Minggu, 22 Agustus 2021

Novel Orang-Orang Bertopeng (25 Tamat)

Dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002
 
Teguh Winarsho AS *
 
Keesokan harinya Salman dimakamkan. Acara pemakaman dibuat sesingkat mungkin. Secepat mungkin. Tapi yang melayat cukup banyak karena selain orang tua Salman cukup disegani, kematian Salman boleh dibilang sangat tragis. Baru saja Salman melangsungkan pernikahan, mendapat istri cantik, kini ia harus menerima dua peluru yang sekaligus merenggut nyawanya. Abah, Umi dan Fatma turut hadir dalam upacara pemakaman itu meski harus sering-sering menunduk menghindari tatapan aneh terutama dari keluarga Salman yang seolah tidak bisa menerima kematian Salman yang terjadi hanya sehari setelah pesta pernikahan.
 
Hanya Jakfar, kakak tertua Salman yang terlihat tabah menerima musibah yang menimpa adiknya itu. Umar dan Ali terus menunjukkan wajah tidak ramah. Bahkan sesekali tampak urat-urat di sekitar mata Umar dan Ali bergetar, jari-jari tangannya terkepal.
***
 
SEJAK kematian Salman, Umi sering melamun dan enggan diajak bicara. Abah tidak pernah berhasil menghibur hati Umi. Tapi suatu malam, ketika Abah sudah lelap tidur, tiba-tiba Umi turun dari ranjang mendatangi Fatma. Wajah Umi terlihat gelisah penuh rasa bersalah. Fatma sebenarnya tidak tega melihat wajah Umi yang memelas. Tapi Fatma juga tak punya kata-kata bagus untuk menyampaikan perasaannya. Akhirnya Fatma hanya diam menunggu Umi mulai bicara.
 
Malam hening.
 
"Maafkan Umi, Fat," Umi mulai bicara duduk di tepi ranjang. "Umi mengakui salah…."
 
"Sudahlah, Umi. Tidak usah dipikirkan."
 
"Sekarang Umi tidak akan memaksa kamu menikah dengan laki-laki pilihan Umi. Carilah laki-laki sesuai pilihanmu. Tapi ingat satu hal, laki-laki itu harus seiman…. "
 
Fatma mengangkat kepalanya, matanya berbinar, menatap lekat seraut wajah keriput didepannya. "Benarkah, Umi?"
 
Umi mengangguk.
 
"Ada seorang laki-laki yang sampai hari ini aku tak bisa melupakannya. Aku ingin membina rumah tangga dengan laki-laki itu....."
 
"Cukup!" Umi tiba-tiba memotong. "Umi tak mau dengar nama Hasan kau sebut-sebut lagi!"
 
"Kenapa?"
 
"Tak usah kujelaskan mestinya kau sudah sadar. Sudah paham!"
 
"Aku tak mengerti maksud Umi," Fatma menggeleng-gelengkan kepala.
 
"Justru Umi yang tidak mengerti apa maksudmu!" suara Umi sedikit mengeras membuat Abah terbangun. Laki-laki tua itu kemudian ikut bergabung.
 
"Ingat, Fat," Umi mencoba pelan. Mengatur nafas. "Hasan sudah mati, bahkan kuburnya di mana kita tidak tahu. Kenapa kau masih terus mencintainya? Kenapa? Carilah laki-laki lain…. "
 
Fatma tersenyum. Kini Fatma baru mengerti ke mana arah pembicaraan Uminya. Senyum Fatma kian mengembang lebih lebar, membuat Umi keheranan. "Makanya Umi jangan memotong dulu pembicaraanku," kata Fatma di sela-sela senyumnya.
 
Umi terdiam. Menunggu Fatma melanjutkan kata-katanya. Tapi Abah lebih dulu bersuara. "Benar yang dikatakan Umi. Jangan pikirkan Hasan lagi. Kuburlah Hasan dalam-dalam. Jangan kau ingat-ingat lagi."
 
"Baiklah," Fatma menghela nafas berat. "Sekarang, dengarkan semua baik-baik. Sampai hari ini, detik ini, aku masih mencintai Hasan. Karena......"
 
"Fatma!!" Abah melotot.
 
"Tenang dulu. Aku belum selesai bicara," Fatma berhenti sebentar menatap bergantian kedua orang tuanya. Lalu, "Sampai hari ini Hasan masih hidup. Sekarang dia berada di rumah Cut Hindar. Apa yang dikatakan Salman semuanya bohong. Salman sangat licik. Kita semua tertipu. Gerombolan orang bertopeng itu tak pernah menembak Hasan. Justru Salman sendiri yang berusaha membunuh Hasan. Tapi Hasan tidak mati. Allah melindungi Hasan!"
 
"Jadi, Hasan masih hidup?" Umi setengah memekik.
 
Fatma mengangguk. "Hanya saja sekarang kondisinya masih lemah."
 
Fatma lalu menceritakan kejadian demi kejadian yang dialami Hasan. Mulai dari ketika Hasan ditangkap gerombolan orang bertopeng, dijebloskan ke dalam penjara, racun yang dituang Salman, sampai ketika Hasan dilempar ke jurang. Umi dan Abah merinding.
 
"Ajaklah Hasan kemari. Kita rawat dia bersama-sama," kata Abah ketika Fatma selesai bercerita.
 
"Betul, Fat. Kasihan Cut Hindar juga….."
 
Kembali Fatma mengangguk. Meski jauh di dasar hatinya Fatma masih ragu apakah Hasan mau menerima dirinya. Ya, masih maukah Hasan menerima diriku yang sudah janda? Pertanyaan itu terus melingkar-lingkar di kepala Fatma seperti baling-baling kipas angin.
 
ENAM BELAS
 
SUBHANALLAH. Benar-benar hari yang penuh kesibukan. Hari-hari yang penuh berkah kebahagiaan. Setiap hari ada saja tetangga dan kaum kerabat yang datang bertamu ke rumah Abah menjenguk Hasan. Kadang ruang tamu sampai penuh tidak mampu menampung jumlah tamu yang datang, yang di antara suara mereka yang hiruk-pikuk diikuti derai tawa membahana, di dapur Fatma sibuk mengerjakan sesuatu. Mencuci gelas, piring, membuat minuman, memasak dan lain-lain.
 
Tapi kesibukan itu sama sekali tak membuat Fatma merasa lelah. Karena setiap hari Fatma selalu bertemu dengan seraut wajah cerah, senyum ramah dan suasana kekeluargaan yang hangat dan akrab. Apalagi kesehatan Hasan berangsur-angsur mulai membaik.
 
Apalagi ketika pada suatu malam. Ya, malam yang penuh isak tangis, tapi tangis kebahagiaan: Umi dan Fatma baru saja selesai menyiapkan hidangan makan malam, lalu duduk menghadap meja makan, ketika dari kamar sebelah muncul sosok laki-laki muda gagah dan tampan. Kalau saja tak ada bekas-bekas goresan di lengan dan wajah yang merupakan garis-garis tipis dan samar-samar, serta kalau saja Umi tak merawatnya setiap hari dengan telaten, tentulah Fatma tak akan mengenali sosok laki-laki itu.
"Kenapa aku tak diajak makan malam?" kata laki-laki itu setengah bercanda.
 
Umi dan Fatma tersenyum. Tapi secepat itu, setelah mereka menyadari keadaan Hasan yang nyaris sudah pulih seperti sedia kala, tak kuasa Fatma menitikkan air mata.
 
"Hai, Fat," tiba-tiba Hasan bersuara sambil berjalan menghampiri meja. "Kau bisa menangis tapi mulutmu terus mengunyah nasi," kata Hasan membuat wajah Fatma merah padam. Menunduk. Tersipu malu. Tapi memang sejak malam itu, Fatma sering tersipu malu ketika tanpa sengaja matanya beradu dengan mata Hasan. Mata seorang laki-laki. Dan tersipunya hati seorang perempuan.
 
Sementara itu nun jauh di Ibu Kota Jakarta, seorang pemuda penjaja koran, berteriak lantang di dalam bus yang terus melaju kencang, menyebut daftar KKN mantan pejabat yang baru lengser berikut kroni-kroninya. Juga hujatan, caci-maki dan kata-kata jorok yang begitu ringan keluar dari mulutnya. Pemuda kerempeng itu tak peduli ada seorang laki-laki berpakaian tentara yang terus mengawasinya. Andai kejadian ini berlangsung beberapa bulan yang lalu, tentu akan lain ceritanya.
 
Orang-orang yang mendengar teriakan penjaja koran itu hanya tersenyum sembari membayangkan hari-hari depan yang lebih ceria. Lebih hidup. Lebih berarti. Wajah mereka tampak bercahaya, penuh optimisme. Sebuah era baru terbentang luas di depan mata seperti bentangan layar putih. Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Yogya, dan kota-kota besar lainnya di seluruh pelosok negeri, bolehlah berpesta pora menyambut era kebebasan ini.
 
Tapi orang-orang kampung Ulegle, Buntul Kemumu, Bernoun, Lelabu, Pegasing, dan sekitarnya apakah bisa begitu? Tengah malam sesekali mereka masih mendengar gemuruh suara tembakan diikuti lengking jerit kesakitan dari dalam hutan. Adakah kebahagiaan di situ? Rasa aman? Harapan?
 
Kebahagiaan, rasa aman, harapan, atau apapun namanya, bagi orang-orang Ulegle, Buntul Kemumu, Bernoun, Lelabu dan Pegasing, hanyalah omong kosong belaka. Atau kalau memang itu benar-benar ada, pastilah hanya milik Hasan dan Fatma yang sebentar lagi akan menikah.
Tapi, sampai kapan?
 
-USAI-
 
Yogyakarta - Depok, April 2001 -2004

*) Teguh Winarsho AS, cerpenis/novelis kelahiran Kulon Progo tahun 1973. Pernah mendapat kehormatan sebagai cerpenis terbaik se-Jawa Tengah versi Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto. Cerpen-cerpennya banyak menghiasi media massa, seperti Republika, Kompas, Horison, Media Indonesia, Koran Tempo, The Jakarta Post, Matra, Suara Karya, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Lampung Post, Bisnis Indonesia, Warta Kota, Pikiran Rakyat, Trans Sumatera, Jawa Pos, Surabaya Post, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Wawasan, Solo Pos, Annida, Sabili, Nova, Citra dll.  Tulisan-tulisannya dalam bentuk antologi bersama adalah Tamansari (Pustaka Pelajar, 1998), Aceh Mendesah dalam Nafasku (Kasuha, 1999), Embun Tajalli (Aksara, 2000), Bunga-Bunga Cinta (Senayan Abadi, 2003), Wajah di Balik Jendela (Lazuardi, 2003), Jika Cinta (Senayan Abadi, 2003), Pipit Tak Selamanya Luka (Senayan Abadi, 2003), Jalan Tuhan (Lazuardi 2004), dll. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit, Bidadari Bersayap Belati (Gama Media, 2002), Perempuan Semua Orang (Arruzz, 2004). Salah satu cerpennya masuk dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas tahun 2003. Sementara novelnya Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian Suara Pembaruan, edisi 10 April - 07 Juni 2000. Novel Orang-Orang Bertopeng dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002. http://sastra-indonesia.com/2021/08/novel-orang-orang-bertopeng-25-tamat/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah