Sabtu, 14 Agustus 2021

MELIHAT DUNIA LEWAT JENDELA CERPEN

Maman S. Mahayana
 
Korrie Layun Rampan, Tokoh-Tokoh Cerita Pendek Dunia, Jakarta: Grasindo, 2005, xviii + 233 halaman.
 
Konon, sastra adalah roh kebudayaan. Ia dilahirkan dari sosok sastrawan yang mengalami serangkaian kegelisahan atas problem kultural masyarakatnya. Sastra yang mengangkat dunia manusia menggambarkan gagasan, bahasa, pikiran, perasaan, sikap perilaku, dan pandangan hidup manusia sebagai salah satu bentuk pengejawantahan kebudayaannya. Maka, mempelajari kebudayaan sebuah bangsa dianggap tidak lengkap, jika mengabaikan khazanah kesusastraannya. Itulah sebabnya, sastra sering juga dijadikan sebagai alat untuk sampai pada jembatan kebudayaan. Dengan begitu, membaca dan mempelajari sastra, pada hakikatnya sama dengan mempelajari kebudayaan sebuah komunitas. Dalam karya sastra, ada potret sosial, ada semangat zaman, ideologi, dan harapan yang melatarbelakangi dan melatardepaninya.
 
Dibandingkan puisi atau drama, novel –dan lebih khusus lagi cerita pendek (cerpen)— sebagai salah satu ragam sastra, dianggap paling dekat dengan potret sosial itu. Bentuknya yang kemas, lugas, dan padat, menjadikan cerpen cenderung menyajikan gambaran problem sosial itu langsung ke pokok masalahnya. Meski kebanyakan cerpen sekadar mengangkat salah satu aspek atau fragmen kehidupan keseharian manusia, ia tetap diperlakukan sebagai representasi kultural masyarakat pada zamannya. Di situlah cerpen menduduki tempatnya yang khas.
***
 
Usaha Korrie Layun Rampan yang mencoba menghimpun sejumlah fragmen cerpen –dan novel—dunia dalam buku ini, bolehlah dimaknai menuju ke arah sana. Ia seperti menyediakan sebuah jendela. Dari sanalah pandangan kita dibawa memasuki berbagai negeri di belahan dunia yang lain. Ada kisah tentang ‘percintaan’ manusia dengan harimau ketika kedua makhluk itu terdampar di padang pasir; kisah seorang ibu dan anak yang amblas di padang salju, veteran perang yang lamarannya ditolak, anak gajah yang penasaran, penduduk desa yang sabar mencari keadilan, pelajar yang jatuh cinta pada penari izu, manusia yang terdampar di pulau kosong, perkawinan yang terpaksa yang justru akhirnya membahagiakan, dan berbagai cerita lain yang sungguh tidak kita duga, penuh kejutan, dan menyihir!
 
Dalam konteks itu, apa pun, yang ada di sekeliling kehidupan kita, sesungguhnya bisa menjadi sebuah cerpen yang menarik hati. Dan itu sangat bergantung pada bagaimana hal yang remeh-temeh itu, dirangkai dalam kemasan cerita yang menarik; disajikan menjadi sebuah potret tentang manusia. Jadi, ringkasnya, bagaimana segala sesuatu yang tampak biasa itu disulap menjadi kisah yang luar biasa. Di situlah seorang sastrawan dituntut kepekaannya dalam melihat hakikat di balik segala peristiwa yang tampak di permukaan itu. Lalu, apa maknanya bagi kehidupan manusia.
 
Harus diakui, pilihan fragmen yang dilakukan Korrie, masing-masingnya nyaris memancarkan daya pukau dan pesonanya sendiri. Maka, ketika kita mencoba masuk ke dalamnya, semua itu terasa begitu asing, tetapi tokh tetap menyihir dan mengganggu rasa penasaran kita, karena ia bicara tentang manusia. Seolah-olah ia berada begitu dekat dan menjadi bagian dari persoalan kita. Di situlah kekuatan cerpen (: sastra) sebagai representasi kebudayaan manusia. Ia menceritakan manusia di dunia entah berantah dengan kebudayaannya yang mungkin terasa begitu asing, tetapi kita tetap merasakannya sebagai masalah kita juga, dan kita seolah-olah berada di sana.
 
Ada 35 cuplikan (cerpen dan novel) dari 35 pengarang kelas dunia yang terhimpun dalam buku ini. Secara kronologis, Korrie, dengan alasan tertentu yang meski bisa mendatangkan kontroversi, mengawalinya dari Sir Walter Scott (1771—1832) sampai Albert Camus (1913—1960). Untuk melengkapi posisi masing-masing pengarang, disertakan pula secukupnya biodata para pengarang itu. Tentu saja informasi itu penting untuk meluaskan wawasan tentang kiprah mereka, baik dalam sejarah sastra di negerinya, maupun dalam sejarah sastra dunia. Dengan begitu, kita (: pembaca) seperti dipersilakan menikmati berbagai hidangan dari mancenegara. Dari sana, serba sedikit kita dapat pula mengintip berbagai ramuannya, cara meraciknya, dan bagaimana menghidangkannya. Maka jika kita ingin jadi juru masak (: cerpenis) yang baik, cermati dan pelajarilah dengan seksama masakan-masakan (cerpen) kelas dunia yang terhimpun dalam buku ini.
 
Kesan yang segera muncul dalam hampir semua fragmen cerita itu adalah kuatnya kesederhanaan dan kebersahajaan, baik yang menyangkut persoalan tema, maupun cara bertuturnya. Cerita mengalir begitu saja, tanpa pretensi, tanpa perlu pamer gagasan-gagasan besar, tanpa perlu mengobral ungkapan atau kata-kata yang canggih. Semuanya seperti terbebas dari niat menggurui atau pesan propaganda. Periksalah fragmen cerpen “Kakak-Beradik” karya Maxim Gorky. Sastrawan Rusia yang dijuluki Bapak Realisme Sosialis ini, bercerita tentang yatim-piatu, kakak-beradik. Si Adik membangun rumah besar yang kemudian dijadikan rumah sakit gila. Belakangan, si Adik itulah penghuni pertamanya. Tak ada propaganda dalam karya Gorky itu, tetapi empati kita seperti digiring untuk berpihak kepada nasib tragis kedua kakak-beradik itu.
 
Fragmen cerpen Franz Kafka juga sama sekali tak berkesan pretensius. Ceritanya tentang seorang lelaki desa yang dilarang masuk pengadilan dituturkan begitu saja. Bertahun-tahun ia menunggu di pintu masuk pengadilan, dan selama itu pula penjaga pintu tak mengizinkan. Menjelang kematian lelaki pencari keadilan itu, barulah penjaga pintu mengabarkan, bahwa pintu itu sebenarnya disediakan hanya untuk dia. Tetapi karena kematian menjemputnya, penjaga pintu itu pun segera akan menutupnya kembali.
 
Coba pula periksa fragmen cerpen “Sang Kura-Kura” karya John Steinbeck. Sastrawan yang –langsung atau tidak—mempengaruhi Ahmad Tohari ini, sekadar bercerita tentang perjalanan seekor kura-kura menyeberang jalan raya. Itu saja. Tetapi, dari sana kita –tanpa sadar—seperti dipaksa mencermati rerumputan, kinjeng, semut merah, dan gerak lambat langkah kura-kura; kepalanya yang lucu nongol dari rumahnya, mengintip keluar. Kaki depan dan belakangnya, mencekau dan terpeleset. Ketika ia berhasil melewati tanggul jalan raya, ia bergegas. Saat itulah melintas sedan, lalu truk, dan kura-kura itu pun terpelanting! Di sana, detail latar digambarkan begitu hidup dan kita asyik saja mengikutinya tanpa beban, seolah-olah kita melihat sendiri segala yang dikisahkannya itu.
***
 
Sebagai sebuah buku panduan, buku ini jelas penting. Ia kaya informasi tentang pengarang-pengarang dunia. Ia kaya akan contoh karya mereka yang memperlihatkan keberagaman gaya, style, dan tema yang diusungnya. Selain itu, di sana ada pula lampiran tentang Alfred Nobel –penemu dinamit yang kemudian menyumbangkan kekayaannya bagi tokoh-tokoh dunia yang dinilai memberi kontribusi bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan kemasyarakatan. Selepas itu, disertakan juga senarai para pemenang hadiah nobel sastra mulai dari pemenang pertama (Sully Prudhomme, 1901) sampai yang terakhir ini (Elfriede Jelinek, 2004).
 
Di luar persoalan itu, tentu saja kita perlu juga mencermati buku ini secara kritis. Ada beberapa pandangan yang agak kontroversial. Jika Korrie tak menyertakan cerpenis dunia selepas Camus, seperti Naguib Mahfoudz, Nadine Gordimer, Derek Walcott dan seterusnya sampai ke cerpen-cerpen dari belahan Asia, seperti India, Bangladesh, Korea, atau Filipina, kita dapat memahaminya lantaran naskah buku ini dipersiapkan sejak lama dan sudah rampung tahun 1990. Demikian juga pilihan cerpen dan pengarangnya, sulit kita perdebatkan jika pilihannya itu jatuh atas dasar selera. Mengapa, misalnya, nama-nama penting dalam perjalanan cerpen dunia, seperti Somerset Maugham, James Joyce, atau Ignazio Silone, luput dari pengamatan. Belum lagi sastrawan macam Gabriel Garcia Marquez, atau sastrawan lainnya dari kawasan Amerika Latin. Untuk itu, barangkali Korrie perlu membuat lagi buku sejenis sebagai lanjutannya dengan menyertakan sejumlah cerpen lain dari berbagai negara yang masih berlimpah dan tercecer.
 
Masalah lain yang juga bakal mengundang kontroversi dan sangat mungkin sulit dipertanggungjawabkan, menyangkut pencampuradukkan antara fragmen novel dan cerpen. Bagaimanapun, novel tidak dapat begitu saja dipersamakan dengan cerpen. Dalam novel, terbuka ruang yang lebih leluasa bagi pengarang untuk melakukan eksplorasi unsur-unsur intrinsiknya, yang justru sangat terbatas dilakukan dalam cerpen. Dalam hal ini, sesungguhnya lebih aman bagi Korrie jika ia memilih judul “Tokoh-Tokoh Prosa” dengan memokuskan diri pada cerita pendek. Dengan cara itu, Korrie akan terhindar dari kesan memaksakan diri memasukkan fragmen novel sebagai fragmen cerpen. Bukankah cerpen dan novel juga termasuk prosa, tetapi tidak berarti novel identik dengan cerpen.
 
Demikian juga, penempatan tokoh yang mempengaruhi dengan perintis, juga dapat mendatangkan masalah tersendiri. Perintis niscaya tidak identik dengan orang yang mempengaruhi. Dalam Kata Pengantar, misalnya, disebutkan, “Mungkin ada yang menganggap timbul kekeliruan dalam pemilihan nama para cerpenis yang ditampilkan di sini, karena para sastrawan itu tidak menulis cerita pendek, tetapi cerita-cerita panjang. Hal ini disadari sepenuhnya, seperti halnya mengapa Shakespeare dapat disebut cerpenis awal karena ia memberi pengaruh kepada para cerpenis yang lahir kemudian, meskipun ia tidak menulis cerita pendek dalam pengertian bentuk cerita pendek yang kita kenal dewasa ini. Itulah sebabnya beberapa nama penulis cerita panjang dicantumkan sebagai tokoh cerita pendek, karena mereka ini memberi pengaruh besar pada pertumbuhan dan perkembangan cerita pendek dunia, baik melahirkan gagasan, maupun menumbuhkan ide baru tentang cerita pendek.” (hlm. xvi—xvii). Jadi, perlulah Korrie berhati-hati dalam membuat klaim semacam itu, sebab banyak pihak yang memberi pengaruh kepada sastrawan, tetapi tidak serta-merta pihak-pihak itu dapat dikatakan sebagai perintis.
 
Bahwa di sana tersimpan beberapa pandangan kontroversial, niscaya tidaklah mengurangi kontribusi kehadiran buku ini. Ada dua hal penting yang tampaknya hendak ditawarkan Korrie. Pertama, sebagai usaha memberi wawasan yang lebih luas bagi cerpenis (: sastrawan dan peminat sastra pada umumnya) tentang panorama karya-karya sastra dunia; kedua, sebagai langkah yang terpuji bagi mereka yang berniat dan berminat belajar menulis cerpen. Bagaimanapun, belajar menulis cerpen dari karya dari para maestro akan berbeda hasilnya dengan belajar menulis cerpen dari karya penulis biasa.
 
Idealnya, kita dapat menikmati karya-karya dunia itu dari teks bahasa aslinya. Jika tidak, terjemahan dalam buku ini pun, kiranya ada juga gunanya. Dalam hal ini, pilihan teks terjemahan yang dilakukan Korrie, patutlah disikapi secara bijaksana. Mengingat yang disuguhkan itu karya terjemahan dari sejumlah orang, maka wajar saja jika memang kemudian muncul problem, karena di sana-sini kita menjumpai ada terjemahan yang begitu bagus, tetapi ada pula yang kurang sedap. Tak apa-apa. Yang penting, bagaimana kita mencicipi, mencermati, dan menyikapi berbagai halnya dari karya-karya yang memang dasarnya berkualitas dunia. Akhirnya, harus saya katakan. Membaca buku ini, sungguh saya seperti memandang dunia melalui jendela cerpen!
***

*) Maman S. Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok. http://sastra-indonesia.com/2008/11/melihat-dunia-lewat-jendela-cerpen/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah