Minggu, 22 Agustus 2021

PUISI DESKRIPTIF MARDI LUHUNG *

Beni Setia **
 
SUDAH sejak lama orang berpikiran, kalau membuat puisi itu hanya bermain kata-kata, membuat penggalan-penggalan kalimat dengan rentetan (keberadaan) kata-katanya itu sengaja dihadirkan dan diikat oleh semacam hukum permainan bunyi yang diulang-ulang, persanjakan. Acuan sederhana kreasi yang melahirkan banjir produksi, dan melahir sinisme tentang ujud kepenyairan yang terkesan melulu menginpetarisasi orang nyinyir yang suka mrepet kelewat cinta persanjakan–persamaan bunyi vokal di antara sederet konsonan yang tak berharga–, yang obsesif mengutamakan keberadaan tenun-berkait persanjakan tanpa ambekan menghadirkan hal yang riil dan bermakna, yang misterium dan menggetarkan–seperti yang dengan gagah digagas oleh seorang Sutardji Calzoum Bachri pada dekade 1970-an, dan dianggap terobosan estetik luar biasa. Tapi obsesi akan makna, dan terutama mantra itu, dalam ujud puisi yang ingin menghadirkan yang mesterium dan menggetarkan itu, dan yang kemudian dikurung dalam bangunan serangkai kata-kata bersanjak itu, telah lama terlupakan. Bukan sia-sia, tapi ternyata di dunia ini tak terlalu banyak hal atau eksistensi yang misterium dan menggetarkan yang selalu tersedia, bersedia dan bisa dijaring dengan perangkat kata-kata bersanjak.
 
Di luar itu banyak orang yang cuma nyinyir berceloteh setengah mabuk dalam riang berkumpul bersama kawan di masa SMP atau SMA dahulu, atau dalam reuni dengan kawan lama sambil menenggak bir dan makan kacang, sambil mengenangkan aneka peristiwa yang hanya dikenal sebagai rahasia di antara mereka, lantas mengigau tentang rutin kini dalam kalimat bersanjak: tiap hari lari pagi sambil cari nasi kari dari panci plastik lilak, sambil minta air sari sapi–nanti nadi jadi api bagi air mandi. (Versi yang lebih nakal, dingin-dingin nyi ii pipis di pipir di sisi tritis diintip kiciwis bikin miris wiiss wiiss wiiss nyi ii ngibrit, yang penuh vocal i ini, misalnya). Sebuah persanjakan sempurna, sebuah pengulangan bunyi vocal ai ai ia ai minimalis yang sempurna. Dan yang datang dari pergulatan improvisasi bunyi itu di benak kita hanya semacam pengalaman samar–yang amat sangat tidak penting karena yang diutamakan dan diburu cuma monotoni ritmis persanjakan ai ai ia ai atau i i i. Dan menyebabkan puisi itu tiba-tiba jadi teramat menjemukan–hanya sederetan kata-kata artifisial yang selesai sebagai bunyi meski menyarankan adanya satu kejadian samar. Dan karenanya orang lari kepada simbol, pada konstelasi: yang ditampilkan dan mengemuka itu lebih mengisyaratkan keberadaannya sesuatu yang dengan sengaja disembunyikan dan jadi rujukan dari yang tampak atau diperkatakan–karenanya harus dicari dalam apresiasi, dengan apresiator terlatih yang banyak membaca puisi.
 
Orang membawa bunga bagi pacar untuk menyatakan cinta karena yang dibawa itu bukan bunga ansich tapi sesuatu yang ada di balik laku kikuk dan debaran jantung yang membuat yang membawa bunga tersipu.Tidak heran kalau di khazanah sastra klasik, bahkan sastra mistik sufistik, ada wacana tentang si anak muda yang gandrung dan mencari mawar merah di musim dingin, usaha yang tak sia-sia karena ada rumpun mawar mengusahakan sekuntum bunga mekar, yang baru bisa menjadi merah ketika seekor burung bulbul menekankan dadanya ke onak mawar dan memuncratkan merah darah pada mawar pucat yang mekar di lain wayah itu. Sebuah upaya meneguhkan simbol yang menuntut serangkaian pengkhianatan sunatullah–mawar mekar di luar ketentuan alam–dan pengingkaran garis sunatullah–bunuh diri bulbul agar darahnya memerahkan mawar cinta membara–, ikhtiar yang percuma karena hasilnya ternyata mengecewakan–kita tahu, di akhir cerita itu: si gadis lebih memilih pergi dengan si pria kaya yang datang naik kereta kuda dan sengaja mencampakkan mawar merah artifisial yang mengada mengingkari sunatullah.
 
DAN kita pantas mencatat: alangkah rumit dan amat artifisialnya upaya mencari simbol yang tepat. Dan di luar konteks alam dongengan romantis tentang gairah untuk mengungkapkan rindu yang bisa menyebabkan alam tergerak ikut menyempurnakan cinta–meski tetap saja kita harus mencari cinta sejati yang tidak bersipat duniawi–itu, terhampar hukum kreativitas yang berbunyi: betapa rumit-sulitnya upaya si penyair untuk memastikan yang ingin diungkapkan, dengan serentetan diskursus agar benar-benar pasti dengan apa yang ingin diungkapkan, dan (sekaligus) betapa lebih sulit lagi upayanya mencari kata, ungkapan, idiom, diksi atau imaji yang dengan sangat tepat merepresentasikan apa-apa yang ingin disampaikan–dalam sebuah simbol yang pas-orsinil. Sementara kaum pemuja simbol itu terkadang menuntut agar setiap puisi dan penyair tidak lagi memakai simbol yang klise, yang arkhaik. Jangan lagi memadukan keberadaan cinta dengan bunga, keberadaan yang suci dengan putih, keberadaan api semangat dengan merah, dan seterusnya dan sebagainya. Sekaligus juga menuntut agar kaitan antara teks yang berkomunikasi dengan tanda dan yang dikomunikasaikan –sebagai yang ditandai di latar belakang itu–tidak terlalu bias atau sama sekali tidak bersinggungan. Hindari yang gelap tak ada rambu petunjuk ke yang dirujuknya–kata TS Elliot, harus dicarikan keseimbangan referensial dalam bentuk menyaran objective correlation. Tapi kini, selain jenuh dengan idiom yang klise dan arkhaik, orang juga bisa teramat muak dengan puisi yang gelap membungkam–dengan puisi subyektif.
 
Karena itu puisi mulai meloncat dari persanjakan, meloncat dari patokan baris dan bait, meloncat dari romantisme berbicara tersirat penuh intonasi demi penekanan simbolistik–dan malahan agresif meloncat dan melarikan diri dari seluruh kewajiban berpuisi yang baku membelenggu. Kini puisi bisa berada di wilayah prosa yang penuh teks deskriptif atau nalar argumentatif, kini puisi bebas bergulat dengan yang faktual berupa benda-benda riil keseharian dan kejadian-kejadian naif sebagaimana adanya, dan karena itu puisi hanya menyapa sebagai kilas aphorisma yang sugestif penuh rasa –dan mungkin malah sebagai teks sengkarut dari kegemparan senewen dibombardir benda keseharian dan peristiwa sebagaimana adanya. Dan bukan tidak mungkin puisi liar memasuki permainan logika dari kelincahan meloncat dari hal-hal riil terhampar ke yang instinktif dilentikkan alam bawah sadar si penyair, ke teks yang hadir terbaca sebagai pengalaman yang lain di buku dan pengalaman pribadi, ke teks yang cuma ada menyapa sebagai yang diperkatakan orang tanpa sempat diverifikasi, ke fantasi agresif yang dibebaskan penyair agar mengelana dan meluruhkan setiap liuk imajinasi yang mungkin ada, dan ke entah apa lagi. Sebuah teks yang dipenuhi jejak loncatan di segala hal yang mungkin dan tak mungkin, teks yang merangkum (baca: diedit secara imajinatif) sederetan pengalaman dari melakoni apa saja yang mungkin dibayangkan–yang keseluruhannya utuh terfokus sebagai satu petualangan mungkin.
 
Puisi Mardiluhung bermain di wilayah itu. Tak ada persanjakan, tak ada simbol, tak ada bait dan baris, serta bahasa puisi baku gaya lama. Yang ada hanyalah kalimat bersih yang benar secara tata bahasa, dan karenanya menghadirkan pengalaman yang merangkum bentuk-bentuk kejadian berbeda tapi berkonteks sama, atau berdimensi lain tapi asosiatif, atau cuma semacam pembayangan yang bablas menembus sederet peristiwa fantastik–,yang relatif akan disimpulkan sama di antara diri si penyair dan si bakal apresiator puisinya. Dan bersama dengan fantasi liar itu, yang terkendali dan memokus itu, kita–yang mengapresiasi puisi– ditarik, didorong dan dijerunukkannya ke serentetan pengalaman dan fantasi subyektif; dan malah diloncatkannya ke deretan pengalaman dan fantasi yang berlainan, yang berserakan, terpisah dan berbeda dalam ukuran ruang, dimensi waktu, urutan kejadian, dan potensi mungkinnya. Diterbangkan dan terhumbalang, tanpa peduli kalau bekal kejadian kesejarahan yang telah dialami kita (sebagai apresiator) teramat berbeda dengan bekal kejadian kesejarahan subyektif yang dialaminya, tanpa peduli kalau corak fantasi subyektif yang dikembangkan kita teramat berbeda dengan fantasi subyektif yang dikembangkannya–secara kodrati kita memang menghuni ruang semu kejadian kesejarahan dan fantasi berbeda. Tapi semua keterpisahan dan keterpenggalan itu, semua jarak dan handikap keberagaman yang jelas-jelas berbeda itu, jadi hilang oleh pukau menjajarkannya, oleh sihir meng-kolase kejadian kesejarahan siapa saja, yang terbaca atau cuma didengar. Kita dihipnotis oleh fantasi berpuisi, yang meloncatkan rasa penasaran dan instink berimajinasi kita hingga mandah mengikuti jurus berimajinasinya yang liar dan memikat–seperti tikus disihir seruling dunia dongeng itu–, dan melebur dalam gerak spiral yang melentikkan hal-hal baru yang mencengangkan, dan di akhir pembacaan puisi kita lega karena dalam teks itu memang ada sesuatu yang ingin diungkapkan dengan bantuan puzzle aneka pengalaman dan fantasi. Segala yang cuma mirip, berdekatan, tak sekonteks dan tak selevel yang telah disetel supaya memiliki riak asosiasif yang seirama dalam kesatuan teks–dibimbing oleh kepekaan buat menyatukannya dalam satu konteks pengalaman, dalam satu kejadian, sehingga semuanya membayang sebagai silhuet sugestif.
 
DAN itu, saya pikir, bermakna: ada yang ingin diungkapkan dan mencari bentuk ungkapan, karenanya puisi ditulis dengan kontrol disiplin ilmu komunikasi yang amat ketat. Dengan mengukur apa yang ingin diungkapkan, bagaimana mengungkapkannya, dan apa kesimpulan yang nanti diambil oleh yang membaca puisi akan identik dengan apa yang ingin disampaikan oleh penyair. Sebuah usaha rasional yang mengandaikan adanya bacaan, pengalaman dan fantasi yang harus diinpentaris dan ditumpuk dalam CPU ingatan sadar, atau yang mengendap di alam bawah sadar, yang akan jadi rambu petunjuk ketika semua itu dijajarkan karena valensinya sederajat, jadi yang ”identik” dan akan bisa mengarahkan ke yang di sana itu. Meski yang tampak nyata dilakukan itu cuma cermat mengumpulkan segala berita, pengalaman orang, mitos, dongengan, cerita oral angker dan aheng dan seterusnya dari bacaan atau pertukaran lisan, dan membiarkannya mengendap sebagai khazanah oral. Dan kecenderungan menerakan yang lisan pada Mardi Luhung teramat kuat, ambillah diksi zik-zak yang tidak baku dan bukannya zig-zag (puisi ”Perempuan Nila”), atau realitas arwah penasaran yang akan kembali jadi manusia bila kepalanya dipantek–meski lebih berlaku bagi kuntilanak,. dan bukan arwah lelaki anonim yang ingin dijadikan lelaki utuh oleh perempuan nila–, misalnya. Atau sederet teks dongeng oral dan cerita lisan lokal yang dikumpulkan dan tetap dibiarkan sebagai teks oral yang bertenun-berkait jadi satu, serangkai peristiwa yang merujuk pada pernah ada sesuatu yang terjadi di tempat itu dan dituturkan turun-temurun oleh sangat banyak orang di tempat itu–lihat puisi ”Pacinan”, ”Kastoba” dan ”Buwun”, misalnya.
 
Sebuah metoda pencatatan dan pengawetan folklor, legenda, mitos dan cerita lisan yang aneh. Di lain kali bercerita tentang pengalaman pribadi yang mengerikan ketika ia naik perahu dan tumbang mabuk laut karena tak terbiasa naik kapal kecil di laut sekitar Pulau Bawean yang sejak lama dikenal selalu menggejolak dalam puisi ”Pembuangan”–yang gamblang diceritakan dalam Kata Pengantar untuk kumpulan puisi Buwun ini, ”Buwun: Bawean yang ke Arahku (Pulau yang Bergandul Potongan Kuping)”. Sebuah teks yang dengan jujur menunjukkan proses kreatif (Mardi Luhung) menuliskan puisi-puisi yang terkumpul dalam Bawun ini, yakni dengan pasif berbiar mengalami apa saja, dengan peka tanpa prasangka serupa kuping di pohon atau di hiasan sepatu yang mendengar apa saja, dengan telaten fenomenologik mencatat apa pun, dan dengan membebaskan fantasi spontan tumbuh dan menerbangkan ke mana-mana–sampai semua reda, perlahan mengendap, dan jadi yang spontan minta ditulis-kongkritkan. Satu kesadaran yang mengatakan bukannya penyair yang mendatangi Pulau Bawean tapi justru Pulau Bawean dengan segala sejarah lisan, dongengan oral, dan liar fantasi naifnya — Grand Funk (Railroad) nama band rock Amerika jadi nama group dangdut, meski grand funk dalam khazanah lagu dangdut identik dengan pereks, misalnya–itu yang mendatangi penyair, mengharu biru dan menterornya. Dan puisi
 
”Kampung Kuning”, misalnya, mencatat serta menunjukkan metoda dan pola proses kreatif Mardiluhung dengan gamblang. Yang dimulai dengan momen ketika si penyair kehabisan bahan sehingga ia cuma bisa berhenti menulis, melupakan apa pun (semua) yang ingin ditulis, dengan pergi bermain dan mengeluyur ke mana saja dan bertemu dengan apa dan siapa saja, hingga kepala terbebas dari ambisi menuliskan ini dan itu. Dan saat ia tiba pada situasi dibebaskan secara fenomenologik dari beban ingin nulis puisi atau pola lakon subyektif ini-itu, maka (kini) diri tranced dipenuhi (lagi) dengan fantasi yang bermula dari pengalaman yang dilakoni orang lain dan hanya didengarlan ceritanya, bisa mulai menuliskan yang harus dikabarkan itu sebagai saksi tak langsung tapi merasa benar-benar menyaksikan–atau cuma si penutur yang berimprovisasi dan membuat distorsi cerita.
 
Terminologi sang penyaksi, yang ikut menyaksikan dari kejauhan, dari dimensi lain tanpa keinginan mengganggu garis cerita yang telah terjadi dan diguratkan takdir, seperti yang dinyatakannya dalam puisi ”Buwun” itu tampaknya merupakan hal yang amat penting bagi penyair. Sangat utama meski terkadang tuntutan itu hanya jadi yang tersirat seperti yang diperlihatkan dan terlihat dalam puisi ”Pulau”, ”Kubur Panjang” atau ”Pembuangan”–dan kita tidak tahu, apakah hal itu disebabkan fakta ia peranakan yang separuh Tiong-hoa dan separuh Jawa, karenanya tak bisa rasuk ke wilayah bapak serta tidak bebas memasuki wilayah ibu, dan dipersulit oleh kenyataan ia memilih jadi muallaf. Dan ada catatan penting yang dengan sadar ditambahkannya tentang segala sesuatu yang tak sesuai skenario dan bablas mengingkari garis wajar dan kepastian kodrat, ”[S]elalu saja letusan yang tak lumrah itu lahir belakangan”, katanya dalam puisi ”Kuduk-Kuduk”. Karena itu siapa saja yang menyembunyikan rahasia selingkuh, menyimpan kenangan cinta sesaat di pesisir, pulau lain atau pelabuhan itu harus diusir dari rumah (puisi ”Orang Gunung”), akan kehilangan segalanya sehingga hanya bisa datang ke rumah sebagai orang asing atau semacam arwah penasaran (puisi ”Takziah” atau ”Perempuan Nila”) yang tidak lagi merasakan nikmat surga rumah tangga berupa dirawat dan disegarkan kasih (puisi ”Ketam”). Kenapa begitu? Bila mengikuti logika konteks kumpulan puisi Buwun ini, yang merupakan sekumpulan puisi yang lahir dari pengalaman berbiar menyerap suasana sosial-budaya–dan cerita-cerita lisan–di Pulau Bawean, itu karena ia telah dirasuki sihir lokasi. Semacam kesadaran kalau tempat itu merupakan pulau kaum perempuan, dengan para lelaki yang selalu melaut berbulan, para lelaki yang selalu mengembara menjadi TKI di negeri asing, dan para lelaki yang pulang agar segera pergi lagi, sehingga semua lelaki itu selalu diikat oleh kutukan dan pengharapan para istri, supaya selalu bersetia dan teringat kepada yang ditinggalkan. Bila tidak? Ada gunting yang menanti mereka–gunting yang akan selalu memburu ke mana pergi. ”Gundulmu, ta putul manukmu!”, kalau mengikuti ungkapan Surabayaan.
 
DALAM beberapa segi Mardi Luhung, sebagai si penyair yang menulis puisi-puisi yang mendeskripsikan serentetan peristiwa, dongeng, kejadian. mitos, fantasi dan aneka teks subyektif telah berhasil mengajak dan bahkan menelikung kita untuk–suka atau tak suka–ikut-ikutan melambung dan dilambungkan ke dalam angan-angan. Untuk ikut tersenyum tercerahkan disentakkan oleh teks-teks yang mendeskripskani cerita, kejadian, dongeng, mitos, fantasi dan teks apa saja yang kemunculannya dalam mozaik puisi menyegarkan karena tak terbayangkan, dan saat mendadak tiba di ujung puisi kita serta merta menemukan tenunan yang mungkin bisa dianggap cerita pendek atau memang puisi seperti keyakinan penyair–menemukan sugesti akan keberadaan semacam kejadian yang samar terfokus. Ini sebuah panorama peristiwa dan fantasia yang dalam beberapa hal mirip sekumpulan kata-kata yang berderet dan bergabung karena mempunyai persamaan, kesederajatan atau kesamaan valensi di dalam bunyi yang melulu persanjakan ai ai ai ia ai atau i i i i seperti yang disinggung dalam puisi nyinyir di atas.
***
 
*) Penutup BUWUN, kumpulan puisi Mardi Luhung, diterbitkan PUstaka puJAngga, 2010.

**) Beni Setia, lahir di Bandung 1 Januari 1954. Tahun 1974 lulus SPMA di Bandung dan sejak itu belajar sastra secara otodidak. Ia menulis dalam bahasa Sunda dan terutama dalam bahasa Indonesia, tersebar di berbagai media cetak terbitan Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogjakarta. Buku antologi puisinya: Legiun Asing (1983), Dinamika Gerak (1987), Harendong (1993). Kini ia tinggal bersama keluarganya di Madiun, dan tulisan-tulisannya, terutama cerpen dan kolomnya, terus mengalir. Beberapa esainya dimasukkan ke dalam Inul (Bentang, 2003). Beni memilih menulis sebagai profesi tunggalnya. http://sastra-indonesia.com/2010/07/puisi-deskriptif-mardi-luhung/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah