Jumat, 30 Agustus 2019

Masalah Sastra Indonesia? Para Politikus

A.S. Laksana *
Jawa Pos 8/02/2015

"APA masalah sastra Indonesia menurut Anda?’’ Itu pertanyaan yang sesungguhnya tidak tepat ditujukan kepada saya. Saya bukan orang yang tekun mengamati sastra Indonesia. Namun, saya menjawab juga pertanyaan itu karena dia bertanya. Saya menjawab: Sama dengan masalah persepakbolaan di negara ini, sama dengan masalah pendidikan, sama dengan masalah kemacetan di Jakarta, sama dengan masalah pemberantasan korupsi, sama dengan masalah-masalah lain yang tidak kunjung bisa dibereskan.

Kami bertemu pekan lalu. Dia datang dari Jerman untuk mewawancarai para penulis Indonesia karena tahun ini Indonesia menjadi tamu kehormatan pada Frankfurt Book Fair.

’’Kami memberikan nyaris seluruh perhatian dan memeras pikiran untuk politik,’’ kata saya. Itu jawaban yang tampak tidak relevan, tetapi menurut saya memang begitu. Masalah sastra, juga masalah-masalah lain di luar sastra, di negara ini muncul karena perpolitikan kita gagal menumbuhkan harapan bahwa negara ini bisa diperbaiki. Dan kita tidak pernah memikirkan pelbagai urusan lain secara sungguh-sungguh karena terlalu banyak energi dan pikiran yang disedot oleh urusan politik.

Satu pertanyaan yang lain adalah siapa penulis Indonesia yang paling layak diperkenalkan kepada dunia. Saya katakan semua. Semua orang yang menulis dengan sungguh-sungguh patut diperkenalkan. Kita tidak pernah memperkenalkan para penulis kita sendiri ke dunia yang lebih luas. Internet memungkinkan untuk itu. Iran melakukannya. China melakukannya. Bahkan, para penulis Afghanistan melakukannya. Di awal 2000-an, saya pernah menemukan situs web para penulis Afghanistan dalam bahasa Inggris. Dari situs web itu, kita bisa membaca cerita-cerita mutakhir mereka, para penulis dari negara yang situasinya sangat mencekam.

Mestinya kita memperkenalkan diri dengan cara seperti itu juga. Setidaknya, ada situs web berbahasa Inggris yang memperkenalkan karya para penulis Indonesia. Tetapi, hal itu tidak akan terpikirkan jika kita tidak pernah memberikan perhatian. Lagi-lagi, urusan politik terlalu menguras kita. Pernyataan-pernyataan para politikus sungguh merusak bahasa dan hampir setiap hari ada saja pernyataan yang membuat kita marah. Pernyataan para politikus itu dan cara mereka berbahasa sama belaka kelasnya dengan remaja galau.

Mari sedikit mencermati bahasa yang dituturkan orang. Seorang gadis yang merasa nasibnya buruk mungkin suatu saat mengatakan, ’’Semua lelaki tak bisa dipercaya.’’ Kita tahu ada generalisasi di sana. Tidak mungkin dia mengenal semua lelaki di dunia ini. Tidak mungkin dia mempunyai pengalaman menyakitkan dengan semua lelaki di dunia ini. Kita juga tahu bahwa kalimat itu menyimpan pengalaman atau kejadian tertentu di lapis bawah permukaannya. Gadis itu barangkali memiliki satu, atau dua, atau tiga pengalaman dengan lelaki dan dia dikecewakan. Lalu, dengan pengalamannya yang sedikit itu, dia membuat kesimpulan yang dia berlakukan untuk ’’semua lelaki’’.

Bahasa tutur orang, Anda tahu, sering mengandung unsur generalisasi semacam itu. Menteri Tedjo, anggota kabinet yang cukup produktif berkata-kata, juga seperti itu. Seolah-olah meyakini bahwa orang ingin mendengar pendapatnya, suatu hari dia melontarkan pernyataan tentang ’’Dukungan rakyat yang tidak jelas’’.

Saya menduga, Pak Menteri itu belum lama diturunkan di dunia ini. Mungkin umurnya baru beberapa hari dan dia belum memiliki pengalaman yang memadai. Kalimatnya memiliki lapisan kosong, sebuah growong yang besar sekali, di lapisan bawahnya. Dia jelas tidak memahami arti people power, dia belum lahir ketika Presiden Jokowi memenangi pemilihan presiden karena dukungan rakyat, dan dia tidak pernah membaca Pangeran Kecil karya penulis Prancis Antoine de Saint-Exupery. Jika Pak Menteri membaca novel itu, dia akan mendapati adegan seorang raja yang sedih karena hanya sendirian di negerinya dan tidak memiliki rakyat.

Belakangan, Menteri Tedjo mengeluarkan lagi kalimat, ’’Pegawai KPK seperti buruh.’’ Kalimat itu pasti menyimpan persepsi tertentu di lapisan bawah, menyiratkan pemahaman yang kurang baik atau keganjilan cara pandang terhadap kosakata buruh.

Saya yakin dia tidak akan berhenti bicara dan masih akan memproduksi pernyataan-pernyataan lain yang lebih mencengangkan. Dalam memahami kecenderungan seperti itu, saya sepenuhnya mempercayai Einstein: ’’Ada dua hal yang tak punya batas. Yang pertama adalah alam semesta dan yang kedua adalah kebodohan manusia. Untuk yang pertama, saya masih kurang yakin.’’

Sikap paling bijaksana dalam berurusan dengan Menteri Tedjo, saya kira, adalah menunggu saja. Dia pasti bicara lagi. Bicara lagi. Bicara lagi. Sekiranya ada banyak orang seperti dia, kita bisa menyusun buku kumpulan kutipan dengan judul Kumpulan Kutipan Paling Njelehi di Dunia Fana Ini. Itu bisa menjadi buku laris jika Anda menerbitkannya dan Anda tergolong orang yang bernasib bagus.

Mungkin Menteri Tedjo adalah salah satu nasib buruk bagi negara ini, di luar beberapa nama yang lain. Dia hadir tanpa diduga-duga. Tetapi, nasib buruk memang sering muncul tanpa kita duga.

Beberapa waktu lalu, sebelum kabinet diumumkan, kita mendapati selebaran, semacam poling, yang dibikin untuk menjaring pendapat masyarakat tentang nama-nama yang layak mengisi posisi di kementerian-kementerian tertentu. Saya agak senang dengan hal itu. Saya berpikir bahwa poling semacam itu akan berguna sebagai masukan bagi presiden untuk memilih menteri-menterinya. Paling tidak, rakyat mulai dilibatkan kali pertama dalam urusan penyusunan kabinet.

Sekiranya benar suara rakyat dihormati dalam penyusunan kabinet, kita bisa mengatakan bahwa kemenangan Jokowi-Jusuf Kalla adalah kemenangan seluruh rakyat Indonesia, baik yang memilih pasangan tersebut atau yang tidak memilih mereka. Mungkin hasilnya tidak akan sempurna. Orang yang dipilih oleh orang banyak belum tentu juga bisa berfungsi secara baik sebagai menteri. Dalam sejumlah kesempatan, kita masing-masing memiliki pengalaman bahwa tidak selalu orang yang didukung oleh orang banyak bisa bekerja dengan baik.

Ternyata, kita tahu kemudian bahwa jajak pendapat itu hanya hura-hura kecil dari kalangan bawah. Ia tidak memiliki pengaruh signifikan dan politik berjalan seperti biasa, dengan tabiat seperti sebelum-sebelumnya. Sejumlah nama dalam kabinet menerbitkan kekecewaan. Orang lantas membicarakan ketidakmampuan Jokowi dalam menghadapi desakan para patron politik.

Lalu, muncul pertanyaan menggelitik tentang kabinet yang disusun oleh Presiden Jokowi beberapa waktu lalu. Apakah di antara 200 juta orang di Indonesia ini tidak ada yang lebih baik untuk menduduki posisi-posisi itu? Untuk melahirkan the dream team yang bisa menjadikan negara ini lebih baik?

Dengan kenyataan kita hari ini, apa boleh buat, kita harus mengatakan tidak ada. Kemungkinan memilih beberapa puluh orang anggota kabinet sama sulitnya dengan memilih sebelas orang di lapangan sepak bola. Kita memiliki 200 juta orang dan tidak mampu memilih sebelas pemain, dengan beberapa cadangan, yang bisa menjadi pemenang dalam kompetisi.

Mesin politik kita, tampaknya, sama bobroknya dengan PSSI yang gagal menghasilkan pemain-pemain dengan kecakapan memadai untuk bertanding di level yang lebih tinggi. Ia hanya mampu menghasilkan orang-orang yang gigih dan militan untuk mewujudkan kepentingan mereka sendiri.

Saya sering kagum kepada orang-orang yang menyimpan niat jahat di kepala. Biasanya orang-orang yang menyimpan niat jahat lebih tekun dan lebih gigih dalam mewujudkan apa yang mereka inginkan. Mereka sanggup mempertahankan keinginan mereka dan pantang menyerah sampai apa yang mereka inginkan terwujud.

Sebaliknya, orang-orang baik tidak setekun dan segigih itu dalam mewujudkan apa yang mereka inginkan. Orang yang berniat baik, Anda tahu, sering mudah menyerah. Hal itu sedikit banyak tecermin dalam kelakar sehari-hari orang Jawa, ’’Sing waras ngalah.’’ Kalimat itu tentu mengandung niat baik untuk mempersingkat perkara atau agar kita tidak beradu jidat dengan orang-orang yang kurang waras. Jika Anda berurusan dengan orang yang kurang waras dan Anda meladeninya, itu berarti akan ada dua pihak yang kurang waras. Saya bayangkan seperti itulah niat mulia dari kalimat tersebut.

Akan tetapi, kelakar atau kalimat bijak itu sebetulnya menyimpan perkara besar. Jika yang waras terus mengalah, yang merajalela adalah yang kurang waras. Itu situasi yang bakal membikin kita sendiri putus asa pada akhirnya, yaitu ketika orang-orang yang kurang waras semakin banyak jumlahnya dan menguasai panggung.

Dunia politik kita sudah membuktikan betapa mengerikan efek dari mentalitas ’’sing waras ngalah’’. Sebab, wilayah itu pada akhirnya hanya dikuasai orang-orang yang kurang waras. Dan orang-orang yang kurang waras akan cenderung merekrut kader dari kalangan yang sama dengan mereka. Itu malapetaka. Orang-orang yang waras tidak akan tahan bergumul setiap hari dengan ketidakwarasan.

Itu situasi kita hari ini. Dan akan terus seperti itu sampai kita bisa memperbaiki rekrutmen politik kita. Itu masalah serius karena kepada merekalah institusi bernama negara ini kita pasrahkan segala urusannya.

Jadi, apa masalah sastra Indonesia? Para politikus.

*) A.S. LAKSANA ;Sastrawan, pengarang, kritikus sastra yang dikenal aktif menulis di berbagai media cetak nasional di Indonesia.
http://www2.jawapos.com/baca/opinidetail/12662/Masalah-Sastra-Indonesia-Para-Politikus-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah