Senin, 12 Juli 2021

Perayaan Keberagaman Gender dan Seksualitas dalam Sastra Perempuan Kita

Nissa Rengganis *
Radar Cirebon, 16 Juli 2017
 
SAYA percaya, sastra tidak lahir dari ruang hampa. Ia adalah rekaman dari kepincangan-kepincangan sosial. Ia adalah nukilan tragedi yang tersisa dari carut marutnya perang. Ia adalah keterasingan, keterpinggiran sekaligus semangat perlawanan pada diri dan zamannya. Sastra tidak pernah tercipta dari kekosongan budaya. Ia bercampur aduk dengan apa-apa yang hidup di dalamnya.
 
Situasi macam ini yang disebut Nadine Godimer sebagai state of being, yakni tak ada keadaan ‘ada” yang murni, tak ada teks yang tidak bersinggungan dengan yang lain. Ia tidak bisa lepas dari konteks. Barangkali, ini pula yang memberi ruh pada sastra hari ini, periode sastra yang saya sebut sebagai era ‘ketelanjangan sastra’.
 
Sejauh ini, sastra tentu saja telah mengalami sejarah metamorfosis yang panjang. Tidak ajek. Tidak berada dalam sebuah never ending process of becoming. Ia akan terus berkejaran dengan kondisi sosial yang mengikutinya.
 
Dari periodisasi yang panjang itu, ada yang tak bisa luput dari pengamatan kita, yakni kegairahan sastra (konteks ini: para pengarang perempuan) di era 2000-an. Ada semacam babak baru, terutama dalam kegairahan sastra di era pasca-reformasi. Sebuah zaman yang melahirkan fase perubahan sosial, politik, dan kultural yang menjadi tanda munculnya isu demokratisasi serta keterbukaan ruang sosial, politik, serta kebudayaan. Tak ayal situasi ini turut berpengaruh pada perkembangan sastra di Indonesia.
 
Jika sebelumnya, sastra berada pada situasi yang represif dan segala gagasan yang bersebrangan akan dianggap subversif. Kini, kita disuguhkan pada fenomena sastra yang lebih vulgar, terus terang, tidak basa-basi, lebih berani, bahkan blak-blakan mendobrak hal yang sebelumnya dianggap ‘tabu’ di masyarakat.
 
Hal menarik lainnya, pada periode ini beramai-ramai muncul pengarang perempuan yang secara terbuka menggagas persoalan seksualitas. Kita dikejutkan kehadiran penulis-penulis perempuan seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu, Dewi Lestari, Fira Basuki, dll yang jare mengusung gagasan feminisme dalam karya-karya mereka.
 
Para penulis perempuan yang dilabeli sebagai generasi ‘sastrawangi’, ‘sastra feminis’ hingga ‘generasi sastra biru’ mengadopsi pemikiran kaum feminis mulai dari Irigarai, Cixous, hingga Julia Kristeva. “Write Yourself, Your Body Must be Heard” seakan memberi semangat bagi perempuan untuk melepaskan diri dari kebisuan dan menulis menjadi salah satu cara untuk mengakhiri penindasan—yang mereka tuduhkan sebagai akibat budaya patriarki.
 
Pada wilayah ini kemudian perempuan mengambil peran di tengah ingar bingar ruang sastra kita. Setelah jauh sebelumnya teks-teks sastra yang diproduksi selama ini sangat maskulin. Setelah lama sekali pemosisian tubuh perempuan ditulis para pengarang laki-laki. Dari kemampatan itu melahirkan gairah para pengarang perempuan untuk menulis ‘tubuhnya’ sendiri.
 
Revolusi Seksualitas mulai dari soal Virginitas hingga Lesbianisme
 
Dari beberapa silang sengkarut periodisasai sastra di atas, saya menilai kemunculan sastra angkatan 2000-an tidak terlepas dari situasi represif dan pemasungan kreativitas pada rezim Orde Baru—di mana segala yang bersebrangan saat itu dicap pembangkang, subversif. Sastra angkatan 2000-an adalah ide dan tematik yang cenderung lebih vulgar, terus terang, tidak basa-basi, lebih berani, tidak konvensional, bahkan mendobrak hal yang sebelumnya dianggap tabu di masyarakat.
 
Selain itu, dalam sastra angkatan 2000-an pun muncul genre baru yang disadari pengarang perempuan, dengan label sastra feminis. Jika sebelumnya, ada hantu sastra yang menghadirkan tokoh-tokoh perempuan berada pada ‘pakem’, terjebak di kondisi yang patriarki, yang kini dibunuh pengarang perempuan itu sendiri. Pada babak baru ini, perempuan mulai mengambil alih dengan melakukan sebuah perlawanan atau pemberontakan secara terbuka dengan memunculkan persoalan seksualitas, kekerasan, tubuh, bahkan isu lesbianisme.
 
Mengadopsi pemikiran Irigarai “When Our Lips Speak Together” di mana terjadi penolakan terhadap pemosisian tubuh perempuan dalam kerangka tubuh serta seksualitas laki-laki yang satu, tunggal, dan terpusat pada penisnya. Irigarai sama halnya dengan Cixous menekankan bahwa perempuan harus melepaskan diri dari kebisuan, dan menulis menjadi salah satu cara untuk memberikan suara bagi seksualitas perempuan dalam obyek seksualitas laki-laki.
 
Kalimat pendek Cixous yang dikenal “Write Yourself. Your Body Must be Heard” telah memberikan pengaruh terhadap beberapa teks sastra yang diproduksi pengarang perempuan.
 
Sama halnya dengan Irigarai, Cixous pun menilai bahwa selama ini, terutama pada era strukturalis, bahasa yang digunakan adalah bahasa maskulin. Entah itu Irigarai, Julia Kristeva ataupun Cixous-mereka seakan menunjukkan fenomena sastra Indonesia hari ini. Semacam ada kegelisahan perempuan Indonesia yang tertindas dan terpinggirkan budaya patriarki mendorong mereka untuk ikut serta mengambil peran.
 
Novel-novel yang hadir dalam angkatan 2000-an dalam sastra Indonesia mempunyai eksplorasi tentang seks yang setara dengan laki-laki. Semisal, eksplorasi Oka Rusmini dalam novel Tarian Bumi menghadirkan tokoh-tokoh perempuan yang memiliki imajinasi liar soal seksualitas.
 
Tokoh Sadri dalam novel Tarian Bumi mempunyai imajinasi yang liar tentang seks dan menggambarkan lelaki sebagai bagian dari sebuah permainan seksualitas. Dalam novel Tarian Bumi, tokoh-tokoh perempuan mulai mengkontruksi penempatan diri dalam seksualitas.
Nayla, tokoh rekaan Djenar Maesa Ayu pun sangat vulgar membicarakan persolaan seks. Ia tengah asyik bermain-main dengan kelaminnya. Nayla, si bisexual seolah menunjukkan adanya perlawanan perempuan dalam seksualitas, yang menempatkan seks sebagai kebutuhan yang sederajat antara perempuan dan laki-laki.
 
Isu tentang keperawanan pun banyak diangkat dalam novel-novel sastra angkatan 2000-an. Dalam novel Wajah Sebuah Vagina, Nayla, Jendela-Jendela, dan Swastika digambarkan tokoh-tokoh yang melakukan perlawanan tentang mitos keperawanan. Soal virginitas atau keperawanan dianggap sangat identik dengan budaya patriarki. Persoalan vagina semakin marak dimunculkan secara terbuka sebagai bentuk kritik terhadap phallosentrisme atau prinsip dalam masyarakat patriarki yang meyakini bahwa phallus atau penis sebagai atribut maskulinitas yang merupakan simbol kekuatan dan menjadi ukuran dalam norma kultural. Tentu ini masih menjadi kontroversi dan perdebatan yang masih menuai kritik.
 
Jika kita sepakat sastra adalah anak sebuah zaman, maka berbagai persoalan perempuan yang dirunut dari cultural-historis menjadi dasar gagasan tematik yang diusung pengarang perempuan. Maka di sini kita tidak sedang bicara soal moralitas, kepungan baik dan buruk. Jika teks yang diproduksi pengarang perempuan memiliki tren pada seksualitas, ini semacam respons atau upaya memerdekakan diri dari eksploitasi laki-laki terhadap perempuan melalui seks, penindasan laki-laki terhadap perempuan melalui kekerasan, dan penguasaan laki-laki atas perempuan melalui tubuh perempuan. Seksualitas perempuan, yang sebelumnya dianggap tabu dan menjadi ancaman pelecehan, kini dirayakan lewat berbagai cara seperti media film, seni pertunjukan, dan karya sastra.
 
Lebih jauh dari itu, sastra menjadi ruang yang cukup kondusif untuk mengampanyekan keberagaman gender dan seksualitas. Fenomena seks dan isu lesbianisme menjadi sebuah ruang ekspresi feminis yang menonjol dalam periode Reformasi. Hal ini ditunjukkan dengan lahirnya beberapa novel yang spesifik mengangkat isu lesbian, yaitu: Novel Garis Tepi Seorang Lesbian karya Herlianatiens (2003), Tarian Bumi karya Oka Rusmini (2000), dan novel Gerhana Kembar karya Clara Ng (2007). Dalam ketiga novel yang disebutkan, pengarang (perempuan) dengan berani memunculkan kehidupan kaum lesbian yang ditampilkan dalam novel-novel tersebut.
 
Novel Garis Tepi Seorang Lesbian terbilang cukup ‘berani’ dan ‘vulgar’ untuk menggugat kultur masyarakatnya. Tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam novel ini memperjuangkan identitasnya sebagai lesbian. Alur yang dibangun dalam novel GTSL pun memunculkan beberapa persoalan yang dialami tokoh lesbian yaitu Paria dan Rie.
 
Novel Tarian Bumi juga memunculkan persoalan perempuan yang mengalami ketidakadilan akibat perbedaan kasta yang masih menjadi tradisi masyarakat Bali. Tokoh perempuan Luh Kenten telah berhasil menampilkan rasa cinta dan hasrat seksual yang kuat terhadap sesama perempuan. Bahkan ia mempunyai keinginan kuat untuk memiliki Sekar sebagai kekasihnya.
 
Gagasan lesbianisme yang dimunculkan dalam novel Gerhana Kembar masih terlihat malu-malu dan belum secara ‘vulgar’ menunjukkan identitasnya sebagai lesbian. Hal itu karena setting yang terdapat dalam novel Gerhana Kembar berada pada tahun 1960-an. Di mana kultur masyarakat saat itu masih sangat tabu untuk menerima keberadaan kaum lesbian. Fola sebagai tokoh lesbian dalam novel tersebut ditunjukkan sebagai tokoh yang pasif karena sebagai lesbian pada akhirnya menyerah dengan kondisi masyarakat tempat ia tinggal.
 
Isu lesbianisme bagi Clara Ng adalah tema yang sensitif dan malas disentuh para penulis Indonesia, mengingat masih sedikit yang cukup berani menuliskan tema tersebut. Novel Gerhana Kembar telah mengeksplorasi tema seks dengan narasi yang vulgar, binal, dan sarkastik dengan tokoh utamanya sebagai pasangan lesbian.
 
Saya melihat ketiga novel tersebut memiliki kecenderungan dalam mengusung gagasan lesbianisme dengan menunjukkan kehidupan kaum lesbian. Eksistensi kaum lesbian yang ditunjukkan dalam beberapa novel tersebut memberi pandangan kepada masyarakat atas keberadaan kaum lesbian sebagai identitas dan eksistensi baru. Artinya, eksistensi kaum lesbian yang direpresentasikan dalam novel-novel tersebut telah menunjukkan adanya keterbukaan kaum lesbian dengan pilihan coming out, dan lahirnya beberapa komunitas lesbian.
 
Representasi yang ditampilkan dalam tiga novel tersebut menunjukkan bahwa kaum lesbian mulai menyadari bahwa pilihan sikap in the closet bukanlah sebuah pilihan yang terbaik. Sikap diam dan ketertutupan kaum lesbian tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Kondisi tersebut mendorong kaum lesbian, baik secara individu maupun kelompok, untuk membuka diri dan mengampanyekan identitasnya pada masyarakat. Pilihan coming out bagi kaum lesbian merupakan tahapan atas perjuangan identitas mereka untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat.
 
Di Indonesia, perjuangan kaum lesbian untuk memperoleh pengakuan mengalami sejarah yang panjang. Kelompok lesbian di era sebelum Reformasi sudah melakukan berbagai cara untuk mengonsolidasikan beberapa kelompok lesbian. Beberapa organisasi yang lahir saat itu seperti Lambda Indonesia, Perselin, dan Chandra Kirana, cukup aktif mengorganisasikan kaum lesbian. Beberapa organisasi tersebut berhasil menjadi wadah tukar informasi kelompok lesbian di Indonesia. Mereka mulai menyadari bahwa kepentingan mereka harus diperjuangkan dan menjadi bagian dari gerakan perempuan.
 
Iklim demokrasi di Indonesia memberikan sebuah referensi keberagaman dalam masyarakatnya, salah satunya kehadiran karya sastra yang lebih vulgar. Karya sastra sebagai produk budaya tak hanya memberikan suguhan untuk menghibur, melainkan sebagai media dalam pembentukan pola pikir terhadap wacana yang terdapat di dalamnya serta berfungsi dalam mencitrakan suatu realitas dalam masyarakat. Ini menjadi penting, bagaimana kedewasaan kita untuk merespon isu-isu yang diwacanakan dalam kultur masyarakat yang demokrastis. Maka diperlukan proses dialog dan saling menghargai. Salah satunya dengan tidak tergesa-gesa menghakimi keberadaan kaum lesbian di Indonesia.
***
 
*) Nissa Rengganis, menulis esai sastra juga politik. Bersama teman-temannya mendirikan dan mengelola Rumah Kertas—rumah sastra yang dihuni anak-anak muda di Cirebon. Saat ini menjadi dosen politik di Universitas Muhammadiyah Cirebon. http://sastra-indonesia.com/2017/11/perayaan-keberagaman-gender-dan-seksualitas-dalam-sastra-perempuan-kita/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah