Jumat, 30 Agustus 2019

PERSENTUHAN DENGAN TUHAN LEWAT SEMESTA

Maman S. Mahayana

Dalam sejarah peradaban umat manusia, hubungan manusia dengan Tuhan selalu diwujudkan lewat berbagai cara; melalui berbagai saluran. Lihatlah masyarakat Yunani kuno yang melakukan pemujaan kepada para dewa melalui pementasan-pementasan drama; perhatikan pula gita puja (hymn; hymne) mereka yang mengagungkan para dewa lewat nyanyian-nyanyian pemujaan; simak pula seruan rohani (invocation) para pujangga yang mengawali karyanya dengan puja-puji dan penghormatan pada kesucian ilahi. Inilah gambaran, betapa hubungan manusia dengan Tuhan atau dengan sesuatu yang Agung menjadi bagian penting dalam refleksi kreatifnya.

Dalam perjalanannya kemudian, pengagungan kepada kesucian ilahi, pemujaan kepada para dewa atau kepada apapun yang transenden, kerap kali diwujudkan melalui karya sastra (puisi). Ia dianggap paling mewakili refleksi transendensi. Maka, tidak perlu heran jika dari zaman ke zaman, sastra (puisi) acapkali merefleksikan situasi ritual macam itu. Bhagavad Gita (The Song of God) adalah contoh klasik pujian dan pengagungan kepada Tuhan diwujudkan dalam bentuk puisi.

Para penyair dunia, juga tidak ketinggalan menyampaikan refleksi religiusitasnya lewat cara-cara demikian. John Donne dan John Milton, dua penyair Inggris terkemuka, ditempatkan sebagai penyair metafisika lantaran karya-karyanya menyampaikan pesan-pesan ilahiah. Tentu kita masih dapat menderetkan penyair-penyair lain berikut karya-karyanya yang menggambarkan hal seperti itu.

Dalam dunia Islam, tradisi pengagungan ilahi lewat karya sastra (puisi) juga bukan hal yang baru. Ibn Arabi, Sadi Jalaluddin Rumi, Rabiah Al-Adawiyah, Mohammad Iqbal, atau Fariduddin Attar ?sekadar menyebut beberapa nama penting? niscaya bukan nama asing lagi dalam pembicaraan sastrawan Muslim (sastra sufi). Di Indonesia, Hamzah Fansuri ?salah satu karya pentingnya, Syair Perahu? merupakan nama yang tak dapat dilewatkan dalam konteks pembicaraan ini.

Dalam sastra Indonesia modern, Amir Hamzah, juga merupakan tonggak penting yang karyanya dianggap bernafaskan sufistik. Belakangan, karya-karya seperti itu pernah begitu banyak bertebaran pertengahan tahun 1970-an. Apabila kini ada karya yang coba mengangkat persoalan hubungan manusia dengan Tuhan, ia sama sekali bukan hal baru. Tema itu sudah merupakan tema universal. Persoalannya tinggal bagaimana cara penyair menyampaikan kegelisahan, kerinduan atau kecintaannya kepada Sang Khalik.
***

Syair-Syair Taman A?raaf karya Aspur Azhar (1999), secara tematis juga mencerminkan persoalan hubungan manusia dengan Tuhan. Jika ia mengulang persoalan yang sama yang sudah menyejarah itu, masih perlukah karya ini diperbincangkan? Adakah sesuatu yang baru yang dikedepankan penyairnya, sehingga ia berbeda dengan karya-karya sebelumnya yang bertema sejenis?

Karya apapun, tentu perlu diperbincangkan, sejauh ia membuka kemungkinan memberi kontribusi bagi pembacanya. Lebih jauh lagi, sejauh ia punya peluang untuk menjadi karya penting.

Syair-Syair Taman A?raaf, meski diakui, memang beda dengan sejumlah karya penyair seangkatannya. Ia juga secara bersahaja menggunakan judulnya dengan ?syair? salah satu bentuk puisi lama yang justru kini sudah banyak ditinggalkan paa penyair modern. Bahkan, tidak sedikit pula di antara penyair kita dewasa ini, sama sekali tidak mengenal atau tidak mau mengenal syair. Dalam konteks ini, judul yang dipakai Aspur jelas hendak memberi tempat yang pantas bagi syair.

Mencermati isinya yang memuat 43 puisi, buku ini lebih dekat kepada bentuk puisi naratif. Bahwa kemudian Aspur menyebutnya syair, niscaya ia bukan hendak menafikan istilah puisi naratif, melainkan memberi penghormatan yang proporsional atas tradisi perpuisian kita. Satu sikap arif yang justru mendatangkan rasa hormat.

Jika dikatakan ia berbeda dengan penyair seangkatannya, justru dalam hal itulah, ia tampak menonjol.

Pertama, pilihan Aspur untuk mengangkat tema hubungan manusia dengan Tuhan memperlihatkan bahwa ia sama sekali tidak tergoda pada persoalan yang sedang melanda negeri ini. Tidak ada kritik sosial, masalah politik, atau refleksi evaluatif atas peristiwa-peristiwa kemanusiaan dewasa ini.

Kedua, pilihan Aspur pada tema itu, juga berbeda dengan tema sejenis yang pernah diangkat penyair seangkatannya. Periksa saja karya Tomon Haryowirosobo, Tuhan telah Hilang (1997) yang menggambarkan pencarian sosok manusia yang gelisah; dan kegelisahannya itu diwujudkan dalam bentuk kerinduannya untuk jumpa dengan Sang Khalik. Aspur justru bukan seorang pencari yang gelisah; ia juga tidak merindukan sebuah perjumpaan aku?Engkau yang paling banyak diejawantahkan karya-karya yang bernafas sufistik.

Ketiga, justru lantaran Aspur bukan sosok seorang pencari, pengagungannya kepada Sang Khalik, bukan lewat bahasa klise puja-puji, melainkan lewat fenomena alam.

Keempat, meski Aspur bukan seorang pencari, tidak berarti pula ia serta-merta menjadi seorang penemu. Akibatnya, nafas panteistik yang banyak dimunculkan para Penemu macam Al-Hallaj, Hamzah Fansuri, Sitti Jenar atau Amir Hamzah, sama sekali tidak tampak menonjol pada karya-karya Aspur.

Kelima, meskipun ada perbedaan-perbedaan sebagaimana yang dipaparkan di atas, ada pola yang tampaknya tidak dapat dihindarkan Aspur, yaitu keterikatannya pada tradisi dan pengaruh-pengaruh yang melatarbelakanginya. Tradisi syair sebagaimana yang tersurat dinyatakan dalam judul bukunya, tampak secara sadar dijadikan sebagai alat, meski kaidah syair sama sekali tidak digunakannya. Pengaruh-pengaruh para pujangga Islam, juga menjadi bagian penting dalam dirinya. Akibatnya, kita akan menemukan gaya Iqbal, Attar, atau Fansuri ?untuk menyebut tiga nama yang tampak sangat kuat mempengaruhi diri Aspur? dalam Syair-Syair Taman A?raaf ini.

Mari kita periksa!
***

Dari ke-43 puisi dalam Syair-Syair Taman A?raaf ini, satu ciri yang menonjol adalah pengagungan ilahi atas fenomena alam. Jelasnya, semesta menjadi alat bagi Aspur untuk menyapa dan bersilaturahmi dengan Tuhan. Cara inilah yang hampir tidak pernah kita jumpai dalam karya penyair-panyair seangkatannya. Dalam hal ini, seperti telah disebutkan, Aspur bukan pencari yang gelisah. Ia telah menemukan Tuhannya dalam semesta. Meskipun demikian, ia juga tidak dapat membatasi dirinya dalam ruang yang terbatas. Ia mengge-landang dalam semesta dari satu jazirah ke jazirah yang lain.

Puisi pertamanya berjudul ?Di Puncak Menara Karang? penggelandangannya itu diisyaratkan lewat gambaran kemahakuasaan Tuhan: ?Melalui kreasi kun fayakun/yang berangsur-angsur/Hidup bergerak menjalar/dari Rahim ke Rahim// Dari sana ia melihat hubungan subjek (aku liris) dengan objek (Tuhan) menjadi hubungan abdi-Tuan; hamba yang dhaif dan Al-Khalik yang mahakuasa. Demikian juga, ketika ?Aku merasa seperti insan-insan terlempar/dari ketiadaan tak terpahamkan/ ia tetap menggelandang, bukan sebagai pencari, melainkan sebagai penemu yang belum pernah jumpa.

Posisinya yang menempati sosok penemu yang belum pernah jumpa inilah yang menjadikan aku liris terus menggelandang. Dalam konteks ini, Ana al-Haq, Al-Hallaj atau Hamba dan Tuhan tiada berbeda, Hamzah Fansuri, menjadi tidak relevan bagi Aspur. Jika Al-Hallaj atau Hamzah Fansuri menemukan Tuhannya tidak jauh dari dirinya sendiri, Aspur menemukan Tuhannya dalam kebesaran kesemestaan. Dengan cara ini penggelandangan imajinatif Aspur menjadi lebih leluasa bergentayangan ke sana ke mari; ke Timur?Barat atau ke alam di dunia entah berantah.

Ciri lain yang juga menonjol pada antologi Syair-Syair Taman A?raaf adalah pe-nerjemahan makna iqra (pengetahuan) secara luas. Pemanfaatan majas allegori (kiasan) atau personifikasi terasa cukup kaya. Meski kiasan semacam itu ?dalam konteks pembicaraan hubungan manusia dengan Tuhan? banyak disampaikan Hamzah Fansuri (?Syair Perahu? yang mengkiaskan manusia dan Tuhan), Aspur justru memanfaatkannya untuk menerjemah-kan pentingnya ilmu pengetahuan (:ilmu Tuhan). Pernyataan simbolisasi pengetahuan sebagai lembing, merupakan salah sau contoh yang banyak diangkat dalam antologi ini. Dengan demikian, meski ia tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh itu, secara kreatif banyak simbol dan kiasan yang diangkat Aspur, terasa segar.

Posisi Aspur yang bukan pencari yang gelisah, dan bukan juga penemu penyatuan aku-Engkau ?manunggaling kawula Gusti?, melainkan penemu lewat fenomena semesta memberi peluang yang begitu luas untuk menggelandangkan imajinasinya secara liar, namun dengan tetap menjaga jarak hubungan aku?Engkau. Fenomena semesta menjadi sekadar alat untuk menjumpai pemikiran lain, pengetahuan lain, dan tokoh-tokoh manapun tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Muhammad Iqbal dalam Javid Namah atau Fariduddin Attar dalam Musyawarah Burung, agaknya sangat mepengaruhi penjelajahan imajinasi Aspur. Maka dialog dengan Abduh, Iqbal, Attar, Gibran, atau dengan apapun, menjadi sarana yang memungkinkan penjelajahan imajinasi itu mempunyai cantelan. Lewat cara demikian, berba-gai hal dipersoalankan, diperdebatkan, dan dikontemplasikan sebagai bagian dari penemuan Tuhan lewat semesta.

Sesungguhnya banyak hal yang tidak dapat disederhanakan lewat apresiasi seperti ini. Pemahaman atas antologi Syair-Syair Taman A?raaf memerlukan banyak referensi: Quran, filsafat Islam dan para penyair sufi. Yang menjadikan antologi ini kaya, justru lantaran acuan-acuan itu bukan sekadar tempelan; bukan sekadar pernyataan verbal, melainkan sebagai bagian integral dari penjelajahan imajinasi penyairnya. Mengingat dewasa ini hampir tidak ada penyair seangkatannya yang mengangkat tema macam itu, maka hadirnya antologi Syair-Syair Taman A?raaf tidak hanya penting dalam pemerkayaan khazanah peta perpuisian Indonesia, tetapi juga ?menurut hemat saya? menjulang sendiri di antara karya-karya penyair seangkatannya.

Di tengah hingar-bingar tema sosial-politik, pilihan Aspur pada tema hubungan manusia?semesta?Tuhan, jelas merupakan langkah yang serius. Dan ia telah melangkahkan kakinya dengan meyakinkan. Sungguh, Aspur tampil dengan memberi banyak pengharapan Jika saja ia terus menekuni pilihannya ini, kita tinggal menunggu sebuah monumen lahir dari tangannya. (msm/12/10/1999)

http://sastra-indonesia.com/2010/08/persentuhan-dengan-tuhan-lewat-semesta/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah