Minggu, 25 Juli 2021

Perempuan yang Menyembul dari Semak Malam

Isbedy Stiawan ZS *
sinarharapan.co.id
 
IA menyembul dari semak malam. Tak ada penerang jalan di tempat itu, sehingga aku sulit memastikan dari gang atau arah mana dia datang. Suasana benar-benar gelap dan sunyi pada pukul dua dini hari.
 
Seperti datang dari suatu tempat tak bernama, dan tiba-tiba ia sudah berada di hadapanku. Membuatku kaget. Aku terpana seperti ketika aku digoda makhluk halus di bangunan kosong. Karena itu, semula kukira ia bukan sejenis manusia. Tetapi dari napasnya yang kudengar masih tersengal-sengal seperti orang baru lari, kupastikan kalau ia sedang mencari pertolongan.
 
Hanya kupandangi dirinya yang kini berdiri tepat di depanku. Aku tak bisa melakukan apa-apa selain bengong. Sebab pikiranku saat itu juga sedang kacau. Aku tengah menyusuri malam tanpa tujuan. Aku juga tak punya pretensi harus berhenti di mana dan pada pukul berapa. Sejak kutinggalkan rumah pada pukul 21.00 tadi, kubulatkan hatiku untuk pergi dari rumah. Hanya berjalan kaki. Dan, saat ini aku tidak tahu sudah berapa kilometer kulalui.
 
Ia kulihat seperti ketakutan. Wajahnya dipenuhi air mata. Rambutnya kusut. Keningnya lebam seperti baru terkena benda tumpul. Kukira ia tak sempat mengganti pakaian begitu meninggalkan rumahnya. Pakaian tidur yang dikenakannya, membuktikan kalau ia tergesa-gesa meninggalkan rumah. Aku tak mengenalnya. Kami bertemu pada waktu yang tak sengaja. Dan, barangkali dengan perasaan yang sama: kacau.
 
“Tolong, saya mau dibunuh,” ia mengharap. Suaranya bergetar. Badannya gemetar. Ia mengusap air matanya. Sejurus kemudian ia hendak rebah di dadaku, tapi aku segera memegang pundaknya dari belakang. “Bawa saya dari tempat ini, saya takut suami saya menangkap saya. Saya bisa habis dipukuli?”
 
Aku hanya bengong. Mengapa pula aku bertemu orang malam ini, saat pikiranku juga sedang kacau? Sebenarnya saat ini aku enggan diganggu. Cuma dengan pertemuan ini, aku tak mungkin menghindar bahwa aku bakal mendapat pekerjaan baru. Bagaimana kalau suaminya memergoki kami sedang berdua, apa tidak menambah runyam? Atau ia ditemui suaminya, seperti katanya, lalu membawa pulang dan menganiayanya? Itu sama artinya aku membiarkan kekerasan terhadap perempuan.
 
Aku ingin bertanya kenapa ia meninggalkan rumah, mengapa suaminya hendak membunuhnya, di mana rumahnya biar kuantar pulang, atau apa ia punya saudara dan di mana rumahnya biar kutemani ke sana? Belum ucapanku meluncur, ia sudah menarik lenganku.
 
“Itu taksi. Kita pergi dari tempat ini,” katanya spontan. Ia stop taksi yang lalu di depan kami. Segera ia naik sementara tanganku tetap dalam genggamannya. Aku tak berkutik, kuikuti perempuan itu.
 
“Ke mana, Pak?” sopir taksi bertanya setelah kami duduk di belakang. “Kemalaman ya Pak pulangnya, di situ memang jarang ada taksi yang liwat. Kebetulan saya baru mengantar perempuan dari tempat hiduran ke jalan itu,” supir taksi itu menambahkan.
 
Aku kegalapan. “Bawa kami ke pantai, Pak,” lagi-lagi perempuan itu seperti spontan berujar. Aku ingin menolak, tapi tangannya mencekalku lebih kuat: isyarat kalau aku jangan bicara.
 
“Lo, bukannya mau pulang?”
 
Lagi-lagi bukan aku yang menjawab, sebab perempuan di sebelahku kembali menyambar. “Kami ingin menghirup udara pantai. Kebetulan malam ini ulang tahun perkawinan kami?”
 
“Wow! Selamat Bu, Pak. Sudah yang ke berapa nih?”
 
“Dua puluh lima tahun?,” perempuan di sebelahku kembali menjawab tanpa ragu.
 
“Perkawinan perak?”
 
“Begitu kata orang-orang gedongan,” jawabnya tertawa. Kulihat perempuan di sebelahku terlihat manis ketika tertawa. “Cuma untuk keluarga seperti kami, merayakannya cukup di pantai,” lanjutnya sambil tertawa.
 
Aku tak punya kesempatan berucap. Atau jangan-jangan sengaja aku tidak diberi waktu untuk menutupi rahasia kami, bahwa sesungguhnya kami bukan suami istri? Meski hatiku tak menerima kedustaan ini.
 
“Di mana saja sama, Bu, yang penting nilainya,” ujar sopir taksi itu kemudian. Ia menambahkan, “Apa mau ditunggu?”
 
“Ah, tah usah. Kami akan pulang besok siang. Terlalu lama kalau abang nungguin kami?”
 
“Tak apa, Bu, kalau bayarannya sesuai, hehehe?”
 
“Terima kasih, Bang. Kalau ditungguin kami malah jadi terganggu. Karena kami tak punya target waktu.”
 
“Maksudnya, kami mungkin pulang pada sore atau malah malam besok. Begitu, Bang?”
 
“Ya, sudah, Bu. Saya antar sampai ke tepi pantai ya?” kata sopir taksi itu, begitu kami memasuki gerbang taman hiburan pantai setelah kubayar karcis masuk.
 
Ia lebih dulu keluar dari taksi, dari pintu sebelah kiri. Aku masih duduk di dalam ketika perempuan yang belum kutahu namanya itu memberi isyarat supaya aku segera keluar.
 
“Kita cari tempat duduk di sebelah sana, Pa,” katanya setelah aku turun dari mobil. Ia memanggilku “Pa?” Bahkan ketika ia mengucapkan “Pa” sengaja ia tekan, dan aku yakin itu sampai ke telinga supir taksi itu. Oh, aku jadi serbasalah. Supir taksi menatap kami. Tersenyum. Kemudian ia melambaikan tangan pada kami. Aku sendiri tak tahu apa maksud lambaiannya. Apakah untuk ucapan “selamat menikmati perkawinan perak?” ataukah untuk hal lain? Kubuang pikiran-pikiran tak jelas itu. Kuikuti ajakan perempuan yang melangkah menuju sebuah pondok di tepi pantai: menghadap Timur.
 
Angin menjelang fajar amat menusuk hingga ke tulangku. Aku tadi lupa membawa jaket, selain baju jins yang melapisi kaus T-Shirtku. Begitu pula perempuan yang kini berada di sisi kiriku, hanya pakaian tidur. Tipis. Dan, tentu itu membuat bayangan tubuh di balik bajunya kadang tampak jelas, begitu terkena sinar lampu.
 
“Mengapa kau ajak aku ke sini?” tanyaku setelah kami duduk di pondokan. Aku duduk di sebelah kiri dan ia di bagian kanan, agak menyudut untuk menyender di tiang. “O iya, kita belum berkenalan?”
 
“Entahlah,” jawabnya pendek. Ia mendesah. Beberapa saat ia terdiam. “Tadi saya takut sekali kalau suamiku menemui saya. Ia masih sangat murka. Saya pasti dipukuli lagi. Beruntung saya bertemu?”
 
“Panggil saja, mas Daniel.”
 
“Ya. Saya beruntung bertemu mas Daniel,? katanya kemudian.?O iya, nama saya Siska?”
 
“Tapi, kau belum jawab pertanyaanku?”
 
“Saya mengajak mas Daniel ke sini, karena saya ingin menyelamatkan diri dari kejaran suami saya?”
 
“Tapi, kau sudah membawa saya dalam persoalanmu,” ucapku. Sebenarnya sejak tadi aku hendak menolak, bahkan kalau saja tak ada taksi maka sudah kutinggalkan ia di tempat tadi. Tetapi, karena mobil taksi itu dan karena ia segera menarik tanganku masuk ke mobil maka aku tak bisa mengelak.
 
“Maafkan saya. Sungguh saya tak sengaja ingin melibatkan mas Daniel. Tadi saya benar-benar ketakutan, dan saya membutuhkan pertolongan. Jadi, begitu ketemu mas Daniel- atau siapa pun orangnya yang saya jumpai, saya seperti mendapatkan dewa penolong?,” katanya terisak. Ia seperti mengharapkan sekali pertolonganku.
 
“Kau terlalu percaya sama orang yang baru kaukenal. Bagaimana coba, kalau ternyata saya bukan orang baik-baik? Malah bukan menolongmu, tapi?,” kataku.
 
Kemudian aku mengingatkannya agar pada suatu kesempatan lain, ia jangan mudah meminta bantuan pada orang yang belum dikenal. Waspada terhadap orang yang tidak kita kenal, apalagi pada saat kriminal bisa terjadi setiap waktu dan di mana saja, sangat diperlukan. Apalagi ia perempuan. Beberapa hari lalu aku pernah membaca berita di surat kabar, seorang janda diperkosa oleh tujuh lelaki yang dikiranya akan membantunya pada saat kemalaman di terminal. “Lain kali, kau harus hati-hati kalau meminta bantuan orang. Jangan kaulakukan seperti tadi?”
 
Ia mengangguk. Pelan. “Saya tak punya pilihan lain, kecuali siapa pun orang yang saya temui di jalan saya akan meminta bantuannya. Yang ada dalam pikiran saya saat itu adalah wajah suami saya yang membawa parang dengan hati berang. Saya takut dibunuh oleh suami saya,” katanya kemudian setelah terdiam sekejap. “Tapi, hati saya mengatakan bahwa mas Daniel bukan orang jahat. Makanya saya minta bantuan.”
 
“Lain kali juga, jangan terlalu percaya pada perasaan. Tidak selamanya perasaan sama dengan kenyataan,” kataku lagi menasihatinya. Kukatakan juga padanya, banyak lelaki yang berpura-pura hendak menolong tetapi kemudian perempuan itu malah diperkosa dan dipreteli hartanya. Banyak kasus seperti ini terjadi di kota BL ini. Lalu, ia mengangguk. Ia menghapus airmatanya. Tersenyum. Hatiku berdetak. Ah!
 
Seorang petugas keamanan hiburan pantai mendekati pondok kami, dan meminta api. Kukatakan aku tak merokok, kemudian ia berlalu sambil berucap “selamat pagi”. Kulihat arloji di tanganku, sudah pukul 04.14. Kulihat tangan Siska makin merapatkan ke kakinya yang menekuk rapat di dadanya. Ia pasti amat kedinginan. Tetapi, aku tak punya jaket selain baju jins yang di tubuhku. Kubuka bajuku dan hendak kuserahkan padanya, tapi ia segera menolak. “Kaos mas Daniel itu tipis, malah nanti kedinginan?”
 
Aku menggeleng. “Kukira kau yang paling memerlukan. Aku masih bisa bertahan,” ucapku kemudian seraya menyerahkan pakaianku. Akhirnya ia mengambil dan membungkus tubuhnya begitu saja. “Sekalian kau pakai, jangan begitu?,” imbuhku.
 
Ia mengenakannya. Dengan memakai jinsku, setidaknya bayangan tubuhnya tak lagi tampak begitu tersorot lampu. Selain itu, ia tak terlihat lagi menggigil.
***
 
KAMI punya masalah yang sama. Itulah kesimpulanku sementara. Ia lari dari rumah karena suaminya tak menerima dituduh berselingkuh. Sedangkan aku keluar dari rumah, karena aku memergoki istriku berselingkuh dengan atasannya di sebuah hotel.
 
“Mas Amran sudah berkali-kali menyakitiku, setiap kali kutanyakan soal wanita yang selalu dibawanya. Ia selalu membantah kalau ia tak berselingkuh. Tetapi, temanku pernah melihatnya jalan dengan perempuan di swalayan, bahkan keluargaku pernah memergokinya masuk ke hotel bersama perempuan yang sama,” katanya saat kuminta ia menceritakan mengapa lari dari rumah. “Tadi siang aku melihat dengan mata kepalaku, ia bersama perempuan selingkuhnya di Hotel Arinas. Ia bukan meminta maaf, malah menamparku di depan perempuan tersebut. Kemarahannya makin menjadi sesampai di rumah. Saya dihajar dengan kayu, ia juga menendangi tubuh saya. Kau lihat sendiri kening saya ini masih biru bekas ditinjunya?”
 
“Itu sebabnya kau lari?”
 
Ia mengangguk. “Ia mengancamku ingin membunuh. Ia mengejar saya dengan parang. Tentu saja saya takut, saya pun lari. Ia tadinya ingin mengejar, tapi segera kukunci pintu pagar rumahku,” ia menceritakan.
 
Lalu, ia mengutuk suaminya. Ia menyumpah-nyumpah suaminya agar mati segera dalam kecelakaan atau tewas di kamar hotel sekalian bersama perempuan itu. Berkali-kali ia mengutuki lelaki yang telah memberinya seorang anak perempuan yang kini baru berusia 18 bulan.
 
Aku menolak ia menyalahkan seluruhnya pada lelaki. Apalagi ketika ia menyimpulkan bahwa semua lelaki selalu punya keinginan berselingkuh dan menelantarkan istri. Aku tak sependapat dengan pendapat itu.
 
“Masalahmu sama denganku,” kataku kemudian. Ia menatapku dalam. Sorot matanya menunjukkan ketidakpercayaan. Ia seperti ingin menguliti hatiku. “Perempuan juga punya peluang berselingkuh. Istriku telah membuktikan apa yang kukakatan ini?”
 
“Apa?” ia melonjak.
 
“Sore tadi aku memergoki istriku berduaan di dalam kamar dengan atasannya. Perbuatan mereka kulaporkan kepada pihak kepolisian, juga ke atasan mereka masing-masing. Aku meminta keduanya diproses secara hukum!”
 
“Kau tak mengada-ada?”
 
“Kalau aku mengada-ada, tak mungkin semalam kita bertemu di tempat itu. Saya baru dari kantor polisi dan tidak pulang ke rumah,” jawabku tegas.
 
“Lalu, istri mas Daniel di mana?”
 
“Setelah diperiksa polisi, ia dibolehkan pulang karena alasan ada anak kecil. Atasannya juga dikeluarkan, karena memberi uang jaminan kepada polisi?.”
 
“Seharusnya lelaki itu ditahan dong?”
 
“Tapi kenyataannya, tidak kan?” kataku menyesali cara kerja kepolisian. “Bukan saja lelaki itu, tapi istriku pun harus ditahan! Tapi, karena dibolehkan pulang, lebih baik aku yang tidak pulang?”
 
“Mungkin pertimbangan polisi karena istri mas Daniel ada anak kecil di rumah, karena itu dibolehkan pulang. Jadi?”
 
“Itu alasan dia. Usia anak kami sudah empat tahun, ia sudah biasa tidur sama saya,” kataku. “Aku lebih senang mereka ditahan sampai proses pengadilan. Aku tak sudi menerimanya lagi?,” lanjutku dengan suara meninggi.
 
Siska tak menyahut. Ia alihkan pandangan ke arah timur. Matahari yang kemerahan mulai menyembul dari balik bebukitan. Sebentar lagi matahari pagi akan mengusap wajah kami. Siang pun bakal mengembang. Mungkin tak lama lagi kami akan meninggalkan pantai ini. Barangkali, setelah itu, kami akan saling janji bersua (atau tidak untuk perjanjian apa-apa?). Dan, setiap bertemu kami akan bercerita hal yang sama. Tentang istri dan suami kami. Barangkali juga, justru tentang nasib kami yang menjanda dan menduda.
 
“Sudah siang Sis, apa kita masih akan tetap di sini?” tanyaku setelah kulihat jam di tanganku mengabarkan pukul 07.45. Siska mengangkat kepalanya yang sejak tadi direbahkan di kedua tangannya.
 
“Maaf, mas? saya tertidur,” katanya seraya mengucek matanya.
 
Aku tersenyum. “Syukurlah kalau kau bisa tidur. Kau memang capek sekali.”
 
“Sebenarnya saya malas pulang, tapi kita harus meninggalkan tempat ini.”
 
“Setelah ini, mau ke mana kau?”
 
Ia menggeleng. Pelan sekali. Aku menjadi risau.
 
“Jangan khawatir, saya tak akan bunuh diri,” ujarnya seperti mengetahui keraguanku. Ternyata ia masih bercanda. Aku membalas dengan senyuman. Kami turun dari pondokan begitu ada taksi masuk. Kemudian kami menyetop dan masuk. Meninggalkan pantai yang telah pula ikut merangkai kisah: sebuah kenangan yang mungkin akan lama sekali terlupakan.
***
 
IA seakan menyembul dari semak malam. Tak ada penerang jalan di tempat itu, sehingga benar-benar gelap dan sunyi. Aku sulit memastikan dari gang atau arah mana dia datang waktu itu. Aku sudah melupakan perempuan yang menyembul dari pekat malam. Entah sengaja atau abai, selepas dari pantai kami tak saling menawar janji apa pun.
 
Dan, perempuan yang kutemui beberapa bulan lalu itu, malam ini kulihat memasuki lobi hotel. Seorang lelaki, entah siapa, menggandengnya. Aku segera menyelinap di antara kenderaan yang diparkir, ketika ia menoleh ke samping. Untung sekali aku cepat bergerak, sebelum kami beradu pandang.
 
“Kenapa? Ada istrimu ya? Mana?”
 
Secepatnya kuseret tangan Linda dari halaman parkir itu. Menghentikan taksi yang bergerak lambat kemudian naik dan meminta supir taksi mengantarkan kami ke hotel lain. Aku tak ingin Siska mengetahui keburukanku. Dia juga pasti tak mau kebusukannya kutelanjangi.
 
Lampung, 15 Juli 2004.

*) Isbedy Stiawan Z.S., lahir dan besar di Tanjungkarang (Lampung). Bukunya yang terbaru: Selembut Angin Setajam Ranting, Seandainya Kau Jadi Ikan, Kembali Ziarah, Hanya untuk Satu Nama, Kota Cahaya (2005), Salamku Pada Malam (2006). Kini berkhidmat di Dewan Kesenian Lampung dan AJI Lampung. http://sastra-indonesia.com/2010/10/perempuan-yang-menyembul-dari-semak-malam/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah