Penghargaan yang Menggertak
Marsel Robot *
pos-kupang.com
PAGI sekali, (pertengahan Juni 2010) lalu, tiga perempuan menyeberang
embun, kemudian lekas bergegas berkumpul di lantai satu gedung Perpustakaan
Daerah Propinsi NTT. Mereka adalah Dr. Free Hearty, M.Hum, Dra. Yvonne De Fretes,
M.A., dan seorang wanita dari Kupang, Dra. Mezra Pellandou. Ketiganya tergabung
dalam Komunitas Perempuan Penulis Indonesia (sastrawati).
Ada dua motif penting perjumpaan ketiga sastrawati itu. Pertama, mereka
hendak mengadakan ‘peluncurkan’ buku antologi puisi dari penulis perempuan
Indonesia berjudul: “Nyanyian Pulau-Pulau”. Kedua, mereka hendak memberikan
penghargaan kepada sejumlah orang-orang eksentirik, yang oleh Komunitas Penulis
Perempuan dipandang mempunyai kontribusi dalam memajukan dunian kesusastraan di
Nusa Tenggara Timur.
Ada beberapa kategori penghargaan. Kategori penulis (sastrawan) diwakili
Mezra sendiri. Kategori pengamat tersebut nama AG Netti. Kategori akademisi
tersebut nama Dr. Feliks Sanga, M.Pd, Drs. Samuel Nitbani, M.Pd., Dra. Angela
Lili Nai, M.Hum, dan saya. Semuanya dosen pada Pendidikan Bahasa dan Sastra
FKIP Undana dan FKIP Universitas PGRI Kupang. Tersebut pula nama Sam Haning SH,
MH (Rektor PGRI). Kategori pemerintah tersebut nama Esthon Foenay (Wakil
Gubernur NTT), dan Nahor Talan (Kepala Badan Perpusatakaan Daerah Propinsi
NTT). Kategori media diberikan kepada Pos Kupang melalui Tony Kleden.
Setiap orang yang menerima penghargaan itu diberikan buku kumpulan puisi
dan membacakan salah satu puisi dalam buku itu. Kesempatan itu mereka mengisap
suasana dengan cara masing-masing sambil menempel pidato ringan atas
penghargaan yang diterimanya. Kecuali saya, tidak kebagian buku dan tidak
diberikan kesempatan untuk menyampaikan pidato, karena keburu disuruh untuk
menjadi protokol saja. Karena itu saya tidak sempat melampiaskan rasa risih
atas penghargaan yang menurut saya tidak pantas saya terima.
Sehari sebelum menerima penghargaan itu, Mezra Pellandou seorang penulis
produktif, dan sangat giat dalam ‘dusun’ (dunia sunyi) itu menghubungi saya. Ia
memberitahukan perihal penghargaan itu. Kepada Mezra saya bertanya, “Apa memang
saya pantas menerima penghargaan itu?”
“Ya! Bapak pantas menerima itu.”
“Apa tak ada orang lain yang lebih pantas?”.
“Ini penilaian sangat independen, pak. Mereka merekam jejak bapak melalui
internet.”
Daripada buang-buang pulsa sementara rasa risih tetap melengket di tebing
hati. Sudahlah! Saya nekat pergi menghadiri undangan, siapa tahu diberikan
kesempatan untuk berkata-kata, dan kesempatan itu saya ingin melegokan semua
rasa risih saya atas penghargaan itu.
Pagi hari itu udara Kota Kupang lagi ngambek (tidak bersahabat). Angin
meniup kencang meliukkan pepohonan sepanjang kota. Debu jalan merayap pada
lembar-lembar daun gugur. Tetapi, ikhwal itu tidak menghentikan warga kota
mengepung hari-harinya.
Acara penyerahan penghargaan dilangsungkan di gedung Perpustakaan Daerah
Propinsi NTT. Gedung itu letaknya sangat khas di jantung Kota Kupang. Rautnya
ke laut, dikelilingi ikon-ikon (petunjuk-petunjuk makna) seakan memamerkan
tradisi intelektual kota itu. Di hadapannya menjulang sebuah gereja besar
(Katedral) yang memberi arti bahwa warga kota cukup religius. Tak jauh dari
gedung itu, menjulang gedung Bank Mandiri begitu kemilau, dan bagian sisi lain
ada gedung Bank Indonesia yang tingginya melebihi menara katedral, seakan
memberi isyarat bahwa kebutuhan duniawi jauh lebih tinggi daripada kebutuhan
surgawi. Bagian depan gedung perpustakaan berdiri Patung Sonbai mengendarai
kuda menyuguhkan arti tentang kota yang lahir dari perjuangan sang pahlawan.
Kembali pada penghargaan tadi. Siang itu kami menerima penghargaan itu.
Sejak menerima hadiah hingga menulis artikel ini saya merasa sedang digertak
oleh tiga perempuan tadi (baca perempuan penulis). Saya gugup. Sebab, belum
banyak yang saya lakukan untuk memajukan dusun (dunia sunyi) sastra itu. Kalau
saja penghargaan itu dirumuskan dalam idiom verbal logat Kupang kurang lebih
berbunyi: “Lu baru kerja begitu saaa… Mulai sekarang lu lebih giat lai.”
Artinya, penghargaan itu merupakan bentuk wanti-wanti agar saya bergulat lebih
hebat atau bergumul lebih khusuk memajukan dusun sastra.
Terus terang, tak banyak yang saya kerjakan untuk memberi energi pada
kehidupan sastra di NTT, dan tak satu kapsul pun yang berisikan gairah-gairah
kesastraan yang saya serahkan kepada persada yang memang teramat romantis ini.
Kecuali menjadi dosen sastra, berteater alakadar, menulis puisi alakadar,
sesekali menulis cerpen dan menulis artikel seperti ini. Singkatnya, dalam
sastra saya cuma bekerja serba alakadar. Honornya pun di bawah standar alakadar
dan lebih banyak sekadarnya.
Tetapi, bersastra buat saya adalah usaha menjatuhkan grendel-grendel
titik-titik sedih. Saya paling doyan bersedih, menatap dan meratap hari-hari
hidup. Bersedih melihat wajah kampung yang kian memelas, miskin nilai oleh
tingkah laku hidup yang semakin pragmatis. Bersedih melihat wajah-wajah serem
karena sebagian orang tampak wajah arogan dan bekerja sebagai garong. Garong di
kantor, garong di sekolah, garong di gereja dan di mana-mana terjadi pemerataan
penggarongan (baca korupsi). Sedih menatap teaterikal anak manusia yang kian
mementaskankan kegilaan yang sangat masif.
Bagi saya, kebiasaan bersedih adalah simfoni yang bisa melumat rasa seni
hingga darah dalam darah. Bersedih membuat saya bisa meniti makna pada kelamnya
gunung, dapat menangkap sunyi yang menidurkan lorong-lorong, dan mampu merekam
wajah-wajah orang kampung yang selalu memukau. Mungkin juga karena saya sungguh
tak tahan hidup dalam goncangan orasi politik yang terkadang memalukan. Tak
tahan berpartipasi dalam kekenesan pragmatis yang melenyapkan ruang berkabung
dan hidup hanya gundukan sampah materialistik. Sedih ketika tak ada perarakan
selain prahara yang menjilat hari-hari kita. Sedih ketika tak ada upacara
penyucian diri di ruang rutin, selaian di etalase berpose telanjang tanpa
keadaan.
Maaf! Akhirnya tulisan ini belepotan seperti ini membuat yang tidak
berminat sastra benar-benar tersiksa dengan tulisan ini. Tapi kali ini saya mau
bilang, sastra mampu menggenangi dan menggenapi hidup manusia menjadi lebih
manusiawi. Kalau Ndalur, teman saya yang cengeng itu berkata sungut. “Memangnya
kita makan puisi, makan cerpen.” Saya kira apa yang dikatakan teman itu sungguh
benar. Namun, kita sungguh-sungguh tak pernah hidup hanya dengan makan nasi,
susu dan keju. Jiwa adalah inti badaniah. Jiwa atau rohani kita memerlukan
asupan gizi melalui seni (termasuk seni sastra tentunya) agar hidup lebih
bertenaga. Dengan demikian, hidup kita tidak sekadar selembar tikar kusam di
pinggir kubur.
Satrawan NTT di Manakah Kau?
Sesudah makan siang, kami berbincang. Saya mengatakan, NTT mempunyai banyak
sastrawan. Sudahlah! Jangan kita hitung Gerson Poyk, Umbu Landu Paranggi,
Yulius Siyaramual (alm), Dami Ndandu Toda (alm) yang berkarya setelah merantau
ke ibu kota. Maka ketika kita hendak mengajukan pertanyaan: Sastrawan NTT di
manakah kau? Boleh jadi jawabannya ringkas. “Saya di sini, sedang asyik
bersastra.” Banyak sastrawan NTT bersastra dengan kadarnya sendiri-sendiri, apa
dia dukun pereda hujan, atau pencari ilmu di kubur tua, atau pemantra di kamar
tengah untuk meloloskan calon bupati dan lain-lainnya.
Jika yang dimaksudkan dengan sastrawan adalah orang yang menghasilkan karya
sastra secara tertulis, maka saya menyebut beberapa nama yang lagi keren, Mezra
Pellandou, Maria Matildis Banda, Yos Herin, Yefta, itu karena mereka
menghasilkan karya sastra dalam bentuk tulisan, dan karya itulah yang membabtis
mereka sebagai sastrawan.
Suatu hal yang membuat saya terpukau dengan menyebut nama-nama yang
disebutkan tadi bukan saja local color (warna lokal) yang mereka arak ke pentas
sastra) tetapi mereka bersastra tidak harus melalui Jakarta. Mereka keluar dari
tirani Jakarta yang dianggap sebagai Roma dan Mekanya sastrawan. Mereka pun
tidak meletakkan tangan di atas Majalah Horison (majalah sastra) yang angker
yang sering dipandang sebagai sungai Yordan tempat pembabtisan sastrawan. Jika
tulisannya dimuat dalam majalah itu, maka jadilah dia sastrawan. Padahal,
banyak karya sastra bermutu yang dimuat pada koran lokal dan di tulis di
tempat-tempat yang amat jauh dari Jakarta.
Kembali pada pertanyaan tadi. Sastrawan NTT di manakah kau? Minimal ada
tiga jawaban melilit sekujur pertanyaan itu. Pertama, kita tidak mempunyai alat
ucap (media) yang menjadi modus ungkap sastra. Surat kabar sangat terbatas dan
ruang untuk menggoreng hasrat bersastra sangat kecil. Sering pelampiasan selera
sastra lewat majalah dinding dari TK (tingkat kanak-kanak) sampai PT (perguruan
tinggi), dari tembok terminal, sampai tembok WC.
Kedua, masyarakat kita belum mempunyai tradisi membaca. Apalagi membaca
sastra yang memerlukan kening kerut. Rugilah surat kabar yang memuat karya
sastra, lantas tidak dibaca (dibeli) orang. Masyarakat kita masih oral dan
terpesona pada pesan instan yang datang melalui mata.
Ketiga, belum ada penghargaan terhadap sastra. Bersastra sekadar iseng.
Semisal, membaca puisi untuk selingan dalam suatu hajatan. Secara nominal pun
kurang dihargai. Honor menulis puisi atau cerpen jauh lebih murah dari
pendapatan seorang buru pelabuhan di Tenau (Kupang). Belum ada sastrawan NTT yang
eksis di sini dan menggantung hidupnya pada menulis puisi, menulis novel,
menulis cerpen atau mementaskan naskah drama.
Akan tetapi, keadaan itu tidak membekukan kreativitas sastrawan yang saya
sebutkan tadi. Mereka bersastra ‘di sini’ (NTT) dan melukis jagad sastra
Indonesia dengan latar di sini. Mereka merupakan laskar sastra yang militan
melahirkan karya sastra di kuni agu kalo (meminjam istilah Manggarai yang
berarti tanah tumpah darah) dan dengan semangat goliat memecahkan keangkuhan
Jakarta kemudian dibagikan ke daerah-daerah seraya berkata: “Inilah karyaku dan
bacalah sebagai kenangan akan daku.”
*) Staf pengajar Undana, Kupang. http://sastra-indonesia.com/2010/09/sastrawan-ntt-di-manakah-kau/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Qorib Hidayatullah
A. Rego S. Ilalang
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Kadir Ibrahim
Abi N. Bayan
Achiar M Permana
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Afrilia
Afrizal Malna
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mustofa
Alief Mahmudi
Alim Bakhtiar
Allex Qomarulla
Amarzan Loebis
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Syarifuddin
Anash
Andri Awan
Anggrahini KD
Anindita S Thayf
Anisa Ulfah
Anjrah Lelono Broto
Annisa Steviani
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra)
Ardy Suryantoko
Arie Giyarto
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Gumantia
Arif Hidayat
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asarpin
Asrul Sani
Baca Puisi
Bahrum Rangkuti
Balada
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni R. Budiman
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Candra Malik
Candrakirana
Caping
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Deddy Setiawan
Denny JA
Denny Mizhar
Deo Gratias
Dewi Musdalifah
Dhimas Ginanjar
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Diana AV Sasa
Dien Makmur
Dinar Rahayu
Diskusi
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Edisi Khusus
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Elsa Vilinsia Nasution
Erwin Setia
Ery Mefry
Esai
Evan Ys
F Aziz Manna
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Foto Andy Buchory
Francisca Christy Rosana
Franz Kafka
Frischa Aswarini
Fritz Senn
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Gendhotwukir
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gusti Eka
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hamzah Sahal
Hardy Hermawan
Hari Purwiati
Hario Pamungkas
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hendri R.H
Hendri Yetus Siswono
Herie Purwanto
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I. B. Putera Manuaba
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
Ignas Kleden
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indira Permanasari
Indonesia O’Galelano
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Inung As
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwan Simatupang
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jember Gemar Membaca
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng
Joko Pinurbo
Jordaidan Rizsyah
Joyo Juwoto
Jual Buku Paket Hemat
K. Usman
Kadek Suartaya
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khairul Mufid Jr
Khanif
Khoirul Abidin
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Astrea
Kitab Para Malaikat
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lan Fang
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukman Santoso Az
M. Abror Rosyidin
M. Adnan Amal
M. Faizi
M. Lutfi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahardini Nur Afifah
Mahendra Cipta
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mansur Muhammad
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Marsel Robot
Marulam Tumanggor
Mas Garendi
Mashuri
Masuki M. Astro
Matdon
Matroni Muserang
MG. Sungatno
Moh. Husen
Mohamad Sobary
Mohammad Sadam Husaen
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Multazam
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Murnierida Pram
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Neli Triana
NH Dini
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Novel John Halmahera
Nurel Javissyarqi
Nuryana Asmaudi
Omah Sastra Ahmad Tohari
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat HM
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Riri Satria
Rodli TL
Ronggeng Dukuh Paruk
Ronny Agustinus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saini KM
Sainul Hermawan
Sajak
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Lamongan
Sastra-Indonesia.com
Sastri Sunarti
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Semesta
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeparno S. Adhy
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Titi Aoska
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Topik Mulyana
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Ulysses
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Negeri Jember
Untung Wahyudi
Veronika Ninik
Viddy A.D. Daery
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Widie Nurmahmudy
Wildan Ibnu Walid
Windi Erica Sari
Wisran Hadi
Y Alprianti
Y. Thendra BP
Yanusa Nugroho
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Zainuddin Sugendal
Zainuri
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zumro As-Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar