Minggu, 18 Juli 2021

Taman Puisi Gelap Surabaya

S Yoga *
suarakarya-online.com
 
Tak bisa dipungkiri, bahwasanya puisi gelap begitu marak perkembangannya di Jawa Timur, khususnya di Surabaya. Pengistilahan puisi gelap sendiri masih bisa diperdebatkan lagi, juga mutu puisi tidak terkait dengan istilah puisi gelap atau puisi terang. Istilah ini juga sudah biasa digunakan untuk menyebut kecenderungan puisi-puisi dari penyair komunitas Airlangga. Dengan para penyairnya di antaranya W. Haryanto, Sihar Ramses Sakti, Indra Tjahyadi, Mashuri, Deny Tri Aryanti, Dheny Jatmiko, Ahmad Faishal dan Puput Amiranti N, coba simak puisi-puisi mereka pada dekade 2000-an hingga sekarang, maka akan terasa kegelapan dan keremang-remangan. Tentu saja hal ini tidak kebetulan semata, karena mereka memang berkembang pada satu komunitas, bermarkas di lingkungan kampus Universitas Airlangga. Namun perlu juga diketahui bahwa meski berada dalam satu komunitas banyak juga penyair yang memilih jalan sendiri, karena demokratisasi dan menghargai perbedaan, lebih ditegakkan daripada mazhab atau ideologi. Misal penyair Panji K Hadi, F. Aziz Manna, S. Yoga, M Anshor Syahroni, Kadirman, K Yudha Karnanta, St Fatimah, Luska Fitria dan M Aris.
 
Surealisme
 
Bila ditelusuri sejarahnya, sebenarnya kecederungan taman puisi gelap Surabaya mulai berkembang pada tahun 1995-an, saat itu mereka gandrung dengan aliran surealisme, super realis, “yang melampaui kenyataan”, begitu menurut pencipta istilah tersebut; Guillaume Apollinaire, bagi mereka surealisme adalah jawaban dan gambaran yang tepat dari realitas sosial yang mencekam, represif dan informasi yang tak bisa dipegang kebenarannya. Puisi, Indra Tjahyadi, “Amsal Kekosongan dan Rindu” bisa menjadi petunjuk akan kata-kata atau bahasa yang tak bisa dipercaya, Seperti katamu bulan adalah hantu. Seteguk pekik terlepas/dari negeri raibmu, lebih nyata ketimbang perahu/Bahasa yang diciptakan geludhuk membisukan penglihatanku.
 
Maka mereka suntuk membaca dan mempelajari surealimse lewat tokohnya Andre Brenton dan penyair Kriapur (Solo) dengan apokaliptiknya. Kalau kita baca karya-karya Kriapur maka kita akan bisa menarik benang merah pada puisi-puisi gelap mereka. Menurut Abdul Hadi W.M dalam acara Cakrawala Sastra Indonesia tahun 2004, ketika menelaah penyair Jawa Timur, di antaranya Indra Tjahyadi dan W Haryanto, ia menyatakan penyair Jawa Timur berkecenderungan apokalipsa, di mana hasrat untuk menunjukkan bahwa zaman kita hidup sekarang ini dipenuhi tanda-tanda buruk yang mengisyaratkan hancurnya tatanan kehidupan sosial dan kebudayaan. Kemudian Nirwan Dewanto dalam kata pengatar antologi puisi, Lima Pusaran, FSS 2007, menyatakan, sejumlah penyair dari Surabaya memang giat dalam sepuluh tahun terakhir. Di antaranya dengan mengusung puisi gelap yang bisa menjelma keajaiban atau keganjilan dengan kocokan maut kata-kata.
 
Karena kegandrungan penyair komunitas Airlangga akan surealisme maka ketika membuat antologi bersama, mereka beri judul Manifesto Surealisme, sebuah judul yang mengambil pernyataan, manifesto, Andre Brenton, karena pada tahun 1924, penyair Perancis ini, pernah mengeluarkan Manifesto Surealisme. Andre Breton menyerukan pembebasan potensi-potensi terpendam dalam diri manusia, di alam bawah sadar, yang telah terkekang oleh rasio dan kebiasaan. Merayakan alam mimpi dan menekankan bawah sadar. Membiarkan imajinasi liar bekerja secara bebas tanpa kendali nalar dan tata bahasa. Mereka berharap menemukan paduan antar kata dalam sebuah metafor yang mengejutkan dan baru, tidak terpancang pada logika struktural dan konvensi umum sebuah puisi. Mereka mencoba menerapkan temuan psikoanalisis Sigmun Freud dari Austria. Yakni antara naluri-naluri dan hasrat-hasrat utama kita (id) dan corak perilaku kita yang lebih beradab dan rasional (ego).
 
Puisi gelap atau abstrak, tidak rasional, sebenarnya sudah marak pada tahun 1950-1960, di mana pada waktu itu banyak puisi yang susah dimengerti dan dinikmati. Kemudian muncul juga pada tahun 70 dan 80-an. Seolah gelombang yang secara siklus terus mengempur kesadaran rasional kita di zaman modern. Puisi-puisi gelap penyair koumintas Airlangga ini, seolah-olah melakukan pelarian kedalam keterasingan terhadap pikiran-pikiran pembaca, mengambil jarak, menjauhi akal sehat dan imajinasi pembacanya. Puisi-puisinya sangat subjektif, alienasi dirinya terhadap dunia sekitarnya. Sarat imajinasi, pembebasan imaji, dan metafor, kata-kata adalah imajinasi. Yang seringkali meloncat-loncat, tidak sinkron, retak-retak dari bangunan imaji sebelumnya. Puisi dipahami sebagai sebuah teks (writerlytext) yang cerai berai, retakan-retakan peristiwa. Dalam gelap rimba imajinasi. Kita berharap bisa mendapatkan sejumput kearifan dan keindahan.
 
Karena itu dalam menelaah puisi, penyair komunitas Airlangga, perlulah juga melihat struktural semiotik dan latar seting sosial budaya. Di mana kondisi sosial dan politik yang sedang berkembang, khususnya pada era Orde Baru, Soeharto, sangat berperan. Namun kegelisahan mereka dalam manifestasinya tidak muncul dalam karya sastra kritik sosial atau puisi protes. Mereka lebih memilih dalam gambaran dari bentuk pemerintahan yang reprensif itu sendiri. Dalam wadah sebuah ekspresi simbolik yang subyektif. Yang mencerminkan sebuah zaman kegelapan, di mana struktur kekuasaan yang otoriter dan militerisme berkembang, keterasingan masyarakat begitu mengedepan. Puisi Deny Tri Aryanti, “Tarian Sebuah Musim”, merupakan gambaran dari keterasingan peradaban; Aku tak ingin menjadi abu/saat mayat-mayat menari gemulai/menorehkan darah pada tanah peradaban.
 
Sikap pejabat negara yang bukan pada batas kewenagannya namun sudah menjadi kesewenang-wenangan yang tak bisa ditoleransi lagi. Hingga puncaknya pada demonstrasi mahasiswa dan terjadilah peristiwa reformasi. Maka bentuk-bentuk puisi mereka benar-benar kelam, cemas, seram, gelap, erotis, liar, sebagai bentuk perlawanan realitas sosial yang ada, yang hinggar bingar dengan kekerasan, penembakan, pembunuhan, pengusuran dan ketidakadilan yang merajalela, di mana hukum menjadi barang dagangan. Puisi Mashuri, “Asu” bisa megambarkan betapa dahsyatnya perubahan sosial yang tak bisa terelakan, namun tak bisa disiasati sehingga mereka menjadi korban yang paling hina, yang digambarkan menjadi anjing, yang nasibnya ditedang kesana kemari tanpa keadilan. Begitu angin menderu, seluruh tubuhku berbulu, gigiku bertaring/ kuku-kukuku runcing. Aku telah menjelma anjing. Lalu aku menunggu/ isyarat, ketika malam telah lengser ke peraduan dan kokok ayam/ pertama menggantikannya untuk kembali bertahta. Ketakutan menebar di udara, seperti aromba busuk yang menusuk paru-paru.
 
Sehingga wajar bila judul antologi puisi mereka yang serba seram, menakutkan dan liar; Ekspedisi Waktu, Syair Pemanggul Mayat (Indra Tjahyadi), Pengantin Lumpur, Ngaceng (Mashuri), Labirin dari Mata Mayat (W Haryanto). Maupun judul-judul puisi mereka misal; Syair Pemabuk, Lembah Kabut Kematian, Kembali ke Neraka, Hantu Pasir, Hikayat Orang Bangkit dari Kubur, Kubur Panjang, Saksi Kematian, Karnaval Ajal. Kata-kata neraka, maut, labirin, mayat, hantu, kematian, kegelapan dan bayang-bayang seolah-olah menjadi kata-kata kunci dalam puisi-puisi mereka.
 
Dalam kondisi seperti ini, akhirnya mereka memilih sebuah paradigma atau ideologi dalam perjuangan literernya yakni surealisme yang cenderung kedalam kegelapan, di mana bentuk-bentuk strukturalisme mereka tentang. Hingga bila memahami puisi mereka dengan cara strukturalisme maka akan sia-sia, yang akan ditemui hanyalah kegelapan semata. Karena puisi mereka adalah retakan-retakan realitas yang tidak bisa atau terpahami lagi, karena kegelapan peristiwa yang ada, realitas yang ada bagai jaring-jaring labirin yang tak bisa diurai dan ditemukan siapa pelaku, bagaimana bisa terjadi, apa yang terjadi sebenarnya, dan bagaimana bisa keluar dari kenyataan yang ada. Mereka tak bisa memahami realita itu semua, karena yang ada hanya kabar burung tanpa ada sebuah kebenaran yang bisa diyakini. Bila hingga kini mereka masih tekun menulis dengan cara demikian, puisi gelap, berarti mereka masih meyakini bahwa pada zaman sekarang ini, yang kataya menjunjung demokratisasi dan keterbukaan ternyata masih menyimpan labirin kegelapan yang susah untuk dibongkar, semisal mafia peradilan dan korupsi rente dalam sebuah birokrasi. Di mana irasional kemanusiaan berlangsung.
***

*) Alumnus Sosiologi FISIP Unair Penyair dan pemerhati kebudayaan anggota Komite Sastra DK-Jatim. http://sastra-indonesia.com/2009/02/taman-puisi-gelap-surabaya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah