berkesiap masuk rumah untuk mengambil kameranya. Hanya beberapa menit Sanu masuk rumah, dan begitu keluar lagi ia tak melihat lagi Monica di bawah cahaya neon. Keterpanaannya seakan membayang, bidadari itu terangkat laron-laron ke langit menggelap. Ia pun memanggil-manggil dengan perasaan cemas ragu yang menegas, tapi tak terdengar sahutan.
 
Kecemasannya menimbang-nimbang nama Burna, dan ia musti merahasiakan dari orangtuanya maupun orang-orang kampung. Juga kepada isteri Burna, saat ia mengira kakaknya membawa Monica ke rumahnya. Pun saat ia mencari-cari ke beberapa rumah tetangga. Monica seperti raib, dan hanya satu kemungkinan yang diyakininya, Burna telah membawa gadis kulit putih itu ke….
 
Instingnya menoreh begitu saja atas kecurigaan tentang kegilaan apa yang akan dilakukan Burna, untuk menutup kasus bahwa kakaknya telah melakukan penggundulan hutan jati. Cergas ia berkesiap memasuki kegelapan hutan jati. Yang diingatnya ada tempat favorit ia dan kakaknya sejak mereka kanak-kanak. Persis di tengah hutan jati ada satu penerangan lampu, dan cahaya batere mengantarnya ke sana. Dan sejak kecil instingnya memang tak pernah meleset. Ia melihat Monica terikat pada tiang lampu itu, dan Burna tampak sedang menunggu kedatangannya.
 
Burna menyeringai melihat kedatangannya….
 
“Ayo, rekam kami dengan kameramu!” teriaknya.
 
Sanu terpana.
 
Laron-laron beterbangan memburu cahaya, mengepak-ngepakkan sayap pada cahaya lampu putih ratusan watt. Pandangan Sanu bertanya-tanya, melihat Monica tampak tenang-tenang saja dengan tubuh terikat. Bahkan di matanya, gadis bermata burung dara itu bagai menikmati dirinya berhujan-hujan laron. Tubuh tinggi padatnya seperti menari, dalam geliat tergelinjang oleh laron-laron kehilangan sayap. “Ayo, arahkan kameramu!” seru Burna dengan tawa kegilaannya.
 
Sanu tak kuasa mengangkat kameranya.
 
Betapa tubuh kulit putih itu polos dalam geliat gelinjang, bagai laron terlepas sayap. Tapi wajahnya tetap menyenyum, bagai senyuman bidadari dalam cahaya putih.

Semarang, 31 Januari 2009. http://sastra-indonesia.com/2012/04/bidadari-dalam-cahaya-putih/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah