A.S. Laksana *
Jawa Pos 8/02/2015
"APA masalah sastra Indonesia menurut Anda?’’ Itu pertanyaan yang sesungguhnya tidak tepat ditujukan kepada saya. Saya bukan orang yang tekun mengamati sastra Indonesia. Namun, saya menjawab juga pertanyaan itu karena dia bertanya. Saya menjawab: Sama dengan masalah persepakbolaan di negara ini, sama dengan masalah pendidikan, sama dengan masalah kemacetan di Jakarta, sama dengan masalah pemberantasan korupsi, sama dengan masalah-masalah lain yang tidak kunjung bisa dibereskan.
Kami bertemu pekan lalu. Dia datang dari Jerman untuk mewawancarai para penulis Indonesia karena tahun ini Indonesia menjadi tamu kehormatan pada Frankfurt Book Fair.
’’Kami memberikan nyaris seluruh perhatian dan memeras pikiran untuk politik,’’ kata saya. Itu jawaban yang tampak tidak relevan, tetapi menurut saya memang begitu. Masalah sastra, juga masalah-masalah lain di luar sastra, di negara ini muncul karena perpolitikan kita gagal menumbuhkan harapan bahwa negara ini bisa diperbaiki. Dan kita tidak pernah memikirkan pelbagai urusan lain secara sungguh-sungguh karena terlalu banyak energi dan pikiran yang disedot oleh urusan politik.
Satu pertanyaan yang lain adalah siapa penulis Indonesia yang paling layak diperkenalkan kepada dunia. Saya katakan semua. Semua orang yang menulis dengan sungguh-sungguh patut diperkenalkan. Kita tidak pernah memperkenalkan para penulis kita sendiri ke dunia yang lebih luas. Internet memungkinkan untuk itu. Iran melakukannya. China melakukannya. Bahkan, para penulis Afghanistan melakukannya. Di awal 2000-an, saya pernah menemukan situs web para penulis Afghanistan dalam bahasa Inggris. Dari situs web itu, kita bisa membaca cerita-cerita mutakhir mereka, para penulis dari negara yang situasinya sangat mencekam.
Mestinya kita memperkenalkan diri dengan cara seperti itu juga. Setidaknya, ada situs web berbahasa Inggris yang memperkenalkan karya para penulis Indonesia. Tetapi, hal itu tidak akan terpikirkan jika kita tidak pernah memberikan perhatian. Lagi-lagi, urusan politik terlalu menguras kita. Pernyataan-pernyataan para politikus sungguh merusak bahasa dan hampir setiap hari ada saja pernyataan yang membuat kita marah. Pernyataan para politikus itu dan cara mereka berbahasa sama belaka kelasnya dengan remaja galau.
Mari sedikit mencermati bahasa yang dituturkan orang. Seorang gadis yang merasa nasibnya buruk mungkin suatu saat mengatakan, ’’Semua lelaki tak bisa dipercaya.’’ Kita tahu ada generalisasi di sana. Tidak mungkin dia mengenal semua lelaki di dunia ini. Tidak mungkin dia mempunyai pengalaman menyakitkan dengan semua lelaki di dunia ini. Kita juga tahu bahwa kalimat itu menyimpan pengalaman atau kejadian tertentu di lapis bawah permukaannya. Gadis itu barangkali memiliki satu, atau dua, atau tiga pengalaman dengan lelaki dan dia dikecewakan. Lalu, dengan pengalamannya yang sedikit itu, dia membuat kesimpulan yang dia berlakukan untuk ’’semua lelaki’’.
Bahasa tutur orang, Anda tahu, sering mengandung unsur generalisasi semacam itu. Menteri Tedjo, anggota kabinet yang cukup produktif berkata-kata, juga seperti itu. Seolah-olah meyakini bahwa orang ingin mendengar pendapatnya, suatu hari dia melontarkan pernyataan tentang ’’Dukungan rakyat yang tidak jelas’’.
Saya menduga, Pak Menteri itu belum lama diturunkan di dunia ini. Mungkin umurnya baru beberapa hari dan dia belum memiliki pengalaman yang memadai. Kalimatnya memiliki lapisan kosong, sebuah growong yang besar sekali, di lapisan bawahnya. Dia jelas tidak memahami arti people power, dia belum lahir ketika Presiden Jokowi memenangi pemilihan presiden karena dukungan rakyat, dan dia tidak pernah membaca Pangeran Kecil karya penulis Prancis Antoine de Saint-Exupery. Jika Pak Menteri membaca novel itu, dia akan mendapati adegan seorang raja yang sedih karena hanya sendirian di negerinya dan tidak memiliki rakyat.
Belakangan, Menteri Tedjo mengeluarkan lagi kalimat, ’’Pegawai KPK seperti buruh.’’ Kalimat itu pasti menyimpan persepsi tertentu di lapisan bawah, menyiratkan pemahaman yang kurang baik atau keganjilan cara pandang terhadap kosakata buruh.
Saya yakin dia tidak akan berhenti bicara dan masih akan memproduksi pernyataan-pernyataan lain yang lebih mencengangkan. Dalam memahami kecenderungan seperti itu, saya sepenuhnya mempercayai Einstein: ’’Ada dua hal yang tak punya batas. Yang pertama adalah alam semesta dan yang kedua adalah kebodohan manusia. Untuk yang pertama, saya masih kurang yakin.’’
Sikap paling bijaksana dalam berurusan dengan Menteri Tedjo, saya kira, adalah menunggu saja. Dia pasti bicara lagi. Bicara lagi. Bicara lagi. Sekiranya ada banyak orang seperti dia, kita bisa menyusun buku kumpulan kutipan dengan judul Kumpulan Kutipan Paling Njelehi di Dunia Fana Ini. Itu bisa menjadi buku laris jika Anda menerbitkannya dan Anda tergolong orang yang bernasib bagus.
Mungkin Menteri Tedjo adalah salah satu nasib buruk bagi negara ini, di luar beberapa nama yang lain. Dia hadir tanpa diduga-duga. Tetapi, nasib buruk memang sering muncul tanpa kita duga.
Beberapa waktu lalu, sebelum kabinet diumumkan, kita mendapati selebaran, semacam poling, yang dibikin untuk menjaring pendapat masyarakat tentang nama-nama yang layak mengisi posisi di kementerian-kementerian tertentu. Saya agak senang dengan hal itu. Saya berpikir bahwa poling semacam itu akan berguna sebagai masukan bagi presiden untuk memilih menteri-menterinya. Paling tidak, rakyat mulai dilibatkan kali pertama dalam urusan penyusunan kabinet.
Sekiranya benar suara rakyat dihormati dalam penyusunan kabinet, kita bisa mengatakan bahwa kemenangan Jokowi-Jusuf Kalla adalah kemenangan seluruh rakyat Indonesia, baik yang memilih pasangan tersebut atau yang tidak memilih mereka. Mungkin hasilnya tidak akan sempurna. Orang yang dipilih oleh orang banyak belum tentu juga bisa berfungsi secara baik sebagai menteri. Dalam sejumlah kesempatan, kita masing-masing memiliki pengalaman bahwa tidak selalu orang yang didukung oleh orang banyak bisa bekerja dengan baik.
Ternyata, kita tahu kemudian bahwa jajak pendapat itu hanya hura-hura kecil dari kalangan bawah. Ia tidak memiliki pengaruh signifikan dan politik berjalan seperti biasa, dengan tabiat seperti sebelum-sebelumnya. Sejumlah nama dalam kabinet menerbitkan kekecewaan. Orang lantas membicarakan ketidakmampuan Jokowi dalam menghadapi desakan para patron politik.
Lalu, muncul pertanyaan menggelitik tentang kabinet yang disusun oleh Presiden Jokowi beberapa waktu lalu. Apakah di antara 200 juta orang di Indonesia ini tidak ada yang lebih baik untuk menduduki posisi-posisi itu? Untuk melahirkan the dream team yang bisa menjadikan negara ini lebih baik?
Dengan kenyataan kita hari ini, apa boleh buat, kita harus mengatakan tidak ada. Kemungkinan memilih beberapa puluh orang anggota kabinet sama sulitnya dengan memilih sebelas orang di lapangan sepak bola. Kita memiliki 200 juta orang dan tidak mampu memilih sebelas pemain, dengan beberapa cadangan, yang bisa menjadi pemenang dalam kompetisi.
Mesin politik kita, tampaknya, sama bobroknya dengan PSSI yang gagal menghasilkan pemain-pemain dengan kecakapan memadai untuk bertanding di level yang lebih tinggi. Ia hanya mampu menghasilkan orang-orang yang gigih dan militan untuk mewujudkan kepentingan mereka sendiri.
Saya sering kagum kepada orang-orang yang menyimpan niat jahat di kepala. Biasanya orang-orang yang menyimpan niat jahat lebih tekun dan lebih gigih dalam mewujudkan apa yang mereka inginkan. Mereka sanggup mempertahankan keinginan mereka dan pantang menyerah sampai apa yang mereka inginkan terwujud.
Sebaliknya, orang-orang baik tidak setekun dan segigih itu dalam mewujudkan apa yang mereka inginkan. Orang yang berniat baik, Anda tahu, sering mudah menyerah. Hal itu sedikit banyak tecermin dalam kelakar sehari-hari orang Jawa, ’’Sing waras ngalah.’’ Kalimat itu tentu mengandung niat baik untuk mempersingkat perkara atau agar kita tidak beradu jidat dengan orang-orang yang kurang waras. Jika Anda berurusan dengan orang yang kurang waras dan Anda meladeninya, itu berarti akan ada dua pihak yang kurang waras. Saya bayangkan seperti itulah niat mulia dari kalimat tersebut.
Akan tetapi, kelakar atau kalimat bijak itu sebetulnya menyimpan perkara besar. Jika yang waras terus mengalah, yang merajalela adalah yang kurang waras. Itu situasi yang bakal membikin kita sendiri putus asa pada akhirnya, yaitu ketika orang-orang yang kurang waras semakin banyak jumlahnya dan menguasai panggung.
Dunia politik kita sudah membuktikan betapa mengerikan efek dari mentalitas ’’sing waras ngalah’’. Sebab, wilayah itu pada akhirnya hanya dikuasai orang-orang yang kurang waras. Dan orang-orang yang kurang waras akan cenderung merekrut kader dari kalangan yang sama dengan mereka. Itu malapetaka. Orang-orang yang waras tidak akan tahan bergumul setiap hari dengan ketidakwarasan.
Itu situasi kita hari ini. Dan akan terus seperti itu sampai kita bisa memperbaiki rekrutmen politik kita. Itu masalah serius karena kepada merekalah institusi bernama negara ini kita pasrahkan segala urusannya.
Jadi, apa masalah sastra Indonesia? Para politikus.
*) A.S. LAKSANA ;Sastrawan, pengarang, kritikus sastra yang dikenal aktif menulis di berbagai media cetak nasional di Indonesia.
http://www2.jawapos.com/baca/opinidetail/12662/Masalah-Sastra-Indonesia-Para-Politikus-
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Kadir Ibrahim
Abi N. Bayan
Achiar M Permana
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Afrilia
Afrizal Malna
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mustofa
Alief Mahmudi
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amarzan Loebis
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Syarifuddin
Anash
Andri Awan
Anggrahini KD
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Annisa Steviani
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardy Suryantoko
Arie Giyarto
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Gumantia
Arif Hidayat
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asarpin
Asrul Sani
Baca Puisi
Bahrum Rangkuti
Balada
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni R. Budiman
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Candra Malik
Candrakirana
Caping
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Deddy Setiawan
Denny JA
Denny Mizhar
Deo Gratias
Dewi Musdalifah
Dhimas Ginanjar
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Diana AV Sasa
Dien Makmur
Dinar Rahayu
Diskusi
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Edisi Khusus
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Elsa Vilinsia Nasution
Erwin Setia
Ery Mefry
Esai
Evan Ys
F Aziz Manna
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Foto Andy Buchory
Francisca Christy Rosana
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fritz Senn
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Gendhotwukir
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gusti Eka
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hamzah Sahal
Hardy Hermawan
Hari Purwiati
Hario Pamungkas
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hendri R.H
Hendri Yetus Siswono
Herie Purwanto
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I. B. Putera Manuaba
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indira Permanasari
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Inung As
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwan Simatupang
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jember Gemar Membaca
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Joyo Juwoto
Jual Buku Paket Hemat
K. Usman
Kadek Suartaya
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khairul Mufid Jr
Khanif
Khoirul Abidin
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Astrea
Kitab Para Malaikat
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukman Santoso Az
M. Abror Rosyidin
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lutfi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahardini Nur Afifah
Mahendra Cipta
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mansur Muhammad
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Marulam Tumanggor
Mas Garendi
Mashuri
Masuki M. Astro
Matdon
Matroni Muserang
MG. Sungatno
Moh. Husen
Mohamad Sobary
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Multazam
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Murnierida Pram
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Neli Triana
NH Dini
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Novel John Halmahera
Nurel Javissyarqi
Nuryana Asmaudi
Omah Sastra Ahmad Tohari
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Riri Satria
Rodli TL
Ronggeng Dukuh Paruk
Ronny Agustinus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini KM
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Lamongan
Sastra-Indonesia.com
Sastri Sunarti
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Semesta
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeparno S. Adhy
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Titi Aoska
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Topik Mulyana
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Ulysses
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Negeri Jember
Untung Wahyudi
Veronika Ninik
Viddy A.D. Daery
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widie Nurmahmudy
Wildan Ibnu Walid
Windi Erica Sari
Wisran Hadi
Y Alprianti
Y. Thendra BP
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zumro As-Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar