Minggu, 07 Februari 2021

Sastrawan NTT di Manakah Kau?

Penghargaan yang Menggertak
 
Marsel Robot *
pos-kupang.com
 
PAGI sekali, (pertengahan Juni 2010) lalu, tiga perempuan menyeberang embun, kemudian lekas bergegas berkumpul di lantai satu gedung Perpustakaan Daerah Propinsi NTT. Mereka adalah Dr. Free Hearty, M.Hum, Dra. Yvonne De Fretes, M.A., dan seorang wanita dari Kupang, Dra. Mezra Pellandou. Ketiganya tergabung dalam Komunitas Perempuan Penulis Indonesia (sastrawati).
 
Ada dua motif penting perjumpaan ketiga sastrawati itu. Pertama, mereka hendak mengadakan ‘peluncurkan’ buku antologi puisi dari penulis perempuan Indonesia berjudul: “Nyanyian Pulau-Pulau”. Kedua, mereka hendak memberikan penghargaan kepada sejumlah orang-orang eksentirik, yang oleh Komunitas Penulis Perempuan dipandang mempunyai kontribusi dalam memajukan dunian kesusastraan di Nusa Tenggara Timur.
 
Ada beberapa kategori penghargaan. Kategori penulis (sastrawan) diwakili Mezra sendiri. Kategori pengamat tersebut nama AG Netti. Kategori akademisi tersebut nama Dr. Feliks Sanga, M.Pd, Drs. Samuel Nitbani, M.Pd., Dra. Angela Lili Nai, M.Hum, dan saya. Semuanya dosen pada Pendidikan Bahasa dan Sastra FKIP Undana dan FKIP Universitas PGRI Kupang. Tersebut pula nama Sam Haning SH, MH (Rektor PGRI). Kategori pemerintah tersebut nama Esthon Foenay (Wakil Gubernur NTT), dan Nahor Talan (Kepala Badan Perpusatakaan Daerah Propinsi NTT). Kategori media diberikan kepada Pos Kupang melalui Tony Kleden.
 
Setiap orang yang menerima penghargaan itu diberikan buku kumpulan puisi dan membacakan salah satu puisi dalam buku itu. Kesempatan itu mereka mengisap suasana dengan cara masing-masing sambil menempel pidato ringan atas penghargaan yang diterimanya. Kecuali saya, tidak kebagian buku dan tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan pidato, karena keburu disuruh untuk menjadi protokol saja. Karena itu saya tidak sempat melampiaskan rasa risih atas penghargaan yang menurut saya tidak pantas saya terima.
 
Sehari sebelum menerima penghargaan itu, Mezra Pellandou seorang penulis produktif, dan sangat giat dalam ‘dusun’ (dunia sunyi) itu menghubungi saya. Ia memberitahukan perihal penghargaan itu. Kepada Mezra saya bertanya, “Apa memang saya pantas menerima penghargaan itu?”
 
“Ya! Bapak pantas menerima itu.”
“Apa tak ada orang lain yang lebih pantas?”.
“Ini penilaian sangat independen, pak. Mereka merekam jejak bapak melalui internet.”
 
Daripada buang-buang pulsa sementara rasa risih tetap melengket di tebing hati. Sudahlah! Saya nekat pergi menghadiri undangan, siapa tahu diberikan kesempatan untuk berkata-kata, dan kesempatan itu saya ingin melegokan semua rasa risih saya atas penghargaan itu.
 
Pagi hari itu udara Kota Kupang lagi ngambek (tidak bersahabat). Angin meniup kencang meliukkan pepohonan sepanjang kota. Debu jalan merayap pada lembar-lembar daun gugur. Tetapi, ikhwal itu tidak menghentikan warga kota mengepung hari-harinya.
 
Acara penyerahan penghargaan dilangsungkan di gedung Perpustakaan Daerah Propinsi NTT. Gedung itu letaknya sangat khas di jantung Kota Kupang. Rautnya ke laut, dikelilingi ikon-ikon (petunjuk-petunjuk makna) seakan memamerkan tradisi intelektual kota itu. Di hadapannya menjulang sebuah gereja besar (Katedral) yang memberi arti bahwa warga kota cukup religius. Tak jauh dari gedung itu, menjulang gedung Bank Mandiri begitu kemilau, dan bagian sisi lain ada gedung Bank Indonesia yang tingginya melebihi menara katedral, seakan memberi isyarat bahwa kebutuhan duniawi jauh lebih tinggi daripada kebutuhan surgawi. Bagian depan gedung perpustakaan berdiri Patung Sonbai mengendarai kuda menyuguhkan arti tentang kota yang lahir dari perjuangan sang pahlawan.
 
Kembali pada penghargaan tadi. Siang itu kami menerima penghargaan itu. Sejak menerima hadiah hingga menulis artikel ini saya merasa sedang digertak oleh tiga perempuan tadi (baca perempuan penulis). Saya gugup. Sebab, belum banyak yang saya lakukan untuk memajukan dusun (dunia sunyi) sastra itu. Kalau saja penghargaan itu dirumuskan dalam idiom verbal logat Kupang kurang lebih berbunyi: “Lu baru kerja begitu saaa… Mulai sekarang lu lebih giat lai.” Artinya, penghargaan itu merupakan bentuk wanti-wanti agar saya bergulat lebih hebat atau bergumul lebih khusuk memajukan dusun sastra.
 
Terus terang, tak banyak yang saya kerjakan untuk memberi energi pada kehidupan sastra di NTT, dan tak satu kapsul pun yang berisikan gairah-gairah kesastraan yang saya serahkan kepada persada yang memang teramat romantis ini. Kecuali menjadi dosen sastra, berteater alakadar, menulis puisi alakadar, sesekali menulis cerpen dan menulis artikel seperti ini. Singkatnya, dalam sastra saya cuma bekerja serba alakadar. Honornya pun di bawah standar alakadar dan lebih banyak sekadarnya.
 
Tetapi, bersastra buat saya adalah usaha menjatuhkan grendel-grendel titik-titik sedih. Saya paling doyan bersedih, menatap dan meratap hari-hari hidup. Bersedih melihat wajah kampung yang kian memelas, miskin nilai oleh tingkah laku hidup yang semakin pragmatis. Bersedih melihat wajah-wajah serem karena sebagian orang tampak wajah arogan dan bekerja sebagai garong. Garong di kantor, garong di sekolah, garong di gereja dan di mana-mana terjadi pemerataan penggarongan (baca korupsi). Sedih menatap teaterikal anak manusia yang kian mementaskankan kegilaan yang sangat masif.
 
Bagi saya, kebiasaan bersedih adalah simfoni yang bisa melumat rasa seni hingga darah dalam darah. Bersedih membuat saya bisa meniti makna pada kelamnya gunung, dapat menangkap sunyi yang menidurkan lorong-lorong, dan mampu merekam wajah-wajah orang kampung yang selalu memukau. Mungkin juga karena saya sungguh tak tahan hidup dalam goncangan orasi politik yang terkadang memalukan. Tak tahan berpartipasi dalam kekenesan pragmatis yang melenyapkan ruang berkabung dan hidup hanya gundukan sampah materialistik. Sedih ketika tak ada perarakan selain prahara yang menjilat hari-hari kita. Sedih ketika tak ada upacara penyucian diri di ruang rutin, selaian di etalase berpose telanjang tanpa keadaan.
 
Maaf! Akhirnya tulisan ini belepotan seperti ini membuat yang tidak berminat sastra benar-benar tersiksa dengan tulisan ini. Tapi kali ini saya mau bilang, sastra mampu menggenangi dan menggenapi hidup manusia menjadi lebih manusiawi. Kalau Ndalur, teman saya yang cengeng itu berkata sungut. “Memangnya kita makan puisi, makan cerpen.” Saya kira apa yang dikatakan teman itu sungguh benar. Namun, kita sungguh-sungguh tak pernah hidup hanya dengan makan nasi, susu dan keju. Jiwa adalah inti badaniah. Jiwa atau rohani kita memerlukan asupan gizi melalui seni (termasuk seni sastra tentunya) agar hidup lebih bertenaga. Dengan demikian, hidup kita tidak sekadar selembar tikar kusam di pinggir kubur.
 
Satrawan NTT di Manakah Kau?
 
Sesudah makan siang, kami berbincang. Saya mengatakan, NTT mempunyai banyak sastrawan. Sudahlah! Jangan kita hitung Gerson Poyk, Umbu Landu Paranggi, Yulius Siyaramual (alm), Dami Ndandu Toda (alm) yang berkarya setelah merantau ke ibu kota. Maka ketika kita hendak mengajukan pertanyaan: Sastrawan NTT di manakah kau? Boleh jadi jawabannya ringkas. “Saya di sini, sedang asyik bersastra.” Banyak sastrawan NTT bersastra dengan kadarnya sendiri-sendiri, apa dia dukun pereda hujan, atau pencari ilmu di kubur tua, atau pemantra di kamar tengah untuk meloloskan calon bupati dan lain-lainnya.
 
Jika yang dimaksudkan dengan sastrawan adalah orang yang menghasilkan karya sastra secara tertulis, maka saya menyebut beberapa nama yang lagi keren, Mezra Pellandou, Maria Matildis Banda, Yos Herin, Yefta, itu karena mereka menghasilkan karya sastra dalam bentuk tulisan, dan karya itulah yang membabtis mereka sebagai sastrawan.
 
Suatu hal yang membuat saya terpukau dengan menyebut nama-nama yang disebutkan tadi bukan saja local color (warna lokal) yang mereka arak ke pentas sastra) tetapi mereka bersastra tidak harus melalui Jakarta. Mereka keluar dari tirani Jakarta yang dianggap sebagai Roma dan Mekanya sastrawan. Mereka pun tidak meletakkan tangan di atas Majalah Horison (majalah sastra) yang angker yang sering dipandang sebagai sungai Yordan tempat pembabtisan sastrawan. Jika tulisannya dimuat dalam majalah itu, maka jadilah dia sastrawan. Padahal, banyak karya sastra bermutu yang dimuat pada koran lokal dan di tulis di tempat-tempat yang amat jauh dari Jakarta.
 
Kembali pada pertanyaan tadi. Sastrawan NTT di manakah kau? Minimal ada tiga jawaban melilit sekujur pertanyaan itu. Pertama, kita tidak mempunyai alat ucap (media) yang menjadi modus ungkap sastra. Surat kabar sangat terbatas dan ruang untuk menggoreng hasrat bersastra sangat kecil. Sering pelampiasan selera sastra lewat majalah dinding dari TK (tingkat kanak-kanak) sampai PT (perguruan tinggi), dari tembok terminal, sampai tembok WC.
 
Kedua, masyarakat kita belum mempunyai tradisi membaca. Apalagi membaca sastra yang memerlukan kening kerut. Rugilah surat kabar yang memuat karya sastra, lantas tidak dibaca (dibeli) orang. Masyarakat kita masih oral dan terpesona pada pesan instan yang datang melalui mata.
 
Ketiga, belum ada penghargaan terhadap sastra. Bersastra sekadar iseng. Semisal, membaca puisi untuk selingan dalam suatu hajatan. Secara nominal pun kurang dihargai. Honor menulis puisi atau cerpen jauh lebih murah dari pendapatan seorang buru pelabuhan di Tenau (Kupang). Belum ada sastrawan NTT yang eksis di sini dan menggantung hidupnya pada menulis puisi, menulis novel, menulis cerpen atau mementaskan naskah drama.
 
Akan tetapi, keadaan itu tidak membekukan kreativitas sastrawan yang saya sebutkan tadi. Mereka bersastra ‘di sini’ (NTT) dan melukis jagad sastra Indonesia dengan latar di sini. Mereka merupakan laskar sastra yang militan melahirkan karya sastra di kuni agu kalo (meminjam istilah Manggarai yang berarti tanah tumpah darah) dan dengan semangat goliat memecahkan keangkuhan Jakarta kemudian dibagikan ke daerah-daerah seraya berkata: “Inilah karyaku dan bacalah sebagai kenangan akan daku.”
 
*) Staf pengajar Undana, Kupang. http://sastra-indonesia.com/2010/09/sastrawan-ntt-di-manakah-kau/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah