Maman S. Mahayana
Dalam sejarah peradaban umat manusia, hubungan manusia dengan Tuhan selalu diwujudkan lewat berbagai cara; melalui berbagai saluran. Lihatlah masyarakat Yunani kuno yang melakukan pemujaan kepada para dewa melalui pementasan-pementasan drama; perhatikan pula gita puja (hymn; hymne) mereka yang mengagungkan para dewa lewat nyanyian-nyanyian pemujaan; simak pula seruan rohani (invocation) para pujangga yang mengawali karyanya dengan puja-puji dan penghormatan pada kesucian ilahi. Inilah gambaran, betapa hubungan manusia dengan Tuhan atau dengan sesuatu yang Agung menjadi bagian penting dalam refleksi kreatifnya.
Dalam perjalanannya kemudian, pengagungan kepada kesucian ilahi, pemujaan kepada para dewa atau kepada apapun yang transenden, kerap kali diwujudkan melalui karya sastra (puisi). Ia dianggap paling mewakili refleksi transendensi. Maka, tidak perlu heran jika dari zaman ke zaman, sastra (puisi) acapkali merefleksikan situasi ritual macam itu. Bhagavad Gita (The Song of God) adalah contoh klasik pujian dan pengagungan kepada Tuhan diwujudkan dalam bentuk puisi.
Para penyair dunia, juga tidak ketinggalan menyampaikan refleksi religiusitasnya lewat cara-cara demikian. John Donne dan John Milton, dua penyair Inggris terkemuka, ditempatkan sebagai penyair metafisika lantaran karya-karyanya menyampaikan pesan-pesan ilahiah. Tentu kita masih dapat menderetkan penyair-penyair lain berikut karya-karyanya yang menggambarkan hal seperti itu.
Dalam dunia Islam, tradisi pengagungan ilahi lewat karya sastra (puisi) juga bukan hal yang baru. Ibn Arabi, Sadi Jalaluddin Rumi, Rabiah Al-Adawiyah, Mohammad Iqbal, atau Fariduddin Attar ?sekadar menyebut beberapa nama penting? niscaya bukan nama asing lagi dalam pembicaraan sastrawan Muslim (sastra sufi). Di Indonesia, Hamzah Fansuri ?salah satu karya pentingnya, Syair Perahu? merupakan nama yang tak dapat dilewatkan dalam konteks pembicaraan ini.
Dalam sastra Indonesia modern, Amir Hamzah, juga merupakan tonggak penting yang karyanya dianggap bernafaskan sufistik. Belakangan, karya-karya seperti itu pernah begitu banyak bertebaran pertengahan tahun 1970-an. Apabila kini ada karya yang coba mengangkat persoalan hubungan manusia dengan Tuhan, ia sama sekali bukan hal baru. Tema itu sudah merupakan tema universal. Persoalannya tinggal bagaimana cara penyair menyampaikan kegelisahan, kerinduan atau kecintaannya kepada Sang Khalik.
***
Syair-Syair Taman A?raaf karya Aspur Azhar (1999), secara tematis juga mencerminkan persoalan hubungan manusia dengan Tuhan. Jika ia mengulang persoalan yang sama yang sudah menyejarah itu, masih perlukah karya ini diperbincangkan? Adakah sesuatu yang baru yang dikedepankan penyairnya, sehingga ia berbeda dengan karya-karya sebelumnya yang bertema sejenis?
Karya apapun, tentu perlu diperbincangkan, sejauh ia membuka kemungkinan memberi kontribusi bagi pembacanya. Lebih jauh lagi, sejauh ia punya peluang untuk menjadi karya penting.
Syair-Syair Taman A?raaf, meski diakui, memang beda dengan sejumlah karya penyair seangkatannya. Ia juga secara bersahaja menggunakan judulnya dengan ?syair? salah satu bentuk puisi lama yang justru kini sudah banyak ditinggalkan paa penyair modern. Bahkan, tidak sedikit pula di antara penyair kita dewasa ini, sama sekali tidak mengenal atau tidak mau mengenal syair. Dalam konteks ini, judul yang dipakai Aspur jelas hendak memberi tempat yang pantas bagi syair.
Mencermati isinya yang memuat 43 puisi, buku ini lebih dekat kepada bentuk puisi naratif. Bahwa kemudian Aspur menyebutnya syair, niscaya ia bukan hendak menafikan istilah puisi naratif, melainkan memberi penghormatan yang proporsional atas tradisi perpuisian kita. Satu sikap arif yang justru mendatangkan rasa hormat.
Jika dikatakan ia berbeda dengan penyair seangkatannya, justru dalam hal itulah, ia tampak menonjol.
Pertama, pilihan Aspur untuk mengangkat tema hubungan manusia dengan Tuhan memperlihatkan bahwa ia sama sekali tidak tergoda pada persoalan yang sedang melanda negeri ini. Tidak ada kritik sosial, masalah politik, atau refleksi evaluatif atas peristiwa-peristiwa kemanusiaan dewasa ini.
Kedua, pilihan Aspur pada tema itu, juga berbeda dengan tema sejenis yang pernah diangkat penyair seangkatannya. Periksa saja karya Tomon Haryowirosobo, Tuhan telah Hilang (1997) yang menggambarkan pencarian sosok manusia yang gelisah; dan kegelisahannya itu diwujudkan dalam bentuk kerinduannya untuk jumpa dengan Sang Khalik. Aspur justru bukan seorang pencari yang gelisah; ia juga tidak merindukan sebuah perjumpaan aku?Engkau yang paling banyak diejawantahkan karya-karya yang bernafas sufistik.
Ketiga, justru lantaran Aspur bukan sosok seorang pencari, pengagungannya kepada Sang Khalik, bukan lewat bahasa klise puja-puji, melainkan lewat fenomena alam.
Keempat, meski Aspur bukan seorang pencari, tidak berarti pula ia serta-merta menjadi seorang penemu. Akibatnya, nafas panteistik yang banyak dimunculkan para Penemu macam Al-Hallaj, Hamzah Fansuri, Sitti Jenar atau Amir Hamzah, sama sekali tidak tampak menonjol pada karya-karya Aspur.
Kelima, meskipun ada perbedaan-perbedaan sebagaimana yang dipaparkan di atas, ada pola yang tampaknya tidak dapat dihindarkan Aspur, yaitu keterikatannya pada tradisi dan pengaruh-pengaruh yang melatarbelakanginya. Tradisi syair sebagaimana yang tersurat dinyatakan dalam judul bukunya, tampak secara sadar dijadikan sebagai alat, meski kaidah syair sama sekali tidak digunakannya. Pengaruh-pengaruh para pujangga Islam, juga menjadi bagian penting dalam dirinya. Akibatnya, kita akan menemukan gaya Iqbal, Attar, atau Fansuri ?untuk menyebut tiga nama yang tampak sangat kuat mempengaruhi diri Aspur? dalam Syair-Syair Taman A?raaf ini.
Mari kita periksa!
***
Dari ke-43 puisi dalam Syair-Syair Taman A?raaf ini, satu ciri yang menonjol adalah pengagungan ilahi atas fenomena alam. Jelasnya, semesta menjadi alat bagi Aspur untuk menyapa dan bersilaturahmi dengan Tuhan. Cara inilah yang hampir tidak pernah kita jumpai dalam karya penyair-panyair seangkatannya. Dalam hal ini, seperti telah disebutkan, Aspur bukan pencari yang gelisah. Ia telah menemukan Tuhannya dalam semesta. Meskipun demikian, ia juga tidak dapat membatasi dirinya dalam ruang yang terbatas. Ia mengge-landang dalam semesta dari satu jazirah ke jazirah yang lain.
Puisi pertamanya berjudul ?Di Puncak Menara Karang? penggelandangannya itu diisyaratkan lewat gambaran kemahakuasaan Tuhan: ?Melalui kreasi kun fayakun/yang berangsur-angsur/Hidup bergerak menjalar/dari Rahim ke Rahim// Dari sana ia melihat hubungan subjek (aku liris) dengan objek (Tuhan) menjadi hubungan abdi-Tuan; hamba yang dhaif dan Al-Khalik yang mahakuasa. Demikian juga, ketika ?Aku merasa seperti insan-insan terlempar/dari ketiadaan tak terpahamkan/ ia tetap menggelandang, bukan sebagai pencari, melainkan sebagai penemu yang belum pernah jumpa.
Posisinya yang menempati sosok penemu yang belum pernah jumpa inilah yang menjadikan aku liris terus menggelandang. Dalam konteks ini, Ana al-Haq, Al-Hallaj atau Hamba dan Tuhan tiada berbeda, Hamzah Fansuri, menjadi tidak relevan bagi Aspur. Jika Al-Hallaj atau Hamzah Fansuri menemukan Tuhannya tidak jauh dari dirinya sendiri, Aspur menemukan Tuhannya dalam kebesaran kesemestaan. Dengan cara ini penggelandangan imajinatif Aspur menjadi lebih leluasa bergentayangan ke sana ke mari; ke Timur?Barat atau ke alam di dunia entah berantah.
Ciri lain yang juga menonjol pada antologi Syair-Syair Taman A?raaf adalah pe-nerjemahan makna iqra (pengetahuan) secara luas. Pemanfaatan majas allegori (kiasan) atau personifikasi terasa cukup kaya. Meski kiasan semacam itu ?dalam konteks pembicaraan hubungan manusia dengan Tuhan? banyak disampaikan Hamzah Fansuri (?Syair Perahu? yang mengkiaskan manusia dan Tuhan), Aspur justru memanfaatkannya untuk menerjemah-kan pentingnya ilmu pengetahuan (:ilmu Tuhan). Pernyataan simbolisasi pengetahuan sebagai lembing, merupakan salah sau contoh yang banyak diangkat dalam antologi ini. Dengan demikian, meski ia tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh itu, secara kreatif banyak simbol dan kiasan yang diangkat Aspur, terasa segar.
Posisi Aspur yang bukan pencari yang gelisah, dan bukan juga penemu penyatuan aku-Engkau ?manunggaling kawula Gusti?, melainkan penemu lewat fenomena semesta memberi peluang yang begitu luas untuk menggelandangkan imajinasinya secara liar, namun dengan tetap menjaga jarak hubungan aku?Engkau. Fenomena semesta menjadi sekadar alat untuk menjumpai pemikiran lain, pengetahuan lain, dan tokoh-tokoh manapun tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Muhammad Iqbal dalam Javid Namah atau Fariduddin Attar dalam Musyawarah Burung, agaknya sangat mepengaruhi penjelajahan imajinasi Aspur. Maka dialog dengan Abduh, Iqbal, Attar, Gibran, atau dengan apapun, menjadi sarana yang memungkinkan penjelajahan imajinasi itu mempunyai cantelan. Lewat cara demikian, berba-gai hal dipersoalankan, diperdebatkan, dan dikontemplasikan sebagai bagian dari penemuan Tuhan lewat semesta.
Sesungguhnya banyak hal yang tidak dapat disederhanakan lewat apresiasi seperti ini. Pemahaman atas antologi Syair-Syair Taman A?raaf memerlukan banyak referensi: Quran, filsafat Islam dan para penyair sufi. Yang menjadikan antologi ini kaya, justru lantaran acuan-acuan itu bukan sekadar tempelan; bukan sekadar pernyataan verbal, melainkan sebagai bagian integral dari penjelajahan imajinasi penyairnya. Mengingat dewasa ini hampir tidak ada penyair seangkatannya yang mengangkat tema macam itu, maka hadirnya antologi Syair-Syair Taman A?raaf tidak hanya penting dalam pemerkayaan khazanah peta perpuisian Indonesia, tetapi juga ?menurut hemat saya? menjulang sendiri di antara karya-karya penyair seangkatannya.
Di tengah hingar-bingar tema sosial-politik, pilihan Aspur pada tema hubungan manusia?semesta?Tuhan, jelas merupakan langkah yang serius. Dan ia telah melangkahkan kakinya dengan meyakinkan. Sungguh, Aspur tampil dengan memberi banyak pengharapan Jika saja ia terus menekuni pilihannya ini, kita tinggal menunggu sebuah monumen lahir dari tangannya. (msm/12/10/1999)
http://sastra-indonesia.com/2010/08/persentuhan-dengan-tuhan-lewat-semesta/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Kadir Ibrahim
Abi N. Bayan
Achiar M Permana
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Afrilia
Afrizal Malna
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mustofa
Alief Mahmudi
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amarzan Loebis
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Syarifuddin
Anash
Andri Awan
Anggrahini KD
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Annisa Steviani
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardy Suryantoko
Arie Giyarto
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Gumantia
Arif Hidayat
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asarpin
Asrul Sani
Baca Puisi
Bahrum Rangkuti
Balada
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni R. Budiman
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Candra Malik
Candrakirana
Caping
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Deddy Setiawan
Denny JA
Denny Mizhar
Deo Gratias
Dewi Musdalifah
Dhimas Ginanjar
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Diana AV Sasa
Dien Makmur
Dinar Rahayu
Diskusi
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Edisi Khusus
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Elsa Vilinsia Nasution
Erwin Setia
Ery Mefry
Esai
Evan Ys
F Aziz Manna
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Foto Andy Buchory
Francisca Christy Rosana
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fritz Senn
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Gendhotwukir
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gusti Eka
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hamzah Sahal
Hardy Hermawan
Hari Purwiati
Hario Pamungkas
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hendri R.H
Hendri Yetus Siswono
Herie Purwanto
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I. B. Putera Manuaba
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indira Permanasari
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Inung As
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwan Simatupang
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jember Gemar Membaca
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Joyo Juwoto
Jual Buku Paket Hemat
K. Usman
Kadek Suartaya
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khairul Mufid Jr
Khanif
Khoirul Abidin
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Astrea
Kitab Para Malaikat
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukman Santoso Az
M. Abror Rosyidin
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lutfi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahardini Nur Afifah
Mahendra Cipta
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mansur Muhammad
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Marulam Tumanggor
Mas Garendi
Mashuri
Masuki M. Astro
Matdon
Matroni Muserang
MG. Sungatno
Moh. Husen
Mohamad Sobary
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Multazam
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Murnierida Pram
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Neli Triana
NH Dini
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Novel John Halmahera
Nurel Javissyarqi
Nuryana Asmaudi
Omah Sastra Ahmad Tohari
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Riri Satria
Rodli TL
Ronggeng Dukuh Paruk
Ronny Agustinus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini KM
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Lamongan
Sastra-Indonesia.com
Sastri Sunarti
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Semesta
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeparno S. Adhy
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Titi Aoska
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Topik Mulyana
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Ulysses
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Negeri Jember
Untung Wahyudi
Veronika Ninik
Viddy A.D. Daery
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widie Nurmahmudy
Wildan Ibnu Walid
Windi Erica Sari
Wisran Hadi
Y Alprianti
Y. Thendra BP
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zumro As-Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar