Marhalim Zaini
suaramerdeka.com
(Percakapan-Percakapan yang Tak Selesai)
GELAP bangkit seperti kelelawar raksasa yang merentangkan sayap di atas
kampung ini. Agaknya, malam di mana-mana, selalu menanggungkan kecemasan yang
tak mudah diuraikan. Terasa berat, memekat, misterius, itulah hitam. Kalaupun
ada gangguan kosmis yang secara tak disangka-sangka bersilang sengkarut di
depan mata telanjang kita, apalagi di belakang punggung kita, tak ada yang bisa
diperbuat selain diam. Membiarkan ia lewat, atau kalaupun singgah sebagai hantu
jembalang, cukuplah kita berkomat-kamit melafazkan beberapa baris ayat, memberi
dinding bagi tubuh kita yang rumpang. Apa sesungguhnya yang paling kita
takutkan dari hidup yang tak seberapa lama ini? Kampung yang telah lama mati
suri ini, hutan-hutan yang kian meninggi dan berbiak dengan rambut daunnya yang
kacau, akan menyembunyikan dari mata langit tentang apa pun yang sedang
bernapas di bawahnya. Orang-orang adalah makhluk yang kadang ada sebagai sebuah
kenyataan yang ganjil, dan kadang tiada dalam bayang-bayang aneh tentang masa
lalu, juga masa depan. Masa kini, adalah dunia yang pikun, bahkan tanpa
ingatan. Jadi, seraplah kolase waktu yang bergerak kadang cepat, terlampau
cepat, kadang lambat, terlampau lambat, kadang malah bagai bandul jam yang ke
sana kemari dalam kebimbangan yang konstan. Atau, kita melihatnya hanya sebagai
sebentuk benda mati yang bergoyang, dan tak mampu lagi mencatat suhu tubuh
dalam musim apa pun.
Kolase 1:
TAK jauh dari kampung ini, di ujung pelabuhan internasional yang ambisius,
yang tersadai di tepi pantai yang dangkal, sebuah mobil menghadap ke selat
besar sedang menyembunyikan sepasang manusia yang memadu kasih di dalam
tubuhnya. Mobil itu bergoyang seperti sedang berjoget mengikuti irama empasan
ombak yang gusar. Angin bernapas tersengal-sengal dalam gelap malam yang
menyungkup. Apakah sepasang manusia itu sedang berbahagia? Sedang tak berpikir
tentang apa pun selain kenikmatan? Siapakah mereka? Apakah mereka anak seorang
pejabat? Atau anak seorang guru, anak ustaz, anak bandit, anak para koruptor,
anak penegak hukum, dan anak siapa pun? Tidak. Tak ada status atau identitas
untuk sebuah kenikmatan, bukan? Ia serupa pakaian yang kapan pun bisa
dilepaskan, dan diganti dengan pakaian yang lain, atau malah tak berpakaian
sekalipun. Telanjang kadang membuat orang lebih bebas untuk membiarkan rasa
malunya bergerak dalam wujudnya yang natural. Jadi untuk apa memelihara rasa
malu? Bukankah, kedua insan ini memang sedang berkuasa atas tubuhnya sendiri
ketika mereka memilih untuk telanjang? Atau mereka sedang saling menguasai atas
yang lain?
Tapi mari kita dengarkan cuplikan percakapan mereka sehabis pergumulan:
“Kita baru saja selesai berperang.”
“Apakah kita sama kuatnya?”
“Tidak tahu. Mungkin ya.”
“Bukankah Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia PBB 1967 menyatakan: Semua
manusia dilahirkan bebas dan sederajat?”
“Tapi itu kan pernyataan tentang prinsip moral? Bukan tentang fakta
empiris!”
“Berarti kita berbeda?”
“Ya, jelas. Para ilmuwan banyak yang bilang, bahwa perbedaan-perbedaan
biologis-genetik, hormonal, juga menentukan perbedaan gender dalam tingkah
laku, pikiran, agresi, pola-pola seksual, dan semua aktivitas manusia! Dan
secara lebih riil, lihat saja pakaianmu pakaianku, tata riasmu, gaya rambutmu,
bentuk tubuhmu, jelas ada simbolisasi yang bertentangan.”
“Tapi gender bukan sekadar biologis kan?”
“….”
“Bisa sosial, kultural, ekonomi, historis, dan lain-lain!”
“Ya, tapi semuanya relatif.”
“Aku setuju sama Aristoteles dalam satu hal, pria dan wanita itu
berlawanan, tapi bukan sebagai spesies yang berbeda. Mereka memang berbeda
dalam tubuh, tapi tidak dalam substansi.”
“Tapi kau jangan lupa, ketika Aristoteles bicara dalam konteks politik, ia
bahkan menyimpulkan begini, laki-laki itu pada hakikatnya lebih unggul dan
wanita lemah: yang satu memerintah, yang lain diperintah…”
“Ah, itu kan ego lelakinya Aristoteles yang bilang…”
“Kau ini!”
“Kau juga!”
“Melawan ya?”
“Kita kan memang sedang perang?”
“Dasar, perempuan!”
“Dasar laki-laki!”
“Kita putus!”
“Ya, sudah, putus saja…”
***
Kolase 2:
DI kampung ini juga, pada malam ini juga, di sebuah rumah panggung yang
renta, seorang lelaki tua sedang mengasah pisau sadap karet. Matanya tiba-tiba
berlinangan air mata, dan air mata itu jatuh satu-satu di atas batu asah.
Kenapa ia menangis. Kalau ditanya pada semua orang di seluruh dunia ini pun,
tak kan tahu apa penyebabnya. Sebab dia sendiri pun tak tahu kenapa setiap kali
dia mengasah pisau sadap karet ini, air matanya leleh. Apakah Tuhan tahu?
Setiap orang ber-Tuhan pasti bilang, bahwa tak ada sesuatu pun yang tersembunyi
di mata Tuhan. Tapi siapakah yang tahu bahwa Tuhan itu tahu tentang sejarah air
mata seorang lelaki tua sebatang kara? Ya, mungkin sebatang kara-lah yang
membuat lelaki tua ini tak malu menangis setiap malam, setiap kali ia mengasah
pisau sadap karet, karena tak kan ada yang melihat ia menangis, bukan? Dan
kenapa pula sebatang kara? Karena itu pilihan hidup. Bukankah setiap orang
berhak memilih pilihan hidupnya sendiri, meski kemudian harus menyesali dan
menangisinya sendiri? Yang pasti lelaki tua ini memang sedang berkuasa atas
kesedihannya sendiri, atas air matanya sendiri, sebab memang hanya itu yang
sekarang ia miliki. Apakah menjadi miskin adalah juga pilihan?
Tapi ada baiknya kita simak percakapan lelaki tua ini dengan air matanya:
“Kenapa kau menetes lagi?”
“Biar kau tak sepi. Aku kan sahabatmu…”
“Tapi aku akan jadi orang tua yang cengeng.”
“Tidak semua menangis itu cengeng. Nyatanya kau kuat selama ini. Sekian
puluh tahun ditinggal anak istri, tak punya harta benda, kau tetap bisa hidup.”
“Hidup dengan air mata?”
“Kau malu punya sahabat macam aku ya?”
“Tak hanya aku, semua orang akan malu…”
“Kenapa?”
“Tak usahlah tanya-tanya. Lebih baik kau diam saja!”
“Kau egois!”
“Diamlah!”
“Apa karena kau merasa berkuasa atas aku?”
“Diam!”
“Kalau aku pergi bagaimana?”
“Pergilah!”
“Kau tak menyesal, kalau nanti kau tak lagi punya air mata?”
“Air mata tak berguna!”
“Kalau kau tak bisa menangis lagi baru tahu!”
“Aku benci menangis!”
“Ya, sudah, aku pergi…”
“Pergiiiiiiiiiiiiiiiii!”
“Tapi ingat, jangan bunuh diri ya!”
“Pergiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!”
***
Kolase 3:
DI kampung ini juga, pada malam ini juga, seorang perempuan muda yang
bunting sedang mendodoi anaknya berumur satu tahun setengah dalam buaian.
Buaian itu terbuat dari kain sarung yang diikat dengan tali yang menggantung di
kayu broti tengah rumah. Tak jauh darinya, tiga orang anaknya yang lain sedang
terbaring terlentang melihat cahaya bulan dari lubang-lubang atap rumbia yang
bocor. Setiap musim hujan tiba, anak-anaknya itu paling girang menampung air
hujan yang menetes dari atap rumbia itu dengan besen. Bunyi air yang jatuh itu
seperti bunyi tut-tut piano yang tak beraturan. Kadang mereka juga bernyanyi
layaknya seorang biduan yang kehilangan panggung. Apa sesungguhnya yang sedang
mereka pikirkan tentang hujan yang jatuh menetes dari lubang bocor atap
rumahnya itu? Mungkin mereka ingin menjadi hujan yang dengan berani turun dari
langit yang jauh. Atau mereka tak sedang memikirkan apa pun selain bermain dan
bermain. Mereka memang sedang berkuasa dengan permainannya sendiri, dengan
imajinasinya sendiri. Karena mereka memang punya dunianya sendiri. Tapi di
manakah Ayah anak-anak ini? Pedulikah mereka ke mana Ayahnya pergi. Sang istri,
perempuan yang bunting itu, agaknya pun sudah tak begitu peduli ke mana
suaminya pergi malam-malam begini. Sebab siapa yang bisa berkuasa atas pilihan
orang lain?
Mari kita ikuti percakapan tiga anak yang terbaring itu:
“Bintangnya banyak…”
“Tiap malam langit dipenuhi bintang…”
“Langit rumah kita…”
“Ya, di luar langit tak berbintang.”
“Berarti rumah kita indah?”
“Ya, seperti surga.”
“Kau pernah ke surga?”
“Pernah.”
“Kapan?”
“Ya sekarang ini.”
“Ini kan surga icak-icak.”
“Tak ada surga lagi di luar sana.”
“Ada.”
“Dalam mimpi.”
“Aku juga pernah bermimpi masuk surga, tapi tak seindah surga di rumah kita
ini.”
“Surga dalam mimpi itu cuma sekejap. Tapi surga ini ada tiap malam.”
“Tapi surga itu tempat yang enak-enak kan? Makan enak, tidur enak,
mainannya banyak, semua enak-enak. Tapi di rumah ini tak ada yang enak. Cuma
ada bintang saja…”
“Ya, karena ini surga orang miskin.”
“Ah, tak enak ya surga orang miskin?”
“Ya, aku juga ingin masuk surga orang kaya…”
“Di mana?”
“Di rumah Tok Penghulu. Aku pernah ke sana, diajak sama anaknya, Ahmad.”
“Enak ya?”
“Enak sekali.”
“Kita ke sana yuk sekarang…”
“Ah, mana boleh sama Emak.”
“Coba kau yang bilang.”
“Mak, kami ke surga orang kaya ya…”
“Diaaaaaaaaam! Tidur kaliaaaaaaaaan!”
***
Kolase 4:
DI kampung ini juga, pada malam ini juga, di sebuah lokasi pengeboran
minyak baru, sejumlah lelaki sedang beristirahat dalam tenda-tenda setelah
seharian bekerja. Laki-laki dengan badannya yang tegap-tegap dan berwajah keras
itu, sebagian masih duduk-duduk di atas batang pohon kelapa yang sengaja
ditebang. Tanah yang sedang mereka bor ini, adalah tanah warga yang masih belum
selesai perhitungan ganti ruginya. Belum selesai proses pembebasannya. Tapi
pohon kelapa, juga karet, atau apapun yang berdiri di atas ?tanah basah? itu
mereka babat habis. Orang-orang kampung yang merasa tersenggol tanahnya
komplain. Tapi suaranya parau, serak, bahkan lenyap. Pengeboran pun berlanjut,
warga pun tetap terus bersungut-sungut. Di sini, siapa yang paling berkuasa?
Sebagian laki-laki lain tampak sedang membuat api unggun. Mereka sedang
memanggang sesuatu. Bau panggangan itu demikian menyengat. Bahkan dalam radius
seratus meter pun masih akan tercium aromanya. Bau apakah itu? Daging anjing.
Ya, sebagian mereka gemar makan daging anjing, juga daging babi, bahkan daging
monyet. Siapakah mereka? Tak tahu. Mereka sengaja didatangkan dari jauh, dari
berbagai daerah. Bahasa mereka campur-campur. Sulit mendeteksinya. Sejak mereka
datang di kampung ini, para Tionghoa atau Orang Asli yang gemar memelihara
anjing merantainya di rumah. Sebagian orang sedang merasa berkuasa atas nyawa
anjingnya. Orang lain merasa berkuasa atas selera makannya.
Mari coba kita curi dengar percakapan mereka yang sedang makan panggang
anjing:
“Bah, baunya sedap sekali!”
“Yoi. Mantap betul!”
“Banyak juga anjing di kampung ini ya??”
“Anjing liar itu…”
“Aku juga nampak sarang babi di hutan karet sana!”
“Bah, mantaplah itu. Besok kita cincang dia!”
“Bisa gemuk aku di sini.”
“Tidak di sini pun, kau memang sudah gemuk.”
“Ada cewek tak ya di kampung ini?”
“Cewek banyaklah. Kau cari saja di rumah-rumah…”
“Ah, mampus aku kena bacok bapaknya!”
“Maksud kau cewek nganggur?”
“Iyalah…”
“Ah, mana ada kampung kecil begini ada tempat pelacuran?”
“Iya ya…tapi banyak yang miskin orang sini!”
“Apa hubungannya?”
“Ya, cari duitlah…”
“Kalau pun mereka mau tak mungkin di kampung sendiri. Bodoh kau!”
“Ah, makanya jangan makan anjing melulu, bisa jadi anjing kau!”
“Ah, munafik kau! Kalau ada cewek kau mau juga kan?”
“Sudahlah…”
“Tapi mana kuat aku, sebulan di sini tak begituan?”
“Ah, sudahlah…dasar anjing kau!”
“Kau juga!”
“Babi kau!”
“Kau juga!”
“Monyet kau!”
“Kau juga!”
“Binatang kaaaaaaaaaaau!”
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 20 Juli 2021
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Kadir Ibrahim
Abi N. Bayan
Achiar M Permana
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Afrilia
Afrizal Malna
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mustofa
Alief Mahmudi
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amarzan Loebis
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Syarifuddin
Anash
Andri Awan
Anggrahini KD
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Annisa Steviani
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardy Suryantoko
Arie Giyarto
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Gumantia
Arif Hidayat
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asarpin
Asrul Sani
Baca Puisi
Bahrum Rangkuti
Balada
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni R. Budiman
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Candra Malik
Candrakirana
Caping
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Deddy Setiawan
Denny JA
Denny Mizhar
Deo Gratias
Dewi Musdalifah
Dhimas Ginanjar
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Diana AV Sasa
Dien Makmur
Dinar Rahayu
Diskusi
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Edisi Khusus
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Elsa Vilinsia Nasution
Erwin Setia
Ery Mefry
Esai
Evan Ys
F Aziz Manna
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Foto Andy Buchory
Francisca Christy Rosana
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fritz Senn
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Gendhotwukir
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gusti Eka
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hamzah Sahal
Hardy Hermawan
Hari Purwiati
Hario Pamungkas
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hendri R.H
Hendri Yetus Siswono
Herie Purwanto
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I. B. Putera Manuaba
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indira Permanasari
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Inung As
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwan Simatupang
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jember Gemar Membaca
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Joyo Juwoto
Jual Buku Paket Hemat
K. Usman
Kadek Suartaya
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khairul Mufid Jr
Khanif
Khoirul Abidin
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Astrea
Kitab Para Malaikat
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukman Santoso Az
M. Abror Rosyidin
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lutfi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahardini Nur Afifah
Mahendra Cipta
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mansur Muhammad
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Marulam Tumanggor
Mas Garendi
Mashuri
Masuki M. Astro
Matdon
Matroni Muserang
MG. Sungatno
Moh. Husen
Mohamad Sobary
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Multazam
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Murnierida Pram
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Neli Triana
NH Dini
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Novel John Halmahera
Nurel Javissyarqi
Nuryana Asmaudi
Omah Sastra Ahmad Tohari
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Riri Satria
Rodli TL
Ronggeng Dukuh Paruk
Ronny Agustinus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini KM
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Lamongan
Sastra-Indonesia.com
Sastri Sunarti
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Semesta
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeparno S. Adhy
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Titi Aoska
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Topik Mulyana
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Ulysses
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Negeri Jember
Untung Wahyudi
Veronika Ninik
Viddy A.D. Daery
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widie Nurmahmudy
Wildan Ibnu Walid
Windi Erica Sari
Wisran Hadi
Y Alprianti
Y. Thendra BP
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zumro As-Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar