Anash
Drama
ini menceritakan sepasang suami-isteri yang terlibat adu mulut di dalam ruang
makan. Dalam isi percakapan mereka, suami-isteri ini menirukan beberapa
penggalan naskah drama dan kutipan pendapat tokoh Indonesia. Drama ini dibagi
ke dalam beberapa adegan yaitu Jakarta 1988, Jakarta 1988-1963 (Kutipan
pendapat Soekarno dan surat Mohammad Hatta mengenai pers), Kemustahilan yang
Melukai (Kutipan drama “Caligula”), Majapahit Jam 11 Malam (Kutipan drama
“Sandhyakala Ning Majapahit”), Pidato Muhammad Hatta: “Tanggung Jawab Moral
Kaum Intelagensia”, nyanyian Franky Silahatua: “Langit Malam”, dan Jakarta Jam
11 Malam.
Ada persamaan tema dalam penggalan drama yang mereka perankan, yaitu
kegetiran terhadap pemerintah Indonesia zaman orde lama dan orde baru. Dialog-dialognya
menggambarkan kritik tajam terhadap kekejaman pemerintah yang sangat otoriter.
Saat itu orang-orang yang tidak suka akan kinerja dan tindakan pemerintah
dibunuh lalu dibuang. Biasanya pada bagian awal naskah drama, penulis naskah
menuliskan prolog yang menggambarkan settingpanggung dan latar belakang
peristiwa. Akan tetapi, sang editor, Afrizal Malna, menuliskan pendahuluan yang
isinya adalah ide awal dia membuat drama ini. Dari pendahuluan tersebut—sebagai
pembaca naskah drama—kita jadi tahu bahwa yang ingin disampaikan Afrizal Malna
adalah interpretasi yang bebas. Interpretasi yang bebas maksudnya adalah sudut
pandang pembaca tidak harus satu atau sama. Interpretasinya bisa apa saja
tergantung darimana pembaca melihat angledrama ini.Drama ini tergolong dalam
drama absurd karena dialognya sulit dipahami. Walaupun begitu, kita masih bisa
menyimpulkan maksud dialognya setelah membacanya secara keseluruhan. Pada
adegan Jakarta 1988, dialognya menggambarkan betapa otoriternya pemimpin
Indonesia—dalam hal ini adalah Soekarno dan Soeharto. Sang isteri
mendialogkannya dalam gelap sebagai gambaran akan gelapnya bukti-bukti fisik
kekejaman pemerintah. Selain itu, Afrizal Malna membuat suasana gelap pada
bagian ini karena tokoh-tokoh yang sangat otoriter itu memang tidak diketahui
wajahnya, cuma diketahui asal suaranya. Berikut penggalan dialognya.
Dalam
gelap terdengar suara wanita berkata seperti percakapan di tengah malam: “Saya
tidak bisa menyelesaikan masalah ini melalui musyawarah, seperti yang anda sarankan.
Apa yang bisa dihasilkan dari sebuah musyawarah? Musyawarah hanya akan membuat
kita menghina kemampuan kita sendiri. Sekarang jalankan saja apa yang saya
inginkan dan saya perintahkan. Kalau tidak? Apa boleh buat, saya terpaksa harus
menyingkirkan Anda bukan. Hanya itulah cara agar anda bisa melihat saya dengan
jelas, dan saya pun melihat anda dengan jelas.” (hlm.4-5)
Pada adegan dua, Jakarta 1988-1963, dialognya adalah kutipan pendapat Soekarno dan Surat Mohammad Hatta mengenai pers. Menurut kami, dialog ini adalah sindiran Soekarno-Hatta terhadap pers yang saat itu mulai berani untuk menyiarkan kondisi pemerintahan. Soekarno-Hatta merasa bahwa pers belum bisa menilai pemerintah dengan penilaian yang subjektif. Afrizal Malna ingin menggambarkan kegetiran ini melalui dialog antara Suami, berperan sebagai Hatta, dan Isteri, berperan sebagai Soekarno. Berikut dialognya:
Suami:
“Darimana anak itu menjual koran-koran yang telah dibredel?”Isteri: “Revolusi
memerlukan kepemimpinan. Oleh karena itu, kami masih dalam taraf revolusi
ekonomi. Aku tidak mengizinkan kritik-kritik yang merusak tentang
kepemimpinanku, begitu pun aku tidak mengizinkan kemerdekaan pers. Tentara
manakah yang mengizinkan seorang prajurit menelanjangi jenderalnya di muka
umum, hal yang akan menjatuhkan kehormatan dan kepercayaan terhadapnya?
Tindakan demikian itu tidak dibenarkan bukan karena jenderal itu sombong,
melainkan sikap prajurit seperti ini dapat menghambat keutuhan psikologis dari
seluruh tentara, menimbulkan keragu-raguan dan ketiadaan kepercayaan. Saya
berpendapat sekarang bahwa saya tidak akan mengizinkan kemerdekaan yang bebas,
yang memberikan kebebasan kepada pers untuk membunuh kepala negaranya dengan
ditonton oleh seluruh dunia.Di satu negeri baru yang masih bayi seperti negara
kami, hal yang demikian dapat menghacurleburkan kami.”Suami: “Selama masa
penjajahan Belanda, segala-galanya dikontrol pemerintah kolonial Belanda
melalui sensor, penyitaan, dan tekanan. Jaksa Agung memiliki kekuasaan politis
untuk mengawasi gerakan nasional dan pers. Gubernur Jenderal mempunyai hak
mengirimkan siapa pun ke tempat pembuangan tanpa pemeriksaan pengadilan, jika
dianggapnya ia berbahaya bagi keelamatan negara. Waktu itu tidak ada radio,
tidak ada TV. Satu-satunya media massa adalah surat kabar dan
pertemuan-pertemuan. Pertemuan terbuka tidak diperbolehkan. Setiap pertemuan
harus diadakan di tempat terbatas, yang selalu dihadiri polisi untuk mengawasi.
Dan ia dapat menghentikan seorang pembicara atau melarang pertemuan itu, jika
dianggapnya seorang pembicara terlampau tajam menyoroti pemerintah.” (hlm.5-6)
Dari
penggalan dialog adegan Jakarta 1988-1963, kita beralih ke adeganKemustahilan
yang Melukai. Dalam adegan ini, Afrizal Malna ingin menyampaikan lembaran kelam
pemerintah yang lain yaitu kekejaman para pejabat. Pada masa orde lama maupun
orde baru, banyak sekali kasus hilangnya orang-orang dan pembunuhan berencana.
Dialog dalam adegan ini menceritakan keresahan suami—berperan sebagai raja yang
telah membunuh banyak orang demi keutuhan posisi—terhadap dendam
rakyat-rakyatnya. Afrizal Malna mencoba menghadirkan realita seorang pejabat
pemerintah yang ketakutan akan datangnya azab, tetapi masih tetap ingin
membunuh demi mempertahankan posisi dan memperkaya diri. Berikut salah satu contoh
dialog dalam adegan Kemustahilan yang Melukai.
Suami:
“Kebodohan tidak membunuh. Kebodohan hanya memperlambat manusia bertindak.
Tetapi ia bisa berbahaya sekalii, Caesonia. Seorang dungu tidak bisa dihalangi
jika merasa martabatnya telah tersinggung. Bukan mereka yang ayahnya atau yang
anaknya telah aku bunuh yang akan membunuhku. Tetapi yang lain, merka yang
telah aku jadikan sebagai bahan tertawaan yang akan membunuhku.” (hlm.10).
Dalam dialog ini, suami berperan sebagai Caligula, raja yang diktaktor dan
sangat kejam. Penggalan dialog itu menyatakan bahwa Sang suami—yang sedang
berperan menjadi Caligula—takut akan balasan dari rakyat-rakyatnya yang ia
sengsarakan. Dialog itu adalah kritikan terhadap pemerintahan masa orde lama
dan orde baru. Pada masa itu, setiap orang harus taat terhadap apapun kebijakan
pemerintah dan tidak boleh meng-kritik apapun.Dialog adegan berikutnya adalah
Majapahit Jam 11 Malam. Pada bagian ini, Afrizal Malna mencoba memberikan
gambaran harapan orang-orang Indonesia akan datangnya seorang pahlawan yang
dapat menyudahi ke-bobrok-an pemerintah. Dalam adegan ini, suami-isteri
terlibat percakapan membahas tentang asal-usul Brahma. Suami berperan sebagai
Damar Wulan dan Isteri berperan sebagai Maharesi. Setelah mereka terlibat
percakapan panjang, latar pun berubah ke settingkerajaan Majapahit. Pada bagian
ini, mereka tidak lagi berdialog berdua saja. Terdapat suara-suara yang
menggambarkan suasana rapat di kerajaan Majapahit. Rapat ini membahas Damar
Wulan—yang keberadaannya mengancam kerajaan.Pada adegan kelima, Afrizal Malna
menggambarkan bentuk harapan orang-orang Indonesia. Bentuk harapan itu
diwujudkan dengan pidato Bung Hatta saat peresmian Universitas Indonesia. Suami
berperan sebagai Hatta yang pura-puranya sedang berdialog di depan civitas UI.
Inti pidato tersebut adalah himbauan Hatta terhadap Universitas Indonesia
sebagai sebuah instansi yang akan menghasilkan penerus-penerus bangsa.Pada
adegan terakhir, Jakarta Jam 11 Malam, diceritakan para tokoh berdialog dengan kata
“KWAK”. “KWAK” disini bisa diartikan apapun. Pada adegan terakhir ini,
kesimpulan diserahkan kepada pembaca. Menurut kami, Afrizal Malna memberikan
para pembaca sebuah realitas yang tidak bisa dipungkiri lagi. Realitas itu
adalah kondisi bangsa Indonesia sekarang yang masih saja bobrok.
Harapan-harapan yang semula sangat dipercaya dapat mengubah kondisi bangsa
Indonesia, tetap saja hanya harapan. Nasib bangsa Indonesia yang katanya akan
berubah seiring dengan lahirnya anak-anak bangsa, ternyata tetap saja tidak
mengubah apapun.Afrizal Malna menciptakan alur yang dapat dibilang tersusun
rapi sesuai dengan amanat yang ingin disampaikan. Alur dengan tema-tema yang
berbeda di setiap adegannya terbilang cukup unik karena pembaca dapat
menyimpulkan satu-persatu sesuai urutan adegan. Dialog-dialognya adalah poin
penting yang menjadi ujung tombak dalam penceritaannya. Walaupun Afrizal Malna
hanya sebagai editor, tetapi ia telah berhasil membuat drama Pertumbuhan di
Atas Meja Makan menjadi sebuah drama yang menarik. Amanat yang ingin
disampaikannya pun cukup mendalam. Keprihatinan dan kepeduliannya terhadap
nasib bangsa menjadi alasannya untuk membuat drama ini.
http://masturbasikata.blogspot.com/2013/06/analisis-dialog-dalam-drama-absurd.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar