Kamis, 05 Agustus 2021

WAKTU, SEJARAH, DAN CITRA HEWANI DALAM CERPEN AHJ. KHUZAINI

S. Jai *
 
JIKA boleh dikata sejarah itu mewaktu, maka sastra meruang.
Tentu saja ini jikalau kita memaksakan diri membedakan antara sejarah dan sastra.
 
Barangkali keduanya memang berbeda. Boleh jadi pula keduanya sebetulnya sama, atau setidaknya keduanya dapat saling mengutuhkan—jika tak hendak mengatakan apa-apa perihal keduanya.
 
Kalimat terkenal Louis A. Montrose dengan istilah: membaca sastra sama dengan membaca sejarah; membaca sejarah sama dengan membaca sastra,1) berkait erat dengan, metode membaca, seni memahami, menafsirkan makna teks—pelbagai teks, termasuk teks sejarah maupun sastra. Pada teks sejarah dalam pengertian baru (New Historicism), sejarah cenderung memilih hal-hal yang tampak remeh-temeh, serpihan-serpihan yang tersisihkan dari sejarah besar, sejarah penting, sebagai sebuah teks yang bagaimanapun, dimanapun, ada “sesuatu” yang beroperasi secara masif.
 
Derrida berperan dalam pembacaan ini atas yang dipinggirkan, teks sebagai peristiwa, perlawanan, sejarah itu sendiri, tidak ada yang di luar teks—semua teks, dan makna teks mengacu jejak-jejak, kontek-konteks di dalam teks. Apa yang disebut dekonstruksi: Sebuah interpretasi yang ditandai dengan pergantian prespektif terus menerus.
 
Dengan kata lain; peristiwa, terus berubah, berganti—rekonstruksi, reproduksi, resepsi, dekonstruksi sekaligus. Pemaknaan tertunda tanpa akhir. Pendeknya, suatu teks terbuka untuk pembacaan (dan penulisan) sebagai rekonstruksi, reproduksi, ataukah sebagai teks hasil dekonstruksi.
 
Tak bisa dibantah fakta bahwa AHJ Khuzaini penulis cerita Akar Bakau dan Setangkai Gulali yang karib dipanggil Jenar, adalah sejarawan yang menulis sastra. Pendeknya penulis sastra ini berlatar pendidikan sejarah.
 
Galib diketahui, pandangan sejarah baru, banyak bertumpu pada konsep kekuasaan Michel Foucault. Kekuasaan, dalam pengertian Foucault, suatu keniscayaan yang inhern dalam setiap interaksi manusia. Relasi kekuasan jalin kelindan, bersirkulasi terus-menerus termasuk dalam lingkup bahasa-sastra. Bahasa-sastra sebagai praktik sistem simbol, sistem tanda, sebagai praktik budaya dan dengan demikian sastra adalah produk budaya yang tak lain arena pertarungan hadirnya relasi kuasa melalui bahasa. Betapa pun, hubungan-hubungan kekuasan sekaligus bersifat intensional dan tidak subjektif, dan dimanapun ada kekuasaan, di situ pula ada perlawanan. Dengan kata lain, perlawanan tak pernah berada di posisi luar terhadap kekuasaan, tidak ada yang secara mutlak di luar kekuasaan.2)
 
Dalam mengarang, pengarang, seperti halnya membaca, maka memulai dari teks, meski tak berangkat dari kekosongan visi. Maka dengan demikian bekal internal-individual terpancar dalam pelbagai kacamata, prespektif, sudut pandang dalam menangkap teks untuk kemudian dituliskannya sebagai teks baru.
 
Dengan kata lain, sebetulnya menulis adalah kerja meresepsi teks, sebagaimana rekonstruksi, reproduksi, ataukah sebagai teks hasil dekonstruksi.
***
 
TEKS baru yang dibangun ‘pengarang,’ cerita ditulis awal 2025.
 
‘Pengarang’ menuliskan kisah di tahun 1995 saat Manrespati—si ‘pengarang’–gagal dan atau menolak permintaan guru sekolahnya untuk menuliskan (sebagai hukuman) alasan keterlambatannya masuk sekolah. Saat itu adalah hari pertama memasuki kelas 2 Tsanawiyah.
 
Awal 2025 itu, karangan tentang sejumlah nama orang dan binatang itu sudah berakhir, tinggal membubuhi tanggal di penghujungnya.
 
Setelah, dari lantai atas jendela, Manrespati menyaksikan istrinya Gendhis sibuk menyerut bilah batang bambu, dan sesekali melihat putra bungsunya menggambar kembang, si pengarang lantas menggoreskan tanggal di kertas. Meski tak dijelaskan, Manrespati, terang berputra lebih dari satu.
 
Berlanjut Manrespati menemui Sunyono, sahabatnya, salah satu tokoh dalam ceritanya. Pria berotot yang masih membujang—yang tinggal dengan adiknya si tukang kawin. Sunyono sebetulnya tak putus asa, gadis ke 28 yang diincarnya setelah gagal selama 27 kali, sudi dipacari tapi sialnya, mati di masa pandemi.
 
Hatinya remuk dan gelap mata berencana bunuh diri. Si Pengarang berhasil mencegahnya, yang membuat kedua-nya lebih erat bahkan dari saudara. Si Pengarang selanjutnya bertugas untuk selalu menjaga Sunyono, utamanya setelah sang adik menikah lagi untuk keempat kalinya.
 
Begitulah Sang Pengarang menjaga sahabatnya, sebagaimana menjaga hati istrinya, Gendhis. Sehati-hati menjaga setangkai gulali di masa kanak-kanaknya.
 
Hingga cerita berakhir, tak diungkap oleh pengarang, pesan dan nasihat apakah pada Sunyono dan si Pengarang, dari pengajar metematika Guru Dewanto. Hanya disinggung sifatnya yang mistis dan kaya ramalan. Serta menjadi titik balik dari cara pikir dan tindak si pengarang.
 
Manrespati Putra Palang dan Partiwi, terlambat masuk hari pertama sekolah di kelas 2 Tsanawiyah. Seorang guru, Suhajar menangkap dan membawanya ke kantor. Dihadapkan sejumlah guru dan kepala sekolah.
 
Diantaranya, Bu Walijah, pengajar bahasa Indonesia yang selama ini biasa melemparinya penghapus, mengumpati dengan kata-kata kasar. Walijah guru paling dibencinya, meski bahasa Indonesia yang saat itu diampunya itu, pelajaran paling disukanya. Walijah, kolektor gelang emas di tangannya, mantan bunga desa yang tak menyukai Manrespati, karena jorok, kotor, susah diatur dan bau seperti wedus.
 
Man merasa dihina, saat guru itu melepas peniti besar pemberian Simbah—orang yang bertuah baginya.
 
Guru lainnya dalam cerita ini, Dewanto. Pengajar matematika yang lembut, sabar, pengertian, ringan tangan, dan juga cukup bertuah. Ada juga kepala sekolah, Joko Karsono seorang yang selalu bercelana model penyanyi A. Rofik atau Bang Haji Rhoma Irama dalam film-film. Serta, Suhajar seorang berambut cepak, keras, tegas, dan sesigap tentara.
 
Untuk membuatnya jera, oleh Suhajar, Manrespati dihukum menulis nama lengkap dan alasan keterlambatannya untuk Bu Walijah dan Kepala Sekolah. Namun dia hanya berhasil menulis nama dan kepala tulisan: PAGI AKU TERLAMBAT SEKOLAH.
 
Lanjutan dari kepala tulisan di tahun 1995 itu baru terungkap pada 2025. Sebentuk surat panjang, yang terdiri dari tiga bagian.
 
Bagian pertama, meriwayatkan Emak dan Manrespati saat di rumah pada pagi-pagi benar hari itu. Menemaninya duduk di ambin buatan almarhum Bapaknya, yang mem-bujur di antara jajaran tiga pohon jambu air. Cerita mengungkap perihal ayah Manrespati yang dipanggil Palang ternyata bernama asli Angkasa. Juga nama asli Emaknya bukan pertiwi, tetapi Gendhis. Tapi hari itu, Emaknya marah lantaran Manrespati memaksanya memanggil Gendhis.
 
Bagian kedua, mengisahkan peristiwa sekitar pukul 5 hingga 5.50. Kisah tentang asal-usul dua ekor terwelu diberi nama Selamat dan Pagi. Terwelu dari hasil menjual segantang kacang kedelai kepada perajin tahu yang murah hati. Binatang itu dibeli secara kebetulan dari seorang yang penjual terwelu yang kehilangan arah menuju desa tujuan.
 
Bagian ketiga, cerita selepas 06:15 saat Manrespati berangkat sekolah. Namun dalam perjalanan menjumpai Simbah– perempuan tua penjual daun pisang, bithing dan gulali yang dikenal cepat akrab dengan siapapun, termasuk dengan dirinya dan sahabatnya, Sunyono.
 
Pertemuan dengan Simbah, membawa Manrespati dan Sunyono mengalami banyak riwayat. Mula-mula tentang kisah ibu muda dan anaknya dengan penderitaannya—disiksa batinnya oleh suaminya, terkena pengaruh guna-guna wanita lain. Setelah kematian seratus hari suaminya, pada gilirannya ibu muda itu diusir, oleh janda istri kedua almarhum.
 
Selain sejumlah kisah baik hati, tuah Simbah, juga cerita Gendhis, bocah perempuan yang dikenal baik Manrespati. Gendhis yatim, sejak berumur tiga tahun, hidup bersama Emak dan keempat saudara tirinya. Ayah Gendhis seperti halnya ayah Manrespati, meninggal karena kapalnya tenggelam.
 
Segala cerita dalam pertemuan itu bermuara pada kemurahan hati dan dermawan, dan pertemuan itu menjadi cerita sangat panjang, penyebab keterlambatannya.
***
 
APA sebetulnya yang hendak dikukuhkan pengarang Akar Bakau dan Setangkai Gulali dan teks-teksnya, sebagai suatu visinya, kerinduan-kerinduannya, boleh jadi sedikit banyak tergambar dari paradigma sejarah dan sastranya di atas. Atau setidaknya dari sebalik cerita panjangnya, yang tak mudah untuk diceritakan kembali itu, ada sejumlah benturan-benturan pergulatan-pergulatan subtil pelbagai jaring-jaring ideologis, wacana estetika tertentu dalam ‘sejarah’ buatannya.
 
Misalkan, adakah anti romantisisme dihadirkan di sebalik keliaran-keliaran plot, kekasaran bahasa prosaik, kejorokan, umpatan, kekejian. Apakah sebetulnya Jenar sedang memerah kerja otak, katakan melambungkan imaji-imaji, fantasi-fantasi, pikiran dan menampik hal-hal rohaniah, perasaan, individual artistic? Terlebih dengan aliran deras diksi, kalimat, juga metafora, pelbagai alegori secara serentak seperti hujan yang dicurahkan dari langit itu sonder menolak rasa rohaniahnya?
 
Boleh jadi cerita memang ditulis dalam tempo cepat, berani menempuh jalan yang kelak tak aman bagi pem-baca. Karena itu, sudah dalam dirinya ketaknyaman, pergulatan, benturan diketengahkan secara masif bahkan subversif terhadap visinya sendiri. Yang dalam kosa kata Ibnu Khaldun, dan sering saya kutip; “Jiwa menatap kilatan dari berbagai citra realitas. Melalui tatapan itu jiwa mendapatkan pengetahuan mengenai hal-hal mendatang yang ia rindukan.”3)
 
Visi dimaksud tak lain, kegaiban, kegilaan.
 
Cerita Akar Bakau dan Setangkai Gulali itu sendiri mem-pertanyakan dalam diri adakah kerinduan yang dimaksud dalam pengertian Romantik—sebagaimana August Wilhem Schlegel katakan ‘jiwa yang terbagi—kepekaan terhadap jurang antara yang aktual dan ideal—sehingga mengemban kerinduan yang tak mungkin terpuaskan.’4) Ataukah kerinduan dalam pengertian rohaniah—spiritual semacam mistisisme yang dengan demikian justru meneguhkan dan menetapkan subversif sekadar sabagai suatu gaya, sementara esensi adalah soal lainnya?
 
Perihal pekerjaan otak, yang mempersoalkan aktualitas dan idealitas dengan cara nyaris brutal dalam bercerita, spontan, terkadang melantur namun bersiteguh terhadap suatu visi mengingatkan apa yang dikukuhkan Putu Wijaya yang mendekontruktif teks sastra ke dalam suatu yang : sifatnya menganggu, menteror. Ia menempuh arah yang berbeda dari apa yang sedang mengalir.5) Katanya lagi, teror tidak hanya berarti memporak-porandakan apa yang sudah tersusun rapi. Teror memang mengacau dan membakar jiwa manusia hambruk. Tetapi sebuah cerita pendek juga dalah teror mental bagi keadaan yang hambruk, keadaan yang tidak stabil, agar terguncang lebih keras, sehingga akhirnya pada puncaknya bersatu kembali dalam satu tiang yang kuat dan mengembalikan harmoni pada manusia pembacanya.6)
 
Tempo yang cepat, plot anarkhis memberi makna cerpen ini: perlawanan. Sebagaimana ditunjukkan kutiban berikut.
 
Setahun diajarnya, hanya tugas serta lemparan penghapus papan tulis yang kudapat. Kusempatkan mencatat jumlah lemparan itu, terhitung mencapai lima puluh tujuh kali. Tapi, karena sekian banyak dapat lemparan dari arah tak terduga, aku mulai lihai mengelak, dan kemampuan itu sangat berguna di tengah perkelahian. Perbuatan menjengkelkan darinya yang paling sering kudapat tak lain kalimat kasar dan umpatan pedasnya, baik dia sebagai pengajar atau ketika jadi warga desa biasa. Sampai kuterpikir, sehari saja tidak mengumpatiku, itu pasti membuatnya mati mendadak. Seperti sudah jadi candu. Jujur saja, belum pernah kutahu ada orang di desaku lebih fasih mengucapkan kalimat berisi nama-nama binatang melebihi dirinya. Pagi itu di ruang guru, Walijah melakukannnya lagi. (Hal.5)
 
Andai wanita tua bergelang emas hampir sebahu itu tahu, bahwa tujuanku bersekolah tak lain agar mudah bagiku jadi pengajar bahasa Indonesia. Jikapun tidak jadi pengajar, aku ingin membantu sebanyak mungkin orang agar terbebas dari buta huruf, agar mereka bisa merasakan kebahagiaan saat membaca puisi atau cerita yang ditulis dari belahan negara. Setelah tahu tabiat Walijah yang lebih mahir mencela ketimbang membaca cerita dan puisi, aku urung menjadikannya tauladan, sekaligus meletakkan di baris depan di antara manusia yang paling kuhormati. (Hal.6)
 
“Dunia yang seolah teratur dan disiplin, masih butuh berandal kecil. Berterimakasihlah Pak Kepala Sekolah.” (Hal.13)
 
Juga keberpihakan:
 
Peluang Sunyono barangkali seribu banding satu. Karena bagiku, selain keras kepala, kekurangan terbesar Masalamah adalah bapaknya punya tanah luas. Sebodoh-bodohnya kawanku, aku tak rela dia dijadikan kerbau oleh mertuanya. Bakal timbul masalah. (Hal.15)
 
Bagi Simbah, selama dia hidup tak ada manusia paling patut dikasihi melebihi peminta-minta. Kesedihan Simbah sangat beralasan, lantaran saat beliau masih berumur sepuluh. Bapaknya pernah mengutip hadis Nabi Muhammad, bahwa di hari kebangkitan kelak, ada segolongan manusia yang tak memiliki sekerat daging diwajahnya, manusia itu adalah peminta-minta. (Hal.72)
 
Apalagi beliau baru saja menyaksikan seorang ibu dua anak yang terusir dari rumah sendiri, suaminya mati, sudah dianggap gila bahkan oleh orangtua kandungnya sendiri, serta berjalan selama berhari-hari membasahi ujung kain gendongan dengan air mata. (Hal.72)
 
Lantas, makna Empati
 
Bapak saya dan Bapak Gendhis sama meninggal karena kapal yang membawa mereka, beserta warga desa tetangga ke negeri seberang tenggelam. Tapi nasib saya sedikit lebih baik, Gendhis yatim sejak berumur tiga tahun, hidup bersama Emak dan keempat saudara tirinya, yang selisih usia mereka cuma dua tahun. (Hal.92)
 
Kemudian beiau mengeluarkan sapu tangan dari sakunya, guna mengelap lelehan minyak tancho dari rambutku yang membuat lengket sekitar dahi, tengkuk dan telinga, dengan kehalusan tepermanai. Tidak ragu lagi, ternyata pengajar penuh belas kasih itulah yang berkali-kali menyeruh namaku.
 
“Nama asli Simbah..Lasemi … Keturunan China.” (Hal.111)
 
Ada seorang lelaki paruh baya menemukan Lasemi kecil tidur bersikap layaknya bayi dalam kandungan, menangis sesenggukan sambil menggenggam sekuntum bunga mawar di kedua tangan yang berdarah. (Hal.111)
 
Di usia sepuluh tahun, barulah dia menjual gulali. Gulalinya cepat disukai banyak orang, sebab tak hanya segar-manis, beliau yang pertama menjual gulali sekaligus membentuknya menjadi aneka binatang dan kembang. Setahuku, di antara sekian penjual gulali yang kulihat, hanya Simbah Lasemi yang menjual gulali dengan cara seanggun itu. (Hal.113)
 
Termasuk di dalamnya makna eksistensial;
 
Bagi beliau (Pak Guru Dewanto), kendati Mbah Lasemi tidak memiliki hubungan darah dengannya, tapi beiau meninggikannya sebagai bibi terbaik,dan satu-satunya perempuan yang menjaga beliau sejak kecil layaknya Ibu kandung. (Hal.113)
 
Aku bisa melampaui sekian tahap malapetaka kedengkian diri sendiri. Jika aku berhasil meredam letupan kemarahan yang sia-sia, tidak lama aku bisa menggiring dua kambing untuk aqiqah mendiang Bapak. (Hal.116)
 
Pak Guru Dewanto, nyata menjadi titik balik yang mampu mengubah keseluruhan cara berpikir dan bertindakku. Sampai kapanpun, aku tak pernah menyesali keterlambatan menuliskan ini. (Hal.128)
 
Pelbagai perlawanan, keberpihakan, empati dalam prespektif Foucault terbit oleh karena terlebih dahulu di-judgement elit sebagai penyimpangan, terpinggirkan–tak umum, kasar, buruk, kotor, bejat, batil, najis dll.
 
Jenar menyokong kebebasan untuk setiap yang di pihak seberang, liyan. Hal ini sebagaimana ditunjukkan empatinya terhadap sejumlah pihak sebagaimana dalam kutiban ini;
 
Pak Guru Dewanto, nama pengajar matematika itu, berusaha lembut memasukkan baju seragam ke celana, mengencangkan sabuk yang kubuat sendiri dari guntingan kain bekas celana jeans, serta menyentuh rambutku, selembut matahari sore sebelum senja menyapu langit. Tahu rambutku sangat kering, Pak Guru Dewanto membuka tas kulitnya, mengeluarkan minyak tancho dan sisir kecil. Meminyaki dan menggerakkan sisir di sela rambutku dengan gerakan selincah tangan tukang cukur. (Hal.9)
 
Sayang, selama bersekolah tidak banyak pengajar seramah beliau. (Hal.10)
 
Tentang Sunyono, satu-satunya kawan baikku itu, kuakui memang bernyali tinggi, tak ada duanya. Otot yang membelit tubuhnya sekeras akar bakau. Tenaga terbesarnya setara tiga ekor kambing jantan, namun dia bukanlah murid yang tergolong pintar. Lebih tepatnya bodoh. Otaknya bebal karena sering dapat bentakan dan kemarahan membabi buta dari Bapaknya sedari bocah, cuma tahu gunanya otot dan waktu untuk bekerja di tempat orang, demi dapat makanan enak. Karena bodoh, wali kelas sudah pasti menyuruhnya duduk di baris paling belakang.. (Hal.15)
 
Kebencian yang besar ternyata sangat melelahkan dan memerihkan. (Hal.21)
 
Pak Guru Dewanto, beliau mengaku sudah setahun lamanya mengetahui kedekatanku dengan Gendhis, dan senang mengamatiku dari jauh kala mengajari Gendhis membaca dan menulis. Beliau juga terkesan kegigihan Sunyono mengumpulkan makanan untuk kami. (Hal.113)
 
Aku lebih senang dikenal sebagai murid bodoh, bengal dan senang mengunci diri di antara siswa lain, karena itu wali kelas akan selalu menyuruhku duduk di kursi paling belakang. Di situ aku bisa mendengar Sunyono mendengkur, memamerkan perkembangan ototnya, atau membaca buku pinjaman dari teman tanpa memusingkan angka yang kuperoleh pasca ujian. Ya, lebih nyaman aku dianggap seperti tutup ketemu botol dengan Sunyono. Sama-sama bodoh dan jorok. Kupikir dianggap pintar itu merepotkan. (Hal.114)
 
Aku merasakan sangat tersinggung manakala ada manusia yang musti dilindungi namun dilecehkan. Aku tak terima Emakku dianggap gampang melacurkan diri dengan menggoda suami orang hanya karena kemiskinan kami. (Hal.114)
 
Namun hanya satu hal yang bisa kupahami, bahwa Gendhis, gadis kecil yang tidak didaftarkan sekolah oleh Emak tirinya itu, harus mendapatkan haknya. “Gendhis harus mendapat haknya, entah bagaimanapun caranya,” batinku. Tak lama kemudian Pak Guru Dewanto berjanji akan mengantikanku mengajari Gendhis membaca, berhitung, menulis, serta menitipkannya pada kawan beliau, pengajar mata pelajaran kerajinan dan kesenian. Aku sempat terheran, darimana beliau tahu aku meneriakkan harapan untuk Gendhis. (Hal.115)
 
Kebrutalan, teror, pembangkangan tokoh Aku, Manrespati tak lain adalah sasmita kebebasan—berpikir dan bertualang yang dibayangkan pengarang. Pengarang, AHJ Khuzaini melengkapinya sebagai manusia yang menjaga sahabat dan kelurga. Juga terhadap Lasemi-Simbah serta Pak Guru Dewanto, representasi dari kebebasan berpikir, bergerak dan mengembangkan rohaniahnya, orang yang dalam dirinya mengalir darah kemiskinan bahkan dalam satu pertalian, namun mendapat pembebasan memperkaya hatinya, kelembutannya, kasih sayangnya pada kehidupan.
 
Kemudian Pak Guru Dewanto mengembangkan senyum cukup lebar dan bangga menyebut Mbah Lasemi sebagai bibi, sedangkan lelaki tua yang menyelamatkan, tak lain kakek Pak Guru Dewanto. Bagi beliau, kendati Mbah Lasemi tidak memiliki hubungan darah dengannya, tapi beiau meninggikannya sebagai bibi terbaik,dan satu-satunya perempuan yang menjaga beliau sejak kecil layaknya Ibu kandung. Ketika sakit Mbah Lasemi yang merawat beliau hingga sembuh, menghibur saat sedih, menghangatkan saat gigil terkena demam. Simbah juga yang menyekolahkan hingga lulus. Pak guru masih ingat benar sewaktu masih kecil sering diajak Simbah berjualan, beliau digendong dari satu desa ke desa lain, dikenalkan banyak orang dan ajak menyaksikan suka dan duka orang-orang yang ditemuinya. Sedangkan Joko Karsono bersama adik kandung beliau yang lain, tinggal serumah bersama Emak dan Bapaknya. (Hal.113)
 
Cukup kusampaikan pertemuanku dengan Simbah, yang memberikan pisau andalannya pada Gendhis. Agar gadis kecil itu membuat tangkai gulali. Serta besok akan membuat gudir paling nikmat sebumi. (Hal.122)
 
Kurampas tutup botol air mineral berisi cairan beracun itu dari tangannya, langsung kuminum, dan cairan itu tidak membunuhku. (Hal.130)
 
“No, ikatan persahabat kita lebih erat ketimbang saudara. Kalau kau mau mati, mari kita lakukan sama-sama!” (Hal.130)
 
Gendhis menggangguk sembari mengirim senyum semanis gula. Kusimpan dalam dadaku sebagai bekal. Kujaga sehati-hati memegang setangkai gulali. (Hal.131.)
***
 
ADA kemungkinan simpul dari kebebasan berpikir dan bertualang tokoh-tokoh cerita ini, juga buhul dari hampir sebagian besar pengalaman, perjalanan, sejarah fisik maupun mentalnya dalam jejaring Manrespati, Simbah, Pak Guru Dewanto, Gendhis, Sunyono serta semua latar keluarganya tak lain adalah kemiskinan. Tepatnya dari golongan orang miskin. Sementara sisi gelap penjelajahan diri di sebalik kemiskinan diantaranya represi, moralitas publik, bahkan hewani yang kemudian termanifestasi ke dalam bahasa-bahasa tak terkecuali ragam bahasa verbalnya dalam cerita. Hal lain dari sebalik represi, yang berjalin kelindan dengan relasi kuasa serta menerbitkan perlawanan adalah tumbuhnya kritik. Baik atas individu maupun terhadap struktur sosial yang lebih luas, atau kepada sistem, yang ditafsirkan/dibaca oleh pengarang ke dalam teks barunya. Termasuk oleh pembaca. Meski kemiskinan atau bukan sesungguhnya bukanlah satu-satunya alasan jalin kelindan kekuasan bekerja atas sejarah dalam pengertian Foucault.
 
Sebagaimana tergambar dalam kutiban ini:
 
Setelah tahu tabiat Walijah yang lebih mahir mencela ketimbang membaca cerita dan puisi, aku urung menjadikannya tauladan, sekaligus meletakkan di baris depan di antara manusia yang paling kuhormati. (Hal.6)
 
Entahlah, tapi sungguh peristiwa pembakaran di halaman sekolah pagi itu, juga pertemuan terakhir dengan Pak Guru Dewanto, nyata menjadi titik balik yang mampu mengubah keseluruhan cara berpikir dan bertindakku. Sampai kapanpun, aku tak pernah menyesali keterlambatan menuliskan ini. (Hal.128)
 
Sebagaimana jamak diketahui, dewasa itu terdapat perbedaan besar dan tak wajar antara kiyai kampung dan pengajar di desa dalam menyikapi kedunguan anak-anak mereka. Kiyai kampung berangkat dari pengertian, bahwa bukan dia semata yang membantu anak mereka mudah menyerap pelajaran, dan menyimpannya sebagai bekal hidup. Sementara, hanya sedikit sekali pengajar sekolah bisa menerima kenyataan itu. Aku tak bermaksud mengatakan satu sisi baik dan satu sisi lainnya tidak patut. (Hal.127)
 
Boleh jadi, citra hewani yang kemudian termanifestasi ke dalam bahasa-bahasa, termasuk ragam bahasa, diksi, metafora, alegori, gaya bahasa terkait begitu banyaknya jenis binatang yang mencuat dan bahkan menerbitkan persepsi, imajinasi, intuisi interpretasi semacam dongeng, absurditas, dunia yang ganjil, kegilaan-kegilaan fantastis.
 
Bukankah keseluruhan ini cerita ini tak lain alegori dari kebun binatang? Landak, belalang, keong, wedos, monyet, bebek, kambing, kucing,kambing, kutilang, serangga ayam jantan, asu, jangkrik, kerbau, ayam jantan, laba-laba, sapi, kucing, cacing, babi hutan, terwelu, tikus, kerbau jantan, cicak, kumbang, ikan. Bukan mustahil membacanya, akan diingatkan pada novel Binatangisme George Orwell, yang dalam terjemahan jenius Mahbub Junaidi, kebencian, kebrengsekan, muslihat, keserakahan, juga kemunafikan secara satir terungkap kesejatiannya di sebalik kekuasaaan, otoritarianisme.
 
Menafsirkannya sebagai suatu alegori dengan kata lain, membaca cerita sebagai suatu teks yang dibaca melalui teks lain. Untuk menafsirkan teks alegori, silakan meminjam konsep Joel Fineman, yang dinukil Arif Bagus Prasetyo,7) ikhtiar yang cenderung “menerabas dan menyambut segala kategori stilistik macam apapun, bisa saja menjadi puisi atau prosa, dan sepenuhnya sanggup mentranformasikan naturalism paling objektif ke dalam ekspresionisme paling subjektif, atau realisme yang paling ketat ke dalam gaya barok yang kenesnya paling surealisis.”
 
Watak Alegoris yang campur aduk; kata Arif, puisi, renungan filosofis, percikan biografi, ikhtisar risalah, teoritis, eksphrasis (representasi verbal tentang representasi visual), naskah drama absurd, dan sebagainya, mengingatkannya Sejarah Aib, Jorge Luis Borges. Kata kunci Alegoris, bukanlah imbuhan melainkan penggantian, makna baru.
 
Saya coba telisik kata-kata Borges di buku tersebut, “Gaya yang dengan sengaja menguras (atau berusaha menguras) seluruh kemungkinannya, dan yang nyaris menjadi parodi bagi dirinya sendiri, harus saya difinisikan sebagai barok..” Lantas Borges menyitir Bernard Shaw (salah satu satiris terkemuka) yang menyatakan bahwa seluruh kerja intelektual pada hakikatnya adalah humoris.8)
 
Maka cukup terang sesungguhnya pengarang cerita Akar Bakau dan Setangkai Gulali ini hendak mendedahkan bagaimana humor, dan kemungkinan-kemungkinan ekspe-rimennya. Bukan mustahil dalam hal humor, pengarang ini menangguk ilmu dari Borges, sebagaimana Borges belajar pada humor satirnya, Bernard Shaw. Humor pula yang menyebabkan Milan Kundera berguru pada kelucuan-kebahagiaan-kegembiraan Diderot, Rabelais dan lalu bereksperimen dengan humor-ironi.
 
Bagaimana pun tampaknya Jenar sedang bereksperimen melalui pelbagai akrobatik bahasa prosaiknya diantara sejumlah pencapaian-pencapaian humor dalam sastra-sastra besar tersebut. Pada titik ini, ada kalanya saya setuju dengan temuan Gorys Keraf.9) Makna kiasan (pada Alegori) ini harus ditarik (ditafsirkan) dari bawah permukaan ceritanya. Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak (hewan yang dapat berbicara) untuk mewakili pelaku sebenarnya yang konkret (manusia).
 
Maka di situlah kemudian, kritik mendapat tempat, memperoleh ruang dan waktunya. Tepatnya kritik seba-gai eksistensialnya, yang berakar dari suasana hati dasariah kecemasan khas manusia. Binatang tak memiliki kecemasan eksistensial, sebagaimana tak memiliki momen visi—penampakan diri eksistensi atas masa lalu, masa kini dan masa depan—sebagaimana tak mempunyai energi, potensi pengambilan, pemanggilan masa silam, antisipasi belakang hari.
 
Selanjutnya, saya musti berterus terang bahwa, hal ini, detik ini mengingatkan saya pada sebuah klaim sejarah, ”Masa depan adalah hari ini.” Klaim ini dilontarkan Wangari Muta Maathai—pejuang lingkungan peraih nobel perdamaian—saat pidato penerimaan hadiah bergengsi itu. Saya tidak hadir waktu ceremony itu. Saya hanya menontonnya, dari sebuah film dokumenter tentang perjuangannya, Taking Root: The Vision of Wangari Maathai, lebih dari sepuluh tahun silam.
 
Ngimbang, 22 Juni 2021
 
Catatan:
1) Saya mengutip istilah ini dari halaman 4 atas sumber penting yang kerapkali dirujuk perihal New Historicism, dari artikel Melani Budianta “Budaya, Sejarah, dan Pasar, New Historicism dalam Perkembangan Kritik Sastra.” dalam Susastra, Jurnal Sastra dan Budaya. Volume 2 Nomor 3 2006. Jakarta: HISKI. Sumber ini juga mengungkap, New Historicism selain banyak mengacu pada konsep Michel Foucault, juga pada interpretasi antropologis Clifford Geertz–yang amat dikenal dengan kajian ‘dekonstruktif’ atas sabung ayam di Bali.
2) Saya menukil beberapa dari sejumlah proposisi Michel Foucault ini sebagaimana termaktub dalam Seks dan Kekuasaan, Gramedia, 2000 hal 116-117.
3) Lihat Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam (Vol 4), LKIS, 2009 Hal 168.
4) Lihat Martin Suryajaya, Sejarah Estetika, Penerbit Gang Kabel & Indie Book Corner, 2016 Hal. 355.
5) Lihat Putu Wijaya, Ngeh, Pustaka Firdaus, 1997: Hal 208.
6) Lihat Putu Wijaya, Blok, Pustaka Firdaus, 1994 Hal. 517.
7) Arif Bagus Prasetyo, Saksi Kata, 18 Esai Sastra, Diva Press, 2021, Hal. 18.
8) Saya kutip dari kata pengantar penulis, oleh Jorge Luis Borges, dalam buku Sejarah Aib, Terj. Arif B. Prasetyo, Hal. IX. Sementara itu, perihal pencampuradukan, Milan Kundera menyebutnya dengan sintetis, saat berbicara perihal novelnya Kitab Lupa dan Gelak Tawa. Katanya; Novel adalah sepotong prosa sintetis yang panjang yang didasarkan pada permainan dengan tokoh-tokoh yang diciptakan. ‘Sintetis’ saya maksudkan sebagai keinginan novelis untuk memahami subjeknya dari segala sisi dan dalam kelengkapannya yang paling penuh. Esai ironis, narasi novelistis, penggalan otobiografi, kenyataan historis, dan aliran fantasi: Kekuatan sintetis novel sanggup mengombinasikan segala hal ke dalam kesatuan tunggal, seperti bebunyian dari music polifonis; (Lampiran, Kitab Lupa dan Gelak Tawa, Milan Kundera, Bentang 2000: Hal. 384.
9) Gorys Keraf. (2010). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama 2010, hal. 140.

*) S. Jai. Lahir di Kediri, 4 Februari 1972. Pengarang sejumlah novel. Yang terbaru, Ngrong (2019). Novelnya Kumara, Hikayat Sang Kekasih memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jatim (2012). Penerima Penghargaan Gubernur Jatim (2015), Peraih Penghargaan Sotasoma dari Balai Bahasa Jatim untuk buku kritik terbaik, Postmitos (2019). Tinggal di Ngimbang, Lamongan. http://sastra-indonesia.com/2021/08/waktu-sejarah-dan-citra-hewani-dalam-cerpen-ahj-khuzaini/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah