Sabtu, 07 Agustus 2021

PERJALANAN SYAMAN AKHUDIAT *

Akhudiat (5 Mei 1946 – 07 Agustus 2021) 

Zainuri
 
Akhudiat lahir di Rogojampi, Banyuwangi, 6 Mei 1946. Sering memenangkan sayembara penulisan naskah drama versi Dewan Kesenian Jakarta. Diantaranya, Grafito (1972), Jaka Tarub (1974), Rumah Tak Beratap (1974), Bui (1975) dan RE (1977). Pernah mengikuti International Writing Program di University of Iowa, Amirika Serikat. Naskah-naskah terjemahannya: Raja Ubu (Alfred Jarry), Jalan Tembakau dan Anak yang Dikubur dipentaskan oleh teater SAE, Jakarta.
 
BELAJAR DARI BERAS
 
Menurut Akhudiat, dia belajar melek (membuka mata) huruf dari mengaji dan itu berkat pengarahan emaknya (Ibu) dan ustad yag mengajar ngaji. Baginya emaknya dan ustad yang mengajar ngaji adalah guru yang sesungguhnya dan di luar ke dua orang ini, gurunya adalah perpustakaan. Kata guru nyajinya,”Beras itu kalau jumlahnya satu lalu di tumbuk akan pecah, tapi kalau jumlahnya banyak akan lembut karena tumbukannya membawa gesekan percampuran dari beras yang satu dengan yang lainnya”.
 
Itulah yang menurut Diat, bahwa guru ngajinya itu luar biasa dalam menafsirkan kehidupan. Karena semua itu baru bisa dirasakan ketika waktu sudah jauh meninggalkan pesan tersebut, dari saat sekarang melihat perjalanan karya-karyanya. Dari sinilah awalnya beras ketika di tarik kembali pada masa sekarang oleh Diat. Baginya komunitas seperti Bengkel Muda sangat penting sekali menurut dirinya. Dimana tempat berkumpul berbagai orang dengan macam-macam latar belakang. Lalu antara satu dengan yang lainnya; pengalamannya saling bergesek, pengetahuannya saling bergesek, sehingga memunculkan berbagai macam penafsiran yang komplek.
 
Di Bengkel Muda, berkumpul dengan berbagai macam manusia dengan berbagai macam latar belakang pikirannya masing-masing. Disana kita saling bergeser, berdebat, sehingga pengetahuan kebenaran bisa menjadi luas. Cuma disana ketawa harus dibatasi, jangan terlalu banyak tertawa nanti kita larut. Perlu diketahui ‘ Mulutmu Harimaumu’. Begitu terlalu banyak mengumbar tawa akan sia-sia dengan yang selama ini kita lakukan. Itulah pentingnya kalimat sastra tersebut, jadi harus bisa mengambil jarak. Jangan sampai komunitas hanya jadi gardu tempat keluar masuknya orang saja. Di Indonesia seni ini adalah tempat perjuangan yang luar biasa. Jangan berharap pada pemerintah, pemerintah mengurusi kesehatan saja tidak mampu. Itulah pentingnya komunitas dan pentingnya mengambil jarak, seni adalah perjuangan yang paling berat.
 
“Saya mengambil jarak, dan waktu saya habiskan di perpustakaan. Ini sudah menjadi kebiasaan saya sejak kecil. Kelas 1 Sekolah Dasar, saya sudah gemar membaca. Disebrang sekolah saya ada toko buku setiap istirahat waktu saya habiskan untuk membaca disana. Dirumah bapak saya langganan Koran tiap hari saya membaca. Belum di rumah pak De dan pak Lik yang rumahnya masih berdekatan, beberapa lemarinya penuh dengan buku” terangnya dengan sungguh-sungguh.
 
Mulai kecil Akhudiat memang suka baca buku yang aneh-aneh yaitu dunia di luar sana. Diat, memang tidak suka bacaan-bacaan yang biasa-biasa yang segala sesuatunya sudah bisa diketahui dan di tebak. Jadi juga tidak heran kalau cerpennya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Dede Utomo, diterbitkan di tiga penerbitan: dua antologi dan satu majalah. KIAS (Komite Eksukutif Festival Indonesia di Amerika Serikat) dalam antologi sebelas cerpen Indonesia bertajuk ‘New York After Midnight’ (1991), disunting Styagraha Hoerip. Cerpen Akhudiat yang sekaligus jadi judul antologi ini menurut redakturnya sangat kontemporer sekali.Redakturnya berpendapat,” saya belum pernah membaca cerpen semacam ini”.
 
Cerpen Akhudiat, ceritanya maju-mundur.
“Surabaya nostalgis suasananya, ketika saya menonton ‘kuintet (lima pemain) jazz warga AS kulit hitam dihalaman terbuka bawah pohon jambu biji dan mangga di Lembaga Indonesia Amirika (LIA) Jalan dr Sutomo tahun 1983. Drummer, menggebuk semua perlengkapannya dengan dinamais, ritmis dan liris, serta sering memejamkan mata bagai meditasi. Mengingatkan pada kuartet (empat pemain) jazz di panggung Of-Broadway, Village Theatre, di Greenwich Village, New York City, tahun 1975. Mereka bersama Black Theatre Ensamble mementaskan teater musik-tari drama bertajuk Hi, I Can Cope.Meditasinya pada pembukaan dan penutupan “non-stop reviue” dengan tari ritual penari tunggal lelaki kulit hitam, berminyak oleh keringat, kepala gundul, hanya pakai secarik cawat, melambangkan kelahiran manusia di zaman purba dikehadirannya kini. Setelah nonton teater Afro, saya masuk rongga bawah trotoar 8 th Evanue di 14 th Street, masuk kereta bawah tanah (subway), menuju utara dan muncul di Harlem, Lenox avenue di 135 th Street. Tentu saja, saya teringat masuk terowongan Mrawan dan Gerahan dengan kereta api Banyuwangi-Jember. Subway di Manhattan itu telah saya lihat gambar-gambarnya di majalah Life ketika SLTP di Jember, 1960…”, paparnya dengan semangat.
 
Demikian juga naskah-naskah Diat bisa dijuluki ‘Power of Art’. Bisa ditafsirkan diluar cerita demikian bentuknya juga bisa ditafsirkan yang lain. ‘Brain Drain’, berpindahnya otak. Naskah Joko Tarub misalnya, ketika ditafsirkan kembali pada saat kekinian, Joko Tarub melihat Indonesia cuek, tidak menganggap apa-apa.Tapi ketika Joko Tarub di Jepang, dia bisa Jadi seorang Profesor yang ahli elektromagnit yang baru.Ini namanya melanjutkan misi sebagai spesies kehidupan manusia yang servive. Kalau dulu cara manusia mempertahankan kehidupan musuhnya yang dihadapi ‘riil’ binatang.
 
Kalau sekarang beda lagi, sesama manusia yang anti manusia (predator).
Menurut penelitian yang paling baru bahwa pikiran manusia itu belum aktif, beda dengan nabi pikirannya aktif semua. Menurut dia, ilmu pengetahuan di luar sana masih banyak yang belum dijamak, belum ditemukan. Mimpi misalnya; Mimpi itu di dalam otak atau di luar otak? Hal itu masih belum terjawab. Dan masih banyak yang lain. Masih ada 10 masalah yang belum diselesaikan dalam ilmu kedokteran modern.
 
Sementara dengan perjalanan umurnya yang semakin bertambah, Diat merasa di suruh istirahat lewat sakit, agar tidak terus blusukan. Semua keinginannya selalu tersampaikan. Ingin pentas di gedung Mitra, ingin pentas di Taman Ismail Marzuki, ingin mengikuti penulisan IOWA, semua sudah dilewatinya. Menurut Diat, seniman hidupnya harus seimbang, tidak boleh rumah tangganya berantakan. Jangan sampai seperti orang-orang sekarang, bisa sukses tapi dari hutang. Hutang boleh tapi jangan selalu berhutang.
 
Lalu Diat juga melihat gejala teater yang akan datang hendaknya harus juga pandai membaca gelagat perubahan. Oleh karena itu karya-karya yang sudah disiapkan Diat untuk akan datang, semacam diilhami drama-drama pendek. Drama-drama pendek, semacam Stan Up Komedi, Ten Minute Play. Karena yang dia rasakan orang sekarang sudah tidak bisa lagi menonton pertunjukan secara full. Sebab percepatan hidupnya 24 jam tidak cukup. Dan bentuk pertunjukannya belajar dari tukang sulap atau jual obat jalanan atau ledhek.
 
Mencari kerangka jalan teaternya Akhudiat terdengar aneh apabila kita menempatkan garis besar teater kontenporer yang ada karena Akhudiat mempunya misi realisme magisnya sendiri. Naskah-naskahnya secara material mempunyai tantangan tersendiri bagi para penggarap sehingga secara tehnik harus membentuk pencarian untuk menguak struktur dramaturgi yang belum dialami. Darisinilah sejarah gagasan menuntut ketotalan untuk mencapai sifat yang bisa dicerna dari unsur-unsur proses pencarian. Teater Akhudiat adalah teater titik balik dari tradisi lama bahkan yang purba sekali. Akhudiat membutuhkan ledakan-ledakan gagasan yang di anggap inovasi purba yang sulit dipahami.
 
Hal ini tak lebih dari sebuah perluasan proses, pemberian nilai kembali yang harus diterima sebagai konteks yang berbeda. Teater ini benar-benar penuh dengan kombinasi bervarian dan berwujud gagasan-gagasan yang terus berkembang. Bisa dikatakan teater senantiasa lebih dari sekedar bahasa. Bahasa itu sendiri bisa di baca, namun teater sejati hanya bisa diwujudkan dalam pementasan. Hadir sebagai variety show dimana perwujudannya mengandung unsur-unsur efek teaterikal abstrak murni yang kuat.
 
Semua peristiwa itu seringkali memiliki makna metafisis mendalam dan mengekspresikan lebih dari yang dapat diungkapkan oleh bahasa. Penonton diantarkan untuk menyaksikan kekuatan ajaib, atau melebihi keajaiban? Inilah usaha terjauh Akhudiat untuk mengungkap kedalaman hidup dengan kecerdikan manusia. Semua ini merupakan pembelokan kemampuan manusia dengan komoditas tubuh dan fikirannya bahkan menancap pada masa lalu dengan segala kepurbaannya.
 
Manusia adalah binatang ajaib dan jalan menuju masa lalu akan ditemukannya dengan berbagai pendekatannya. Manusia bisa melakukan hal yang aneh tapi mereka ubah menjadi sesuatu yang biasa-biasa. Ini merupakan kekuatan metafisis aneh dari sifat kongkrit dan keterampilan dalam pertunjukan teater.
 
Hal ini sama juga dengan yang dilakukan oleh para Saman (dukun masa lalu) menciptakan atmosfis tradisi sekunder yang kuat dan sama dengan akar dalam teater dimana mendapat kekuatan vitalitas yang baru.
 
Naskah-naskah Akhudiat muncul bersama-sama proses penggarapan dengan membawa tehnik realitas yang masih mentah, tidak terikat dengan segala aturan dramaturgi yang ada. Semua serba tidak ada batasan sehingga aturan ruang dan waktu tidak ada perhatian. Semua struktur alur yang ada di acak sedemikian rupa, demikian juga ungkapan yang disampaikan dijungkir balikan.
 
Dalam drama-drama Diat, realismenya adalah mimpi-mimpi, halusinasi-halusinasi yang menimbulkan rasa penasaran dan itu bisa dihadirkan sebagai paradox. Sehingga sesuatu yang bermuatan fantastis bersifat paradox. Ungkapan tersebut merujuk pada drama-dramanya bahwa hal-hal yang serius bahkan mengerikan sekalipun menakjubkan, bercampur baur dengan sindiran dan kelucuan. Yaitu realisme datar bercampur dengan unsur-unsur yang sangat fantastis dan magis.
 
Garapan Teaternya:
 
Syair Bunga Koran (1977)
 
Di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.
(Naskah/Sutradara: Akhudiat. Produksi Bengkel Muda Surabaya. Pemain: Hare Rumemper, Bawong SN, Sian Dyhs).
 
Naskah yang mencoba keluar dari kemungkinan panggung yang permanen. Bisa pentas dimana saja, di taman misalnya, karena disana banyak peristiwa sosial yang bermacam-macam. Dan tiba-tiba muncul seniman gelandangan yang membacakan puisinya ditengah-tengah orang banyak. Romantisme sekali tapi juga ada segi humornya. Diat tidak tergantung pada panggung yang prosenium. Munculnya Diat membuat panggung non prosenium ketika Motinggo Busye mementaskan ‘Malam Jahanam’. Naskah ini luar biasa, settingnya rumah nelayan sehingga memungkinkan para pemainnya bisa keluar masuk yang tidak berbatas dengan penonton. Gagasan inilah yang akhirnya dikembangkan Diat ke drama ‘Syair Bunga Koran’ dalam bentuk non prosenium.
 
Joko Tarub (1974)
 
Dimainkan di gedung Mitra, Surabaya dan Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.
(Naskah/Sutradara: Akhudiat. Produksi Bengkel Muda Surabaya. Pemain: Bawong SN, Hermin Munif, Hare Rumemper, Lydia, Rini Sherdil, Yudhit Sariyowan, Rini Paling-paling, Inggrid, Patty, M. Djupri, Darsono, Amir Kiah, Rochim, Chusnul, DS Yono, Tudjuddin Nur, Iim Santoso dll).
 
Dongeng atau cerita legenda yang dihadirkan pada masa kini. Dimana Joko Tarub ingin lepas dari kaidah-kaidah lama atau masa lalu. Dengan sendirinya peran dalang yang dihadirkan dalam cerita ini selalu menjadi ajang penolakan bahkan perlawanan ketika pakem dan aturan lama ditrapkan pada Joko Tarub. Demikian juga Nawang Wulan pinginnya jadi artis. Baru keluar panggung sudah tidak mau diatur dalang, dia tidak ingin jadi anak wayang.
 
Diat melihat semua teater selalu diatur dengan aturan tehnik dan pakem. Diat ingin melepaskan semua itu agar pertunjukan jadi dinamis. Apa saja harus bisa terjadi di atas panggung atau tempat lain diluar panggung seperti yang dilakukan oleh teater jalanan. Pertunjukan kesenian di Surabaya yang menggunakan panggung prosenium yang terakhir, menurut Diat, hanya Srimulat. Surabaya memang kota industri tidak ada seni yang Adi Luhung. Jadi hampir semua pertunjukannya lebih mengarah ke humor dan hiburan.
 
BUI (1976)
 
Dimainkan di gedung Mitra, Surabaya.
(Naskah/Sutradara: Akhudiat. Produksi Bengkel Muda Surabaya. Pemain: Bawong SN, Hare Rumemper, Sian Dyhs, Wally Sherdil).
 
Garapan ini menjelang Akhudiat berangkat ke IOWA untuk mengikuti International Writing Program di University of Iowa, Amirika Serikat. Sesudah pementasan drama Bui, paginya berangkat ke Amirika.
 
Saat itu masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru.Masa Sukarno dan Suharto.Banyak orang yang di penjara tanpa diadili, dari mulai itulah seakan-akan tidak ada batasan sel. Para penghuni tahanan lalu bermain-main dengan kayalannya, ruang tahanan benar-benar tidak ada batasan dan meluas seperti lapangan. Namun ketika mereka sadar lagi dari kayalannya kembalilah mereka ke Bui lagi. Demikian juga para sipir ketika mereka pulang dari tahanan mereka ingin kembali ke tahanan lagi karena mereka melihat dunia di luar tahanan lebih kejam. Mirip kondisi saat ini, misinya hanya bermain-main; saling menjegal, berkelahi. Mereka semua sedang memainkan angan-angannya.
 
Rumah Tak Beratap (1975)
 
Dimainkan di gedung Mitra, Surabaya.
(Naskah/Sutradara: Akhudiat. Produksi Bengkel Muda Surabaya. Pemain: Roni Tripoli, Wally Sherdil, Vincentius Djauhari, Tadjudin Nur, Hermin, Rini, Rini Sherdil).
 
Setiap Diat pulang latihan teater dari Bengkel Muda selalu pulang malam dan naik bemo dan turun di terminal Wonokromo (Joyoboyo) karena kos-kosannya dekat terminal.Yang Diat rasakan terminal ini kalau malam sepi sekali dan kalau siang ramai sekali dengan bermacam-macam keriuhan yang dilakukan banyak orang.Ada pengamen, ada ledhek, ada orang jualan, ada orang bertengkar dan lain sebagainya.
 
Begitu peristiwa tersebut diangkat Akhudiat ke panggung. Ada ledhek, yang biasanya menari dan menyanyi, di suruh berbicara. Darisinilah ada anak muda yang mencoba menyenangi perubahan komunikasi pertunjukan ledhek ini. Dari situ ide ceritanya mulai berkembang dan jadi menarik. Perlu diketahui saat itu masih belum ada seni pop art sedang tarian Serampang 12 di Surabaya juga jadi tontonan yang menarik. Saat itu di Surabaya kesenian jadi dinamis dan semua masyarakat terlibat secara langsung.
 
Lalu muncullah Mall, seniplek, seni pop culture, pilihan menjadi banyak dan meluas. Akhirnya pusat-pusat kebudayaan menjadi menyempit dan jadi kantong-kantong budaya. Apapun yang terjadi akhirnya seni masih tetap ada dan harus diperjuangkan. Meskipun pada saat ini pahamnya lain, kekuatan seni lebih di pakai untuk mendukung partai politik, untuk mendukung ormas atau untuk sebuah kegiatan kerja. Seni sudah jadi hiburan belum bisa dipahami yang lebih dari hiburan seperti layaknya dulu.Untuk mengembalikan ke pemahaman semula seniman teater harus tahu kekuatan itu.
 
Sampai saat ini yang baru bisa mempertahankan kekuatan tersebut baru seni sastra karena sastra sudah punya misi yang jelas. Sebelum huruf ditemukan, sastra sudah punya misi melalui dongeng dan penuturan.
 
Graffito (1974)
 
Dimainkan di gedung Mitra, Surabaya.
(Naskah/Sutradara: Akhudiat. Produksi Bengkel Muda Surabaya. Pemain: Roni Tripoli, Amy Kuntjoro, Tadjudin Nur, DS Yono, M. Djupri, Amir Kiah, Hermin Munif, Rini Sherdil, Yudhit Sariyowan, Rini Paling-paling, Petty, Lydia, Ance Suyono, Rita Suyono, Ingrid dll).
 
Berangkat dari corat-coret (mural) kegelisahan anak-anak muda. Lalu ada anak muda yang beraktivitas diluar kebiasaan yang ada, biasanya ada peristiwa. Kegelisahan semacam ini dilakukan seumur remaja dan belum kawin. Hadirlah para pemeran yang muncul di panggung anak muda yaitu Limbo dan Eyesha. Kedua remaja ini adalah pasangan anak muda yang sedang jatuh cinta dimana meneruskan niatnya dalam jenjang perkawinan. Namun diluar rencana semua itu jadi gagal karena kedua dari mereka ini berbeda agama. Akhirnya mereka lari dan membuat keputusannya sendiri yaitu nikah main-main.
 
Dari peristiwa yang berani mengambil resiko ini, Akhudiat sebagai penulis mencoba menurunkan Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih sebagai saksi. Dalam naskah ini Akhudiat nampak sekali kalau membela kaum perempuan. Baginya perempuan sama dengan derajat kesejatian, orang yang melahirkan anak oleh karena itu jangan sampai berbicara “Ah…”, pada orang tua perempuan. Bahkan bicara, ”Tidak…”, apalagi membentak dan menghina. “Makanya saya tidak setuju kalau ada penafsiran bahwa, perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam. Semua mahluk diciptakan sama dari tanah, cuma yang membedakan hanya satu. Nilai ketaqwaannya”, menurut Akhudiat.
 
Melihat perkawinan yang dibatalkan Akhudiat sangat tidak setuju. “Ternyata orang-orang kota tidak religius beda dengan orang-orang desa”, ungkapnya. Sebelum tahun 70-an kota Surabaya sangat religius sekali. Saat itu semua toko yang ada di Surabaya waktu siang jam 12.00 tutup dan sorenya jam 16.00 baru buka, ini menunjukan jam-jam tersebut jam beribadah. Demikian juga bioskop main dimulai malam hari sesudah Mahrib. Saat itu produsen sangat menghormati sekali pada konsumen. Produsen mengikuti konsumen tapi akhirnya terbalik. Lebih banyak opsennya dan muncullah menjadi sekuler.
 
Monserat (1975)
 
Pentas bersamaan “Monserat” dan “Jangan Nangis Ayo Menyanyi”, di gedung pertemuan UNAIR, Tegalsari, Surabaya.
(Monserat. Naskah: Immanuel Ruble.Diterjemahkan: Asrul Sani. Disadur: Akhudiat. Produksi Bengkel Muda Surabaya. Pemain: Hare Rumemper, Nasar Battati, Cahyo Sudarso, Sian Dyhs, Rochim Dakkas, Solikin Jabbar, BusroYusuf, Hermin Munif, Sandra Rumemper).
 
Naskah terjemahan ini dramatiknya menguatkan. Ini contoh drama yang kuat, tegas tidak ada keraguan. Tiap-tiap pikiran punya sudut pandang masing-masing sehingga setiap peran melihat sudut pandang dirinya sendiri jadi kuat. Pandangan-pandangan para peran yang kuat inilah bisa jadi benar semua dan bisa jadi salah semua. Ini semua karena kepentingan politik yang bermain-main (politiking).
 
“Jangan Nangis Ayo Nyanyi” (1975) adalah drama anak-anak. Naskah: Akhudiat. Pemain: Rini, Dewanto, dan koor.
“Scapin Bangsat”, naskah Moliere dan diterjemahkan oleh Tajudin Nur (1976)… “Suminten” (1983)…
 
‘RE’
 
(Naskah RE hanya berlangsung dalam proses latihan. Karena Akhudiat keburu memenuhi undangan ke Iowa, Amerika Serikat).
 
’RE’ adalah pengalaman masa kecil Akhudiat, ketika bermain layang-layang di kuburan. Selalu melihat upacara penguburan mayat yang dipimpin pak Modin baca Talkhin. Bagi Akhudiat pak Modin ini luar biasa sekali. Dia bisa mempertemukan dunia orang yang meninggal, dunia orang hidup yang sedang mengantar ke pemakaman dan dunia pak Modin yang berhubugan denga Tuhan dalam peristiwa yang bersamaan. Pak Modin ini bisa membawa pesan kebenaran pada orang yang meninggal lewat bacaan-bacaan Talkhinnya.
 
Sedangkan yang masih hidup menyimak dengan renungan lewat kesadaran spiritualnya. Dalam peristiwa ini ada ruang yang berbeda antara yang mati, para pelayat, dan pak Modin. Semua ini dipertemukan oleh pak Modin dalam bacaan Talkhin yang isinya, agar yang mati bisa menjawab semua pertanyaan Malaikat tentang perbuatannya di dunia lewat penuturan pak Modin.
 
Peristiwa inilah yang mengagumkan bagi Diat. Tiga alam yang berlainan sedang menembus ruang dan waktu bisa dipertemukan di peristiwa penguburan, hal yang luar biasa sekali. Diat baru menemukan kalau karya Talkhin ini ternyata dibuat oleh seorang Sufi. Dan sebelum ada agama cara semacam ini dikerjakan oleh seorang Shaman. Biasanya digunakan untuk pengobatan orang sakit.Caranya Shaman mengobati orang sakit dengan melakukan ritual puasa 40 hari – 40 malam, sampai dirinya jadi sekarat bahkan hampir mati. Inilah cara mereka mendekat pada Tuhan. Darisinilah akhirnya menjadi trans dan kata-kata yang keluar dari mulut si Shaman dianggap kebenaran. Kata-kata inilah asal-usul Talkhin. Mencari sendiri dalam pencarian Tuhan hingga trans lalu apa yang diucapkan Shaman dianggap ‘wahyu’.
 
Di Banyuwangi juga ada namanya Seblang, di Cirebon juga ada. Semua negara yang dikelilingi lautan Teduh selalu dipengaruhi Shaman. Di India, Jepang, Meksiko, Cina masih ada. Dari sinilah naskah ini berawal, dialog mbah Modin yang luar biasa untuk dipentaskan dengan adegan penguburan mayat. Pentas sebagai upacara.
***
 
*) Tulisan ini bagian dari buku biografi pertunjukan Bengkel Muda Surabaya oleh Zainuri, yang akan segera terbit, sebelumnya pernah dimuat Majalah Seni Budaya Kidung Dewan Kesenian Jawa Timur. http://sastra-indonesia.com/2021/08/perjalanan-syaman-akhudiat/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah