Selasa, 29 Januari 2019

Analisis Dialog dalam Drama Absurd Pertumbuhan di Atas Meja Makan

Anash


Drama ini menceritakan sepasang suami-isteri yang terlibat adu mulut di dalam ruang makan. Dalam isi percakapan mereka, suami-isteri ini menirukan beberapa penggalan naskah drama dan kutipan pendapat tokoh Indonesia. Drama ini dibagi ke dalam beberapa adegan yaitu Jakarta 1988, Jakarta 1988-1963 (Kutipan pendapat Soekarno dan surat Mohammad Hatta mengenai pers), Kemustahilan yang Melukai (Kutipan drama “Caligula”), Majapahit Jam 11 Malam (Kutipan drama “Sandhyakala Ning Majapahit”), Pidato Muhammad Hatta: “Tanggung Jawab Moral Kaum Intelagensia”, nyanyian Franky Silahatua: “Langit Malam”, dan Jakarta Jam 11 Malam.
Ada persamaan tema dalam penggalan drama yang mereka perankan, yaitu kegetiran terhadap pemerintah Indonesia zaman orde lama dan orde baru. Dialog-dialognya menggambarkan kritik tajam terhadap kekejaman pemerintah yang sangat otoriter. Saat itu orang-orang yang tidak suka akan kinerja dan tindakan pemerintah dibunuh lalu dibuang. Biasanya pada bagian awal naskah drama, penulis naskah menuliskan prolog yang menggambarkan settingpanggung dan latar belakang peristiwa. Akan tetapi, sang editor, Afrizal Malna, menuliskan pendahuluan yang isinya adalah ide awal dia membuat drama ini. Dari pendahuluan tersebut—sebagai pembaca naskah drama—kita jadi tahu bahwa yang ingin disampaikan Afrizal Malna adalah interpretasi yang bebas. Interpretasi yang bebas maksudnya adalah sudut pandang pembaca tidak harus satu atau sama. Interpretasinya bisa apa saja tergantung darimana pembaca melihat angledrama ini.Drama ini tergolong dalam drama absurd karena dialognya sulit dipahami. Walaupun begitu, kita masih bisa menyimpulkan maksud dialognya setelah membacanya secara keseluruhan. Pada adegan Jakarta 1988, dialognya menggambarkan betapa otoriternya pemimpin Indonesia—dalam hal ini adalah Soekarno dan Soeharto. Sang isteri mendialogkannya dalam gelap sebagai gambaran akan gelapnya bukti-bukti fisik kekejaman pemerintah. Selain itu, Afrizal Malna membuat suasana gelap pada bagian ini karena tokoh-tokoh yang sangat otoriter itu memang tidak diketahui wajahnya, cuma diketahui asal suaranya. Berikut penggalan dialognya.


Dalam gelap terdengar suara wanita berkata seperti percakapan di tengah malam: “Saya tidak bisa menyelesaikan masalah ini melalui musyawarah, seperti yang anda sarankan. Apa yang bisa dihasilkan dari sebuah musyawarah? Musyawarah hanya akan membuat kita menghina kemampuan kita sendiri. Sekarang jalankan saja apa yang saya inginkan dan saya perintahkan. Kalau tidak? Apa boleh buat, saya terpaksa harus menyingkirkan Anda bukan. Hanya itulah cara agar anda bisa melihat saya dengan jelas, dan saya pun melihat anda dengan jelas.” (hlm.4-5)


Pada adegan dua, Jakarta 1988-1963, dialognya adalah kutipan pendapat Soekarno dan Surat Mohammad Hatta mengenai pers. Menurut kami, dialog ini adalah sindiran Soekarno-Hatta terhadap pers yang saat itu mulai berani untuk menyiarkan kondisi pemerintahan. Soekarno-Hatta merasa bahwa pers belum bisa menilai pemerintah dengan penilaian yang subjektif. Afrizal Malna ingin menggambarkan kegetiran ini melalui dialog antara Suami, berperan sebagai Hatta, dan Isteri, berperan sebagai Soekarno. Berikut dialognya:

Suami: “Darimana anak itu menjual koran-koran yang telah dibredel?”Isteri: “Revolusi memerlukan kepemimpinan. Oleh karena itu, kami masih dalam taraf revolusi ekonomi. Aku tidak mengizinkan kritik-kritik yang merusak tentang kepemimpinanku, begitu pun aku tidak mengizinkan kemerdekaan pers. Tentara manakah yang mengizinkan seorang prajurit menelanjangi jenderalnya di muka umum, hal yang akan menjatuhkan kehormatan dan kepercayaan terhadapnya? Tindakan demikian itu tidak dibenarkan bukan karena jenderal itu sombong, melainkan sikap prajurit seperti ini dapat menghambat keutuhan psikologis dari seluruh tentara, menimbulkan keragu-raguan dan ketiadaan kepercayaan. Saya berpendapat sekarang bahwa saya tidak akan mengizinkan kemerdekaan yang bebas, yang memberikan kebebasan kepada pers untuk membunuh kepala negaranya dengan ditonton oleh seluruh dunia.Di satu negeri baru yang masih bayi seperti negara kami, hal yang demikian dapat menghacurleburkan kami.”Suami: “Selama masa penjajahan Belanda, segala-galanya dikontrol pemerintah kolonial Belanda melalui sensor, penyitaan, dan tekanan. Jaksa Agung memiliki kekuasaan politis untuk mengawasi gerakan nasional dan pers. Gubernur Jenderal mempunyai hak mengirimkan siapa pun ke tempat pembuangan tanpa pemeriksaan pengadilan, jika dianggapnya ia berbahaya bagi keelamatan negara. Waktu itu tidak ada radio, tidak ada TV. Satu-satunya media massa adalah surat kabar dan pertemuan-pertemuan. Pertemuan terbuka tidak diperbolehkan. Setiap pertemuan harus diadakan di tempat terbatas, yang selalu dihadiri polisi untuk mengawasi. Dan ia dapat menghentikan seorang pembicara atau melarang pertemuan itu, jika dianggapnya seorang pembicara terlampau tajam menyoroti pemerintah.” (hlm.5-6)


Dari penggalan dialog adegan Jakarta 1988-1963, kita beralih ke adeganKemustahilan yang Melukai. Dalam adegan ini, Afrizal Malna ingin menyampaikan lembaran kelam pemerintah yang lain yaitu kekejaman para pejabat. Pada masa orde lama maupun orde baru, banyak sekali kasus hilangnya orang-orang dan pembunuhan berencana. Dialog dalam adegan ini menceritakan keresahan suami—berperan sebagai raja yang telah membunuh banyak orang demi keutuhan posisi—terhadap dendam rakyat-rakyatnya. Afrizal Malna mencoba menghadirkan realita seorang pejabat pemerintah yang ketakutan akan datangnya azab, tetapi masih tetap ingin membunuh demi mempertahankan posisi dan memperkaya diri. Berikut salah satu contoh dialog dalam adegan Kemustahilan yang Melukai.



Suami: “Kebodohan tidak membunuh. Kebodohan hanya memperlambat manusia bertindak. Tetapi ia bisa berbahaya sekalii, Caesonia. Seorang dungu tidak bisa dihalangi jika merasa martabatnya telah tersinggung. Bukan mereka yang ayahnya atau yang anaknya telah aku bunuh yang akan membunuhku. Tetapi yang lain, merka yang telah aku jadikan sebagai bahan tertawaan yang akan membunuhku.” (hlm.10).


Dalam dialog ini, suami berperan sebagai Caligula, raja yang diktaktor dan sangat kejam. Penggalan dialog itu menyatakan bahwa Sang suami—yang sedang berperan menjadi Caligula—takut akan balasan dari rakyat-rakyatnya yang ia sengsarakan. Dialog itu adalah kritikan terhadap pemerintahan masa orde lama dan orde baru. Pada masa itu, setiap orang harus taat terhadap apapun kebijakan pemerintah dan tidak boleh meng-kritik apapun.Dialog adegan berikutnya adalah Majapahit Jam 11 Malam. Pada bagian ini, Afrizal Malna mencoba memberikan gambaran harapan orang-orang Indonesia akan datangnya seorang pahlawan yang dapat menyudahi ke-bobrok-an pemerintah. Dalam adegan ini, suami-isteri terlibat percakapan membahas tentang asal-usul Brahma. Suami berperan sebagai Damar Wulan dan Isteri berperan sebagai Maharesi. Setelah mereka terlibat percakapan panjang, latar pun berubah ke settingkerajaan Majapahit. Pada bagian ini, mereka tidak lagi berdialog berdua saja. Terdapat suara-suara yang menggambarkan suasana rapat di kerajaan Majapahit. Rapat ini membahas Damar Wulan—yang keberadaannya mengancam kerajaan.Pada adegan kelima, Afrizal Malna menggambarkan bentuk harapan orang-orang Indonesia. Bentuk harapan itu diwujudkan dengan pidato Bung Hatta saat peresmian Universitas Indonesia. Suami berperan sebagai Hatta yang pura-puranya sedang berdialog di depan civitas UI. Inti pidato tersebut adalah himbauan Hatta terhadap Universitas Indonesia sebagai sebuah instansi yang akan menghasilkan penerus-penerus bangsa.Pada adegan terakhir, Jakarta Jam 11 Malam, diceritakan para tokoh berdialog dengan kata “KWAK”. “KWAK” disini bisa diartikan apapun. Pada adegan terakhir ini, kesimpulan diserahkan kepada pembaca. Menurut kami, Afrizal Malna memberikan para pembaca sebuah realitas yang tidak bisa dipungkiri lagi. Realitas itu adalah kondisi bangsa Indonesia sekarang yang masih saja bobrok. Harapan-harapan yang semula sangat dipercaya dapat mengubah kondisi bangsa Indonesia, tetap saja hanya harapan. Nasib bangsa Indonesia yang katanya akan berubah seiring dengan lahirnya anak-anak bangsa, ternyata tetap saja tidak mengubah apapun.Afrizal Malna menciptakan alur yang dapat dibilang tersusun rapi sesuai dengan amanat yang ingin disampaikan. Alur dengan tema-tema yang berbeda di setiap adegannya terbilang cukup unik karena pembaca dapat menyimpulkan satu-persatu sesuai urutan adegan. Dialog-dialognya adalah poin penting yang menjadi ujung tombak dalam penceritaannya. Walaupun Afrizal Malna hanya sebagai editor, tetapi ia telah berhasil membuat drama Pertumbuhan di Atas Meja Makan menjadi sebuah drama yang menarik. Amanat yang ingin disampaikannya pun cukup mendalam. Keprihatinan dan kepeduliannya terhadap nasib bangsa menjadi alasannya untuk membuat drama ini.


http://masturbasikata.blogspot.com/2013/06/analisis-dialog-dalam-drama-absurd.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah