Minggu, 15 Agustus 2021

Pulung Gantung

Mahwi Air Tawar
suaramerdeka.com
 
MARDI tersentak dan lekas beranjak. Sementara, ngiokkeokkoak…, suara burung gagak dari sela balik ranting-ranting kering bergelantungan membuat suasana perkampungan yang sunyi semakin mencekam. Dan sontak, setelah tak seberapa lama jedah dari suara burung gagak itu, terdengar suara lecutan rotan disertai lengking panjang seseorang.
 
Pyaarrr…, suara lecutan rotan bagai disentakkan ke udara seketika, dan seketika itu juga dari balik ranting-ranting kering gugusan cahaya putih kebiruan melesat cepat seiring ngiokkeokkoak kepak tiga burung gagak dari arah kuburan tua samping surau seperti digiring angin meniti reranggas tanah kering kerontang.
 
“Tuhan datang mengirim pulung dari surga,” desis lelaki penjaga surau.
“Alangkah Maha Pemurah Tuhan, cepat tabuh kentongan,” suara teriakan dari kampung seberang bersahutan.
 
“Ya, cepat tabuh.”
“Dupa. Kemenyan,” yang lain tak mau ketinggalan.
“Kita sambut kedatangan utusan Tuhan,” orang-orang beriring, yang perempuan sambil menggendong bayinya, sementara para lelaki lebih mempercepat langkah menuju makam yang telah dianggap keramat.
 
“Eh, susul Mardi,” perintah seorang lelaki bertubuh kekar.
“Kentongan,” teriak yang lain.
“Siapa itu? Lecutkan lagi. Terus. Waduh, Gusti… Lecutkan jangan sampai lewat.”
 
Sementara, diam-diam Mardi penjaga surau itu menyelinap, mengambil rotan yang tergeletak kemudian melecutkannya ke udara sambil membayangkan diri tengah menunggangi kuda seakan menuju gerbang hidup yang lebih abadi, tenteram, pulung memberinya restu. Setidak-tidaknya, akan lekang aib mendekap dalam jenjang jurang nasib serta dendam yang terus bersemayam lantaran berbulan-bulan terpanggang kemarau panjang, bahkan ketika anaknya mati pada saat mengusung air untuk ber-wudlu hingga sampai sekarang, sejak kematian anaknya, Mardi tinggal seorang diri.
 
“Kilauan cahaya itu dari atas bubungan suraumu, Mardi,” Mardi membisu. Menahan sesuatu. Barangkali geli. Toh apa pun yang terjadi malam ini tak akan membuatnya rugi. Tunggulah sampai pagi, orang-orang dari luar kampung lain akan mengerubunginya, berdecak naif atau kagum atas dipilihnya seorang guru mengaji, meski dalam situasi tak menentu, ketika orang-orang kampung dalam kelaparan sebab kermarau panjang tak kunjung lekang berujung hingga untuk sesuap nasi pun mereka mesti menunggu pasokan dari luar daerah.
 
Dan malam ini, Mardi tahu, malam ini untuk kali terakhir menyaksikan orang-orang yang hidupnya dililit nasib malang, sementara dirinya akan terbang ke langit ke tujuh terbang bersama ribuan malaikat, sebagaimana selalu ia kisahkan kepada anak-anak yang belajar mengaji bahwa, orang-orang yang selama hidupnya beramal baik akan dibawa ke surga. Ah, bukankah Mardi setiap hari mengajari anak-anak ilmu agama, menganjurkan orang-orang termasuk santrinya agar selalu berbuat baik, bukankah itu kebajikan?
 
“Pantaslah.. Mardi layak menerima pulung dari surga,” seseorang yang lebih tua berdecak kagum.
 
“Mampuslah kamu, Pak Tua,” seorang pemuda lainnya berkomentar geram.
“Huh…Dasar.”
“Kamu musti pergi, Di.”
 
Bersamaan dengan itu setelah lama orang-orang bungkam seperti tak percaya akan pemandangan yang dilihatnya, ketika hendak beranjak, dari arah makam keramat terdengar suara tangis, lalu suara lain mendesah lirih, sontak orang-orang berjalan beriring dengan langkah gegas, dari arah surau sekelompok burung gagak berkoak-koak menambah suasana semakin mencekam sekaligus membuat orang-orang cemas. Berbagai firasat pun membiak dalam benak masing-masing.
 
“Dari mana cahaya itu berawal?” tanya seseorang.
“Dari surga yang jelas. Tapi itu tak penting. Masalahnya cahaya itu jatuh di teras itu,” yang lain menunjuk ke teras rumah Suliman.
“Dan tiga burung gagak berputar-putar di atas bubungan rumahnya,” sambung yang lain.
 
“Ke mana, Suliman?”
“Barangkali di surau.”
“Aneh,” dalam diam seseorang yang lebih tua mendesis.
“Apanya yang aneh, Pak Tua?”
“Suliman, kok tiba-tiba…”
“Ualah…, susul Suliman.”
 
Ketika orang-orang hendak pergi, tiba-tiba dari pekarangan seorang gadis kecil mungil muncul, sontak kehadiran gadis kecil itu membuat orang-orang kaget dan tidak percaya ketika gadis kecil itu mengabarkan tentang kematian kakaknya, Suliman. Ya, mereka, lebih-lebih perempuan tua yang sedari tadi terus mengumbarkan senyum kebanggaan tidak percaya perihal kabar yang baru saja didengar dari cucu perempuannya akan kembali menyerundukkan cucunya pada liang lengang nasib yang tak kunjung lekang hingga pada usianya, yang tinggal sejengkal.
 
“Kak Sulim…,” erangnya sambil memeluk mbahnya.
“Kenapa dengan Suliman?”
“Kak, Suliman mati nggantung.”
“Mati gantung?”
“Gantung diri?”
“Benarkah pulung gantung?”
“Syukurlah…,” desahnya tenang.
***
 
MARDI tampak gemetar. Menunduk tak beranjak. Orang-orang menatapnya curiga. Adik dari Suliman masih berisak-senik.
 
“Kita mesti melakukan sesuatu.”
“Tunggu sampai pagi,” Mardi mendesah lirih.
 
Tiba-tiba perempuan tua itu menatap nanap pada Mardi, yang gemetar.
“Apa kamu bilang, Di?” suaranya lantang menantang, “Tunggu sampai pagi?” Mardi menunduk, takdzim, “Aku yakin putuku dipilih Tuhan. Putuku akan masuk surga.”
 
“Ya, Mbah, tapi ini masih malam.”
“Untuk menyambut tamu agung harus menunggu pagi?”
 
Orang-orang tak mengerti. Bertambah heran. “Mari semua, talkin-i putuku. Ia akan masuk surga, kita patut berbangga.”
 
Ya, Nenek Suliman, perempuan tua itu seperti mendapatkan kekuatan. Entahlah, hingga pada usia yang sudah uzur ia masih lantang menantang kehendak Mardi, menurunkan tubuh Suliman, dari gantungan harus menunggu pagi. Sementara Mardi tampak bimbang, menimbang antara melanjutkan niatnya atau mengurungkan.
 
Sementara orang-orang yang semula melingkarinya memberi jalan pada Nenek Suliman, sebelum akhirnya mereka mengikutinya dari belakang menuju surau.
 
Ketika orang-orang berjalan beriring menuju surau. Mardi menyelinap ke tempat yang lebih gelap hingga ketika orang-orang sudah menjauh, lekas Mardi menyelinap menuju area makam yang dianggap keramat. Lalu, ia pandangi lilitan tali yang sudah disiapkan sejak orang-orang di ladang tadi. Tali itu terikat di sela ranting kering, di ujung tali yang menjulur hingga persis di atas keranda ia berpegang sambil mengayun-ngayunkan temali, sesekali mendesis bangga, buliran air mata kebahagian dan kepuasan membasahi pipinya. Sesekali menerawang jauh mengikuti jejak orang-orang yang tengah menuju surau.
 
Tak lama berselang, Mardi mengikat ujung tali itu sambil tak henti berdoa. Ketika perlahan-lahan ia men-jinjit-kan ujung jemari jempolnya pada tepi keranda hingga ketika ujung jemari jempolnya sudah tak berpijak, Mardi merasa tengah meniti padang arsy, saat itulah, ia benar-benar merasa bahagia, kebahagiaan yang tak pernah ia bayangkan selama menjadi guru mengaji hingga diam-diam menjadi dukun.
***
 
BAGAIMANA pun Mardi bosan, hidup serbakekuarangan. Mula-mula ia menerima kekurangan itu, sebagai kehendak Tuhan, begitu selalu ia memberi nasihat kepada anaknya, yang mati satu tahun lalu agar bersabar dan menerima semua cobaan Tuhan. Bertahun-tahun menjadi guru mengaji, namun tak seorang pun di antara mereka mau datang. Bersembahyang ke surau pun tidak.
 
Sungguh orang-orang tak pernah hirau. Ia merasa tertekan. Merasa selama ini tak berhasil mengajari mereka ilmu agama. Apalagi tiga tahun belakangan, ketika kemarau panjang tak kunjung berujung. Panen selalu berujung malang. Orang-orang lebih banyak di luar kampung, bekerja serabutan di desa lain agar bisa makan.
 
Ketika dalam kondisi tak menentu itulah, Mardi mulai jarang berada di surau. Persis, sebagaimana juga mereka, Mardi pergi, dan datang seminggu sekali, lalu pergi kembali untuk waktu yang tak tentu. Namun pada suatu sore yang tenang, ketika orang-orang pulang dari kampung lain tersiar kabar, seseorang yang sempat bertemu dengan Mardi bercerita, tentang keberadaannya di sebuah gubuk bersama lelaki tua tak jauh dari pantai.
 
“Apa yang dilakukannya?”
“Mungkin bertapa, minta restu leluhur.”
“Tapi lelaki itu, benar-benar licik.”
“Apa kamu bilang?”
“Licik. Masa tiap hari ongkang-ongkang di surau, dapat makan.”
“Celaka.”
“Biarlah…”
***
 
ENAM bulan berselang, Mardi datang, dan sejak itu Mardi tak pernah keluar kampung lagi. Sementara orang-orang kampung belum ada yang tertarik mendatangi surau untuk mengaji. Sebaliknya, banyak orang-orang dari kampung lain justru pada datang mengunjunginya.
 
Anehnya, semakin hari orang-orang yang berkunjung semakin bertambah jumlahnya hingga tak jarang menyebabkan orang-orang kampungnya sendiri berdecak kagum, meski tak sedikit di antara mereka curiga, dan diam-diam ingin mengetahui apa yang dilakukannya. Tetapi secara pasti mereka tak berhasil, mereka hanya tahu, selepas seseorang yang mengunjunginya pulang, selalu seseorang itu merasa puas, dan sepanjang jalan mengulum senyum sumringah.
 
Hingga pada suatu ketika, Nenek Suliman penasaran dengan Mardi, yang nyaris setiap hari didatangi orang-orang dari luar kampung. Nenek Suliman akhirnya menyuruh cucunya, kembali belajar mengaji sebagaimana dulu. Bahkan, orang-orang kampung mulai ikut-ikutan.
 
Bila tiba waktunya mengaji, disuruhnya anak-anaknya pulang lebih dulu, agar tak terlambat ke surau, dan Mardi sendiri senang dan riang. Bukan. Mardi senang bukan tersebab merasa berhasil mengajari mereka ilmu agama, namun Mardi akan merasa aman berpraktik sebagai dukun, sebab kedatangan anak-anak termasuk Suliman kembali mengaji ia akan dipandang orang paling sabar dan patut dihargai.
 
Dan Suliman, lain dari yang lain. Begitu Mardi, memuji. Ya, memang, Suliman, yang pendiam, suaranya khas, dan dapat dipastikan setiap adzan akan menyisahkan decak kagum dari orang-orang kampung. Ah, setiap mendengar suara Suliman, baik ketika mengaji maupun sedang azan, mereka seperti lupa dalam waktu tempo akan kesengsaraan yang melilit dan tak kunjung lekang itu. mereka lupa besok hari makan apa. Suliman, yang sampai sekarang tak kenal bapak ibunya.
 
Adakah ia bagian dari Bilal, budak belian, si tukang adzan di Jazirah Arab sana? Ah, tak penting para orang tua memersoalkan ke mana ibu Suliman pergi. Siapa bapaknya. Tetapi anak-anak? Duh.. alangkah polosnya mereka. Dari siapakah mereka tahu, Suliman anak genderuwo, sebagian bilang, keturunan Ratu Selatan, yang kesasar. Sebagian yang lain mengejek, Suliman anak pelacur jalanan, tak berbapak-tak-beribu.
 
Begitulah cerca dan caci harus Suliman terima setiap hari. Tapi kenapa berlawanan? Sementara para orang-orang tua memujinya, termasuk neneknya sendiri, yang dengan bangga selalu bercerita, Suliman anak istimewa. Dan anak-anak? Adakah ucapan-ucapan yang mereka tuju pada Suliman, keluar dari kepolosan pikiran sebagai anak-anak?
 
Di surau, meski Suliman diistimewakan oleh Mardi, Suliman tetap tertekan, sakit hati dengan cerca-cacian anak-anak itu. Pada suatu waktu ia pergi dengan diam-diam, beberapa hari tak ada di surau sebagaimana biasanya, orang-orang kampung merasa kehilangan, dan segera mencari. Ternyata Suliman, berada di pantai. Seorang diri. Menangis sedih. Orang-orang kampung melarang keras anaknya agar tidak lagi mengejek, mencaci Suliman, bahkan di antara mereka mengancam tak akan memberikan makan.
 
“Suliman mengadu pada Ibunya, Ratu Selatan,” usil anak-anak cekikikan, susul-menyusul.
 
Adalah suatu sore, sepulang anak-anak dari surau, Suliman tak segera pergi. Di bawah pintu ia berdiam diri, berisak senik.
 
“Sudahlah, Sul,” ujar, Mardi, “namanya anak-anak.”
“Tapi benar, kan?” Mardi tak segera menjawab, “Benar kan, aku anak pelacur?”
“Karena mereka iri, Sul. Kamu bukan anak pelacur jalanan, bukan sembarang pelacur. Tapi pelacur dari surga,” hibur Mardi.
 
Suliman membeku. “Nah, buktinya, kamu lahir dengan kepandaian, yang tak mereka miliki. Suaramu. Sikapmu. Bukankah itu suatu keistimewaan yang jarang dimiliki orang, termasuk anak-anak itu?” Hening. “Tidak usahlah bersedih hati. semua di mata Tuhan sama. Ya, sekalipun kamu anak dari seorang pelacur.”
 
“Ke mana Ibu pergi?”
“Apakah nenekmu tak memberi tahu, Sul?”
 
“Ibumu, Sul, pergi sejak kamu lahir. Orang-orang tidak tahu, ke mana ibumu sesungguhnya pergi. Dari nenekmulah kami mengerti bahwa, ibumu bekerja, entah di mana juga tak jelas. Ibumu baru dua kali pulang dalam beberapa tahun ini. Pertama, saat melahirkanmu, dan pergi lagi, dan pulang untuk kedua kalinya dalam keadaan hamil, lalu setelah melahirkan adikmu, ibumu pergi lagi.”
 
Saat itu Suliman membuang pandang ke pekarangan, seketika meraung. Mardi, mengulum senyum seperti menyimpan sesuatu. Sepotong senja menggantung. Tiga ekor burung gagak berkoak-koak, terbang dan kemudian menukik, memutari surau sebelum akhirnya hinggap di beranda surau hingga membuat Suliman terpana, seperti tak percaya.
 
“Sabar, Sul,” Mardi menyeringai, “Azan kalau sudah magrib.”
 
Mardi pergi. Suliman menatap nanar. Sepotong senja menyusut. Tiba-tiba dari balik jelaga awan yang berarak, seperti menyeruak sepotong senja dengan percikan cahaya merah kesumba. Aneh, gumam Suliman. Seekor burung gagak melintas. Sejenak ia beranjak. Berjalan ke arah barat, dan kembali menatap dengan nanap. Sontak, ia seperti disergap pikiran-pikiran aneh: percakapan bersama Mardi, gurunya mengaji, dan anak-anak, yang tak jemu mengejeknya sebagai anak tak berbapak, tak beribu. Perlahan, percikan-percikan cahaya senja itu seketika tersekap gelap.
 
Petang di pekarangan menyebabkan kunang-kunang berkerubung, magrib pun tiba, Suliman beranjak, namun ketika tiba di bawah kudung pintu, kembali ia berdiri, seolah sesuatu yang lain kembali merasuk, dan spontan ia seperti menemukan jalan keluar dari cerca dan caci yang selama ini tak lekang menandanginya: ia tatap langit-langit surau itu lekat-lekat.
 
Seperti seorang pesilat dengan cekatan ia memanjat lewat jendela, setelah mengikat erat ujung sarung, yang sering ia pakai saat bersembahyang pada salah satu usuk, sekarang Suliman mengikat antara ujung sarungnya hingga tampak seperti sebuah kalung. Sesudah itu, Suliman turun, dan pergi ke jamban, tak lama berselang kembali Suliman masuk ke dalam surau dengan wajah basah. Suliman menggelar sajadah, sehabis sholat, wajah Suliman tampak lebih tenang, sangat tenang. Sambil mengulum senyum, Suliman menatap bundelan sarung yang menyerupa kalung itu, dan perlahan-lahan ia memanjati jendela seraya berdoa, Suliman memasukkan lehernya pada sarung yang terikat kuat sebelum akhirnya menjatuhkan kakinya dari sela kudung jendela.

Yogyakarta, Oktober 2008-Maret 2009. http://sastra-indonesia.com/2010/03/pulung-gantung/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah