Rabu, 18 Agustus 2021

Novel Orang-Orang Bertopeng (18)

Dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002
 
Teguh Winarsho AS
 
Fatma menutup pintu dan masuk ke dalam rumah ketika bayangan punggung Cut Hindar lenyap di tikungan jalan. Kini, Fatma baru sadar apa yang sebenarnya terjadi menimpa dirinya. Serta merta ingatan Fatma melayang pada peristiwa beberapa waktu lalu ketika Salman berkunjung ke rumahnya. Ketika itu Salman tidak bawa korek api. Salman meminjam korek api pada dirinya. Beberapa saat kemudian, ketika ia keluar membawa korek api, ngobrol-ngobrol sebentar, lalu mencicipi teh di atas meja, ia merasakan teh yang mestinya manis itu berubah sedikit asam seperti dituang cuka. Ketika itu ia berpikir, pastilah karena teh itu sudah terlalu dingin. Atau mungkin sudah kadaluwarsa.
 
Fatma juga ingat betapa di antara asap rokok yang menyembur dari mulut Salman ketika itu, yang begitu tebal dan kental, tampak mulut Salman bergerak-gerak komat-kamit seperti membaca sesuatu. Apalagi kalau bukan mantra pengasihan? Ah, kenapa aku jadi begini dungu? Rutuk Fatma dalam hati. Fatma menyesal telah membalas cinta Salman. Mestinya ia tak perlu tergesa-gesa. Tapi, entahlah, kejadiannya berlangsung begitu cepat. Begitu singkat. Ia tak sempat berpikir jernih. Tak sempat berpikir sehat. Kesadarannya seperti hilang. Lenyap.
 
Kini Fatma benci Salman. Benci sekali. Jika saja Salman tak menggunakan cara-cara licik seperti itu mungkin kebenciannya tidak terlalu berlebihan. Tapi, ya, tapi, beberapa hari lagi orang tua Salman akan datang melamar. Salman sempat menyinggung masalah itu ketika datang terakhir kali. Memang ia tak memberi jawaban pasti. Hanya diam saja. Tapi bukankah diam akan diartikan setuju oleh Salman? Fatma bingung. Pusing. Apalagi kedua orang tuanya terus mendesak dirinya agar cepat menikah. Apalagi orang tuanya sudah memberi lampu hijau pada Salman. Apalagi orang tuanya dan orang tua Salman diam-diam sudah sering ketemu membicarakan masalah pernikahan. Apalagi…
 
Fatma bertekad akan menceritakan kelakuan Salman pada Umi dan Abah. Tentang minuman teh yang berasa asam seperti dituang cuka. Tentang mulut Salman yang komat-kamit membaca mantra dan masih banyak lagi lainnya. Mungkin hanya itu satu-satunya cara untuk keluar dari perangkap yang dibuat Salman. Tapi tiba-tiba Fatma ragu apakah kedua orang tuanya percaya dengan ceritanya? Fatma sadar dirinya tidak punya bukti-bukti kuat.
 
SEBELAS
 
DI ATAS tempat tidurnya Fatma menggeliat perlahan lalu membuka kelopak matanya melihat jam dinding menunjuk pukul: 09.46 Wib. Sudah lumayan siang rupanya. Tapi Fatma enggan bangkit dari tempat tidur. Seluruh persendian tulangnya terasa sakit jika digerakkan. Semalam ia baru bisa tidur setelah terdengar adzan subuh. Pagi ini sebenarnya Fatma masih ngantuk berat. Tapi ketika mencoba memejamkan mata, kantuknya justru berangsur-angsur menjauh. Membuat Fatma jengah dan kesal. Membuat Fatma sangat tersiksa.
 
Fatma ingin tidur senyenyak mungkin. Sepulas mungkin. Selama mungkin. Sebab hanya dengan tidur ia bisa lepas dari bayang-bayang Salman yang semakin hari semakin menakutkan. Bayang-bayang Salman yang serupa hantu bangkit dari liang kubur dan terus menguntit dirinya ke mana pun pergi. Tapi, kini, tidur pun sulit sekali.
 
Malang tak dapat ditolak, untung pun tak dapat diraih. Mungkin pepatah ini sangat tepat untuk melukiskan kondisi Fatma. Hampir dua hari dua malam Fatma mengurung diri di kamar. Pintu dikunci rapat dari dalam. Abah sudah capek menyuruhnya keluar. Semua bujuk rayu mental. Kini Umi justru sibuk mengatur ruang tamu untuk menyambut kedatangan keluarga Salman sore nanti. Memang, hanya acara lamaran. Tapi menurut hemat Umi, ruang tamu itu perlu ditata lagi agar enak dipandang mata. Abah sendiri seperti biasa sibuk di ladang karena tampaknya musim hujan akan segera tiba.
 
Masih belum beranjak dari tempat tidurnya, tiba-tiba mata Fatma berkaca-kaca. Sejurus kemudian mulai terdengar isak tangisnya. Lalu air mata itu pun tumpah tak bisa dibendung lagi berleleran di pipi hingga membasahi bantal. Seandainya bisa bercerita, mungkin air mata itu akan bercerita banyak hal kenapa ia bisa tumpah dari kedua mata pemiliknya. Tapi air mata tidak punya mulut untuk bercerita. Air mata tidak punya lidah untuk bersuara. Ia hanya menjadi saksi bisu kesedihan Fatma.
 
Fatma terus mengisak larut dalam kesedihan. Fatma tidak tahu dengan cara apa ia bisa keluar dari perangkap yang dibuat Salman. Perangkap itu begitu kuat serupa tembok tebal. Fatma kini terkurung di dalamnya. Terkurung seperti seekor burung di dalam sangkar. Kesedihan dan kekecewaan terus menggerogoti hari-harinya. Kemarahan dan kebencian kian menumpuk semakin panjang. Apalagi jika ingat pertengkaran dengan Umi semalam. Pertengkaran yang cukup hebat. Pertengkaran yang seharusnya bisa dihindari. Tapi Umi lebih cepat meradang memaksa dirinya menerima lamaran Salman. Sore nanti.
 
Di antara isak tangisnya Fatma merutuki dirinya yang semalam tidak bisa menyakinkan kedua orang tuanya, terutama Umi, kenyataan bahwa ia tidak mencintai Salman. Bahkan membencinya. Cerita-cerita tentang minuman teh yang rasanya asam dan mantera pengasihan yang dibaca Salman untuk menaklukan hatinya dianggap Umi sebagai bualan dan omong kosong belaka.
 
“Umi sudah capek. Umi tak mau dengar lagi semua bualanmu itu. Cinta bisa tumbuh nanti kalau kamu sudah menikah. Ingat kamu harus menerima lamaran Salman! Jangan bikin malu di depan keluarga Salman. Camkan baik-baik itu!” Kata-kata Umi semalam kini masih mengiang-ngiang di telinga Fatma. Belum pernah Umi marah besar seperti ini. Fatma kawatir jangan-jangan Salman juga telah mengguna-gunai Umi. Ini bisa saja terjadi. Sebab bagaimana mungkin Umi tiba-tiba simpati dengan Salman? Bilang bahwa Salman orangnya ramah dan baik hati. Bilang keluarga Salman keluarga kaya dan terpandang. Bilang wajah Salman cukup tampan di banding pemuda-pemuda lain. Bilang Salman rajin dan ulet bekerja. Semua itu diucapkan Umi dengan mulut nyinyir seperti kerasukan setan.
 
Kecurigaan Fatma semakin kuat manakala Umi terus menyebut-nyebut nama Salman. Terus memuji-muji Salman. Membuat Fatma semakin jijik. Tapi ketika Fatma menyinggung masalah itu, Umi justru meledak. Matanya merah. “Kamu pikir aku bodoh sehingga bisa kena guna-guna, hah!”
 
“Umi tidak bodoh. Tapi Salman jauh lebih pintar dan licik….”
 
“Fatma, kau mulai berani, ya?!”
 
“Aku hanya ingin menyadarkan Umi. Apa yang Umi pikirkan tentang Salman salah besar.”
 
“Cukup! Aku tidak butuh nasehatmu!”
 
“Umi tidak sadar Salman telah membutakan hati Umi.”
 
“Jangan coba-coba menggurui. Aku tahu apa yang harus aku lakukan!”
 
“Apa yang akan Umi lakukan sangat melukai perasaanku.”
 
“Siapa bilang?! Aku ingin melihat kamu hidup bahagia.”
 
“Bahagia menurut siapa? Menurut Umi?”
 
“Kelak kamu sendiri yang akan merasakannya.”
 
“Aku tidak mencintai Salman. Bagaimana aku bisa bahagia?!”
 
“Sudahlah, Fatma. Aku tidak mau ribut-ribut lagi. Yang jelas kamu harus menikah dengan Salman. Titik!”
 
(bersambung)
 
***
http://sastra-indonesia.com/2021/08/novel-orang-orang-bertopeng-18/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah