Rabu, 28 Juli 2021

Ketika Waktu Jadi Beku

Tentang “Sepuluh Tahun Kemudian”-nya Hadjid Hamzah
 
Kuswaidi Syafi’ie *
kr.co.id
 
Cinta tulis Sutrimo Edy Noor dalam salah satu sajaknya, membuat segalanya mungkin. Dan pasti bahwa kalimat sang penyair dari pesisir utara Jawa itu bukanlah merupakan jalinan idiom-idiom yang kosong: kalimat itu ingin mendedahkan tentang betapa dahsyatnya kekuatan yang terkandung di dalam cinta itu sehingga ia sanggup merobek berbagai keangkuhan apapun yang selainnya. Karenanya, baju kemungkinan senantiasa menjadi kehormatan yang disandangnya.
 
Tapi bersamaan dengan hal itu pula, cinta bukanlah merupakan sejenis kobaran ambisi yang tidak mau mengakui tentang adanya warna-warni dan jarak. Dalam cerpen Hadjid Hamzah yang berumbul Sepuluh Tahun Kemudian (selanjutnya disebut STK, termaktub dalam buku antologi cerpen Cinta Seorang Copet, Jakarta: Progres, 2003) permakluman tentang adanya perbedaan yang tajam dalam bercinta terjuntai dengan ramah. Di dalam permakluman ini, cinta dibiarkan menjalar dari masing-masing keduanya, tapi sekaligus juga tidak memaksakan diri untuk merobohkan pagar atau batas yang berdiri di antara keduanya.
 
Bagaimana kita bisa tenteram dengan hidup seperti itu? Bagaimana pula jadinya anak kita nanti? Ke masjidkah ia? Atau ke gereja? kata Surti pada kekasihnya, Hari Sudarlan: suatu wujud perbedaan yang di kalangan kebanyakan masyarakat masih seringkali tampil sebagai seonggok penghalang bagi terwujudnya sebuah keluarga yang diikat oleh tali pernikahan, yaitu perbedaan agama.
 
Di dalam cerpen yang pernah muncul di Majalah Sastra di tahun 1964 ini, perbedaan keyakinan yang cukup kontras dan dianggap substansial oleh kebanyakan orang itu oleh Hadjid Hamzah dijadikan demarkasi. Hal ini barangkali dimaksudkan untuk mengujicoba bagaimana cinta menghadapinya. Ibarat angin atau air: ketika dihadang, ia akan mencari tempat atau celah yang lain untuk memasuki atau melewati ruang.
 
Di dalam cerpen yang seolah bukan fiksi ini, demarkasi yang tandas itu bukanlah merupakan penanda bagi berakhirnya percintaan antara Surti dengan Hari Sudarlan. Yang terjadi di situ adalah berubahnya titik pusat: dari degup cinta yang bertaut secara fisik beralih ke orkestrasi cinta yang berdentam secara platonik.
 
Cinta yang bertaut secara fisik mengandaikan berlangsungnya penghabluran masing-masing diri secara utuh sehingga kedua pencinta itu dimungkinkan untuk mendapuk kenikmatan paling maksimal, baik secara lahir maupun batin. Itulah yang disebut puncak hakiki dari perjumpaan antara dimensi maskulin (jalaliyyah) dan dimernsi feminim (jamaliyyah) yang sejatinya merupakan turunan langsung dari dua gelombang sifatNya.
 
Sedangkan cinta yang berdentam secara platonik hanya bisa berlangsung di gorong-gorong yang benar-benar sunyi: ia berjingkrak di kedalaman imajinasi yang paling purba, membuat si pencinta seolah melampaui gugusan-gugusan wilayah, menembus berbagai limit yang tabu, menumbuhkan bunga-bunga yang paling ideal.
 
Cinta platonik itu mengindikasikan adanya dua hal sekaligus: di satu sisi ia memproklamirkan kesanggupan untuk senantiasa bertahan meskipun secara terus-menerus ditikam sunyi, sementara di sisi yang lain ia memperlihatkan kelemahannya sendiri untuk merengkuh realitas sehingga yang terpampang di hadapannya tak lebih dari sekedar bayang-bayang.
 
Walaupun demikian, cinta platonik itu tetaplah merupakan penyangga terakhir bagi kehidupan si pencinta. Andaikan tidak ada ruang kemungkinan untuk berkolusi dengan cinta platonik, para pencinta yang sial karena tidak sanggup mendapuk rialitas mungkin akan mengakhiri hidup mereka dengan ca-ra yang barangkali tragis: bunuh diri atau tindakan-tindakan apapun yang bernuansa mengenaskan. Nauudzu billahi min dzalik.
 
Menurut paradigma seorang hermeneut kontemporer di bidang teks-teks suci Alquran, Muhammad Syahrur, cinta platonik itu bisa dikategorikan sebagai al-hadd al-adna (batas yang paling bawah) yang bisa disandang oleh para pencinta. Inilah sebenarnya yang dimainkan oleh Hadjid Hamzah di dalam STKnya. Di dalam cerpen yang bernuansa suram ini,tragedi berjalan maju-mundur, kenangan masa silam dan pengalaman hari ini berjalin-berkelindan dengan sedemikian sublim, dengan terajut begitu rapi. Waktu yang sesungguhnya beringas lalu berubah seakan menjadi beku. Waktu psikis melampaui waktu kosmologis. Bukan matahari atau jam atau barometer apapun yang menjadi kemudi bagi waktu, tapi gemuruh jiwa yang tidak mau dibalut layu. Simaklah petilan-petilan berikut ini:
 
Ya, sebetulnya mengapa pula kita bertemu waktu itu kata Darlan. Dan kau memandang padaku. Dan aku memandang padamu. Mengapa? Lalu kita kenal. Jalan-jalan. Nonton film. Dan kita tak saling mengatakan bahwa kita sebenarnya mempunyai kutub-kutub sendiri dalam hidup kita.
 
Percakapan-percakapan semacam itu ataupun yang sejenisnya dalam cerpen ini tidaklah semata terjadi di waktu yang sudah jauh lewat, sepuluh tahun yang lalu, tapi juga berdengung-dengung pada sepuluh tahun kemudian ketika Darlan, atas nama cintanya yang tidak kunjung kisut itu, mengunjungi sebuah rumah makan yang dulu, persisnya sepuluh tahun yang lalu, disinggahi oleh Darlan dan Surti dalam suasana cinta yang sungguh mesra.
 
Usia boleh beranjak tua. Kulit boleh berubah jadi keriput. Kepala boleh jadi telah ditumbuhi uban. Tapi cinta yang bersenyawa dengan keabadian tidak mudah bertekuk lutut di hadapan benda-benda atau atribut-atribut yang telah digarong oleh waktu.
 
Dengan gambaran semacam itu, barangkali Hadjid Hamzah secara tidak langsung ingin menandaskan bahwa melalaui jendela agung yang bernama cinta, kesejatian manusia sesungguhnya sanggup menunggang waktu dengan, bijak dan bestari. Laalli ila man qad hawaytu athir.

*) Penyair, juga dosen Tasawuf di PP Universitas Islam Indonesia Jogjakarta. http://sastra-indonesia.com/2010/03/ketika-waktu-jadi-beku/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah