Senin, 23 Agustus 2021

Dari Rak Terdepan Sastra Indonesia oleh tengara.id

tengara.id, Dari Rak Terdepan Sastra Indonesia
 
Dari rak terdepan sastra Indonesia, kita bisa lihat samar-samar kemunculan suatu generasi baru yang satu-satunya kesan paling menonjolnya adalah nyaris tiadanya kesan yang menonjol. Jika kita menjumpai mereka di jalan, akan sulit kiranya membedakan sosok mereka dari orang yang lahir 30 tahun lalu, tiga tahun lalu, atau 30 tahun yang akan datang. Ini bukanlah suatu gugatan pada generasi sekarang, justru sebaliknya. Izinkan kami menjelaskan.
 
Zaman dahulu kala, sewaktu sastra Indonesia baru bisa bilang “aku,” orang kerap memberi nama pada suatu angkatan. Ibarat IMEI pada ponsel cerdas, setiap sastrawan selalu memiliki kode unik: 45, 50, 66, 70, 80, 98, 2000. Setiap nomor itu, tentu saja, melambangkan semacam jiwa. Ada suatu keresahan bersama, semangat zaman yang sama dan akhirnya juga inspirasi dan bentuk pengucapan yang serupa. Dalam sejarah ini, setiap sastrawan memiliki kedudukan dalam sejarah masing-masing dan kesamaan jiwa mereka diresmikan oleh suatu tonggak: “Di sini terbaring novelis A dari angkatan Z.” Sebuah gaya sastrawi, atau jiwa, diresmikan sebagai sepotong batu nisan.
 
Kalau setelah tahun 2000 kita tidak lagi memiliki kode unik untuk angkatan, tentu itu bukan karena kita kekurangan imajinasi atau karena—yang artinya sama saja—kita tidak mungkin mendefinisikan zaman kita sendiri. Soalnya bukan ada pada kita, para kritikus zaman kini, atau pada sastrawan generasi sekarang, melainkan pada masa kini. Hari ini semua sejarah telah menjadi kini, semua tempat sampai juga ke sini: teknologi informasi memungkinkan masa lalu dialami sebagai masa kini dan Paris dialami sebagai Jakarta. Jarak yang memisahkan Chairil dari Rich Brian sama dengan jarak yang memisahkan Covid dari Ovid: satu klik, satu swipe. Dalam zaman seperti ini, setiap sastrawan mengakses semuanya dan diakses oleh semuanya. Semua itu membentuk kontur generasi sastra Indonesia hari ini: sebuah generasi yang adalah penjumlahan dari semua generasi.
 
Puluhan tahun lalu, para kritikus dan sastrawan kita berdebat tentang sastra saiber. Di antara berbagai hal menarik tentang internet, mereka memilih berpolemik tentang perbedaan antara cerpen di koran dan blog. Sementara hal yang lebih krusial, bagaimana internet mengubah struktur pengalaman sastrawan Indonesia, cenderung luput dibicarakan. Padahal justru transformasi sensibilitas itulah yang membentuk watak generasi sekarang. Pada sebuah zaman ketika terlalu banyak kanon berlintasan di media sosial (mulai dari Awkarin sampai seleb Tiktok yang viral siang ini), sebetulnya logika kanon, tonggak dan hikayat sastrawan besar sudah tidak lagi bekerja. Ikut hanyut pula bersamanya: suatu ciri khas sastrawi, suatu keunikan rohani, dari sebuah angkatan. Ekosistem serba-serentak di era digital ini tidak mungkin lagi menunjang keberadaan dinosaurus yang berpengaruh: makhluk-makhluk legenda dari zaman analog. Atas dasar itu, kita boleh curiga, jangan-jangan pandangan kita tentang sastra dan kritik sastra hari ini tidak akan adil tanpa mengakui kekhasan generasi ini, yakni bahwa inilah sebuah generasi tanpa kekhasan.
 
Mengatakan bahwa Zaman Angkatan telah lewat, bahwa Era Kekhasan sudah berlalu, tentu bukan berarti menganggap semua sastrawan Indonesia hari ini menulis dengan cara yang sama. Justru sebaliknya, ada terlalu banyak kekhasan akibat interaksi superintensif dalam berbagai platform komunikasi sehingga “kekhasan angkatan” menjadi kategori yang tidak lagi membantu kita melihat perkaranya dengan jelas. Bahkan jika seorang pemodal ventura hari ini memutuskan—entah karena waham apa—untuk pensiun dini dan membacai karya sastra Indonesia dua dasawarsa terakhir, hampir pasti ia akan tidak henti-hentinya menemukan kekhasan hingga akhir hayatnya. Ini juga bukan kondisi unik sastra Indonesia, melainkan terjadi pula dalam apa yang kadang kita sebut, dengan agak gemetar, sebagai “sastra dunia”. Contoh paling terang adalah pergeseran paradigma kritik sastra sejak awal abad ke-21: pembacaaan jauh (distant reading) yang diperkenalkan Franco Moretti.
 
Menurut tradisi sastra adiluhung yang kita kenal sebagai modernisme, kritik sastra adalah sejatinya pembacaan dekat (close reading). Sejak Cleanth Brooks, kritikus membaca karya sastra seperti arkeolog menekuri sepotong guci Yunani. Pascamodernisme datang membongkar segala tabiat modernisme, kecuali pembacaan dekat; bahkan Derrida mengajak kita untuk membaca yang taktertulis dengan membaca lebih dekat dan lebih pelan lagi. Saking dekat dan pelannya, para kritikus ini tidak lagi membaca: mereka mengeja. Kritikus kita pun mengikuti kecenderungan ini hingga kritik sastra di Indonesia hampir identik dengan pembacaan dekat atas teks.
 
Akan tetapi, Franco Moretti bersama para koleganya di Stanford Literary Lab memperlihatkan bahwa kadang-kadang cara terbaik untuk membaca adalah dengan tidak sungguh-sungguh membaca. Apa yang diperlukan adalah justru mengambil beberapa langkah menjauh dari teks, meninjau himpunan teks sepintas lalu, dan memanfaatkan algoritma komputer untuk menemukan pola dari belasan ribu karya sastra. Berkat peranti humaniora digital yang mereka gunakan, kita kemudian tahu, kekhasan sastrawi terlalu dilebih-lebihkan dan apa yang mengemuka sebagai gantinya adalah sistem sastra dunia (literary world-system). Ini adalah hubungan saling-pengaruh yang rumit antara sastrawan, kritikus dan pembaca, lengkap dengan segala ketimpangan ekonomi-politik dan ketidakmerataan akses di sana-sini. Dalam sup sastra dunia itu, kekhasan hanya mungkin sebagai blurb. Inilah juga keadaan sastra dan kritik sastra kita hari ini: suatu keadaan riuh rendah yang menyenangkan ketika sastrawan beken dan sastrawan yang merasa beken memperdebatkan hal yang sebetulnya, kalau dipikir-pikir lagi, mereka sepakati.
 
Beken atau tidak, khas atau tidak, keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat. Tengara.id hadir sebagai ruang inklusif untuk mempercakapkan segala gelagat sastra Indonesia hari ini. Sejumlah esai edisi perdana ini kurang-lebih menggambarkan semarak kritik sastra kita hari ini. Esai-esai ini bukan hanya menggambarkan bagaimana keterampilan menulis para kritikus sastra generasi terkini, tetapi juga bagaimana mereka menggunakan sejumlah pendekatan dalam meneroka karya sastra: filsafat, pascakolonial dan sastra bandingan, sedangkan yang lain tetap setia menulis tinjauan impresionistik. Sejarah kebangsaan pascakolonial dan naratologi dalam Sunlie Thomas Alexander dan Harry Isra M., sejarah personal dalam Bandung Mawardi, sejarah estetika sastra dalam Geger Riyanto, sejarah (guyonan) lokal dalam Udji Kayang, sejarah kepenulisan perempuan dalam Ayu Ratih, dan sejarah spekulatif dalam Sabda Armandio. Sebagai suara generasi sekarang, mereka sama-sama menghadirkan refleksi intens tentang seperti apa sebetulnya yang mereka alami sebagai masa kini sastra Indonesia. Sebuah masa kini yang ditandai oleh fragmentasi dan lenyapnya acuan bersama agaknya menjadi acuan bersama mereka. Kembali menyoal sejarah barangkali dapat dibaca sebagai gejala dari lenyapnya acuan bersama itu.
 
Ada ciri lain dari tulisan-tulisan yang dimuat di sini: tegangan antara kritik bandingan yang berorientasi ke luar dan semacam pembacaan ekosistem lokal. Aspirasi kritik bandingan terlihat jelas dalam artikel Sunlie Thomas Alexander yang membandingkan novel Dawuk karya Mahfud Ikhwan dengan Midnight’s Children karya Salman Rushdie dan tradisi sastra realisme magis. Demikian pula dengan Harry Isra M. yang membaca Puya ke Puya karya Faisal Oddang dalam perbandingan dengan roman karya H.J. Friedericy yang ditinjau dari perspektif kritik pascakolonial Syed Husain Alatas dalam The Myth of Lazy Native. Pada ujung yang berlawanan ada suatu usaha melihat karya dalam hubungan dengan ekosistem sastra dalam negeri. Inilah yang kita jumpai dalam artikel Udji Kayang yang membaca kumpulan cerpen Sundari Keranjingan Puisi dan Cerita-Cerita Lainnya karya Gunawan Tri Atmodjo dalam kaitan dengan suasana kultural kota Solo dan buku-buku lelucon yang pernah terbit. Demikian pula dalam artikel Geger Riyanto yang membaca novel Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom dalam konteks kecenderungan liris prosa Indonesia dewasa ini ataupun dalam artikel Bandung Mawardi yang mengupas buku puisi Playon karya F. Aziz Manna dalam hubungan dengan telaah Hartojo Andangdjaja dan tradisi penulisan puisi bernada anak-anak karya Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo. Sedangkan dalam rubrik timbangan buku, Ayu Ratih mengupas sebuah bunga rampai para penulis perempuan masa lalu yang ditulis oleh para penulis perempuan masa kini, yakni sebuah kolektif bernama Ruang Perempuan dan Tulisan. Artikel itu memperlihatkan tegangan pelik antara dunia dan bangsa, antara ruang publik dan domestik, antara menulis dan melupakan.
 
Dengan memilih keenam artikel ini, Tengara.id hendak menyajikan gambaran terkini yang sudah terkurasi tentang state of the art kritik sastra di Indonesia. Untuk melengkapi gambaran itu, dihadirkan juga sebuah wawancara panjang dengan Sabda Armandio, salah seorang pengarang generasi baru, yang mencerminkan bagaimana generasi baru sastra Indonesia berpikir tentang sastra Indonesia dan masa depannya. Kita bisa melihat bagaimana ekosistem lokal sastra Indonesia dan sastra dunia telah berbaur begitu dekat sehingga acuan sastrawi kita menjadi begitu beragam. Tidak ada lagi suatu “Sastra Indonesia” yang tunggal, yang bisa dipilah dengan tegas dari “sastra bukan-Indonesia” ataupun dari “bukan-sastra Indonesia”. Apa yang mengemuka adalah deretan perbandingan yang tanpa tepi.
 
Aneka artikel yang dimuat di edisi perdana Tengara.id ini mencerminkan deretan perbandingan itu. Kita akan menyaksikan betapa lain keprihatinan dan sudut pandang para kritikus sastra kita hari ini. Mulai dari sensibilitas etnografis yang menggali tradisi lampau hingga sensibilitas futuristik yang merentang puluhan tahun ke depan hadir berdampingan dalam satu generasi yang sama. Perbedaan sensibilitas yang demikian kontras inilah wujud paling nyata dari rak terdepan sastra Indonesia hari ini: sebuah generasi yang asyik berkarya tanpa peduli akan disebut apa. Terbebas dari beban politik identitas angkatan, generasi baru kritikus sastra Indonesia leluasa memperkarakan apa saja. Semboyan mereka, jika harus ada, ialah: “Kami tidak punya semboyan.”
 
Sumber: https://tengara.id/editorial/dari-rak-terdepan-sastra-indonesia/

http://sastra-indonesia.com/2021/08/dari-rak-terdepan-sastra-indonesia-oleh-tengara-id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah