Senin, 23 Agustus 2021

Joko Pinurbo dan Dinar Rahayu

Nirwan Dewanto *
majalah.tempointeraktif.com
 
SETIAP akhir tahun saya merasa lara dan terkutuk sebab saya tahu tak banyak karya sastra dalam bahasa nasional kita dalam setahun itu yang layak dikenang. Sebagian besar hanya akan tinggal sebagai bahan dokumentasi. Juga sepanjang 2002. Namun, takut menjadi anak durhaka di kampung halaman sendiri, saya berusaha toleran terhadap mutu sastra, lalu menghibur diri: lihat, bakat baru terus bermunculan. Ajaib, masih ada yang bisa meloloskan diri dari mediokritas yang kian merajalela dalam masyarakat saya. Bagaimana mungkin negeri yang tenggelam dalam kelisanan ini masih bisa menghasilkan penulis unggul?
 
Sajak-sajak ditulis dari segala penjuru: sebagian besar hendak mendedahkan sunyi, muram, duka, dan maut, sering kali diberat-beratkan. Kesengajaan untuk berbeda dari bahasa sehari-hari? Tidak. Para penyair muda usia itu masih menulis puisi-emosi (ya, istilah ini pernah dipakai Asrul Sani setengah abad lampau). Seakan masih di zaman romantik, mereka berburu lambang segila-gilanya, tanpa kontrol-diri. Amat tipis keterampilan mereka mengolah bangun dan metafor. Sajak-sajak mereka seperti gampang ambruk, lantaran pelbagai anasirnya tak saling menopang. Ketimbang menguasai bahasa, apalagi mencari ungkapan baru, mereka terpenjara kosa-kata dan kosa-bentuk para pendahulu mereka.
 
Tentulah aneh kalau puisi tak merupakan puncak kesanggupan berbahasa. Namun begitulah kenyataannya. Mayoritas puisi kita abstrak dalam arti negatif: tidak sanggup menangkap apa yang konkret, yang dekat dengan nafsu dan daging, justru lantaran mengabaikan intelek dan keperajinan. Puisi yang tak sanggup menyegarkan bahasa. Bila penyair tidak lebih baik ketimbang pemamah biak atau pembuat kemubaziran, tidakkah lebih baik kita menyesali puisi? Untunglah kita masih bisa membaca para penyair cemerlang terdahulu, yang terus memberikan tenaga pada bahasa kita. Sebagian masih giat di gelanggang, bahkan terus memperbarui diri. Lebih penting lagi, masih ada Joko Pinurbo dengan kumpulan sajak Pacarkecilku terbitan Indonesiatera.
 
Penyair kelahiran 1962 ini adalah antipoda puisi lirik sekaligus puisi protes. Ia berhasil membangkitkan bahasa sehari-hari dengan frasa yang terang sebagai alat puitik, sementara kebanyakan penyair hanya mendedahkan keruwetan (dan bukan kompleksitas) dengan kalimat patah-patah yang sering mengabaikan logika. Ia menertawai “aku” yang dalam puisi lirik kita sering didramatisasi demi apa yang disebut puisi suasana. Namun humor dan main-main dalam Pinurbo tidaklah murahan seperti dalam puisi mbeling, misalnya, tapi berwatak subversif, ibarat cibiran iblis bagi umat yang suka berpura-pura serius dan suci ini. Berbeda dengan puisi lirik yang mengejar abstraksi, puisi Pinurbo bercerita dengan gamblang, tapi dengan aforisme yang mengejutkan di sana-sini.
 
Pinurbo berkisah tentang, misalnya, penjual buah, penagih utang, penjual akik, orang ronda, dan perias jenazah, tapi itu bukanlah potret sosial, melainkan alegori terhadap sesuatu yang kita akrabi, misalnya kehidupan dalam rumah atau kampung, peristiwa sosial, atau kisah kitab suci. Dengan memainkan bunyi dan repetisi, terasa pula Pinurbo tengah melakukan parodi terhadap para penyair pendahulunya. Bila puisi Pinurbo sepintas-lalu tampak mudah, sesungguhnya ia tak pernah segampang (dan semiskin) puisi protes: bagaimanapun ia sedang menusuk intelek dan moralitas kita. Jika kita merasa mengerti puisi Pinurbo, kita dengan suka mengejar realitas apa lagi yang ada di sebaliknya, sebab si penyair “terus mengembangbiakkan kata” tapi belum mendapatkan “kata yang bisa mengucapkan kita.” Bila ada kekurangan Pinurbo, itu adalah kalimatnya yang kurang tajam, repetisinya yang sering berlebihan, dan kosakatanya yang kurang kaya.
 
Tak terelakkan, kita juga membaca cerita pendek yang terbit pada sekian banyak koran edisi Minggu dan pelbagai bunga rampai. Tapi saya sering bertanya kenapa lautan cerita pendek itu mesti ditulis bila tak mampu menyajikan kisah yang lebih memukau ketimbang reportase dan lebih basah ketimbang antropologi atau sosiologi? Mungkin para pengarang itu sekadar menjalankan rutinitas, atau lebih mulia lagi: mereka hendak memberikan komentar sosial, dengan mendedahkan tokoh-tokoh yang terkena tindasan dan berjuang membebaskan diri darinya. Tapi bukankah para kolumnis dan cendekiawan sudah berseru lebih lantang?
 
Ada juga penulis cerita pendek yang bernafsu menggambarkan apa yang ajaib, yang fantastis, segala yang menyimpang dari hukum sosial dan sejarah. Barangkali inilah pengaruh realisme magis dari khazanah dunia, atau kelanjutan takhayul kuno yang kian hidup di masa kini (ingatlah tayangan sekian banyak kisah hantu di televisi kita). Namun, seperti para pembawa “komitmen sosial”, mereka hanya mengolah tema secara mekanistik. Barang siapa sekadar memperalat kata, dia akan terbunuh oleh kata, demikianlah agaknya pendapat ini berlaku bagi sebagian prosawan kita. Ketimbang menyuguhkan dunia yang hidup mandiri, mereka lebih banyak menerangjelaskan. Kita sekadar bersiaga dengan setengah-hati meniti garis cerita ketimbang berkelindan asyik dengan pengalaman para tokoh.
Tapi kita adalah pembaca yang sopan dan toleran, sehingga kita sanggup menganggap indah dan perlu apa yang sesungguhnya sedang-sedang belaka. Sesekali kita tersadar: sastra dunia menyerbu negeri kita, juga dalam bentuk terjemahan yang bagus, seperti yang diedarkan oleh Yayasan Akubaca. Itulah kecemerlangan yang membuat sastra kita tampak kusam, kedodoran, dan bahkan rudin. Kecuali segelintir saja, para penulis kita tampaknya tak menyerap apa-apa dari sana. Cukuplah mengandalkan bakat alam atau menengok rekan sebangsa. Ah, terlalu gampang di sini si penulis beroleh pengakuan nasional.
 
Tapi jangan mengeluh, Saudara. Seorang pecandu sastra seperti saya tak akan lelah mencari sebatang-dua jarum dalam tumpukan jerami. Di antara tak kurang dari 115 buku kumpulan puisi, cerpen, dan novel yang terbit sepanjang 2002, saya menemukan novel Dinar Rahayu, Ode untuk Leopold von Sacher-Masoch. Dengan heran-takjub saya menelisik bagaimana novelis-perempuan kelahiran 1971 ini begitu wajar menyajikan transeksualisme dan sadomasokisme. Dilucutinya selubung sehari-hari yang membuat kita orang paling hipokrit di dunia ini. Tapi kekuatannya bukan hanya itu. Dengan bahasa yang cerdas tapi sering dengan rumpang bisu di antara kalimat, ia juga mengocok waktu kejadian, menukar-nukar lingkungan masyarakat menengah-atas hari ini dengan dunia mitologi Skandinavia.
 
Saya tahu, novel terbitan Pustaka Jaya itu mengandung sejumlah kelemahan. Misalnya saja, trauma para tokoh begitu dahsyat, begitu dibuat-buat, sementara hubungan di antara mereka tampak serba kebetulan. Juga terasa canggung di sana-sini campuran antara puisi dan bahasa jalanan, seni tinggi dan budaya pop. Dan kenapa pula novel Dinar selesai di titik saat justru pergolakan mesti berlanjut? Namun bahwa bahasa dan tata novel adalah pantulan dari kegilaan tokoh-tokohnya, itulah yang membuat Dinar layak diperhitungkan sejak hari ini, lebih dari kebanyakan penulis yang telanjur dikenal.
 
Sementara Pinurbo masih mendapat sejumlah penghargaan dan didiskusikan di lingkungan sastra, tak ada pengulas dan dewan juri yang tertarik kepada Dinar. Ah, terlalu berlebihan pula jika saya berharap kritik sastra bangun dari tidurnya. Bahkan kini mendapat esai yang bagus pun hampir mustahil. Sebagian besar esai, termasuk kritik seni yang mana pun, hanyalah pameran keruwetan dan kekosongan pikir dalam jargon semu filsafat dan teori mutakhir. Bukankah hal ini menunjukkan bahwa para “pemikir” sastra dan seni kita tak membaca dengan baik, tapi berpamer-pamer saja dengan mode yang sering sudah kedaluwarsa? Tiba-tiba kita bisa sedikit lega: dua-tiga esais berusia tua masih belum pensiun, bahkan lebih tangguh dari yang lebih muda.
 
Sesekali ada juga pertengkaran di surat kabar dan internet, misalnya tentang “sastra koran” atau “sastra cyber” sebagai jenis sastra baru, tentang kelayakan empat jilid antologi Horison Sastra Indonesia suntingan Taufiq Ismail dan kawan kawan, tentang kenapa seorang penulis baru bisa terangkat tinggi-tinggi, tentang bagaimana jaringan pusat menguasai daerah. Tapi, bila pertengkaran demikian disebut polemik, masya Allah, itulah tanda bahwa orang sastra sudah berhenti berpikir.
 
Anda akan menyebut saya seorang pesimis yang tengah mencibir harta sendiri, sastra Indonesia? Sesungguhnya sastra bukanlah bidang yang bergerak iseng sendiri. Segenap cacatnya hanyalah puncak gunung es dari kemerosotan berbahasa di lingkungan mana pun. Merosot berbahasa: artinya memudar pula kemampuan kita berimajinasi, bergulat, meneliti, mencatat, menilai, menguji, dan mencetuskan-diri. Yang lisan mengalahkan tulisan, basa-basi menaklukkan apa yang rasional. Bukankah kesedang-sedangan, ketakcemerlangan, adalah hasil terbaik dari kondisi demikian?
 
Joko Pinurbo dan Dinar Rahayu menghibur seraya melukai kita. Menghibur: membuat kita percaya bahwa sastra Indonesia masih punya nyala cipta yang cukup besar, bahwa kegiatan merakit kata-kata adalah sarana mendasar untuk memecah kebekuan pikir. Melukai: ya, bila selama ini kita hanya mampu berpura-pura bahagia, menyalakan optimisme palsu, keduanya adalah sepasang pisau yang bisa membedah ke dalam gelap jiwa kita.
 
Barangkali juga keduanya mutiara yang, meski kilaunya tak terang benar, mampu menyelamatkan saya dari gambar buram budaya tulis-menulis sepanjang 2002. Demikianlah setiap tahun kita hanya mendapat terlalu sedikit karya unggul lantaran begitu banyak penulis sekadar menjalankan rutin mengelap-ngelap warisan kaum pendahulu, bernikmat-nikmat dengan ukuran dalam negeri. Namun marilah menyenangkan diri: bukankah puncak gunung hanya ada jika terbanding lembah dan dataran? Melalui Pinurbo dan Dinar, saya mampu melupakan mediokritas yang mengepung negeri saya. Tidakkah kini saya menjadi seorang optimis?
***

*) Ketua Redaksi Jurnal Kebudayaan Kalam. http://sastra-indonesia.com/2009/03/pinurbo-dan-dinar/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah