Riri Satria
Ini adalah pengantar saya untuk buku antologi puisi
“Narasi Sepasang Kaos Kaki” karya Winar Ramelan, penerbit Teras Budaya, Januari
2017, ISBN : 978-602-1226-69-8.
Ketika Penerbit Teras Budaya
meminta saya untuk memberikan kata pengantar untuk buku antologi puisi tunggal
sahabat saya Winar Ramelan – yang berjudul “Narasi Sepasang Kaos Kaki” – maka
saya pun tertegun sejenak. Menulis pengantar di sebuah buku antologi puisi? Apa
tidak salah ini?
Ada beberapa hal yang membuat saya agak ragu pada
awalnya untuk menuliskan pengantar ini. Pertama, saya bukanlah seorang penyair
kawakan yang punya otoritas untuk mengomentari karya puisi orang lain. Kedua,
saya memang belum pernah menuliskan pengantar untuk sebuah buku antologi puisi.
Tetapi setelah saya berdiskusi dengan Bang Remmy
Novaris selaku punggawa Penerbit Teras Budaya dan Mbak Nunung Noor El Niel yang
melakukan kurasi atas puisi-puisi karya Winar untuk dimuat pada antologi ini,
saya akhirnya menyanggupi.
Ada beberapa latar belakang yang membuat saya
menyanggupinya. Pertama, saya mengenal Winar Ramelan sejak tahun 2011 di media
sosial Facebook. Selama berteman di Facebook, kami sering saling mengomentari
puisi dan mendiskusikan puisi orang lain.
Saat itu saya dan Winar sama-sama menggunakan nama
pena dan belum tampil dengan nama sendiri. Winar menggunakan nama pena yang
apik, yaitu Dewi Tunjung Biru dan baru menggunakan nama Winar Ramelan sejak
awal tahun 2014.
Kedua, sejak tahun 2011 saya banyak berdiskusi dengan
Winar alias Dewi Tunjung Biru tentang makna puisi (bukan hanya sekedar
mengomentari puisi), sehingga saya memahami bagaimana Winar menempatkan puisi
dalam kehidupannya yang tidak hanya berfungsi sebagai sebuah karya semata.
Walaupun mengaku sebagai “pemain alam” di dunia puisi, tetapi menurut saya,
Winar memiliki suatu pemahaman filosofis yang menarik tentang karya sastra,
terutama puisi.
Ketiga, saya ingat bahwa Winar pernah sejenak
menghilang dari Facebook selama setahun pada pertengahan tahun 2012 sampai
2013. Akun Dewi Tunjung Biru tidak aktif di Facebook dan juga nomor kontaknya
sehingga tidak bisa dihubungi. Setelah muncul kembali di Facebook, Winar banyak
bercerita kepada saya mengenai apa yang terjadi.
Rupanya Winar jatuh sakit dan puisi banyak memberikan
kontribusi kepada proses penyembuhannya. Ini adalah suatu sisi yang menarik
untuk dibahas dan dieksplorasi lebih lanjut.
Keempat, saya diminta bukan untuk membahas puisi
Winar, melainkan sosok Winar dengan puisi dan bagaimana cara pandang Winar
terhadap puisi. Nah, ini yang menarik, karena saya harus mengingat kembali
banyak hal di masa lalu yang merupakan data historikal tentang Winar.
Setelah saya pikir, bukan suatu kebetulan Winar menggunakan nama pena Dewi Tunjung Biru sebelumnya. Saya melakukan studi literatur dan mendapatkan bahwa dalam kepercayaan Hindu, bunga Tunjung atau Teratai memiliki makna yang sangat sakral.
Tunjung dianggap sebagai simbol tiga dunia, yaitu di
Bhur Loka atau alam bawah yang umumnya tak terlihat atau tersembunyi, tumbuh di
Bwah Loka atau alam tengah yang sarat dengan proses dan dinamika, lalu
menghasilkan bunga Tunjung indah di Swah Loka atau alam atas yang terlihat oleh
seluruh manusia dan makhluk hidup lainnya.
Tumbuhan ini dipandang manifestasi dari Tri Loka atau satu kesatuan tempat hidup yang memberikan pesan bahwa keindahan dalam bentuk bunga mekar yang mencuat ke udara hanyalah bentuk akhir sebuah pertumbuhan yang berproses di dalam air, bahkan lumpur, yang umumnya tak terlihat secara kasat mata oleh manusia.
Bunga Tunjung ternyata ada beberapa jenis. Tunjung
Biru adalah lambang ilmu pengetahuan, kemampuan seseorang mengendalikan
pemikiran, melepaskan diri dari aspek materialism dan menuju kesempurnaan jiwa.
Konon bunga Tunjung Biru tidak sepenuhnya terbuka. Ini melambangkan bahwa seseorang tidak boleh berhenti untuk belajar untuk mencapai kebijaksanaan dalam hidup.
Sewaktu ketemu Winar pertama kalinya menjelang akhir tahun 2015 di Lapangan Puputan Badung di kota Denpasar tempat Winar bermukim, saya banyak berbincang dengannya sambil minum santai minum teh di pagi hari.
Ada beberapa hal yang menarik saya catat terkait dengan puisi.
Pertama, buat Winar, puisi adalah suatu aktivitas spiritual. Buat saya, ini tentu tidak mengherankan. Sebagai pemeluk Hindu yang taat, Winar menggunakan nama pena Dewi Tunjung Biru tentu bukan tanpa alasan. Winar mengatakan bahwa menulis puisi adalah proses pembelajaran sekaligus pengalaman spiritual bagi dirinya.
Seperti halnya bunga Tunjung Biru yang tidak pernah sepenuhnya terbuka yang berarti bahwa seseorang tidak boleh berhenti untuk belajar untuk mencapai kebijaksanaan dalam hidup.
Kalau kita amati puisi-puisi Winar pada buku antologi ini, memang banyak puisi yang bernuansa spiritual. Misalnya:
Tubuhku adalah semesta
Tempat engkau membuat jejak
Tempat engkau berlayar dan melepas sauhmu pada
palungku
(Tubuhku Adalah Semesta)
Kedua, buat Winar, puisi adalah wahana untuk
penyembuhan diri. Rupanya ketika menghilang dari Facebook pada pertengahan
tahun 2012 sampai pertengahan 2013, Winar mengalami amnesia. Dia sampai lupa
dengan banyak hal, baik orang-orang sekitar, apalagi orang-orang jauh, bahkan juga
tidak bisa menulis karena tidak paham huruf-huruf atau alphabet dan angka-angka.
Dengan kemauan yang keras dibantu oleh orang-orang
tercinta di sekitarnya, Winar perlahan-lahan kembali mencoba mengingat huruf
dan angka, serta belajar menulis kembali. Dia mencoba menulis puisi kembali,
walaupun banyak salah huruf, tetapi lama-kelamaan semua ingatan itu kembali.
Belakangan, Winar memperlihatkan kepada saya tulisan tangannya ketika dia belajar menulis kembali. Dokter yang merawatnya pun takjub dengan kemajuan penyembuhan Winar.
Ketika dengan Winar tahun 2015 itu, sambil bercanda saya bertanya apakah dia masih ingat saya. Sambil tersenyum Winar mengatakan masih ingat, bahkan dia menyebutkan nama pena saya dulu, serta beberapa puisi saya yang rupanya masih dia ingat. Bahkan beberapa diskusi kami tentang puisi masih diingatnya.
Buat saya, tidak terlihat sama sekali jejak Winar pernah kena amnesia. Winar Ramelan alias Dewi Tunjung Biru telah kembali dengan puisinya!
Pada bulan November 2015, saya mengajak Winar bergabung dengan grup Dapur Sastra Jakarta (DSJ), dan sejak itu karya-karya Winar pun mulai muncul di grup DSJ di media sosial Facebook.
Sebelumnya Winar sudah terlebih dahulu aktif di grup Kumandang Sastra Semarang (KuSaS) dan beberapa kali puisinya dibacakan oleh Mas Didiek Soepardi di RRI Semarang dalam acara Kumandang Sastra.
Puisi bukanlah sekedar menulis kata-kata, demikian keyakinan yang dianut oleh sosok Winar Ramelan. Puisi bermakna spiritual dan juga membantu proses penyembuhan.
Akhirnya, saya mengucapkan selamat atas terbitnya buku antologi pertama sahabat saya Winar Ramelan yang berjudul “Narasi Sepasang Kaos Kaki”. Akhirnya perjalanan panjang menulis itu sampai juga kepada terbitnya sebuah buku.
Buku yang tidak hanya berisikan bait kata-kata dalam
wujud puisi, melainkan sarat dengan pesan yang ingin disampaikan di balik itu.
Tetapi saya protes satu hal kepada Winar dan juga Mbak Nunung sebagai kurator, mengapa pada buku antologi pertama ini, Winar hanya memuat puisi yang baru-baru (tahun 2015-2016)? Justru puisi Winar yang ditulis tahun 2011-2014 berkisah tentang banyak hal dan sejatinya jadi buku antologi puisi pertama Winar.
Ternyata memang puisi lama yang dia tulis itu banyak berserakan dan harus ditata bahkan ada yang harus dicari kembali. Tentu ini bisa dimaklumi. Winar menjanjikan, buku antologi puisi keduanya akan berisikan puisi-puisi yang lama itu.
Sebagai penutup, saya ingin menuliskan potongan dari sebuah puisi yang pernah saya tulis bersama Winar beberapa tahun yang lalu.
kata demi kata kita susun
berteman angin yang menggoda
malam
bait-bait itu berpola jejak
menelusuri jalan setapak
di bawah naungan nada hening
jejak-jejak tak terhapus
waktu tak mampu menggerus
gelombang pasang tak mampu menghempas
ada keabadian tertulis
di silir angin yang bernyanyi
di hamparan semesta
(dari Bait Kata di Jejak Jalan Setapak – Winar Ramelan dan Riri Satria – 25/02/2014)
________
Cibubur, 11 Januari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar