Rabu, 21 Juli 2021

Perlukah Kita (Menjadi) Seorang Sastrawan?

Deddy Setiawan *
Borneonews, 1 Sep 2008
 
SAYA cukup tergelitik dengan diskusi tertulis dalam tiga minggu terakhir ini. Bermula dari pertanyaan Udo Z Karzi tentang keberadaan sastrawan (dari) Kalimantan Tengah yang disambut Kepala Balai Bahasa Kalteng Puji Santosa dengan sejumlah catatan tentang jejak kehadiran sastrawan di bumi Tambun Bungai.
 
Diskusi ini rupanya berlanjut dengan tulisan ketiga dari Willy Ediyanto yang masih menyodorkan kegelisahan soal kelahiran seorang sastrawan Kalteng sepanjang 40 tahun terakhir dengan nada mempertanyakan, jika tidak disebut gugatan sebagai seorang pendidik. Dan mumpung diskusi ini masih hangat, izinkan saya untuk ikut terlibat. Permisi!
 
Saya mencoba mengambil benang merah dari ketiga tulisan sebelumnya. Semuanya lahir dari sebuah kegelisahan yang sama akan sosok sastrawan di bumi Kalimantan Tengah. Ketiganya – sepertinya – mengerucut pada konsep sastra tulisan. Sebuah pandangan yang tidak bisa disebut keliru karena memang media teks memang telah dan masih menjadi sarana efektif mengomunikasikan gagasan karena kemampuan merekam yang lebih lama dan jangkauan yang lebih luas dibanding media lain sejak Guttenberg menemukan mesin cetak. Bahkan ketika menulis di blog atau mengelola sebuah website sastra menjadi ikon sastra era digital, tetap saja tidak bergeser dari fungsi teks sebagai penyampai pesan.
 
Hanya saja sepertinya kita melupakan keberadaan sastra tutur (sastra lisan) yang justru menjadi kekayaan terbesar kesusastraan kita, terutama di Kalimantan. Sehingga, kalau ingin bertanya adakah sastrawan Kalteng hari ini – menurut saya – tentu ada. Kecuali kalau kita bermaksud membedakan antara sastra lisan dengan sastra tulisan. Tapi pembahasan soal sastra lisan dan tulisan tersebut terlalu akademis bagi saya yang awam. Ada yang jauh lebih berkompeten untuk menjelaskan kepada pembaca – terutama kepada saya – mengenai sastra lisan dan tulisan tadi. Dan ada baiknya kita persempit wilayah diskusi hanya seputar sastra tulisan saja saat ini. Setuju?
 
Sebelumnya terima kasih untuk Pak Puji yang menempatkan saya dalam kategori sastrawan Kalteng. Tapi sungguh, sekalipun sempat menghadiri Pertemuan Sasterawan Nusantara XI di Brunei Darussalam tahun 2001 silam, dan puisi atau cerpen saya sempat beberapa kali dimuat satu buku dengan nama-nama seperti Helvy Tiana Rosa, Isbedy Setiawan ZS, Asma Nadia, Joni Ariadinata, Hamid Jabbar atau Ikranegara yang tidak asing lagi di jagat sastra tanah air saya masih ”risih” dengan sebutan sastrawan.
 
Jujur saya lebih senang dengan istilah penulis atau pekerja teks saja. Ada tanggung jawab yang terlalu besar untuk menyandang gelar sebagai manusia yang ber su – sastra. Apalagi disebut sastrawan Kalteng. Ada rasa malu karena memang belum memberikan yang terbaik untuk daerah sendiri. Saya memang dilahirkan di Sukamara dan sejak 2003 yang lalu pulang ke kampung halaman setelah selama 25 tahun menetap dan menjadi warga Kalimantan Barat. Di sanalah sebagian besar karya saya selama ini lahir. Sementara di sini … hmm …, doakan saja ya …!
 
Menjadi penulis itu sebuah “kutukan”. Itu yang saya pahami selama ini. Seperti kutukan yang melekat pada Peter Parker ketika seekor laba-laba yang terkena radiasi radio aktif menyengat dirinya, sehingga melahirkan kekuatan super. Yang memaksanya menyembunyikan identitasnya dalam topeng Spiderman dan tak kunjung berani melamar Mary Jane Watson disebabkan tingginya resiko yang harus ditanggung orang-orang yang dicintainya karena menyadari dalam kekuatan yang besar ada tanggung jawab yang besar pula … with the great power, comes great responsibility!
 
Karena itu meski sejak kecil kita bisa menulis, cuma sedikit yang bercita-cita menjadi seorang penulis dan terus mengembangkan kemampuan menulis. Maka, lengkap sudah kesepian dunia menulis karena selain bersifat individual – tidak ada proses kreatif yang berlangsung massal – peminatnya memang tidak bisa disebut banyak. Karena itu, Bang Willy, jangan heran kalau selama 40 tahun terakhir menurut pantauan Pian tidak ada sastrawan (penulis yang tercatat di dokumentasi sastra) yang lahir di Kalteng.
 
Kendati kehamilan alaminya tidak bisa dipaksakan, saya percaya dengan rumus 10 : 40 : 50. Faktor bakat itu hanya 10% saja pada kelahiran seorang penulis, 40 persennya adalah lingkungan, selebihnya kerja keras yang ditopang kemauan. Jadi jika kita memang merindukan lahirnya sastrawan dari bumi Kalimantan Tengah, mari kita ciptakan lingkungan subur untuk mempersiapkan kelahiran ini.
 
Karena itu saya mendukung resolusi Pak Puji untuk menghidupkan ruang sastra di media massa lokal sebagai tempat belajar dan mematangkan diri bagi para penulis. Kekhawatiran Bang Willy kalau tidak ada yang mengisi halaman yang tersedia tersebut mengingat produktifitas penulis untuk hamil dan melahirkan karya masih terbatas sebenarnya dapat saya fahami. Akan tetapi ruang sastra di media massa lokal, dengan asupan tetap cerpen-cerpen dari ‘luar’ seperti yang selama ini terjadi mungkin dapat menjadi solusi agar tidak terjadi kekosongan. Asal jangan menutup keran untuk penulis daerah, keberadaan cerpen ”impor” ini cukup sebagai pembanding yang baik. Untuk memperkaya wawasan baik juga rasanya sesekali memuat cerpen atau puisi terjemahan para penulis dunia.
 
Media massa (baca; koran) tentu saja hanya salah satu dari ruang yang saya maksud. Di era digital seperti sekarang ini ketika internet menjangkau semua pelosok – kalau program telkomnet masuk desa dapat berjalan dengan baik – dunia maya cukup menjanjikan sebagai sarana belajar yang baik. Begitu juga blog penulis. Tanpa ingin terjebak dikotomi sastra cyber maupun sastra koran bertahun-tahun lamanya saya (dengan nama pena Ibnu HS) dan teman-teman bertukar cerpen mapun puisi di milis penyair dan saling mengkritisi.
 
Kawasan yang dulu dianggap sebagai keranjang sampah sastra koran ini ternyata menawarkan banyak kemungkin lain. Tidak sedikit cerpen atau puisi saya yang lahir dan mengisi ruang maya kemudian bermetamorfose menjadi teks cetak. Wajah Dalam Cermin, satu-satunya cerpen saya yang pernah dikirim ke media massa dan dimuat di Republika, juga lahir di sana. Ah, maaf kalau paragraf ini ditutup serentetan kalimat berbau narsis …
 
Kemudian tentu saja langkah Bang Willy meningkatkan apresiasi sastra di kalangan siswa dan mengasah 4 keterampilan dasar berbahasa (membaca, menyimak, menulis, dan berbicara) juga penting. Sayangnya, apresiasi di kalangan para guru juga harus diakui sangat minim. Kebanyakan yang diajarkan di bangku sekolah – tidak semua – berputar pada teori seperti S-P-O-K, homonim, homofon, atau homo-homo lain dan bukan pada 4 keterampilan dasar tadi. Padahal kurikulum yang diterapkan sekarang mengacu kepada 4 keterampilan dasar tadi. Akibatnya bukan hanya rendahnya apresiasi sastra di kalangan siswa, sekitar 60% siswa yang tidak lulus Ujian Nasional ternyata karena nilai Bahasa Indonesia yang tidak memenuli standar nilai kelulusan. Kalau soal ini, Pak Puji yang lebih fasih daripada saya … Perpustakaan memang masih menjadi kendala. Tapi diam pun tidak menyelesaikan masalah. Secara individu maupun bersama kita bisa merintis rumah baca di lingkungan sekitar kita masing-masing.
 
Terakhir – eh, saya rasa bukan – kalau kita ingin karya penulis daerah ini dibaca oleh uluh itah, kendala terbesar yang harus didobrak adalah tidak adanya penerbit daerah dan jaringan toko buku yang sampai ke pelosok. Tanpa hal ini, keinginan tadi – yang nyaris menjadi obsesi – niscaya hanya akan bermua pada sebuah mimpi. Sampai di sini, perbincangan sudah harus melibatkan banyak pihak yang memiliki stamina lebih maksimal untuk membahas dan mewujudkannya.
 
Selanjutnya yang terpenting bagi para penulis adalah terus menerus hamil dan melahirkan karya-karya terbaik dan tetap saling berkomunikasi. Mau dicatat sebagai sastrawan atau bukan, menurut saya sama sekali bukan permasalahan. Banyak penulis bermutu yang nama dan karyanya luput masuk catatan sebagai Angkatan 2000 sastra Indonesia, atau kitab sastra Horison.
 
Apa kemudian itu menjadi permasalahan bagi mereka? Tidak. Permasalahan kita adalah kalau kita berhenti berkarya dan sibuk mengejar identitas semata. Mengejar kulit, meninggalkan isi. Ah, saya malu kepada orang tua kita yang sampai hari ini tetap setia menembangkan karungut dan berbagai corak sastra lisan lainnya sambil tetap mengajarkannya kepada kita tanpa peduli dengan gelar sebagai sastrawan. Padahal, merekalah sastrawan Kalimantan Tengah yang sesungguhnya ..
***

*) Deddy Setiawan, Pecinta buku dan penulis, lahir dan tinggal di Sukamara. http://sastra-indonesia.com/2011/09/perlukah-kita-menjadi-seorang-sastrawan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah