Rabu, 14 Juli 2021

Tiga Pertanyaan untuk Yeni Mulyani

Yopi Setia Umbara *
Pikiran Rakyat, 29 Maret 2008
 
MENARIK membaca tulisan Yeni Mulyani (YM) yang berjudul “Kritik Sastra Rasa Bandung” di “Khazanah” Pikiran Rakyat (Sabtu, 15 Maret 2008). Saya tergelitik untuk urun rembug. Ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan saya terhadap tulisan YM. Pertama, apakah tema tulisan tersebut memang berpusat pada kritik sastra rasa Bandung? Kedua, apakah tulisan tersebut justru bertema kritik sastra rasa kritikus Bandung? Dan ketiga, apakah temanya tentang kritik sastra rasa koran Bandung (“PR”)?
 
Sebelum membahas beberapa pertanyaan tersebut ada baiknya kembali sedikit berbicara mengenai kritik sastra. Dalam sastra Inggris abad ketujuh, istilah critic digunakan untuk orang yang melakukan kritik maupun untuk perbuatan sendiri. John Dryden pertama kali menggunakan istilah criticism (1677) dan istilah criticism menjadi lebih kokoh daripada istilah critic setelah terbitnya buku John Dennis, The Grounds of Criticism in Poetry (1711). Kritik sastra lantas tumbuh dan berkembang menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari dunia pendidikan dan pengajaran sastra.
 
Di Indonesia, dalam Kritik Sastra (Attar Semi: 1985), pengertian kritik sastra baru dikenal setelah para sastrawan Indonesia memperoleh atau mendapat pendidikan di negara Barat sekitar abad kedua puluh.
 
Hari ini sering kita temukan kritik sastra di media massa, terutama koran. Sebagai media massa, koran tentu saja berusaha untuk objektif dalam menyampaikan berita terhadap publik. Pada posisi demikian, koran disebut egaliter. Begitu pula dengan pembaca. Oleh karena itu, tulisan atau kritik sastra koran akan berbeda dengan kritik sastra dalam jurnal-jurnal ilmiah.
 
Kritik sastra akademis sebagai bentuk kajian komprehensif yang bersifat formal disampaikan di lingkungan akademis untuk kepentingan perkembangan dunia akademis. Apakah hasil penelitian itu nantinya diterapkan untuk dunia pendidikan dan atau untuk kemudian dipublikasikan kepada publik dalam bentuk yang lain, buku misalnya. Oleh karena itu, bila YM gelisah dengan kritik sastra koran yang berbeda dengan kritik sastra akademis adalah wajar. Sebab ruangnya berbeda, ruang dalam hal ini adalah ruang pembaca.
 
Jika YM mengacu pada model pendekatan Abrams lantas mencoba menguraikan mengenai kritik sastra di koran, sesungguhnya itu baru sedikit dari berbagai metode yang dikehendaki oleh kritikus. Mengingat ruang koran yang terbatas untuk kritik sastra, mungkin hanya cukup untuk 9.000-12.000 karakter maka setiap penulis yang melakukan kritik terhadap karya sastra berusaha semaksimal mungkin menyampaikan gagasannya pada ruang koran seobjektif mungkin.
 
Sebagai pembaca yang egaliter, saya memaklumi asumsi YM mengenai kritik sastra di Bandung (di PR) sebagai sebatas kegelisahan seorang pengamat yang belum selesai membaca berbagai teori sastra dan mungkin juga kurang bergaul dengan kiritik sastra koran. Apalagi, jika kita merujuk data kasus yang disampaikan YM yang tidak dilengkapi edisi tanggal pemuatan dan nama penulisnya. Hal tersebut telah mengesankan saya pada kekuatan intuisi YM yang hebat.
 
Menilik kritik sastra koran yang berbeda dengan kritik akademis sesungguhnya hanya pada persoalan wilayah. Namun demikian, bukan berarti kritik sastra koran boleh asal tulis karena kritik sastra koran pun tetap harus ilmiah (bukan akademis). Ilmiah sebagai kata sifat berbeda makna dengan kata sifat akademis. Maka, seharusnya YM bisa mendudukan dua perkara yang berbeda tersebut pada posisinya masing-masing, bukan malah menjustifikasi kasus berdasarkan asumsi yang dangkal dan tidak ditunjang dengan data dan fakta yang akurat. Sebab, akibatnya dapat menimbulkan distorsi informasi pada masyarakat.
 
Secara pragmatis, kritik sastra koran ditulis seorang kritikus untuk mengkaji teks dan konteks yang tersirat dalam sebuah karya sastra, lantas ditransformasikan kepada masyarakat sebagai sebentuk ulasan atas pembacaan kritis terhadap objek yang dikritiknya. Tentunya, untuk mencapai sebuah tesis kritis terlebih dahulu digunakan metode yang baku, yaitu kajian struktural dan untuk menganalisis lebih dalam setiap struktur konstruksi karya sastra maka digunakan pisau-pisau kajian.
 
Dalam teori sastra ada yang disebut sosiologi sastra, semiotika, stilistika, hermeneutika, dan resepsi (Terry Eagleton: 1996). Dan pisau-pisau kajian tersebut penerapannya disesuaikan dengan objek kajian dan tujuan kritikus dalam membedah karya sastra. Akan tetapi, konstruksi kritik yang sangat detail hanya bisa kita temukan dalam karya tulis ilmiah seperti skripsi, tesis, dan disertasi di lemari perpustakaan universitas jurusan sastra.
 
Suatu kritik sastra tidak ditulis dengan memisahkan antara teori dan penerapannya. Lain halnya dengan kajian ilmiah yang membutuhkan landasan teori sebagai dasar kajian karya tulis ilmiah pada bab yang terpisah. Meski demikian, pada penerapannya teori-teori tersebut diaplikasikan sesuai dengan metode dan fungsinya sehingga memberikan kejelasan dan kemudahan pada kajian yang dilakukan.
 
Sementara hari ini, kritik sastra koran lebih mengutamakan efektivitas dan keluwesan bentuk supaya bisa dibaca masyarakat dari berbagai kalangan. Bukan berarti pula bahwa kritik sastra koran hanya sebatas potongan-potongan kajian yang dipublikasikan kepada masyarakat. Saya sendiri membaca “PR” yang menyajikan kritik sastra setiap pekan dalam kolom “Khazanah” mengacu pada konsep umum seperti media massa yang lain. Di mana kritik sastra koran sebagai semacam ulasan dari opini dan argumentasi kritis atas pembacaan terhadap karya sastra.
 
Kritikus sastra sendiri sesungguhnya tidak terbatas dari mana dia berasal. Tidak peduli dia berasal dari lingkungan akademis atau jalanan sekalipun, apabila dia mampu melakukan kritik terhadap karya sastra berarti dia telah membaca karya yang dikritiknya. Setiap kritik sastra yang ditulis di media massa pasti berlandaskan pada pijakan yang jelas. Dengan kata lain, jelas objek dan metodenya serta didukung referensi yang dapat menguatkan argumentasi penulisnya (setiap penulis tentu sudah paham hal ini).
 
Kritikus sastra selama ini memang kebanyakan berasal dari lingkungan akademis, sastrawan, jurnalis, dan budayawan. Jarang sekali masyarakat umum menulis kritik sastra. Hal demikian mungkin disebabkan oleh kultur dan kemampuan dalam membaca. Apalagi, jika kita merujuk pada fenomena budaya membaca masyarakat kita yang rendah.
 
Dalam dunia sastra di Jawa Barat dan Bandung khususnya, barangkali kita tidak banyak mengenal para penulis kritik sastra yang berasal dari luar lingkungan seperti yang telah disebutkan tadi. Kita mungkin telah sangat akrab dengan nama-nama seperti Jakob Sumardjo, Wilson Nadeak, serta Saini KM yang sering menulis kritik sastra.
 
Kebetulan nama-nama yang disebut adalah yang senior dalam dunia sastra Bandung, bukan berarti mengecilkan para kritikus sastra lainnya. Namun, tiga nama tersebut cukup punya pengaruh dan dihormati dalam perkembangan kesusastraan bukan hanya di Bandung. Maka, apabila YM mau bicara kritik sastra rasa Bandung wajib menyebut kritik sastra karya tiga orang tersebut. Apalagi, bila mengingat keterlibatan tiga nama tersebut dalam kesustaraan Indonesia yang telah lebih dari dua dekade. Artinya, kredibilitasnya tidak perlu diragukan lagi.
 
YM memang menyebut Jakob Sumardjo dalam tulisannya di “Khazanah” pekan kemarin, tapi melupakan Wilson Nadeak dan Saini KM. Selain dikenal sebagai sastrawan, dua nama terakhir pernah menjadi pengasuh rubrik sastra koran. Wilson Nadeak pernah menjadi pengasuh rubrik di “PR” dan juga sering menulis kritik di berbagai media massa nasional. Dan Saini KM telah membimbing penyair seperti Acep Zamzam Noor, Juniarso Ridwan, Soni Farid Maulana, dan lainnya dengan ulasan-ulasannya di rubrik “Pertemuan Kecil” “PR”. Kritik sastra rasa Bandung akan terasa pédo jika komposisinya komplet.
 
Sayangnya, fenomena kritik terhadap karya sastra seperti yang sering kali dilakukan ketiga begawan sastra Bandung tersebut, hari ini jarang sekali tampil di koran, bahkan di “PR”. Entah karena karya-karya yang tampil di media massa atau yang terbit dalam bentuk buku tidak layak untuk dikritik atau justru karya sastra hari ini memang jarang dibaca.
 
Kritik sastra yang ramai hari ini malah lebih banyak berbicara perkara wacana dan isu politik sastra yang ruwet. Hal demikian menyebabkan kurang terpantaunya kemunculan karya-karya sastra dan para pendatang baru (penyair dan prosais) dalam dunia sastra Bandung. Oleh karena itu, apabila YM lebih jauh memperhatikan perkembangan kritik sastra di Bandung maka rasanya adalah hambar.
 
Kembali pada pertanyaan saya terhadap YM, pertama, apa kritik sastra rasa Bandung tersebut? Apabila YM bicara soal rasa sesusungguhnya agak sulit mendefiniskan asumsi tersebut. Apakah harus dilihat dari domosili si kritikus atau dari cara pandang kritikus dalam mengkritik karya sastra dengan cara Bandung.
 
Sebab, walau bagaimanapun kritik sastra sebagai sebuah karya yang ilmiah akan berlandaskan pada teori-teori baku dalam ilmu kesusastraan. Kecuali memang telah ada teori kritik dengan parameter rasa Bandung. Akan tetapi, adakah parameter tersebut? Sejauh yang saya amati, belum ada teori seperti demikian. Maka, pernyataan YM tersebut menjadi kabur maknanya.
 
Kedua, apakah kritik sastra rasa kritikus Bandung? Jika tema tulisan YM memang demikian, lalu apa bedanya dengan kritikus asal Padang atau Jakarta misalnya yang menilai karya sastra. Oleh karena landasan kritikus adalah teori ilmu kesusastraan maka metodenya tidak akan berbeda, kecuali retorika dalam menyampaikan pembacaan kritisnya, dan hal tersebut masih sangat umum. Dan apakah harus disesuaikan dengan selera kritikus Bandung? Saya kira hal demikian tidak mungkin.
 
Sebab, karya sastra berbeda dengan kuliner. Jika dalam kuliner lidah bisa menentukan rasa karena kebiasaan yang dilakukan dengan cara makan dan makanan yang dikonsumsi. Misalnya, orang sunda akan merasa pedas bila makan masakan padang atau agak manis ketika makan masakan jawa. Sementara menilai karya sastra bukan hanya dengan “lidah”, namun juga menggunakan konvensi logika yang rasional. Karena jika memaksakan unsur-unsur lokal pada hal yang universal bisa menyebabkan terjadinya primordialisme atau chauvinisme.
 
Ketiga, kritik sastra rasa korang Bandung (“PR”)? Mengenai pertanyaan terakhir ini seperti yang telah saya singgung, “PR” selama ini menyajikan kritik sastra tidak jauh berbeda dengan konvensi media-media massa lainnya. “PR” menyajikan kritik dalam bentuk ulasan penilaian terhadap karya sastra, seperti yang dilakukan oleh Mona Sylviana terhadap novel Hubbu karya Mashuri (“Dunia Hubbu yang Serius”, Sabtu, 5 Januari 2008), misalnya.
 
Kalau mau yang agak berbeda adalah pada masa Saini KM yang sangat signifikan dengan ulasan karya di “Pertemuan Kecil”, tapi itu terjadi sekitar dua puluh tahun yang lalu. Sementara hari ini kritik sastra di koran Bandung (“PR”) rasanya tidak berbeda dengan koran-koran yang lain. Oleh karena itu, tulisan YM “Kritik Sastra Rasa Bandung” sesungguhnya tidak terasa rasa Bandungnya.
***

*) Yopi Setia Umbara, Penggiat ASAS dan Jurnal Sastra DerAS. http://sastra-indonesia.com/2011/06/tiga-pertanyaan-untuk-yeni/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah