Rabu, 03 Februari 2021

Multikulturalisme: Basquiat yang Mendobrak Warhol

Faisal Kamandobat *
Kompas, 20 Okt 2007
 
KITA buka perbincangan multikulturalisme dengan menyebut nama yang tak asing lagi: Jean Michel Basquiat. Mungkin tak ada yang menyangka dia akan menjadi legenda seni rupa. Basquiat lahir dari keluarga negro-Amerika yang berantakan dan tumbuh di lingkungan yang sama. Kasarnya, ia tak memenuhi syarat sukses menurut ukuran borjuis kulit putih: lahir dari keturunan baik-baik, menempuh pendidikan dengan nilai bagus, dan lulus dari universitas yang diperhitungkan.
 
Akan tetapi, Basquiat lahir ketika perbudakan dan rasisme diolok-olok, nilai konservatif kelas menengah mulai ditinggal perubahan sosial yang gegap, dan sikap akademisme kaku jadi bulan-bulanan kompleksitas sosial.
 
Di tengah semua itu, seorang perupa genius yang negro ini ternyata tak mungkin dikeluarkan dari sejarah—alih-alih sebagai representasi antiperbudakan dan manifestasi zaman yang semakin terbuka.
 
Kemunculan Basquiat dibentuk konteks itu, dengan lukisan- lukisan khas ekspresi kaum negro: coretan grafiti, ikon-ikon acak serupa ragam hias primitif, figur-figur anatomi mahapincang, dan warna yang bikin pusing pelukis realis jempolan. Tema-temanya pun tepat dengan bentuk visualnya: candu, blues, jazz, puisi-puisi liar dengan huruf sama liarnya, serta berbagai ikon tradisi kulit hitam.
 
Ukuran estetika seni rupa modern khas Eropa yang menempatkan individu genius penemu konsep universal lewat permainan garis, bidang dan warna, tentu risi dengan ekspresi seniman seperti Basquiat yang tak mengikuti tahap pembelajaran seni modern. Siapa dan di mana pun—tanpa melewati tahap-tahap itu—jangan harap masuk sejarah seni modern. Namun, setiap kultur punya tradisi pengetahuan dan seninya sendiri (Negro, Hispanik, Kreol, Anglo-Saxon, dan seterusnya).
 
Memaksakan klaim universal seni modern tak ubahnya mereduksi bentuk topeng Afrika berdasarkan prinsip geometri Euclid. Dan lukisan-lukisan Basquiat adalah “bentuk lain” di tengah universalitas modernisme yang tunggal itu, beriringan dengan gerakan antirasisme, feminisme, dan seterusnya.
 
Ekonomi nilai
 
Membaca Basquiat dari rasisme, meski tak terhindarkan, terasa sentimentil dan kuno (meski rasisme terang-terangan masih jadi bagian sah ketaksadaran kolektif zaman sekarang.) Lebih luas dan aktual membawa Basquiat ke ruang urban, di mana estetika seni modern khas Eropa dengan gaya scientific-nya mulai digeser estetika representasi yang muncul di ruang publik kapitalisme pasar. Pada babak ini, aktor utamanya bukan Basquiat, melainkan si feminin Andy Warhol.
 
Menghadapi para pelukis Eropa berkarakter filsuf-ilmuwan, Warhol melakukan diplomasi artistik elegan dengan tidak mengikuti logika kompetitornya. Baginya, melukis bukan olah intelektual abstrak serupa matematika atau fisika yang mencari konsep dasar geometri semesta dan realitas, melainkan upaya memotret perubahan sosial historis.
 
Beda dengan Matisse yang berkeras mencapai garis esensial, atau Picasso yang mendistorsi geometri formal, atau De Chirio yang menangkap (sambil mengkritik) dimensi fisis-matematis manusia lewat lukisannya, pula Dali dan Ernst yang menelanjangi realitas lewat surealisme, Warhol berusaha membedah kondisi manusia kapitalistik. Bagi Warhol, bukan matematika atau fisika, filsafat atau ideologi yang mengubah manusia dan dunia, melainkan modal.
 
Toh, tanpa modal, fisika, matematika, filsafat, atau ideologi (juga seni rupa!) tak menghasilkan teknologi, sistem nilai, dan jenis budaya yang masif dan populer. Warhol melukis Kennedy dan Marilyn Monroe yang jadi ikon dunia berkat media, Coca- cola yang mengubah pola minum sekian persen umat manusia, sepatu dan tas yang maknanya melampaui fungsinya. Pula Jackie Kennedy yang dengan gaya glamour-konsumtifnya mengubah karakter aristokrat-puritan para politisi Gedung Putih.
 
Temuan Warhol segera dirayakan kelas menengah Amerika. Bertahun-tahun negeri ini tak mampu menghadapi Eropa dengan kepala tegak. Kultur, sejarah, dan seni mereka dianggap sekadar catatan kaki benua itu.
 
Berkat Warhol, Amerika tak lagi grogi menghadapi negeri-negeri Eropa kontinental, khususnya yang menjadi laboratorium aktif seni rupa modern, seperti Perancis, Belanda, dan Italia.
 
Peran negara
 
Seni khas Amerika lahir dari realitas khas negerinya, di mana kapitalisme membentuk relasi imigran dari berbagai bangsa. Bukan agama dan etnik yang memengaruhi ikatan sosial khas Amerika, melainkan kapitalisme.
 
Perbedaan budaya digeser dari antarsuku, bangsa, dan agama, ke perbedaan selera produk konsumsi. Paradigma pluralisme tak memadai lagi karena itu lahirlah multikulturalisme.
 
Dan multikulturalisme memang cocok pada masyarakat kapitalisme lanjut, di mana seluruh aspek kehidupan telah tereduksi pada nilai modal (beda dengan kapitalisme industri di mana seluruh aspek kehidupan belum terekonomisasi).
 
Dalam kapitalisme lanjut, peran lembaga sosial tak sekuat lembaga finansial. Pengaruh pakar pemasaran, iklan dan bintang film lebih nyata dibandingkan dengan menteri pertahanan, politisi, apalagi birokrat.
 
Multikulturalisme memahami budaya sebagai pilihan konsumsi individu (seperti musik, film, olahraga, dan mode) serta bukan konstruksi “genetik” sosial historis (seperti ras, bahasa, agama dan etnik).
 
Namun, multikulturalisme menyimpan dilema. Kemunculan Basquiat dengan lukisan-lukisan grafitinya yang “mencoret” ikon- ikon budaya pasar Warhol menunjukkan bahwa dalam masyarakat kapitalisme lanjut, kendati seluruh aspek kehidupan telah tereduksi menjadi nilai modal, tidak semua kelompok sosial mendapat akses finansial yang sama, persis seperti dialami kaum negro Amerika.
 
Basquiat menelanjangi visi estetik Andy Warhol dan sekelompok ilmuwan sosial yang demi menjaga ketertiban di lingkungan urban melahirkan jenis seni dan teori sosial mengenai kelompok yang diuntungkan sambil mendiamkan atau menyisihkan mereka yang tertindas dan dirugikan.
 
Yang menyelesaikan persoalan ini tidak cukup dengan hanya memberi ruang representasi sosial kepada yang dirugikan (subaltern), tetapi juga memberi akses finansial yang memadai.
 
Dalam hal ini, peran negara (khususnya ekonomi) diperlukan sejauh pada batas yang wajar. Tanpa itu, setidaknya ada dua hal yang patut dicatat. Pertama, suasana tertib “multikultural” hanya permukaan belaka, tidak menyentuh substansi sesungguhnya. Kedua, kapitalisme lanjut akan mengalami krisis karena jika seluruh ruang telah dijejali lembaga-lembaga finansial, krisis sosial akan terbungkam.
 
Padahal, kapitalisme membutuhkan kontrol sosial jika tak ingin bangkrut seperti anaknya yang heroik: komunisme.
***

*) Faisal Kamandobat, Penyair, menetap di Majenang, Yogyakarta. http://sastra-indonesia.com/2011/09/multikulturalisme-basquiat-yang-mendobrak-warhol/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah