Rabu, 18 Agustus 2021

Novel Orang-Orang Bertopeng (19)

Dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002
 
Teguh Winarsho AS
 
Begitulah, malang tak dapat ditolak, untung pun tak dapat diraih. Umi telah menjatuhkan vonis; Fatma harus menikah dengan Salman. Harus! Kecuali Fatma punya nyali besar pergi meninggalkan rumah. Menggagalkan semua rencana Umi. Memudarkan semua ambisi Umi. Semalam pikiran semacam itu memang sempat mengganggu Fatma. Tapi Fatma masih meragukan keberanian yang ia miliki. Tak ada tempat atau orang yang bisa dijadikan perlindungan. Satu-satunya orang yang paling mungkin adalah Cut Hindar. Tapi Fatma juga masih meragukan keberanian Cut Hindar menerima dirinya mengingat keadaan sudah demikian gawat. Paling-paling Cut Hindar hanya akan memberinya ongkos untuk pergi sejauh mungkin. Tapi ke mana?
 
Ke mana? Ke kota? Di kota ia memang masih punya beberapa teman yang tentu saja tidak keberatan untuk sekadar menampung dirinya. Tapi persoalannya, berapa hari ia akan numpang di sana? Berapa lama? Seminggu, dua minggu, tiga minggu bolehlah, tapi kalau sudah lebih dari itu tentu tidak enak. Apalagi menurut cerita yang belakangan ini ia dengar, keadaan kota justru sedang rusuh. Banyak orang kampung yang tinggal di sana pulang mencari selamat. Kenapa dirinya justru datang ke kota? Apakah ini namanya bukan mencari celaka saja?
 
Ya, malang tak dapat ditolak, untung pun tak dapat diraih. Nanti sore keluarga Salman akan datang ke rumah untuk melamar. Fatma bisa saja tetap berada di kamar dan mengunci pintu jendela. Tapi Umi juga bisa menemui keluarga Salman dan menyatakan menerima lamaran mereka. Ya, kini Umi bisa melakukan segala hal sesuai kehendaknya. Umi menjadi orang yang paling berkuasa di rumah. Kearifan dan kelembutan Umi, belakangan ini tidak terlihat lagi. Hati Umi keras seperti batu.
 
Pertengkaran dengan Umi masih menyisakan perih di hati Fatma. Perih yang menghunjam dalam. Perih yang mungkin akan susah disembuhkan. Kini Fatma tidak tahu harus berbuat apa lagi.
 
Turun dari ranjang, Fatma berjalan menghampiri cermin. Di situ seolah ia ingin menyaksikan dirinya secara utuh. Menyakini penderitaannya. Kedukaannya. Kesedihannya. Kekecewaan hatinya. Lama Fatma menatap wajahnya di cermin ketika tiba-tiba terdengar suara berat dan serak memanggil.
 
“Fatma, keluarlah. Sejak semalam kau belum makan. Nanti kau sakit.” Itu adalah suara Abah.
 
Fatma menggeleng. Tapi mulutnya tak bersuara. Masih ada mendung tipis mengambang di mata Fatma.
 
“Ayolah, Fatma, tak baik di kamar terus,” Abah membujuk. Di banding Umi, Abah jarang marah. Tapi sekali marah semua orang akan takut.
 
“Aku belum lapar,” jawab Fatma bohong. Sudah sejak pagi tadi ia belum makan. Perutnya melilit-lilit perih. Tapi Fatma malas keluar. Fatma malas ketemu Umi.
 
“Hari ini Umi masak makanan kesukaanmu…”
 
“Aku masih kenyang.”
 
Abah entah pergi ke mana. Sudah tak terdengar lagi suara dari luar. Sepi. Kembali Fatma menatap dirinya di cermin. Garis-garis air mata masih membekas di wajahnya.
 
Tiba-tiba kembali terdengar suara berat dan serak memanggil. Fatma yang masih asyik bercengkerama dengan kesedihannya di depan cermin terkejut. Fatma mundur menghampiri pintu.
 
“Fatma, buka pintu kamarmu. Abah bawakan makanan…”
 
Ragu-ragu Fatma membuka pintu kamarnya. Abah kemudian mengangsurkan sepiring nasi lewat celah pintu yang hanya dibuka sedikit oleh Fatma.
 
DUA BELAS
 
MESKI hanya sederhana, tapi kesibukan tetap saja membelit Umi dan Abah menjelang hari pernikahan Fatma. Dari mengecat ruang tamu, pagar rumah, merapikan dapur, mengganti genting bocor, sampai menyiapkan segala macam keperluan konsumsi. Seekor sapi dan kambing gemuk sudah dipersiapkan untuk disembelih pada hari H nanti. Berkarung-karung padi hasil panen sudah digiling menjadi beras. Tetangga kanan kiri semua diundang untuk turut menyaksikan hari istimewa itu. Tapi rasanya semua orang kampung sudah tahu. Apalagi sudah cukup lama di Ulegle tidak ada hajat pernikahan. Pernikahan Fatma dan Salman beritanya langsung menyebar.
 
Pernikahan Fatma menjadi sejarah kemenangan Umi. Mengingatkan Umi pada peristiwa duapuluh enam tahun lalu ketika harus menerima lamaran seorang laki-laki yang rupanya jauh hari sebelumnya sudah ‘direstui’ oleh ayahnya. Laki-laki santun dan alim yang pada suatu malam di bawah derai gerimis datang ke rumah melamar dirinya. Laki-laki asing bagi Umi karena baru pertama kalinya Umi bertatap muka dan laki-laki itu langsung melamar dirinya.
 
Di bawah tatapan ayah yang penuh pesona dan wibawa, Umi tak bisa menolak lamaran laki-laki santun itu meski sesungguhnya hatinya remuk redam karena sudah ada laki-laki lain yang lebih dulu singgah di hati. Laki-laki tampan yang sering menjadi aneuk cahi dalam setiap pertunjukan seudati dan selalu menjadi pusat perhatian para remaja putri karena suaranya yang merdu dan khas. Ya, Umi terpaksa meninggalkan laki-laki pujaan hatinya dan menikah dengan laki-laki santun pilihan ayah.
 
Kini, telah berpuluh tahun laki-laki itu resmi menjadi suaminya dan sudah memberinya seorang anak gadis cantik rupawan. Telah berpuluh tahun laki-laki itu hidup dalam satu atap membagi segala suka dan duka. Telah berpuluh tahun laki-laki itu tidur satu ranjang menghayati sepi dan dingin malam dengan sejuta gairah sepanas bara. Apakah akhirnya Umi bisa mencintai laki-laki itu dengan sepenuh hati? Pasrah memberikan segenap jiwa raganya pada laki-laki itu? Ataukah sebagian hati Umi masih terbagi pada laki-laki yang dulu dipujanya? Laki-laki yang pandai membaca syair? Laki-laki seorang penyair?
 
Lalu, di manakah sesungguhnya letak cinta? Apakah pada secuil hati yang tak terlihat? Ataukah pada kerling indah bola mata yang sering dusta?
 
Umi masih sibuk di dapur. Sementara Fatma lebih banyak berada di kamar, malas melayani pembicaraan tetangga kanan kiri yang mulai hilir mudik di rumah, seperti suasana stasiun kereta. Bahkan ada satu dua gadis remaja yang selalu mengawasi gerak-geriknya seolah mereka ingin tahu seperti apa perilaku seorang wanita menjelang hari pernikahan, karena mungkin sebentar lagi mereka akan menikah.
 
Kalau toh terpaksa Fatma harus keluar, makan, mandi, misalnya, paling ia hanya melempar senyum pada para tetangga itu, sekadar untuk basa-basi dan langsung pergi menghindar. Menghindar jauh lebih baik dari pada harus menjawab sederet pertanyaan yang akan membuat dirinya semakin tersiksa.
 
Berbeda dengan Fatma, Umi berubah menjadi makhluk paling ramah dan cerewet sedunia. Sambil terus mengawasi orang-orang yang bekerja di dapur, sesekali Umi melempar gurauan-gurauan yang membuat suasana kerja menjadi hangat dan meriah. Beberapa orang diam-diam heran melihat perubahan pada diri Umi. Tapi mereka akhirnya paham. Sebelum ini Umi sangat merisaukan keadaan Fatma. Kerisauan Umi bisa dimaklumi. Di Ulegle, sebuah kampung terpencil dengan tophografis wilayah dikelilingi perbukitan dan karenanya menjadi satu komunitas masyarakat yang memiliki kekerabatan kuat, gadis yang sudah cukup berumur tapi belum menikah sering menjadi bahan gunjing yang kurang enak. Umi mengerti itu. Karenanya kini pastilah Umi sangat bahagia karena anak gadisnya akan segera menikah.
 
(bersambung)
***

http://sastra-indonesia.com/2021/08/novel-orang-orang-bertopeng-19/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi Abdul Azis Sukarno Abdul Kadir Ibrahim Abi N. Bayan Achiar M Permana Adib Baroya Aditya Ardi N Afrilia Afrizal Malna Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhudiat Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mustofa Alief Mahmudi Alim Bakhtiar Allex Qomarulla Amarzan Loebis Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Syarifuddin Anash Andri Awan Anggrahini KD Anindita S Thayf Anisa Ulfah Anjrah Lelono Broto Annisa Steviani Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Ardy Suryantoko Arie Giyarto Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Gumantia Arif Hidayat Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran AS Laksana Asarpin Asrul Sani Baca Puisi Bahrum Rangkuti Balada Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni R. Budiman Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Bustan Basir Maras Candra Malik Candrakirana Caping Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Darju Prasetya Deddy Setiawan Denny JA Denny Mizhar Deo Gratias Dewi Musdalifah Dhimas Ginanjar Dian Sukarno Dian Tri Lestari Diana AV Sasa Dien Makmur Dinar Rahayu Diskusi Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Edisi Khusus Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Prasetyo Eko Tunas Elsa Vilinsia Nasution Erwin Setia Ery Mefry Esai Evan Ys F Aziz Manna F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Foto Andy Buchory Francisca Christy Rosana Franz Kafka Frischa Aswarini Fritz Senn Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Gendhotwukir Goenawan Mohamad Gola Gong Gusti Eka Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamsad Rangkuti Hamzah Sahal Hardy Hermawan Hari Purwiati Hario Pamungkas Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hendri R.H Hendri Yetus Siswono Herie Purwanto Herry Lamongan Heru Kurniawan Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I. B. Putera Manuaba IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Imam Muhtarom Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indira Permanasari Indonesia O’Galelano Indra Intisa Indra Tjahyadi Inung As Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwan Simatupang Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat James Joyce Jean-Paul Sartre Jember Gemar Membaca JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Karanggeneng Joko Pinurbo Jordaidan Rizsyah Joyo Juwoto Jual Buku Paket Hemat K. Usman Kadek Suartaya Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khairul Mufid Jr Khanif Khoirul Abidin Ki Ompong Sudarsono Kiki Astrea Kitab Para Malaikat Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lan Fang Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukman Santoso Az M. Abror Rosyidin M. Adnan Amal M. Faizi M. Lutfi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahardini Nur Afifah Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mansur Muhammad Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Marsel Robot Marulam Tumanggor Mas Garendi Mashuri Masuki M. Astro Matdon Matroni Muserang MG. Sungatno Moh. Husen Mohamad Sobary Mohammad Sadam Husaen Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Multazam Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Murnierida Pram Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Neli Triana NH Dini Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nissa Rengganis Noor H. Dee Novel John Halmahera Nurel Javissyarqi Nuryana Asmaudi Omah Sastra Ahmad Tohari Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Proses Kreatif Puisi Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat HM Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Riri Satria Rodli TL Ronggeng Dukuh Paruk Ronny Agustinus Rumah Budaya Pantura (RBP) S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saini KM Sainul Hermawan Sajak Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Lamongan Sastra-Indonesia.com Sastri Sunarti Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Semesta Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeparno S. Adhy Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Titi Aoska Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Topik Mulyana Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Ulysses Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Negeri Jember Untung Wahyudi Veronika Ninik Viddy A.D. Daery W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Widie Nurmahmudy Wildan Ibnu Walid Windi Erica Sari Wisran Hadi Y Alprianti Y. Thendra BP Yanusa Nugroho Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Zainuddin Sugendal Zainuri Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zumro As-Sa'adah